Anda di halaman 1dari 36

TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

I.

Sistem Pernafasan
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung O2 (oksigen) ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak
mengandung CO2 (karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Penghisapan
ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Sistem pernapasan terdiri atas
paru-paru dan sistem saluran yang menghubungkan jaringan paru dengan lingkungan luar
paru yang berfungsi untuk menyediakan oksigen untuk darah dan membuang
karbondioksida.
Sistem pernapasan secara umum terbagi atas :
1. Bagian Konduksi
Bagian konduksi terdiri atas rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus,
dan bronkiolus. Bagian ini berfungsi untuk menyediakan saluran udara untuk
mengalir

ke

dan

dari

paru-paru

untuk

membersihkan,

membasahi,

dan

menghangatkan udara yang diinspirasi.


2. Bagian Respirasi
Bagian ini terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan. Pertukaran gas
antara udara dan darah terjadi dalam alveoli. Selain struktur diatas terdapat pula
struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu masuk yang penting untuk menyaring
partikel-partikel yang masuk. Sistem pernafasan memiliki sistem pertahanan
tersendiri dalam melawan setiap bahan yang masuk yang dapat merusak.
Terdapat tiga kelompok mekanisme pertahanan yaitu :
a. Arsitektur saluran nafas; bentuk, struktur, dan caliber saluran nafas yang berbedabeda merupakan saringan mekanik terhadap udara yang dihirup, mulai dari hidung,
nasofaring, laring, serta percabangan trakeobronkial. Iritasi mekanik atau kimiawi
merangsang reseptor disaluran nafas, sehingga terjadi bronkokonstriksi serta bersin
atau batuk yang mampu mengurangi penetrasi debu dan gas toksik kedalam saluran
nafas.
b. Lapisan cairan serta silia yang melapisi saluran nafas, yang mampu menangkap
partikel debu dan mengeluarkannya
c. Mekanisme pertahanan spesifik, yaitu sistem imunitas di paru yang berperan terhadap
1

partikel-partikel biokimiawi yang tertumpuk di saluran nafas.


1. Anatomi Paru
Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea,
dan paru. Laring membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni saluran pernafasan
atas dan saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan
external, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernafas, oksigen
masuk melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli dan dapat erat hubungan dengan
darah didalam kapiler pulmunaris. Hanya satu lapis membran yaitu membran alveoli,
memisahkan oksigen dan darah oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh
hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri ke
semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg
dan tingkat ini hemoglobinnya 95%. Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu
hasil buangan. Metabolisme menembus membran alveoli, kapiler dari kapiler darah ke
alveoli dan setelah melalui pipa bronchial, trakea, dinafaskan keluar melalui hidung dan
mulut.

