Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

GENERAL ANASTESI DENGAN VSD

Oleh :
Muslim Thaher., S.Ked
R. Dicky Wirawan L, S.Ked

Pembimbing :
dr. Imam Gozali, M. Kes, Sp.An

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MULUK
BANDAR LAMPUNG
2014

Daftar Isi :
1. Pendahuluan
a. Ventrikel Septal Defect
b. General Anestesi
2. Laporan Kasus
3. Pembahasan
4. Daftar Pustaka

PENDAHULUAN
A. Penyakit Jantung VSD
Penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung bawaan ( PJB ) adalah
sekumpulan malformasi struktur jantung atau pembuluh darah besar intratoraks
yang telah ada sejak lahir.Penyakit jantung bawaan (PJB ) adalah penyakit dengan
kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa sejak
lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan
struktural jantung pada fase awal perkembangan janin. Ada 2 golongan besar PJB,
yaitu siaonotik (biru) dan asianotik (tidak biru) yang masing-masing memberikan
gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda. VSD adalah suatu
kelainan jantung bawaan di mana terdapat defek dengan diameter 0,5 3 cm pada
septum inter ventrikel sehingga terjadi pirau antara ventrikel kanan dan kiri. 1,2
Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan bawaan
yang sering ditemukan, yaitu 10% dari seluruh kelainan bawaan
dan

sebagai

penyebab

utama

kematian

pada

masa

neonatus.Angka kejadian PJB dilaporkan 8 10 bayi dari 1000 kelahiran hidup


dan 30% di antaranya telah memberikan gejala pada minggu minggu pertama
kehidupan. Bila tidak terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50%
kematian akan terjadi pada bulan pertama kehidupan. 1,2
Insidens PJB berkisar 6 8 penderita tiap 1000 kelahiran hidup dan 1 tiap
1000 anak berumur kurang dari 10 tahun. Menurut kepustakaan ada 8 bentuk PJB
( 85% ) yang seringkali ditemukan yaitu defek septum ventrikel ( VSD ), defek
septum atrium ( ASD ), duktus atriosus persisten ( PDA), koartasio aorta ( KoA ),
stenosis pulmonal ( PS ), stenosis aorta ( AS ), Tetralofi of Fallot ( TOF ) dan
transposisi arteri besar ( TGA ). Sisanya ( 15% ) terdiri atas bentuk- bentuk yang
lebih kompleks dan jarang ditemukan. Di antara semua bentuk PJB, VSD
merupakan lesi yang paling banyak dilaporkan.Di antara kelompok PJB sianosis,
teranyata TF dan TGA menempati urutan pertama dan kedua terbanyak.2
Umumnya frekuensi PJB sama pada laki laki dan perempuan, walaupun
beberapa lesi lebih sering terjadi pada anak laki laki.PDA dan ASD lebih banyak
2

terlihat pada anak perempuan.Kalau ada anak dalam satu keluarga menderita PJB
maka kemungkinan anak berikutnya menderita PJB 3 4 kali lebih banyak
daripada keluarga yang tidak mempunyai riwayat PJB. Kebanyakan PJB yang
meninggal terjadi pada bulan bulan pertama setelah kelahiran (30%) atau
sebelum mencapai umur 1 tahun ( 10%).2

I.

ETIOLOGI DAN FAKTOR PENCETUS


Etiologi PJB masih belum jelas sampai saat ini, namun dipengaruhi oleh

beberapa faktor, termasuk genetik. Pembentukan jantung janin yang lengkap


terjadi pada akhir semester pertama potensial dapat menimbulkan gangguan
pembentukan jantung, terutama pada tiga bulan pertama usia kehamilan. Ada
beberapa faktor yang dapat menimbulkan gangguan jantung

yang terjadi pada

masa kehamilan trimester pertama, antara lain paparan sinar rontgen, trauma fisik
dan psikis, serta minum jamu atau pil kontrasepsi. Kelainan jantung bawaan juga
dapat terjadi jika ibu dan janin berusia di atas 40 tahun, penderita DM, campak
dan hipertensi, serta jika ayah dan ibu merokok saat janin berusia 3 bulan dalam
rahim.6,7,10
II.

