Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Anestesi pada pembedahan mata merupakan tantangan untuk ahli anestesi karena
sangat berperan pada berhasil tidaknya operasi mata. Pasien yang menjalani operasi mata
sangat bervariasi mulai dari bayi sampai usia lanjut dengan berbagai masalahnya. Dengan
semakin berkembangnya teknik anestesi dan tersedianya obat-obat anestesi yang relatif
lebih aman, maka seorang ahli anestesi dapat melakukan tindakan atau prosedur anestesi
yang tepat dan aman sehingga kondisi pasien tersebut dapat optimal untuk dilakukan
pembedahan tertentu, dan pasca operasi akan tercapai kondisi seperti yang diharapkan.
Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengingatkan kembali apa saja yang
perlu dipersiapkan untuk mencapai kondisi yang optimal. Hal-hal yang perlu diperhatikan
antara lain dengan seleksi pasien melalui kunjungan pre operatif sebelumnya, evaluasi
perioperatif, persiapan operasi, dan monitoring selama operasi. Pemahaman mengenai
anatomi mata dan efek obat anestesi pada tekanan intraokuler (TIO) serta fisiologi mata
penting untuk pembuatan keputusan penatalaksanaan anestesi pada kasus- kasus seperti
strabismus, injeksi gas intravitreal, refleks okulokardiak (OCR) dan retinopati
prematuritas.
Keberhasilan operasi intraokuler tergantung dari kestabilan TIO. Pada anestesi
yang tidak adekuat dapat menimbulkan refleks-refleks yang dapat membahayakan pasien.
Gejala peningkatan refleks ini dapat memberikan perubahan fungsi organ jantung, sistem
respirasi, dan gastrointestinal. Refleks tersebut antara lain refleks okulo kardiak (OCR),
refleks okulo respiratorik (ORR), dan refleks okulo emetik (Thaib, 1999).
Refleks okulo kardiak merupakan refleks trigeminovagal dengan manifestasi
aritmia jantung yang dapat berupa bradikardia, denyut jantung ektopik, ventrikuler
takikardia, atau asistole yang dapat menjadi berbahaya bila tidak diantisipasi dan
ditangani dengan segera. Insidensi OCR paling sering terjadi pada operasi strabismus
pada anak-anak juga pada operasi retina dan operasi non mata yang mengakibatkan
penekanan atau tarikan pada bola mata (Miller, 1990).
Dari analisis yang dilakukan Gild et al, 1992 menemukan bahwa 30 % perlukaan
pada mata berhubungan dengan anestesi yang kurang dalam sehingga terjadi gerakan
pasien selama operasi mata. Untuk itu strategi untuk memastikan imobilitas pasien sangat
diperlukan (Donlon, 2005).

ANATOMI MATA
Bola mata bersama ligamentum, fascia, dan otot-otot ekstra okuler berada dalam
ruang orbita yang berbentuk seperti piramida yang tersusun atas tulang frontalis,
zygomaticum, sphenoidalis, maksilaris, palatinus, lakrimalis, dan ethmoidalis. Bagian
tepi atas orbita ada lekukan atau kanal dekat akhir medial untuk transmisi syaraf supra
orbita dan foramen di bawah tepi bagian bawah untuk transmisi syaraf infraorbita.
Penunjuk ini digunakan untuk prosedur blok retrobulber, peribulber atau teknik blok yang
lain dan untuk injeksi obat anestesi lokal yang akan memblok di daerah syaraf tersebut
(Nicoll, 1998).
Bola mata terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Lapisan paling luar fibrosa sklera yang berhubungan ke depan dengan kornea dan
keduanya ditutup oleh konjunctiva yang merupakan permukaan dalam dari
pelpebra. Fungsi dari sklera sebagai proteksi, memberikan rigiditas untuk
memberi bentuk bola mata
2. Lapisan tengah yaitu lapisan vaskuler tersusun oleh koroid di bagian posterior,
badan silier dan iris di bagian anterior
3. Lapisan dalam syaraf retina
Struktur penting lainnya yang mengelilingi bola mata adalah otot-otot
ekstraokuler. Gerakan bola mata dimungkinkan dengan adanya otot-otot bola mata yang
terdiri dari :
1. Muskulus rektus medialis
2. Muskulus rektus lateralis
3. Muskulus rektus superior
4. Muskulus rektus inferior
5. Muskulus oblikus superior
6. Muskulus oblikus inferior
Keempat muskulus rektus berorigo pada anulus fibrosus pada apeks orbita dan
insersionya pada sklera membentuk ruangan berupa konus otot berisi syaraf, arteri dan
vena.