2. Fungsi Sistem Pernapasan

Pertukaran karbon dioksida dan oksigen antara darah dan udara berlangsung di
alveolus paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan dan dalamnya aliran udara
timbal balik (pernapasan), dan tergantung pada difusi oksigen dari alveoli ke dalam darah
kapiler dinding alveoli. Hal yang sama juga berlaku untuk gas dan uap yang dihirup.
Paru-paru merupakan jalur masuk terpenting dari bahan-bahan berbahaya lewat udara
pada paparan kerja.
3. Mekanisme Kerja Sistem Pernapasan
Debu, aerosol dan gas iritan kuat menyebabkan refleks batuk-batuk atau spasme
laring (penghentian bernapas). Kalau zat-zat ini menembus kedalam paru-paru, dapat
terjadi bronchitis toksik, edema paru-paru atau pneumonitis. Para pekerja menjadi toleran
terhadap paparan iritan berkadar rendah dengan meningkatkan sekresi mucus, suatu
mekanisme yang khas pada bronkhitis dan terlihat pada perokok tembakau. Partikelpartikel debu dan aerosol yang berdiameter lebih dari 15 m tersaring keluar pada saluran
napas. Partikel 5-15 m tertangkap pada mukosa saluran yang lebih rendah dan kembali
disapu ke laring oleh kerja mukosiliar, selanjutnya ditelan. Bila partikel ini mengatasi
saluran nafas atau melepaskan zat-zat yang merangsang respon imun dapat timbul
penyakit pernafasan seperti bronchitis.
Partikel-partikel berukuran 0,5 dan 5 m (debu yang ikut dengan pernafasan)
dapat melewati sistem pembersihan mukosiliar dan masuk ke saluran nafas terminal serta
alveoli. Dari sana debu ini akan dikumpulkan oleh sel-sel scavenger (makrofag) dan
dihantarkan pulang kembali ke sistem mukosiliar atau ke sistem limfatik. Partikel
berdiameter kurang dari 0,5 m mungkin akan mengambang dalam udara dan tidak di
retensi. Partikel-partikel panjang dan serat yang diameternya dari 3 m dengan panjang
100 m dapat mencapai saluran nafas terminal, namun tidak dibersihkan oleh makrofag ;
akan tetapi partikel ini mungkin pula ditelan lebih dari satu makrofag dan dibungkus
dengan bahan protein kaya besi sehingga terbentuk badan-badan besar asbes yang khas.
Sebab-sebab utama penyakit pernafasan adalah :
1. Mikroorganisme pathogen yang mampu bertahan terhadap fagositosis
2. Partikel-partikel mineral yang menyebabkan kerusakan atau kematian makrofag
yang menelannya, sehingga menghambat pembersihan dan merangsang reaksi
jaringan.
3. Partikel-partikel organik yang merangsang respon imun.
4. Kelebihan beban sistem akibat paparan terus-menerus terhadap debu respirasi
berkadar tinggi yang menumpuk di sekitar saluran nafas terminal.

Stimulasi saluran nafas berulang (bahkan mungkin juga oleh partikel-partikel


linert), menyebabkan penebalan dinding bronki, meningkatkan sekresi mucus,
merendahkan ambang refleks penyempitan dan batuk, meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi pernafasan dan gejala-gejala asmatik. Daerah perifer paru-paru terutama dirusak
oleh debu fibrogenik. Umumnya partikel fibrogenik yang masuk paru-paru dibersihkan
sebagian dan diendapkan pada kelenjar-kelenjar limfe hilus. Di sana, partikel-partikel
tersebut merangsang reaksi jaringan, penebalan dan pembentukan jaringan parut pada
kelenjar-kelenjar tersebut. Drainase limfatik menjadi tersebut, sehingga partikel-partikel
pada paparan lebih lanjut akan menumpuk di dekat kelenjar-kelenjar yang berparut
tersebut, dan secara progresif memperbesar daerah parut. Pembentukan jaringan parut
dengan berbagai cara ini mengakibatkan pengerutan paru-paru, peregangan berlebihan
pada jaringan paru-paru yang tersisa, ventilasi tidak merata dan tipe emfisema tertentu.
II.

Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran nafas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial. PPOK terdiri
dari bronchitis kronik dan emfisema atau keduanya. Bronchitis kronik adalah kelainan
saluran nafas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema
adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak
penderita bronchitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk
penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan nafas yang tidka reversible penuh,
dan memenuhi criteria PPOK.(perhimpunan dokter paru Indonesia,pedoman diagnosis &
penatalaksanaan di Indonesia 1973-2003)
PPOK ditandai adanya obstruksi saluran nafas, biasanya progresif tidak
sepenuhnya reversible dan tidak ada perubahan drastic selama beberapa bulan dan
sebagian besar disebabkan oleh rokok. (national collaborating centre for chronic
conditions 2004)
PPOK ditandai adanya obstruksi saluran nafas, biasanya progresif dan tidak
sepenuhnya reversible,keadaan tersebut ada hubungan antara respon inflamasi di paruparu oleh partikel berbahaya atau gas. (global initiative for chronic obstructive lung
disease 2003).
4

III.

