Anda di halaman 1dari 29

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

METODE DIAGNOSTIK DEMAM TIFOID PADA ANAK

Disusun Oleh:
Kashwiniy Naidu Sathupathy Naidu
11.2014.347

Pembimbing :
dr. Melani Rakhmi Mantu, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
PERIODE 18 JANUARI 26 MARET 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada yang Maha Kuasa atas kesempatannya yang telah
diberikan kepada saya untuk membuat refrat ini. Saya juga berterima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu secara langsung maupun secara tidak langsung.
Salah satunya adalah dr. Melanie R. Mantu, SpA, M.Kes sebagai pembimbing saya
dan sebagai pemberi informasi, kritikan, dan saran yang membangun saya untuk lebih
baik lagi.
Saya sadar bahwa referat ini masih banyak kekurangannya. Tetapi saya telah
berusaha untuk membuat referat yang berguna bagi para pembaca. Karena itu, saya
mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun dari para pembaca demi
perkembangan saya ke depan.
Saya mengharapkan referat ini dapat digunakan untuk kepentingan para
pembaca, serta dapat menambah wawasan para pembaca. Akhir kata, saya
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan selamat membaca.

Jakarta, 18 Februari 2015

Penulis

BAB I
2

PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan
oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara
berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya
berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber
air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang
masih rendah. 1,2,3
Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat
karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama
pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini
menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi
penegakan diagnosis demam tifoid. 2,3,5
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara
yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara
menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana
pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan
penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta
memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier. 3
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui berbagai jenis metode
yang digunakan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak-anak. Di dalam
referat ini juga akan dibahas mengenai kelebihan dan kekurangan setiap metode
diagnostik

tersebut.

Dengan

pembahasan

ini

kita

dapat

melihat

dan

mempertimbangkan metode yang paling efisien dan efektif dalam penegakan


diagnosis demam tifoid pada anak-anak.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran .1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. 1,3,5,6
Prevalensi kasus 91% demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah usia 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat
sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan
diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Demam yang
terjadi biasanya bertipe berkepanjangan (prolonged fever), yaitu demam yang
berlangsung minimal lebih dari 5 hari dengan pola yang biasanya khas/klasik yaitu
demam yang rendah dan perlahan lahan lalu meningkat dari hari ke hari hingga
cenderung konstan tinggi. Namun pola demam yang seperti itu sudah jarang ditemui
karena pengaruh pemakaian antibiotik dalam pengobatan pribadi.3,4
2.3 ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk
4

spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar).
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air,
es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60 oC) selama
15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai
3 macam antigen, yaitu:2-6
1.

Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2.

Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.Ketiga macam antigen tersebut di atas
di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam
antibodi yang lazim disebut aglutinin.

2.4 PATOGENESIS
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada plaque Peyeri , 2) bakteri
bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus
5

mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri


bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan
kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus
sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal .3,4,5
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer
patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat
menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila
keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi,
penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor. 3,5
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi plaque Peyeri, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel
fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.4,6
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.6
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
6

makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini
adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur
berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.2-6
Dalam plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.3,4
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak
stabiil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi
sistem imunologis.2,4,5

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi dari
gejala yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai banyak
sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam
berkepanjangan, gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan saraf pusat.2

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari 7
hari, biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi, sehingga
pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari. Demam yang
terjadi biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat mencapai 39-40 oC dan
cenderung turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan berangsur- angsur turun dan normal
pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu ada bentuk demam
yang khas seperti di atas pada demam tifoid. Tipe deman menjadi tidak beraturan,
mungkin karena intervensi pengobatan (penggunaan antipiretik atau antibiotic lebih
awal) atau komplikasi yang terjadi lebih awal. Pada khususnya anak balita, demam
tinggi dapat menyebabkan kejang.2,3,5
Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam
akibat infeksi pada umumnya. Dimana Bakteri Salmonella typhi yang memproduksi
endotoksin merupakan pirogen eksogen selain mediator- mediator radang yang
disekresi oleh sel- sel mukosa usus yang mengalami infeksi (IL-1, IL-6, TNF-alfa, &
IFN-6) yang merupakan pirogen endogen. Kedua pirogen ini akan mengaktivasi
pelepasan Fosfolipase A2 pada membran sel yang mana akan mengaktivasi asam
arakidonat yang melalui jalur siklooksigenase memproduksi Prostaglandin E2
(PGE2). Prostaglandin E2 bersama dengan AMP siklik yang diaktivasinya akan
mengubah seting termostat yang terdapat di hipothalamus sehingga terjadilah
demam.5,6
Gejala sistem gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah,
perut kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali. Gastrointestinal problem
biasanya dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada sirkulasi. Dari
cavum oris didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih dengan tepi yang
kemerehan kadangkala waktu lidah dijulurkan lidah akan tremor kesemua tanda pada
lidah ini disebut dengan Tifoid Tongue. Meskipun jarang ditemukan pada anak- anak
tapi cukup berarti diagnostik. Gejala- gejala lain yang tidak spesifik seperti mual,
anoreksia. Karena bakteri menempel pada mukosa usus dan berkembang biak dalam
Peyer patch di dalamnya maka tidak jarang akan muncul gejala- gejala seperti diare
atau kadang diselingi konstipasi. Diare merupakan respon terhadap adanya bakteri
dalam lumen usus yang perlu untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada
8