Otot-otot bola mata mendapatkan persyarafan dari nervus kranialis adalah sebagai
berikut :
1. Nervus okulomotorius (N III) mempersyarafi : muskulus rektus medialis,
muskulus rektus superior, muskulus rektus inferior, muskulus oblikus inferior dan
muskulus levator palpebra superior
2. Nervus troklearis (N IV) bersifat motorik mempersyarafi muskulus oblikus
superior
3. Nervus abdusens (N VI) bersifat motorik mempersyarafi muskulus rektus lateralis
Gambar 1. Struktur otot bola mata

PATOFISIOLOGI
Tekanan Intra Okuler
Tekanan intra okuler normal berkisar antara 12-20 mmHg. Faktor yang paling
mempengaruhi TIO adalah pergerakan humor akuos, perubahan pada volume darah
koroidal, tekanan vena sentral (CVP), dan tonus otot ekstraokuler. Penentu fisiologis TIO
adalah keseimbangan antara produksi humor akuos, yang merupakan cairan yang
diproduksi korpus siliaris di kamera okuli posterior, dan eliminasinya melalui sistem vena

episkleral melalui spaces of fontana dan canalis schlem pada sudut iridokorneal (Donlon,
2005; Nunn et al, 1989; Morgan, 2002).
Humor akuos disekresi secara aktif oleh prosesus siliaris pada kamera okuli
posterior dan bersirkulasi melalui iris masuk ke dalam kamera okuli anterior.

Gambar 2. Sirkulasi humor akuos

Tabel 1. Faktor- faktor yang mempengaruhi TIO


Faktor yang meningkatkan TIO

Mekanisme

Obat midriatik

Menutup sudut iridokorneal

Gerakan pasien, batuk, mengejan, muntah,

Meningkatkan CVP sehingga meningkatkan aliran

kongesti vena

darah koroidal (CBV)

Peningkatan otot tonus ekstraokuler

Mempengaruhi pusat pengatur TIO di diencephalon

Hipertensi

Meningkatkan CBV

Injeksi cairan 8-10 ml ke orbita (misalnya.


peribulbar blok)
Asidosis respiratorik dan hiperkarbia, hipoksia

Peningkatan tekanan di koroidal


Vasodilatasi pembuluh darah koroidal sehingga

meningkatkan CBV

Faktor yang menurunkan TIO


Depresan SSP (barbiturat, agen anestesi volatil)
Manitol, ganglionik bloker
Asetazolamid

Mekanisme
Mendepresi pusat TIO di diencephalon
Menurunkan CBV
Menurunkan enzym karbonik anhidrase yang
dibutuhkan untuk pembentukan humor akuos
Menurunkan CBV
Vasokonstriksi pembuluh darah koroidal dan

Hipotensi (sistolik <90 mmHg)


Hipokarbia

menurunkan karbonik anhidrase


Posisi head up
Menurunkan CBV
Sumber : (Donlon, 2005; Acquadro, 1993; Nunn et al, 1989; Morgan, 2002)

Pengaruh Obat Anestesi Pada TIO


Kebanyakan

obat

anestesi

menurunkan

TIO.

Secara

umum

mereka

merelaksasikan otot ekstraokuler, mendepresi SSP (diencephalon), memperbaiki alliran


keluar humor akuos, menurunkan CVP dan tekanan arteri sistemik. Hanya suksinilkolin
dan ketamin yang menigkatkan TIO. Laringoskopi dan intubasi endotrakeal juga
meningkatkan TIO (Donlon, 2005; Nunn et al, 1989; Morgan, 2002).
Atropin, skopolamin, dan glikopirolat yang diberikan intramuskuler untuk
premedikasi tidak menimbulkan efek bermakna pada TIO. Tetapi pemberian
antikolinergik secara topikal yang menyebabkan midriasis dapat meningkatkan TIO.
Diazepam dan midazolam pada dosis besar dapat menyebabkan midriasis. Hal ini harus
dihindari pada pasien dengan glaukoma sudut sempit. Thiopental 3 mg/kg menurunkan
TIO, sedangkan propofol 2 mg/kg akan menurunkan TIO sebesar 40 %. Morfin
intramuskuler atau intravena menurunkan TIO, demikian juga dengan opioid sintetik
pada pemberian intravena. Ketamin mempunyai efek yang bervariasi. Pada pemberian
awal disebutkan bahwa ketamin meningkatkan TIO, tetapi ketamin yang diberikan
setelah premedikasi dengan diazepam dan meperidin tidak berpengaruh terhadap TIO.
Pemberian kecil intramuskuler pada anak menurunkan TIO (Donlon, 2005).
Suksinilkolin meningkatkan TIO sekitar 4-6 menit tetapi secara bermakna
meningkatkan

TIO

10-20

mmHg.