Epidemiologi
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronchitis kronis, emfisema menduduki
peringkat ke 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronchitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.
Adapun faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :
Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70%)
Pertambahan penduduk
Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi
63 tahun pada tahun 1990-an
Industrialisasi
Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industry, dan di pertambangan.
Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia.
Hal ini dibuktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada
tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan
pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga
meningkat sejak tahun 1970 dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar
59.936 vs 59.118 pada wanita vs pria secara berurutan dibawah ini digambarkan nagka
kematian

pria

per

100.000

populasi

Prevalensi PPOK pada tahun 1990 diperkirakan 9.34/1000 pada pria dan
7.33/1000 pada perempuan, namun perkiraan tersebut mencakup semua usia yang
semestinya hanya dilihat pada usia yang lebih tua. Prevalensi PPOK tertinggi di Negaranegara yang penduduknya masih mengkonsumsi rokok dan prevalensi PPOK terendah
5

terdapat pada Negara-negara yang penduduknya sadar akan bahaya rokok.(global


initiative for chronic obstructive lung disease 2004)
PPOK merupakan penyebab kematian ke empat di AS dan Eropa, PPOK
diperkirakan akan menjadi penyebab utama ketiga kematian di dunia pada tahun 2020. Di
inggris pada tahun 2003 sekitar 26.000 orang meninggal akibat PPOK dengan persentase
4,9% dari seluruh penyebab kematian, sekitar 14.000 pada laki-laki dan 12.000 pada
perempuan. Dalam 30 tahun terakhir di Inggris, ada penurunan angka kematian pada lakilaki tetapi terjadi peningkatan angka kematian pada perempuan sehingga dalam waktu
kedepan perbedaan jenis kelamin tidak pengaruhnya terhadap kematian akibat PPOK.
(ABC of COPD graham devereux 2007,BMJ Blackwell publishing)

IV.

Faktor Resiko
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan
hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul
dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat
merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi
dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan
dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status
sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.
1. Genetik
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan
genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti
lama adalah defisiensi 1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor.
Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi 1 antitripsin adalah
emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi
memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika,
dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.
2. Paparan partikel inhalasi
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama
hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat
berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan
terintegrasi secara langsung terhadap pajanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai
macam pajanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debudebu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK.
Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif,
bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu sendiri
pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati
penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan
perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya
perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain
didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit
saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat. Shahab dkk melaporkan
hal yang juga amat menarik bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi
7

PPOK yang terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK
yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI
39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas,
sisanya tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok.
Status merokok justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan
derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada,
ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang (7,1%,
p<0,02).
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang terkait
dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun bahanbahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan
prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi
populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun
menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri
menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan
yang bermakna pada PPOK.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan,
sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan
insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga
dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi
bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida
(NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang
semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru.
3. Infeksi
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap
patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan
terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang
penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga
dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran
nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada
terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan
dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas
40 tahun.
8

4. Komorbiditas
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari
suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease,
bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko
V.

menderita PPOK.
Patofisiliogi
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas besar dan kecil bahkan
unit respiratori terminal. Terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi
yaitu bronchitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang di tandai
dengan pembesaran permanen dari ruang-ruang yang ada, mulai dari distal bronkiolus
terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.

Gambar. Perbandingan bronkus normal dan bronkus pada bornkitis kronis

Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi
yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami
metaplasia, sel silia mengalami atropi dan kelenjar mucus menjadi hipertropi. Proses ini
akan direspon dengan terjadinya remodelin saluran nafas tersebut, hanya saja proses
remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi
dimana T CD8 dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan
memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hyperplasia sel
goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal
dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas :
Emfisema sentrisinar (sentrilobular)
Dimulai dari bronkus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian

atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama.


Emfisema parasinar (panlobuler)
Melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah
Emfisema asinar distal (paraseptal)
Lebih banyak mengenai saluran nafas distal, duktus dan sakus alveolar. Proses

terlokalisir di septa atau dekat pleura.


Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran
rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru
terfiksasi pada proses inflasi.