demam tifoid tidak sampai menyebabkan dehidrasi, pun begitu dengan konstipasi
yang mungkin baru dialami setelah mengalami diare beberapa kali. Penderita anakanak lebih sering mengalami diare daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah
yang kadang- kadang membuat sering miss diagnosis ketika penderita datang
berobat.3-7
Kuman yang mengalami perjalanan dalam sirkulasi (bekteremia) juga
menimbulkan gejala pada organ Retikulo Endotelial System salah satunya Hepar dan
Lien. Hepato- splenomegali terjadi akibat dari replikasi kuman dalam sel- sel fagosit
atau sinusoid. Replikasi dalam hepar dan lien ini tentunya akan menyebabkan respon
inflamasi lokal yang melibatkan mediator radang seperti InterLeukin (IL-1, IL-6),
Prostaglandin (PGE-2) dimana menyebabkan permeabilitas kapiler akan meningkat
sehingga terjadi oedema. Pembesaran pada hepar-lien ini umumnya tidak selalu nyeri
tekan dan hanya berlangsung singkat (terutama terjadi waktu bakteremia sekunder).
Penanda ini cukup spesifik dalam membantu diagnostik.5,7
Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood Brain
Barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering bersifat Sindrom
Otak Organik yang berarti kelainan extra cranial mengakibatkan gangguan kesadaran
seperti Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma. Pada anak- anak tandatanda ini sering muncul waktu mereka tidur dengan manifestasi khas mengigau atau
nglindur yang terjadi selama periode demam tifoid tersebut. Gangguan otak organik
ini biasanya lebih berat ditemukan pada demam tifoid pada keadaan lanjut yang sudah
mengalami komplikasi. Pada keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi
ditemukan hanya sewaktu tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu.7
Pada ekstremitas, punggung, atau perut mungkin didapatkan floresensi kulit
berupa ruam makulo papular kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip dengan
ptechiae disebut dengan Roseola/ Rose Spot. Penyebab roseola ini karena emboli basil
dalam kapiler kulit terkumpul di bawah permukaan kulit sehingga menyerupai bentuk
bunga roseola. Ruam ini muncul paa hari ke 7-10 dan beratahn selama 2-3 hari.
Namun menurut IDAI penyakit tropik infeksi ruam/rose spot ini hampir tidak pernah
dilaporkan pada kasus anak di Indonesia.2,7

Gambar 1: Rose spots 4

Gambar 2: Rose spots 4

Bradikardi relatif, adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada infeksi
tifoid. Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1 oC akan diikuti oleh peningkatan denyut
nadi sampai 10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid peningkatan suhu tubuh
tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi sehingga dikatakan Bradikardi yang relatif
pada demam. Bradikardi relatif ini juga cenderung jarang terjadi pada anak.5

2.6 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui
pemeriksaan laboratorium. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari
ringan sampai berat dan ada yang disertai dengan komplikasi. Mengingat gambaran
klinis demam tifoid pada anak tidak khas yang mengakibatkan sering terjadi kesulitan
dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gambaran klinis, maka perlu
ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium yang dapat diandalkan.8

Sarana laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid


secara garis besar digolongkan dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah
lengkap; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji
serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.8,9,10
2.6.1. PEMERIKSAAN DARAH LENGKAP
10

Pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan leukositosis dengan


hitung jenis yang cenderung ke kiri (shift to the Left). Namun untuk tifoid leukosit
cenderung normal atau bahkan sampai leukopenia. Penyebab dari leukopenia ini
belum diketahui secara jelas, tetapi diyakini akibat replikasi kuman di dalam plaque
Peyeri yang merupakan makrofag jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi oleh
polimorfonuklear leukosit granul seperti netrofil batang ataupun segmen. Makrofag
jaringan merupakan Limfosit sehingga tidak jarang terjadi limfositosis relatif, karena
makrofag meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun, hitung jenis
bisa jadi Shift to Right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang meningkat
(leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit demam tifoid itu
sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi tumpangan. Penelitian oleh
beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju
endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang
cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau
bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid. 3
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya
mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%),
leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).10
2.6.2 IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.2,9
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.9
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL.4 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL.12 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
11

dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan
teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan

terapi

antibiotika

sebelumnya.9,10

Media

pembiakan

yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi
dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.4
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga.4,9 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai.6 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita
yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif
sebelumnya.4,6 Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur
darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.13
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti
berikut:12,14
1) telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negative.
2) volume darah yang kurang (< 5cc darah). Bila volume darah yang
dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa negative. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman.

12

3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan antibodi


dalam darah pasien. Antibodi in dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat
negative.
4) saat pengambilan darah yang kurang tepat pada waktu antibodi meningkat
(minggu pertama).
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas
yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)
serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis
dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan
penderita. 2,4,8,9

2.6.3 IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS


Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. 4 Beberapa
uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2)
tes TUBEX; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit). 11,13
a) UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella yang sudah
13

dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan
adanya agglutinin/antibodi dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari flagella kuman), antigen Vi
(simpai kuman) dan antigen Paratyphi A dan B (antigen dari Salmonella Paratyphi A
dan B. 2,11
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan
digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang
lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.3,9
Uji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau terjadi
peningkatan sebanyak 4x. Dari keempat agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H
yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.10
Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam atau
awal minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula- mula
timbul agglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada penderita yang sudah
sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H
dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit.9,10
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai
prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. 8 Beberapa
penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya
didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.7
Faktor faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan Widal
a) Faktor faktor yang berhubungan dengan penderita :6-10

Keadaan umum gizi penderita


Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
14

Waktu pemeriksaan
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita mengalami
sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu
kelima atau keenam sakit.

Pengobatan dini dengan antibiotik


Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.

Penyakit-penyakit tertentu
Beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada leukemia dan karsinoma lanjut.

Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat


pembentukan antibodi.

Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya


Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer
aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai
aglutinin pada orang-orang yang sehat.

Vaksin
Pada orang yang divaksin demam tifoid titer anglutinin O dan H akan
meningkat.

b)

Faktor-faktor teknis : 10,11

Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan
15

H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu


spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh
karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan
dengan uji widal.

Konsentrasi suspensi antigen


Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan
mempengaruhi hasilnya.

Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen


Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih
baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta


sulitnya

melakukan

interpretasi

hasil

membatasi

penggunaannya

dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). 3 Saat
ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah
endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada
anak-anak sehat.2,8
b) TES TUBEX
Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti salmonella
atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro
semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut.
Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida bakteri
Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan > 91%.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam
16

diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.8,9,10
Prinsip

pemeriksaan

dengan

metode

Inhibition

Magnetic

Binding

Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri dideteksi


melalui kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe partikel reagen
yaitu indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09
(reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang disensitisasi dengan LPS
Salmonella typhi (reagen warna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan
magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya
inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi IgM
Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan
warna akhir reaksi terhadap skala warna.11

Gambar 3: Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI) 10

Ada 4 interpretasi hasil :11


Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

17

Gambar 4: Respon antibody Salmonella Typhii 11


Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:10,11,12
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen
Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat
kuat terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga
respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan
cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang
lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan IgM anti Salmonella: 11,12
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
18

Hasil dapat diperoleh lebih cepat

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini,


beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.10 Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. 15 Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat
menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.12
c) METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi
dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.12
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.11
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi
uji sebesar 84%.17 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan
spesifisitas sebesar 89%.13
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.12-15 Dikatakan bahwa Typhidot-M ini
19

dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk
mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.13,15
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum
tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6
bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam
setelah penerimaan serum pasien. 13
d) METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel
sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA
pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. 18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004)
terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan
antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian
lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada
minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai
positif juga pada kasus dengan Brucellosis. 14,15
e) PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
20

Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan


alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap. 14,17
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan
dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif
sebesar 94.6%.14,16 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita
demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar
96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar
65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya
serokonversi pada penderita demam tifoid.17 Uji ini terbukti mudah dilakukan,
hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di
tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.15,18
2.6.4 IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain
reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.16
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar
100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya
dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. 14,15 Penelitian lain oleh Massi dkk
(2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah
(13.7%) dan uji Widal (35.6%).15
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur
teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih
belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih
terbatas dalam laboratorium penelitian. 17

21

2.7 PERBANDINGAN METODE DIAGNOSTIK


2.7.1 Perbandingan tes TUBEX dengan WIDAL
Jika dibandingkan antara tes TUBEX dengan uji Widal akan ditemukan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Antigen yang digunakan pada tes TUBEX adalah anti-O9 s.typhi yang
mampu membedakan organisme ini dari >99% serotype bakteri
salmonella lainnya, sedangkan uji Widal menggunakan antigen yang
tidak begitu spesifik terhadap s.typhi sehingga dapat terjadi crossreaction dengan kuman salmonella lainnya misalnya pada pasien yang
pernah menderita enteric fever lainnya. Reaksi ini dinamakan
anamnestic response dan dapat menimbulkan tingginya nilai false
positive. Hal ini menjawab alasan dari kurang spesifiknya uji
Widal.16,18,19
2. Dilihat dari metode yang digunkan oleh kedua tes, dimana TUBEX
menggunakan kemampuan inhibitor activities dari antibody dan uji
Widal menggunakan reaksi agglutinasi. Inhibitor activities memiliki
keuntungan karena lebih mudah dideteksi walaupun dengan kadar
antibody yang rendah. Hal ini memberikan alasan mengapa TUBEX
lebih sensitive daripada uji Widal.17,18
3. Single test pada uji Widal tidak begitu bermakna. Idealnya uji widal
dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan 7-10 hari setelahnya. Hal ini
dikarenakan agglutinin O dan H meningkat dengan tajam 8 hari setelah
onset panas pertama. Jika terjadi empat kali peningkatan titer agglutinin
baru dapat dikatakan hasilnya positive secara signifikan. Sayangnya hal
ini jarang ditemukan karena penggunaan antibiotik pada awal penyakit
bisa mencegah meningkatnya titer agglutinin.17,18 Hal ini berbeda dengan
tes TUBEX yang fokus mendeteksi Ig M yang secara teoritis muncul
lebih awal daripada Ig G. Bahkan penelitian terbaru mengatakan bahwa
tes TUBEX yang dimodifikasi mampu mendeteksi bukan hanya
antibody melainkan antigen s.typhi , sehingga tes ini sangat berguna
22

pada fase akut. Hal ini menyebabkan tingginya angka sensitivitas tes
TUBEX.16,19
4. Meningkatnya penggunaan vaksin typhoid menyebabkan meningkatnya
angka false positive pada uji Widal. Hal ini terjadi karena
meninggkatnya agglutinin level secara persisten pada H agglutinin dan
transient pada O agglutinin, yang terjadi baik pada non-infected
population maupun pada febrile non-typhoid patients karena anamnestic
response16,

20, 21

Hal ini belum pernah dilaporkan pada pemeriksaan

dengan menggunakan tes TUBEX. Tentu saja ini sangat berpengaruh


pada penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan meningkatkan angka
resistensi obat. Untungnya hal ini dapat diatasi dengan mengulangi tes
Widal pada minggu berikutnya, karena tidak akan terjadi peninggkatan
lagi pada hasil tes ulangan tersebut.17,19
5. Sensitivitas dan spesifistas yang cukup berbeda, pada suatu penelitain
oleh Olsen, Sonja et al, 2004 menyebutkan perbedaan antara tes TUBEX
dan uji Widal yaitu; sensitivitas (78/64); spesifisitas (94/76); positive
predictive value (98/88); dan negative predictive value (59/43). 16
Beberapa penelitian lain menunjukan sensitivitas dan spesifisitas
TUBEX yang lebih tinggi lagi yaitu 94,7% dan 80,4%-93%.16-21
6. Harga TUBEX 4 U.S dollar dan Widal 0,5 U.S dollar, harga ini dilihat
dari penelitian di Vietnam, akan tetapi harga ini belum termasuk biaya
transportasi.9
7. Persamaan yang dimiliki oleh kedua tes ini dan sangatlah penting adalah
proses pengerjaan yang relatif mudah; simpel (one-step); tidak
membutuhkan alat-alat canggih dan mahal, sehingga kedua tes ini dapat
diterapkan pada daerah edemik yang cenderung merupakan negara
berkembang. 9
Masih banyak lagi kelemahan uji widal seperti nilai dari uji ini yang
sangat dipengaruhi oleh operator yang bekerja dll. Bebrapa hal diatas
menunjukan bahwa tes TUBEX dapat menutupi kelemahan dari uji Widal dan
memiliki keunggulan dari tes Widal.11