Mekanismenya

belum

jelas,

kemungkinan

berhubungan dengan fasikulasi otot. Pemberian prekurarisasi, diazepam, -adrenegik


bloker, asetazolamid atau suksinilkolin sendiri akan mengurangi peningkatan TIO.
5

Laringoskopi dan intubasi meniongkatkan TIO 10-20 mmHg. Pemberian obat


seperti lidokain intravena (1,5 mg/kg) atau sufentanyl (0,05-0,15 g/kg) 3-5 menit
sebelum induksi atau klonidin oral (0,5 g/kg) 2 jam sebelum induksi dapat
menghilangkan respon TIO pada intubasi.
Tabel 2. Efek obat anestesi terhadap TIO
Efek pada
TIO

Obat
Anestesi inhalasi
Agen volatil

Nitrous oksida

Anestesi intravena
Barbiturat

Bensodiazepin

Ketamin

Narkotik

Pelumpuh otot
Depolarisasi
(suksinilkolin)

Nondepolarisasi

Sumber : Morgan, 2002

Pengaruh Posisi Pada TIO


Perubahan posisi dapat juga mempengaruhi TIO. Posisi prone akan meningkatkan
tekanan peritoneal, CVP, tekanan puncak inspirasi dan TIO. Pada pasien tanpa glaukoma
TIO tidak meningkat selama operasi laparoskopi singkat yang membutuhkan
pneumoperitoneum pada posisi litotomi. TIO terlihat meningkat pada pasien yang
teranestesi pada posisi supine head down (Trendelendberg). Mekanisme peningkatan ini
mungkn berhubungan dengan tekanan vena episklera yang meningkat (Cheng, 2001).
Friberg menemukan adanya peningkatan TIO 1 mmHg untuk setiap 0,83 + 0,21
mmHg peningkatan tekanan vena episklera. Posisi head down ringan bisa digunakan bila
dengan posisi prone akan meningkatkan TIO. Bagaimanapun posisi kepala netral atau
posisi head up akan mencegah peningkatan TIO pada posisi prone (Friberg, 1985).
REFLEKS OKULO KARDIAK (OCR)

Traksi otot ekstraokuler atau tekanan pada bola mata dapat menyebabkan
disritmia berupa bradikardi atau ektopi ventrikuler sampai henti sinus atau fibrilasi
ventrikuler. Refleks ini biasanya terjadi pada anak yang menjalani operasi strabismus
tetapi dapat juga terjadi pada semua kelompok umur pada berbagai prosedur termasuk
enukleasi, ekstraksi katarak, dan operasi ablatio retina (Morgan, 2002; Donlon, 2005).
OCR adalah refleks trigeminovagal yang khas pada klinis terjadi bradikardi dan
gangguan irama jantung akibat manipulasi pada mata khususnya setelah traksi pada otot
eksternal (Gilani et al, 2005).

Gambar 3. Skema patofisiologi refleks okulo kardiak

Jalur aferen mengikuti n.ciliaris longus dan brevis ke ganglion ciliaris lalu ke
ganglion gaseri di sepanjang bagian ophtalmik n.trigeminus (n. V). Jalur aferen berakhir
di nukleus trigeminus utama di dasar ventrikel IV. Impuls eferen dimulai di otot dari n.

Vagal kardiak depresor yang menyebabkan inotropik negatif dan efek konduksi (Vassalo
et al, 1993; Donlon, 2005, Gilani et al, 2005).
Kekuatan dan tipe stimulus menentukan insidensi OCR. Makin akut dan kuat
serta bertahannya traksi, OCR lebih mungkin muncul. M. Rektus medialis dianggap
paling sensitif terhadap kejadian OCR, hal ini dikarenakan letaknya yang kurang
aksesibel sehingga membutuhkan manipulasi lebih banyak serta otot ini paling banyak
dimanipulasi selama operasi strabismus. Hipoventilasi dan peningkatan pCO 2 secara
bermakna meningkatkan insidensi bradikardi (Donlon, 2005).
Premedikasi dengan antikolinergik sering menolong dalam mencegah OCR.
Atropin dan glikopirolat intravena sesaat sebelum pembedahan lebih efektif daripada
pemberian intramuskuler. Glikopirolat lebih sedikit menimbulkan takikardi dibanding
atropin. Harus diingat pemberian antikolinergik berbahaya terutama pada orang tua yang
sering mempunyai penyakit arteri koroner. Anestesi dalam dan blok retrobulber lebih
berguna, tetapi blok retrobulber sendiri dapat menyebabkan OCR. Penggunaan rutin
masih kontroversial (Morgan, 2002; Donlon, 2005).
Penelitian oleh Gilani, 2005 bahwa atropin 15 g/kg efektif dalam mencegah
terjadinya OCR. Dari 60 pasien yang diteliti 70% kejadian OCR dan 33 % kejadian
bradikardi terjadi pada grup yang tidak mendapat premedikasi atropin sebelumnya
sedangkan grup atropin hanya 10% dari sample terjadi OCR dan tidak ada yang
mengalami bradikardi (Gilani et al, 2005).
Apabila terjadi OCR, penatalaksanaan yang dilakukan :
1.