PATOFISIOLOGI

VSD adalah suatu kelainan jantung bawaan di mana terdapat defek dengan
diameter 0,5 3 cm pada septum interventrikel sehingga terjadi pirau antara
ventrikel kanan dan kiri.
Gangguan Hemodinamik :
Tergantung besarnya defek dan perbedaan tahanan antara kedua ventrikel
dapat terjadi pirau kiri ke kanan, pirau kanan ke kiri atau pirau dua arah.

Gambar 1. Kelainan anatomis dan sirkulasi pada VSD 12


1) Pirau kiri ke kanan terjadi karena dalam keadaan normal terdapat tekanan
yang lebih besar pada ventrikel kiri daripada yang kanan pada waktu sistolik.
2) Pirau kanan ke kiri bila tahanan vakuler paru paru menjadi lebih besar
daripada sistemik ( sindrom Eisenmenger ).
III.

GEJALA DAN MANIFESTASI KLINIS

Biasanya sejak lahir sudah menunjukkan gejala yang berat.Bising biasanya


mulai terdengar pada akhir minggu pertama kedua usia bayi, karena saat ini
pirau kiri ke kanan terjadi sesudah tekanan dalam ventrikel kanan menurun
dibanding ventrikel kiri. Dispnea, intoleransi kerja, capek dan radang paru paru
yang berulang merupakan gejala yang hampir selalu didapat. Pada 1/3 kasus
terjadi pula gagal jantung dan sianosis.Sianosis terjadi pada kasus kasus dalam
Sindrom Eisenmenger.
Pemeriksaan Fisik

Pertumbuhan yang kurang.Pada sebagian penderita terdapat sianosis ringan


atau kebiruan pada ujung jari. Deformitas toraks

hampir selalu ditemukan.

Penderita tampak pucat dan banyak berkeringat.Pada palpasi, terapa impuls


ventrikel kiri kuat dan pulmonary tapping. Pada auskultasi, bunyi jantung I
terdengar keras, bunyi jantung II komponen pulmonal terdengar keras, pecah dan
singkat pada tepi sterna kiri. Bising yang terdapat adalah pansistolik kasarderajat
3-6/6 pada tepi sterna kiri

bawah, menyebar ke seluruh toraks

depan dan

punggung serta terdengar maksimal pada apeks. Kalu adau pirau kiri ke kanan
yang besar, maka dapat juga terdengar diastolic flow murmurpada apeks akibat
adanya stenosis mitralis yang realatif.

IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologi
Pada simple ASD atau VSD ukuran jantung dapat normal atau sedikit
membesar yang mencukup atrium kiri, ventrikel kiri dan ventrikel kanan.Arteri
pulmonalis prominen dan vaskularisasi paru paru bertambah.Terdapat
pembesaran atrium kiri, ventrikel kiri dan kanan.Gambaran arteri pulmonalis dan
vaskularisasi paru paru prominen.Aorta tampak normal, sedangkan arkus aorta
pada sebagian besar penderita terdapat di sebelah kiri.

V.

PENATALAKSANAAN
Bayi dengan VSD perlu dievaluasi secara periodik sebulan sekali selama

setahun mengingat besarnya aliran pirau yang dapat berubah akibat resistensi paru
yang menurun.Bila terjadi gagal jantung kongestif harus diberikan obar obatan
anti gagal jantung yaitu digitalis, diuretika dan vasodilator.Bila medikamentosa
gagal dan tetap terlihat gagal tumbuh kembang atau gagal jantung maka sebaiknya
dilakukan tindakan operasi penutupan VSD secepatnya sebelum terjadi penyakit
obstruktif vaskuler paru. Indikasi operasi penutupan VSD adalah bila rasio aliran
darah ke paru dan sistemik lebih dari 1,5.6,7,8