23

Gambar 5 : Perbandingan Test TUBEX TF dan Uji Widal 17


2.7.2 Perbandingan tes TUBEX dengan ELISA
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) adalah sebuah tes untuk
mendeteksi adanya antibody Ig G, Ig A, dan Ig M anti-LPS salmonella typhi. 17
Antigen yang digunakan berupa subselular struktur yaitu LPS, outer membrane (OM),
flagella (d-H) yang sangat spesifik terhadap s.typhi, yang paling bagus memberikan
hasil adalah LPS dan OM antigen.16 Tes uji diagnostik ini jauh lebih sensitive dan
spesifik daripada uji Widal. Oleh karena itu, tes ini hanya perlu menggunakan satu
kali tes sempel darah pasien untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak seperti
uji Widal yang memerlukan penggulangan.16,20 Adapun yang akan dibahas disini
adalah tes ELISA yang mendeteksi antibody Ig M anti-LPS karena antibody ini lebih
24

dahulu muncul daripada Ig G, sehingga dapat digunakan pada fase akut dan memiliki
nilai yang akurat dengan hanya satu kali pemeriksaan.19
Prinsip dari tes ini adalah dengan menggunakan serum pasien yang telah
diencerkan (pengenceran serum mengandung sorbent untuk menghilangkan
rheumatoid factor dan human Ig G) kemudian ditambahkan dengan antigen yang
telah dimurnikan (antigen spesifik LPS s.typhi). Jika terdapat antibody spesifik Ig M,
maka antibody ini akan berikatan dengan antigen sehingga tebentuklah antibodyantigen komplek. Setelah itu dilakukan pencucian untuk menghilangkan semua
material yang tidak berikatan. Selanjutnya ditambahkan enzyme conjugate yang
nantinya akan berikatan dengan antibody-antigen komplek. Kemudian dilanjutkan
kembali dengan pencucian untuk menghilangkan enzyme conjugate yang berlebihan
dan dilanjutkan dengan penambahan substrat. Setelah itu plate tempat reaksi tersebut
terjadi diinkubasi untuk membiarkan proses hydrolysis substrat oleh enzyme terjadi.
Warna yang terbentuk akan sesuai dengan proporsi jumlah dari antibody spesifik Ig M
yang terdapat pada sempel serum.18,19,20
Walaupun terdapat fakta bahwa TUBEX merupakan tes yang subjektif dan
semiquantitative dan ELISA merupakan tes yang objektif dan quantitative, terdapat
hal yang sangat menarik, yaitu dalam suatu penelitan yang dilakukan oleh Lim et al,
1998 yang membandingkan antara tes TUBEX dengan ELISA didapatkan bahwa
TUBEX memiliki hubungan yang sangat baik dengan ELISA yang mendeteksi antiLPS s.typhi (P = 0,003). Hal ini dikarenakan kedua tes tersebut menggunakan antigen
(anti-LPS s.typhi yang sangat spesifik terhadap salmonella typhi) dan mendeteksi
antibody Ig M yang sama. Oleh karena itu, kedua tes ini memiliki sensetivitas (100% /
100%) dan spesifisitas (100% / 96.9%) yang sama-sama tinggi.20,21
Keunggulan lain yang dimiliki oleh tes TUBEX adalah tes ini lebih simpel dari
ELISA yang menggunakan multi-step. Meskipun memiliki proses kerja yang lebih
rumit ELISA memiliki korelasi dengan TUBEX seperti dijelaskan diatas.
Transformasi dari ELISA menjadi TUBEX bisa menjadi mungkin dengan cara
menggunakan magnetic particle untuk memisahkan indicator particle yang tidak
melakukan ikatan yang terjadi pada tes TUBEX, sedangkan pada ELISA dilakukan
dengan cara pencucian hasil reaksi.18-21