Penghentian manipulasi pada mata sampai denyut nadi meningkat

2.

Konfirmasi ventilasi yang adekuat, oksigenasi, dan kedalaman anestesi

3.

Pemberian atropin 10 g/kg iv jika denyut nadi masih belum meningkat


setelah manipulasi dihentikan

4.

Pada periode yang sulit dikendalikan, infiltrasi m. rectus dengan anestesi lokal
Refleks akan melemah dengan sendirinya dengan penarikan otot ekstraokuler

berulang (Morgan, 2002; Donlon, 2005).


GENERAL ANESTESI PADA OPERASI MATA

Pemilihan antara anestesi umum dan lokal harus diputuskan bersama pasien,
anestesiologis, dan operator. Belum ada kesimpulan prosedur mana yang lebih aman.
Anestesi lokal dapat menyebabkan ketakutan pasien karena tetap sadar selama operasi
atau nyeri yang tidak tertangani secara adekuat. Anestesi umum diindikasikan untuk
pasien yang tidak kooperatif, karena gerakan kepala sedikit saja dapat berbahaya pada
pembedahan

mikro,

dan

pada

tehnik

pembedahan

dimana

anestesi

lokal

dikontraindikasikan (Morgan, 2002).


Premedikasi
Pasien yang akan menjalani pembedahan mata dapat beragam, khususnya yang
akan menjalani prosedur multipel dan kemungkinan terjadi kebutaan permanen. Pasien
dewasa seringkali tua dengan berbagai penyakit sistemik (hipertensi, DM, penyakit arteri
koroner). Semua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat
premedikasi. (Morgan, 2002).
Pada pasien pediatrik dengan kelainan mata kongenital sering diikuti dengan
kelainan kongenital organ lain dan memerlukan penanganan khusus (Vasallo et al, 1999;
Donlon, 2005).
Premedikasi yang ideal harus bisa mengendalikan ansietas dan PONV tanpa
mempengaruhi TIO. Tidak ada bukti pemberian atropin i.m. akan meningkatkan TIO,
meskipun pada pasien glaukoma. Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam adalah
ansiolisis yang efektif serta mempunyai kemampuan amnestik. Tetapi harus dihindari
dosis yang besar karena dapat menyebabkan midriasis, hal ini harus dihindari pada pasien
glaukoma sudut sempit. Midazolam 2-4 mg i.m.30 menit preoperatif atau 1-2 mg i.v.
segera sebelum retrobulber blok atau sebagai alternatif diazepam 5-10 mg p.o. 1 jam
preoperatif bisa digunakan dan sangat efektif digunakan. (Acquadro, 1993).
Narkotik, jika digunakan harus diberikan dengan kombinasi antiemetik seperti
promethazine (phenergan), hidroksizin (vistaril), atau droperidol. Barbiturat memberikan
tingkat sedasi yang bervariasi dengan durasi yang panjang tetapi tidak memberikan
analgesia, amnesia, atau pengendalian ansietas (Acquadro, 1993).
Induksi