B. ANESTESI PADA GANGGUAN JANTUNG

Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara


sementara dan biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Secara garis besar
anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat sementara
akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral. Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan
bebas nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran. Anestesi regional
memiliki berbagai macam teknik penggunaan salah satu teknik yang dapat
diandalkan adalah melalui tulang belakang atau anestesi spinal. Anestesi spinal
adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid
Panduan

dalam

premedikasi,

monitoring,

induksi,

dan

penatalaksanaan

intraoperatif dapat diaplikasikan untuk seluruh tipe defek septum. Problem khusus
pada pasien defek septum ventrikel diantaranya adalah: peningkatan PBF, CHF,
dan penurunan fungsi ventrikuler.
Pada pasien dengan defek septrum ventrikel supracristal, insufisiensi aorta
merupakan problem tambahan. Pada defek septum ventrikel kecil akan
membebani ventrikel kiri, sedangkan defek septum ventrikel besar akan
membebani kedua ventrikel.
Premedikasi
Tujuan premedikasi pada pasien dengan defek septum tidak berbeda dengan
prosedur premedikasi pada pasien yang menjalani operasi lain baik operasi umum
ataupun operasi jantung, yaitu pasien yang tersedasi secara adekuat dan
kooperatif, disertai dengan rumatan stabilitas kardiovaskular dan respirasi.
Preparat oral, rektal, ataupun intramuscular dapat digunakan, bergantung pada
kondisi, pilihan, dan tingkat kooperatif pasien; serta prosedur operatif yang
direncanakan. Pemberian pentobarbital 2 4 mg/kg per oral atau per rektum 2 jam
sebelum operasi, ditambah dengan meperidine 2 mg/kg atau morfin 0,1 mg/kg,

dan scopolamine 0,1 mg intramuskular 1 jam sebelum operasi akan menghasilkan


tingkat sedasi dan hipnosis yang adekuat.
Pada pasien berusia kurang dari 1 tahun, dan pada pasien dengan derajat
kegagalan jantung yang signifikan, serta pada pasien dengan curah jantung yang
rendah, maka dosis yang dipergunakan dapat diturunkan, atau kadang dapat
dihilangkan. Sianosis pada pasien dengan defek septum murni mengindikasikan
terjadinya shunt reversal, bentuk stadium lanjut dari penyakit ini dimana
merupakan lesi yang relatif tidak dapat diterapi dengan prosedur pembedahan dan
membutuhkan perhatian khusus dalam premedikasi.
Teknik Induksi
Sebagian besar pasien dengan defek septum mengalami pintasan kiri-ke-kanan
yang akan cenderung menurunkan waktu induksi pada penggunaan agen inhalasi
yang relative soluble, seperti misalnya halothane. Karena darah yang melewati
pintasan kemudian mengalami resirkulasi melalui paru, sebagian akan mengalami
saturasi oleh agen anestesi, oleh sebab itu konsentrasi alveolar akan meningkat
dengan lebih cepat, akibatnya induksi anestesi akan terjadi lebih cepat.
Konsentrasi agen insoluble misalnya nitrous oksida relatif lebih tidak terpengaruh
oleh mekanisme ini, sehingga tidak terjadi akselerasi induksi. Agen intravena
dikatakan memiliki efek onset yang lebih lambat, karena terjadinya dilusi
tambahan

oleh

darah

yang

mengalami

resirkulasi. Anestesiolog

dapat

mengkompensai dampak adanya pintasan dengan meningkatkan konsentrasi agen


intra vena; meskipun terdapat risiko overdosis. Faktorfaktor tersebut, meskipun
nyata, namun memiliki aspek kepentingan klinis yang kecil dalam induksi
anestesi dibandingkan dengan faktor lain, seperti misalnya kecukupan
premedikasi dan mempertahankan volume ventilasi yang adekuat. Teknik induksi
pada pasien dengan pintasan kiri-ke-kanan bukanlah hal yang bersifat kritis dan
dapat disesuaikan menurut