25

BAB III
KESIMPULAN

Penegakan diagnosis demam tifoid harus dilakukan dengan cepat dan akurat
agar penanganannya menjadi lebih efektif. Sehingga saat ini, gold standard yang
digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti demam tifoid adalah bila ditemukan
bakteri Salmonella typhi dalam biakan darah, urin, feses, atau sumsum tulang.
Masalahnya pemeriksaan kultur memerlukan tenaga yang banyak dan waktu yang
lama. Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen Salmonella typhi

26

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan
pada demam tifoid ini meliputi uji Widal, tes TUBEX, metode enzyme immunoassay
(EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan pemeriksaan
dipstik. Uji serologis sekarang rutin dan luas digunakan dalam mendiagnosis demam
tifoid sejak diperkenalkannya uji widal pada tahun 1896. Uji widal masih menjadi uji
serologis rutin di berbagai daerah endemik, namun uji ini memiliki banyak kelemahan
seperti rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta manfaatnya masih diperdebatkan
dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar
aglutinasi (cut-off point). Akhir-akhir ini sudah banyak ditemukan uji-uji serologis
baru yang lebih cepat dan akurat dalam mendiagnosis demam tifoid. Pemeriksaan
IgM anti Salmonella (tes TUBEX) merupakan salah satu dari uji serologis tersebut
yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Tes ini
dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dan dapat digunakan untuk pemeriksaan secara
rutin karena cepat, lebih akurat, mudah dan sederhana.

DAFTAR PUSTAKA
1. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;718.
2. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
Eds. Nelson Textbook of Pediatrics, edisi 16. Philadelphia : WB Saunders,
2000:842-8.
3. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam :
Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
27

4. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :


Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
5. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H,
Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit
Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.
6. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
7. Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh CL,
Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90s. Singapore :
World Scientific, 1992:1-2.
8. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
9. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.
10. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunters Textbook of
Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-58.
11. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation
of bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever : relationship
between counts and clinical features. J Clin Microbiol 2001;39(4):1571-6.
12. Choo KE, Lim WY, Razif AR, Ariffin WA, Oppenheimer SJ, Abraham T.
Usefulness of the Widal test in childhood typhoid fever. Dalam : Pang T, Koh
CL, Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90s. Singapore :
World Scientific, 1992:200. [Abstract]
13. Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M. One-step 2-minute test to
detect typhoid-specific antibodies based on particle separation in tubes. J Clin
Microbiol 1998;36(8):2271-8.
14. Purwaningsih S, Handojo I, Prihatini, Probohoesodo Y. Diagnostic value of
dot-enzyme-immunoassay test to detect outer membrane protein antigen in
sera of patients with typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health
2001;32(3):507-12. [Abstract]
15. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P.
Diagnosis of typhoid fever by detection of Salmonella typhi antigen in urine. J
Clin Microbiol 1992;30(9):2513-5. [Abstract]
16. Fadeel MA, Crump JA, Mahoney FJ, Nakhla IA, Mansour AM, Reyad B, et al.
Rapid diagnosis of typhoid fever by enzyme-linked immunosorbent assay
28

detection of Salmonella serotype typhi antigens in urine. Am J Trop Med Hyg


2004;70(3):323-8. [Abstract]
17. Gasem MH, Smits HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of a simple
and rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med
Microbiol 2002;51:173-7.
18. Razel L. Kawano, et al. 2007. Comparison of Serological Test Kit for
Diagnosis of Typhoid Fever in the Philippines. Journal of Clinic Microbiology
45(1):246-247
19. Hatta M, Goris MG. Simple dipstick assay for the detection of Salmonella
typhi-specific IgM antibodies and the evolution of the immune response in
patients with typhoid fever. Am J Trop Med Hyg 2002;66(4):416-21.
[Abstract]
20. Gopalakhrisnan V, Sekhar WY, Soo EH, Vinsent RA, Devi S. Typhoid fever in
Kuala Lumpur and a comparative evaluation of two commercial diagnostic
kits for the detection of antibodies to Salmonella typhi. Sing Med J
2002;43(7):354-8.
21. Pang T. Molecular biology as a diagnostic tool in Salmonellosis. Dalam :
Sarasombath S, Senawong S, Eds. Second Asia-Pacific symposium on typhoid
fever and other Salmonellosis. Thailand : SEAMEO Regional Tropical
Medicine and Public Health Network, 1995:213-6.

29

Anda mungkin juga menyukai