Pemilihan tehnik induksi untuk operasi mata biasanya tergantung lebih ke arah
kondisi medis pasien daripada penyakit matanya atau tipe pembedahannya. Pengecualian
pada pasien ruptur bole mata yang kuncinya adalah menjaga TIO dengan induksi yang
smooth. Batuk selama intubasi harus dihindari dengan anestesi yang dalam dan paralisis
yang cukup. Respon TIO terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat dihindari
dengan pemberian lidokain i.v. 1,5 mg/kg atau fentanyl 3-5 g/kg. Pelumpuh otot non
depolarisasi bisa digunakan untuk menggantikan suksinilkolin (Morgan, 2002; Acquadro,
1993; Donlon, 2005; Nunn et al, 1989)
Monitoring dan Maintenance
Operasi mata sering menjauhkan anestesiologis dari airway pasien. Membuat
pulse oksimetri sangat dibutuhkan untuk pemantauan. Monitoring sirkuit dari kebocoran
atau ekstubasi yang tidak disengaja sangat penting. Kemungkinan kinking atau obstruksi
ET bisa diminimalisir dengan menggunakan reinforced ET atau preformed right angle
ET. Kemungkinan disritmia karena OCR membutuhkan monitoring EKG. Pada anak
suhu sering meningkat selama operasi mata karena penutupan dari kepala sampai ujung
kaki. Analisis end tidal CO2 dapat membantu membedakan hal tersebut dengan
hipertermi maligna (Morgan, 2002).
Nyeri dan stress oleh pembedahan mata termasuk lebih sedikit dibandingkan
pembedahan intra abdominal. Kurangnya stimulasi kardiovaskuler dan kebutuhan untuk
anestesi yang adekuat dapat berakibat hipotensi pada pasien tua. Problem ini dapat
dihindari dengan memberikan hidrasi i.v. yang adekuat serta memberikan efedrin dosis
kecil 2-5 mg atau memantapkan paralisis intraoperatif dengan pelumpuh otot non
depolarisasi yang memungkinkan level anaestesi yang lebih ringan (Morgan, 2002).
Muntah akibat stimulasi vagal merupakan masalah post operatif yang umum
khususnya setelah operasi strabismus. Efek valsava dan peningkatan CVP yang menyertai
muntah dapat merugikan pembedahan dan meningkatkan resiko aspirasi. Pemberian
metoklopramid intraoperatif 10 mg pada dewasa atau dosis kecil droperidol 20 g/kg
akan berguna. Ondansetron karena mahal diberikan khusus pada pasien yang mempunyai
riwayat mual muntah post operatif (Morgan, 2002).
Ekstubasi dan Pemulihan

10

Walaupun materi untuk penjahitan modern dan tehnik penutupan luka mengurangi
resiko dehisensi, pemulihan yang smooth tetap dibutuhkan. Batuk selama ekstubasi dapat
dicegah dengan ekstubasi selama pasien masih teranestesi dalam. Pada saat operasi
berakhir obat pelumpuh otot direverse dan nafas spontan akan kembali. Agen anestesi
diteruskan selama penyedotan jalan nafas, N2O dihentikan dan lidokain i.v. 1,5 mg/kg
dapat diberikan untuk menumpulkan refleks batuk. Ekstubasi membutuhkan waktu 1-2
menit setelah lidokain diberikan dan selama respirasi spontan 100% oksigen. Kontrol
airway yang tepat sangat penting sampai refleks batuk dan menelan kembali. Tetapi
tehnik ini tidak tepat untuk pasien dengan resiko aspirasi (Morgan, 2002; Acquadro,
1993; Donlon, 2005; Nunn et al, 1989).
Nyeri post operatif yang berat tidak lazim pada operasi mata. Skleral buckling,
enukleasi, dan repair ruptur bola mata merupakan prosedur yang paling menyakitkan.
Dosis kecil narkotik i.v. dapat diberikan (mis. 15-25 mg meperidin untuk dewasa)
biasanya cukup. Nyeri yang berlebihan merupakan tanda hipertensi intraokuler, abrasi
kornea, atau komplikasi pembedahan yang lain (Morgan, 2002).
ANESTESI UNTUK PEMBEDAHAN INTRAOKULER
Tujuan utamanya adalah mencegah peningkatan TIO dan bila mungkin
mengurangi TIO. Sebaliknya bola mata bisa terlalu lunak sehingga ahli mata sulit untuk
melakukan tindakan seperti memasang lensa implant, ini jarang terjadi tapi biasa terjadi
pada orang tua. Bahaya peningkatan TIO mendadak terutama akibat batuk atau mengejan
yang bisa menyebabkan prolaps iris pada saat pembukaan mata disebabkan oleh
pergeseran ke anterior diafragma iris lensa, diikuti oleh kebocoran vitreus, perdarahan
retinal dan perdarahan koroideal yang bisa sangat masif sehingga menyebabkan
perdarahan ekspulsif (Nunn et al, 1989).
Masalah lain yang harus dihindari adalah muntah dan batuk yang dapat dicegah
dengan menghindari agen opioid, penggunaan antiemetik dan intake cairan yang adekuat.
Antiemetik seperti metoklopramid secara rutin diberikan sebelum dan selama
pembedahan. Analgesia sering diperlukan kecuali setelah koreksi strabisnus atau operasi
ablasio retina (Nunn et al, 1989).