keinginan pasien, tingkat kooperativitas, atau ada-tidaknya jalur infus intravena


pre-induksi.
Pasien yang telah terpasang infus ataupun menginginkan induksi intravena dapat
dengan aman diinduksi dengan menggunakan thiopental 2 4 mg/kg atau preparat
induksi intravena lainnya, diikuti dengan pemberian suksinilkolin atau
pancuronium sebagai agen blokade neuromuscular sebelum dilakukan intubasi.
Pada pasien dengan penyakit yang lebih parah (hipertensi pulmoner dengan gagal
jantung kanan) dapat diberikan fentanyl 5 10 g/kg atau ketamin 1 2 mg/kg
untuk menggantikan thiopental sebagai agen induksi intravena. Setelah dilakukan
induksi, kemudian ditambahkan agen inhalasi sesuai dengan kebutuhan situasi
klinis.
Anak yang lebih kecil biasanya membutuhkan tindakan induksi inhalasi.
Premedikasi yang adekuat pada pasien tersebut akan menghasilkan induksi tanpa
perlawanan. Setelah induksi, dapat dimulai pemberian infus intravena, kemudian
diberikan pelumpuh otot sebelum dilakukan intubasi endotrakeal. Pilihan
pelumpuh otot sering kali tetap pada pancuronium karena durasi kerja yang
panjang,

dan

efek

vagolitik,

mengakibatkan

takikardia,

yang

sering

menguntungkan bagi neonatus dan bayi yang bergantung pada denyut jantung
yang adekuat untuk mempertahankan cardiac output. Rocuronium, agen
penghambat neuromuscular nondepolarisasi dengan onset yang relative depat,
telah menunjukkan efektivitasnya jika diberikan intramuskuler dengan dosis 2
mg/kg, dengan kondisi intubasi yang sangat baik dapat dicapai dalam 2,5 sampai
3 menit pada bayi dan anakAnak.
Anestesi pada Ventrikel Septal Defek pilihan baru yang penting pada pasien tanpa
akses intravena induksi, pada mereka yang dengan suksinilkolin intramuskuler
adalah kontraindikasi atau tidak diinginkan. Pada bayi, anestesi juga dilakukan
dengan teknik inhalasi, jika pasien stabil. Namun, sebagian besar pasien bayi yang
menjalani operasi koreksi, mengalami gagal jantung derajat sedang dan telah
memiliki jalur intravena pre-operatif, sehingga digunakan teknik induksi