11

ANESTESI PADA GLAUKOMA


Prinsip anestesi pada operasi glaukoma adalah menjaga TIO tidak meningkat
sehingga tidak membahayakan mata. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah penggunaan
obat topikal obat tetes mata yang mengandung antikolinesterase (mis. ecothiopate) yang
biasanya dipakai pada pasien glaukoma mempermudah terjadinya bradikardi dan aritmia.
Karena itu premedikasi dengan sulfas atropin 10 g/kg i.m. 1 jam sebelumnya sangat
berguna untuk pencegahan. Pada dosis tersebut sulfas atropin tidak menimbulkan
midriasis (Nunn et al, 1989).
Usaha untuk menurunkan TIO biasanya dilakukan oleh ahli mata dengan
mengunakan asetazolamid, walaupun dengan peneliian Wilson, 1974 justru akan
meningkatkan CBV 2-3 kali normal selama 50 menit. Penurunan cepat TIO pada
glaukoma akut sudut tertutup dicapai dengan manitol 20% i.v. 1,5 mg/kg. Pemberian
manitol untuk operasi elektif harus dimulai 45 menit sebelum operasi. Diuresis yang
terjadi akan memerlukan pemasangan kateter urin sebelum pasien sadar, hal ini bisa
menjadi masalah terutama pada pasien laki- laki tua yang menderita hipertrofi prostat dan
infeksi. Pada beberapa pusat memakai gliserol oral baik sendiri maupun bersama manitol
akan meningkatkan resiko regurgitasi (Nunn et al, 1989).
Retinopati prematuritas
Pada bayi prematur yang dapat hidup, 50% mengalami retinopati prematuritas.
Hal ini berhubungan dengan kondisi hiperoksik selama perawatan neonatal. Kondisi lain
yang berhubungan dengan retinopati adalah hipoksia, hiperkarbia, hipokarbia, sepsis, dan
apneu. Bayi dengan kondisi ini seringkali mempunyai riwayat imaturitas umum, apneu,
bradikardi, PDA, intraventrikuler displasia, hipoksia, dan hambatan perkembangan.
Diperlukan intervensi pembedahan awal (1-4 minggu) untuk ablasi retina yang avaskuler
dengan cryoterapi, juga untuk menghilangkan pelepasan faktor vasoproliferatif (Donlon,
2005).
Tekanan kapiler oksigen harus dijaga 35-40 mmHg dan tekanan oksigen arterial
dijaga pada 50-70 mmHg pada bayi prematur. Problem pada anestesiologis adalah
imbangan antara resiko kerusakan akibat hipoksia dan problem respirasi (Donlon, 2005).

12

Pada saat pembiusan dihindari pemaparan oksigen konsentrasi tinggi yang lama
selama periode imaturitas retinal (misal 8 bulan). Tekanan arterial O2 60-90 mmHg bisa
dicapai dengan memberikan campuran O2 dengan udara bebas atau O2 dengan N2O dan
saturasi dengan pulse oksimetri dipertahankan pada 90-95% (Donlon, 2005).
ANESTESI PADA PEMBEDAHAN NON INTRAOKULER
Dacryocystorhinostomy
Operasi ini berhubungan dengan perdarahan dan beberapa ahli anestesiologi lebih
memilih tehnik hipotensi. Posisi head up pada operasi ini harus diwaspadai, pada tehnik
anestesi terutama untuk menjaga peningkatan CVP atau PaCO2 dan infiltrasi daerah
operasi dengan vasokonstriktor. Resiko sepsis bisa terjadi bila terdapat kontaminasi dari
aparatus lakrimalis yang terinfeksi. Penyusutan mukosa dengan menggunakan coccain
(100-200 mg) sangat disarankan. Penggunaan pack pada tenggorokan juga berguna untuk
menyerap darah, tetapi harus dicek ulang pada akhir operasi dan ujung dari pack harus
berada di luar atau ditandai dengan forcep (Nunn et al, 1989).
Ablasio retina
Walaupun operasi ini tidak merupakan operasi intraokuler tetapi harus
diperlakukan seperti operasi intraokuler karena bola mata dapat secara tidak sengaja
terbuka khususnya pada sklera yang secara abnormal tipis. Operasi untuk ablasio retina
menyebabkan banyak retraksi pada mata dan terdapat bahaya bradikardi dan aritmia
jantung akibat OCR. Pada beberapa pusat digunakan posisi head down untuk ablasio
yang besar dengan menggunakan gravitasi untuk menempelkan kembali retina (Nunn et
al, 1989).
Injeksi intravitreal udara atau sulfur hexafluorida (SF6) digunakan untuk
menempelkan kembali retina. Absorbsi SF6 sangat lambat (10 hari) dibanding udara (5
hari). Solubilitas N2O 34 kali solubilitas N, koefisien difusi hampir sama karena sifat
tersebut N2O masuk ke dalam ruang berisi udara lebih cepat daripada N yang
meninggalkan ruangan sehingga akan meningkatkan tekanan intraokuler, volume, atau
keduanya. Solubilitas N2O 117 kali SF6 dan koefisein difusinya 2 kali lipat. Ketika SF6
diinjeksikan intravitreal menggantikan udara, dan N2O tetap digunakan maka volume gas