intravena. Diantara agenagen indukai intravena, ketamin dan etomidat adalah


agen pilihan bagi pasien dengan fungsi ventrikuler yang lemah atau yang
sebaliknya memiliki risiko hemodinamik yang berbahaya dengan induksi anestesi.
Harus dicatat bahwa pada pasien yang ketergantungan terhadap katekolamin
tinggi, misalnya pasein pratransplantasi jantung yang mendapatkan agen inotropik
dalam jangka panjang, ketamin dapat bekerja langsung sebagai depresan
miokardial dan menyebabkan bahaya hemodinamik pada saat induksi. Etomidat
tampaknya jauh lebih dapat ditoleransi pada pasienpasien tersebut, dan oleh
karena itu,menjadi agen pilihan untuk banyak keadaan seperti ini. Propofol dan
thiopental akan menyebabkan hipotensi, dan/atau depresi miokardial dan
bradikardia, dan tidak boleh digunakan pada semua pasien CHD dengan fungsi
ventrikel yang baik dan hemodinamik yang stabil kecuali yang paling sehat.
Teknik inhalasi dengan agen yang poten secara teoritis memiliki kelemahan, yaitu
menurunkan curah jantung dan resistensi vaskular sistemik; serta memiliki potensi
membalik arah pintasan kiri-ke-kanan. Shunt reversal biasanya tidak terjadi jika
tidak didapatkan hipertensi pulmoner dan hipertrofi ventrikel kanan yang nyata.
Dengan memandang agenagen anestesi inhalasi, penelitian in vitro mengenai
efekefek pada kontraktilitas, mengindikasikan bahwa susunan efek depresan
kontraktilitas miokard langsung adalah halothane >> sevoluran = isofluran =
desfluran. Perbedaan diantara agenagen tersebut terjadi karena efek yang
berbeda dalam aliran kalsium melalui saluran Ca++ tipe-L, keduanya
transarkolema (melalui membrane plasma), dan dalam reticulum sarkoplasmik.
Halothane menurunkan aliran Ca++ melalui sarkolema lebih banyak dibandingkan
isofluran, dengan hasil bersih yaitu kurangnya Ca++ intraseluler yang akan
berikatan dengan kompleks troponin-aktinmiosin yang akan menghasilkan
kontraksi miosit. Mekanisme lain adalah halothane,tetapi bukan isofluran, secara
langsung mengaktivasi saluran Ca++ reticulum sarkoplasmik (RS) sensitiveryanodin, dengan demikian menurunkan cadangan Ca++ di dalam RS dan
mengakibatkan berkurangnya Ca++ untuk dilepaskan selama kontraksi. Detail
dari efek sevofluran dan desfluran pada aliran Ca++ tidak banyak diteliti, tetapi
diantisipasi bahwa mereka mirip dengan halothane. Penggunaan dukungan

inotropik, inhibitor fosfodiesterase, yang paling baru milrinone dan enoxsimone,


telah diteliti dan digunakan lebih sering pada bayi dan anak anak. Penelitian
penelitian yang telah dipublikasikan dan pengalaman klinis dengan milrinone
menunjukkan bahwa agen tersebut secara rutin meningkatkan CO sebesar 30 50%, dan menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan pulmonal sebesar 30
40% dengan perubahan minimal pada HR. Juga dilaporkan bahwa milrinone
memiliki insiden trombositopenia yang lebih rendah dibandingkan dengan
amrinone, yang penggunaannya pada pasien pediatri telah dibatasi. Hipotensi
sistemik sering terjadi jika dosis loading diinfus terlalu cepat.

10

LAPORAN KASUS
General Anastesi dengan VSD
Nama

: An. ET

Umur

: 8 tahun

Berat Badan

: 54 kg

Register / RM : 1113162
Diagnosa

: Atresia Ani post colostomy + Heart Compensated susp VSD +


bising sistolik grade I-II

MRS

: 20-01-2014

Anamnesa
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan tidak terdapatnya lubang
duburnya. Hal tersebut dinyatakan oleh orang tua pasien sudah sejak lahir tidak
memiliki lubang dubur. Pada usia beberapa hari setelah kelahiran, pasien terlihat
sangat kembung dan tidak mengeluarkan BAB sejak lahir. Setelah dibawa ke RS,
pasien dinyatakan harus menjalani operasi pembuatan lubang dubur darurat di
dinding perut depan. Seharusnya pasien datang kembali untuk menjalani
pembuatan lubang dubur permanen di bokong pada saat usia 5 tahun.
Kemudian pasien diantar ibunya datang memeriksakan diri kembali ke
dokter dan dinyatakan harus menjalani pembuatan lubang dubur permanen. Pasien
mengatakan sering sesak napas, namun tanpa disertai mulut biru atau ujung jari
tangan/kaki yang biru. Pasien langsung dirujuk ke rumah sakit, dilakukan
pemeriksaan laboratorium dan konsul bagian anak dengan hasil murmur sistolik
grade I-II compensated heart susp VSD minimal.
Riwayat trauma disangkal oleh pasien, tidak terdapat mulut membiru atau
ujung jari yang membiru. Riwayat demam tidak ada. Pasien lahir normal dengan
ditolong bidan. Riwayat keluarga yang menderita penyakit serupa disangkal.

11

Tanggal 28 Januari 2013


Airway

: Bebas

Breathing

: Spontan ; Respiratory rate : 16 x/menit

Circulation

: TD : 120/80 mm Hg ; N : 86 x/menit, reguler, isi cukup

Disability

: No Alert

Diagnosis

: Atresia Ani post colostomy + Heart Compensated susp VSD +


bising sistolik grade I-II

Planning

: Pasang infus RL gtt XX/menit


Lab lengkap
Rencana Pull Through dengan general anatesi
Konsul penyakit dalam dan anestesi

Pre Op anestesi
B1

: Airway bebas, Nafas spontan 16-20 x/menit, retraksi-/-, SN ves/ves,


Ronkhi -/-, Wheezing -/-, SpO2 100%

B2

: TD : 120/80 mmHg , MAP : 93,3 Nadi : 85 x/menit.


Bising sistolik grade I-II

B3

: GCS : E4 V5 M6

B4

: Terpasang kateter urine

B5

: Bising Usus +. Post Colostomi (bekas operasi terawat).

B6

: Edema kaki -/-

Laboratorium
Tanggal 20 Januari 2014

Hb

: 12,4 g/dl

Leukosit

: 6.200 /ul

Hematocrit

Trombosit

: 299.000 /ul

Hitung jenis

: 0/0/0/52/39/9

BT

: 2

CT

: 11

: 33 %

12

GDS

: 106 mg/dL

SGOT

: 30 U/l

SGPT

: 17 U/l

Ureum

: 16 mg/dL

Kreatinin

: 0,4 mg/dL

Konsul Anak :
Berat Badan : 18,5 kg. Batuk (-), Pilek (-). Didapatkan bising sistolik grade I-II
yang telah terkompensasi (Compensated Heart) dengan suspek VSD.
Saran :
Lakukan pemeriksaan lanjutan berupa Echocardiografi
Konsul Jantung :
Heart

compensated.

Pertimbangkan

hasil

pemeriksaan

lain

dengan

Echocardiografi. Jika dilakukan operasi dalam tahap seperti ini, akan didapatkan
risiko rendah.
Konsul anestesi :
Saat ini dalam bidang anestesi diharuskan pemeriksaan Echocardiografi. Dengan
hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas normal
Saran :
- Lakukan pemeriksaan lanjutan berupa Echocardiografi

13

PEMBAHASAN
Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?
VSD adalah suatu kelainan jantung bawaan di mana terdapat defek dengan
diameter 0,5 3 cm pada septum interventrikel sehingga terjadi pirau antara
ventrikel kanan dan kiri. Gangguan hemodinamik tergantung besarnya defek dan
perbedaan tahanan antara kedua ventrikel dapat terjadi pirau kiri ke kanan, pirau
kanan ke kiri atau pirau dua arah. Pada pasien ini defek yang terjadi minimal
karena pada pemeriksaan fisik didapatkan bising sistolik minimal (grade I), dan
tidak terdapat gangggua hantaran oksigen yang signifikan. Hal ini ditunjukkan
dari tidak terdapatnya sianosis pada bibir atau pada ujung ekstrimitas. Dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik dinyatakan benar untuk diagnosis VSD.

Diagnosis pada pasien ini sudah tepat.