13

yang diinjeksikan akan meningkat 3 kali lipat dalam 19 menit. TIO akan meningkat 1430 mmHg dan ukuran gelembung serta TIO akan menurun (dari 29 ke 12 mmHg) dalam
18 menit setelah penghentian N2O. Karena wash out N2O berkisar 10 menit, maka
pemakaian N2O harus dihentikan sekitar 20 menit sebelum injeksi gas intravitreal.
Beberapa anestesiologis memilih menghindari penggunaan N2O pada pasien yang
direncanakan injeksi intravitreal SF6. Selanjutnya N2O harus dihindari selama 5 hari pada
pasien yang diinjeksi intravitreal udara dan lebih dari 10 hari pada injeksi intravitreal SF6
(Nunn et al, 1989; Donlon, 2005).
Strabismus
Problem anestesi yang ada berhubungan dengan masalah spesifik pada anestesi
anak dan terjadinya OCR. Refleks ini terjadi akibat tarikan pada otot ekstrinsik pada
mata, terutama m.rectus medialis atau tekanan pada bola mata. Refleks ini juga muncul
pada tarikan bulu mata dan bisa juga dari orbita yang sudah dienuklasi. Kardiak arrest
(asistole) dapat terjadi akibat OCR dilaporkan terjadi 1 kardiak arrest dalam 2200 operasi
strabismus dengan GA (Nunn et al, 1989; Donlon, 2005).
Dosis atropin 1-2 mg dibutuhkan untuk henti sinus. Dengan dosis konvensional
frekuensi kejadian OCR tinggi sekitar 90% pada pasien yang tidak menerima
premedikasi antikolinergik dan 70% pada pasien yang menerima premedikasi atropin i.m.
atau glikopirolat (Nunn et al, 1989; Donlon, 2005).
Aritmia yang terjadi biasanya junctional rhytm dan henti sinus dengan nodal
escape yang diikuti oleh denyut ventrikuler ektopik. Atropin 15 mg/kg i.v. atau
glikopirolat 7,5 mg/kg i.v. efektif pada penelitian 160 kasus operasi strabismus pada
anak. Glikopirolat memerlukan waktu 3-4 menit untuk berefek (Mirakhur et al, 1982).
Obat blokade neuromuskuler yang digunakan selama anestesi yang mempunyai
aksi vagolitik seperti galamin dan pankuronium memberikan perlindungan dari OCR,
tetapi perhatian khusus diperlukan pada pemakaian obat pelumpuh otot seperti atracurium
dan vecuronium yang mempunyai hubungan lebih sedikit pada sistem kardiovaskuler.
Monitoring yang kontinyu pada EKG dan denyut jantung penting sekali selama operasi
mata. Jika terjadi aritmia dan menetap operator harus menghentikan manipulasi
sementara dan membiarkan denyut jantung pulih. Atopin 10-15 mg/kg diberikan, dosis

14

ulangan mungkin diperlukan. Pada saat operator memberikan adrenalin drop (epinefrin)
atau fenilefrin tetes untuk mengurangi perdarahan. Perlu diingat bahwa 1 ml 1:1000
larutan adrenalin sebanading dengan 1 mg adrenalin. Hipertensi dan aritmia dapat muncul
akibat absorbsi mukosal yang dicapai melalui duktus lakrimalis lebih berpengaruh
daripada rute melalui sakus konjuctiva. Sebagai alternatif bisa digunakan larutan
fenilefrin 2,5% pada kecepatan 1 tetes per mata per jam (sama dengan 1,25 mg) (Nunn et
al, 1989).
Pada anak yang menjalani operasi ODC strabismus mengalami PONV antara 4885%. Droperidol 75 g/kg i.v. mengurangi PONV menjadi 16-22%. Pemberian lidokain
i.v. 1,5 mg/kg menjelang intubasi juga mengurangi insidensi PONV sampai 16-20%.
Penurunan bermakna (41%) juga didapatkan dengan menggunakan teknik infus propofol
dan N2O. Insidensi akan menurun sebesar 24% bila penggunaan opioid dihindari.
Penggunaan ondansetron 50 g/kg i.v. dan deksametason 150 g/kg i.v. akan mengurangi
insidensi muntah 9%. Gejala mual muntah pada operasi strabismus mungkin
berhubungan dengan manipulasi otot mata atau nyeri yang menyebabkan OCR.
Profilaktik atropin dan glikopirolat tetap tidak bisa mencegah PONV (Donlon, 2005).
Untuk menghindari PONV pada operasi strabismus dapat dilakukan langkahlangkah sebagai berikut (Donlon, 2005):
1. Penggunaan opioid yang minimal
2. Penggunaan propofol untuk pemeliharaan GA tanpa suplementasi N2O
3. Pemberian serotonin (5HT3) antagonis dan metocloparamid 0,15 mg i.v. selama
anestesi
4. Pemasangan NGT dan pengambilan NGT setelah induksi untuk dekompresi
lambung
5. Manipulasi bedah yang lembut
6. Hidrasi yang adekuat dengan kristaloid
7. Pemberian lidokain di dekat otot ekstraokuler untuk minimalisasi impuls eferen
dan nyeri post operasi pada saat sadar
Anak dengan strabismus mungkin mendapat terapi kontinyu dengan obat tetes
antikolinesterase. Interaksi dengan suksametonium harus dipertimbangkan. Terdapat

15

resiko masuknya cairan ke dalam laring saat operasi yang dilakukan pada bayi saat
memasukkan tube dan menyemprot saluran air mata. Airway harus diamankan dengan ET
walaupun pada prosedur yang pendek. Posisi pasien lateral, head down dan penyedotan
cairan yang lembut dari faring diperlukan pada akhir tiap prosedur dan bisa juga dipakai
pack (Nunn et al, 1989; Donlon, 2005).
RINGKASAN
1. Perlu adanya pemahaman mengenai patofisiologi TIO, OCR, serta efek obat
anestesi pada TIO dan efek sistemik obat mata
2. Pada kasus mata dengan kelainan kongenital harus dipertimbangkan kelainan
kongenital organ lain, sedangkan pada pasien tua juga harus diperhitungkan
penyakit lain yang menyertai
3. Pada anaestesi untuk pembedahan mata intraokuler hal yang paling penting adalah
pengendalian TIO yang akan mempengaruhi hasil dari pembedahan dan
mengurangi komplikasi pembedahan
4. Pada operasi ekstraokuler khususnya strabismus harus diwaspadai insidensi OCR
dan PONV yang tinggi
5. Ventilasi kontrol, anestesia dalam, pemberian antikolinergik, pencegahan
hipoksia, hiperkapnia, hiperkarbi dan kecemasan adalah cara preventif untuk
mencegah OCR
6. Pada operasi dengan penyuntikan gas intravitreal penggunaan N2O perlu
dipertimbangkan kembali

16

DAFTAR PUSTAKA
Acquardo T. Anesthesia for Eye, Ear, Nose and Throat Surgery in Davidson JK, Eckhardt
WF, Parese DA. Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusetts General
Hospital. 1993
Cheng, MA, Todorov A, Tempelhoff R, McHugh T, Crowder CM, Lauryssen C. 2001.
The Effect of Prone Positioning on Intraocular Pressure in Anesthetized Patients.
Anesthesiology. 95. 13515
Donlon JV. 2005. Anesthesia for Eye, Ear, Nose and Throat Surgery in Miller RD.
Anesthesia. 6th ed. Vol 2. p 2527-2556
Friberg TR, Weinreb RN.1985. Ocular manifestations of gravity inversion. JAMA. 253.
17557
Gilani SM, Jamil M, Akbar F, Jehangir R. 2005. Anticholinergic Premedication for
Prevention of Oculocardiac Reflex During Squint Surgery. J Ayub Med Coll
Abbottabad. 17(4)
Gild WM, Posner KL, Caplan RA et al. Eye Injuries Associates With Anesthesia.
Anesthesiology. 76:204

17

Martin R, Thomas AS. 1997. Low Incidence of The Oculocardiac Reflex and Post
Operative Nausea and Vomiting in Adults Undergoing Strabismus. Canadian Journal
of Anesthesia. Vol 44. No.8
Morgan GE, Mikhail ME. 2002. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Lange Medical Book.
p.761-765
Nunn JF, Utting JE, Brown BR. 1989. General Anesthesia. 5th ed. Butterworth
International Edition. P.948-965
Thaib RA. 1999. Inovasi Dalam Anestesi Bedah Mata. Simposium dan Kursus Penyegar
dan Penambah Ilmu Anestesi. Jakarta
Vasallo SA, Ferrari NG. Anesthesia for Ophtalmology in Cote CJ, Ryan JF, Todres ID,
Goudsouzian NG eds A Practice of Anesthesia for Infants and Children. 1999
REFERAT
Mei 2008

ANESTESI PADA OPERASI MATA

Oleh
Raditsya Mada Gautama
Peserta PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi
FK UGM/ RS Dr. Sardjito Yogyakarta

Pembimbing

Moderator

18

Dr.Bhirowo Yudo Pratomo, SpAn

Dr.Yusmein Uyun, SpAn

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
RS Dr.SARDJITO YOGYAKARTA
2008

19

Anda mungkin juga menyukai