Apakah tatalaksana anestesi pada kasus ini sudah tepat?
Pada pasien berusia anak-anak, dan pada pasien dengan derajat kegagalan jantung
yang signifikan, serta pada pasien dengan curah jantung yang rendah, maka dosis
yang dipergunakan dapat diturunkan, atau kadang dapat dihilangkan. Sianosis
pada pasien dengan defek septum murni mengindikasikan terjadinya shunt
reversal, bentuk stadium lanjut dari penyakit ini dimana merupakan lesi yang
relatif tidak dapat diterapi dengan prosedur pembedahan dan membutuhkan
perhatian khusus dalam premedikasi
Tujuan premedikasi pada pasien dengan defek septum tidak berbeda dengan
prosedur premedikasi pada pasien yang menjalani operasi lain baik operasi umum
ataupun operasi jantung, yaitu pasien yang tersedasi secara adekuat dan
kooperatif, disertai dengan rumatan stabilitas kardiovaskular dan respirasi.
Preparat oral, rektal, ataupun intramuscular dapat digunakan, bergantung pada
kondisi, pilihan, dan tingkat kooperatif pasien; serta prosedur operatif yang

14

direncanakan. Pemberian pentobarbital 2 4 mg/kg per oral atau per rektum 2 jam
sebelum operasi, ditambah dengan meperidine 2 mg/kg atau morfin 0,1 mg/kg,
dan scopolamine 0,1 mg intramuskular 1 jam sebelum operasi akan menghasilkan
tingkat sedasi dan hipnosis yang adekuat.
Sebagian besar pasien dengan defek septum mengalami pintasan kiri-ke-kanan
yang akan cenderung menurunkan waktu induksi pada penggunaan agen inhalasi
yang relative soluble, seperti misalnya halothane. Karena darah yang melewati
pintasan kemudian mengalami resirkulasi melalui paru, sebagian akan mengalami
saturasi oleh agen anestesi, oleh sebab itu konsentrasi alveolar akan meningkat
dengan lebih cepat, akibatnya induksi anestesi akan terjadi lebih cepat.
Konsentrasi agen insoluble misalnya nitrous oksida relatif lebih tidak terpengaruh
oleh mekanisme ini, sehingga tidak terjadi akselerasi induksi.
Propofol dan thiopental akan menyebabkan hipotensi, dan/atau depresi miokardial
dan bradikardia, dan tidak boleh digunakan pada semua pasien CHD dengan
fungsi ventrikel yang baik dan hemodinamik yang stabil kecuali yang paling
sehat.

Post operasi, penderita dilanjutkan perawatannya diruangan dengan pemberian


analgesik dan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi. Diruangan penderita
juga dilakukan pemasangan kateter menetap selama 24 jam dan dilanjutkan
dengan bladder training untuk menghindari terjadinya retensio urin.

15

DAFTAR PUSTAKA

Liu SS, McDonald SB. Current issues in spinal anesthesia. Dalam: Review article
American Society of Anesthesiologist. Anesthesiology. 2001; 94 (5): 888-906.
Morgan GE. Clinical Anesthesiology: 44th Edition.
Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik lokal dan
anestesia regional. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002.
Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal. Dalam:
Jurnal Anestesiologi Indonesia. Bagian anestesiologi dan terapi intensif FK
UNDIP/RSUP Dr.Kariadi. 2011; 3(1): 48-59.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed. 2. Jakarta:
ECG
Julian, D.G. Cardiology : Conginetal Heart Desease, 8th Edition. Philadelphia.
Saunders. 2005. Page 274-296
Phibbs, Brendan, Human Heart, The : A Basic Guide to Heart Disease, In:
Conginetal Heart Disease, 2nd Edition. Philadelphia. Lippicott Williams &
Wilkins. 2007. Page: 121-129.
Pelupessy, JMCh. Kardiologi Anak, Bahan buku ajar untuk Mahasiswa FK-S1.
Dalam: Penyakit Jantung Bawaan.. Makassar: Fakultas Kedokteran Unhas. P: 140
Nelson, Waldo E. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta; ECG: 2001.
Rauf, Syarifuddin, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Makassar;
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS.Hal: 245-255.
Bailliard, Frederique & Anderson, Robert. 2009. Orphanet Journal of Rare
Disease: Tetralogy of Fallot. North Carolina: BioMed Central

16

Anda mungkin juga menyukai