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin
dibicarakan pada bronchitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidakseimbangan
10

pada protease serta defisiensi alfa 1 antitripsin menjadi dasar pathogenesis PPOK. Proses
inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediatormediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan
parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat
seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat
keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator
yang berperan dalam proses penyakit diantaranya adalah leukotrin B4, chemotactic
factors seperti CXC chemokines, IL 8, TNF alfa, IL 1B, TGF B. Selain itu
ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifasi antiprotease, adanya stress oksidatif
dan paparan faktor resiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil
dan makrofag serta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear faktor, sehingga terjadi lagi
pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mucus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi
silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi
saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2mm dan air traping pada emfisema paru.
Proses ini kemudian berlanjut pada abnormalitas perbandingan ventilasi perfusi yang
pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.
Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan
gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari
hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertrofi dan hyperplasia
otot polos) dan destruksi pulmonal kapiler bad menjadi faktor yang turut memberikan
kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.
Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan
kadar sitokin proinflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana
sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait
dengan eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak
system sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen.
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan
seluler dan structural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas ke parenkim
dan arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang
ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutrofil dan makrogfag, pada dinding saluran nafas.

11

Disamping itu juga terjadi pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4/CD8, dimana
limfosit T sitotoksik (CD8) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Netrofil
yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan yang
penting juga terhadap hipersekresi mucus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen
IL4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan
kelenjar submukosa penghasil secret.
TNF alfa yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkordinasi
dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL1 dan IL6 yang kemudian
akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitokin diatas selain berada di
saluran nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi
pada saluran nafas sebagai petanda inflamasi local, juga akan memberikan gambran pada
peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk di dalamnya netrofil dan limfosit
pada gambaran darah tepi.
Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidak terlalu jelas dimengerti,
tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut.
Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor resiko yaitu asap
rokok.

12

Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara
independen menyebabkan efek ekstra pulmonal seperti kejadian kardiovaskuler dan
inflamasi sistemik melalui stress oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vascular perifer
dan menariknya kejadian ini juga akan dialami perokok pasif meski hanya terpapar
beberapa tahun. Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme pertama
menyatakan bahwa respon inflamasi local berdiri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik.
Hal ini dibuktiakn dari penelitian akan kadar TNF alfa dan IL8 pada sputum yang
ternyata meskipun tinggi pada sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi
sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bacterial
yang pro inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi local
berupa kenaikan temperature tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya
saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi tampak pada subjek yang mengalami
demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas tanpa
demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah
berulang pada PPOK, dimana hipoksia terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan
mengaktivasi system TNF dan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin
proinflamasi pada sirkulasi perifer.

13

VI.

Klasifikasi atau stadium PPOK


1. Stadium I (mild)
Hambatan aliran udara ringan
Prediksi FEV1/FVC <70%, FEV >80%
Batuk kronis & berdahak
Individu tidak sadar fungsi parunya tidak normal
2. Stadium II (moderate)
14

Memburuknya hambatan aliran udara


Prediksi FEV1/FVC <70%, 50% < FEV1 <80%
Sesak nafas yang berkembang menjadi batuk kronis
Individu sudah mencari perhatian medis
3. Stadium III (severe)
Makin memburuk hambatan aliran udara
Prediksi FEV1/FVC <70%, 30%<FEV1<50%
Sesak nafas semakin parah
Mengurangi kegiatan individu
Eksaserbasi berulang
4. Stadium IV (very severe)
Semakin buruk hambatan aliran udara
Prediksi FEV1/FVC <70%; FEV1 <30% atau prediksi FEV1<50%

VII.

ditambah kegagalan pernafasan kronis


Kualitas hidup terganggu
Eksaserbasi bisa mengancam jiwa

Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi
paru.
Diagnosis COPD harus dipertimbangkan dalam setiap pasien yang telah dyspnea,
batuk kronis atau yang telah memproduksi sputum, dan / atau riwayat risiko tertular
terhadap faktor untuk penyakit, terutama merokok Indikator kunci dalam Diagnosis
COPD Pertimbangkan COPD, dan melakukan spirometri, jika salah satu indikator ini
hadir dalam individu di atas usia 40. Indikator ini tidak diagnostic sendiri, tetapi
kehadiran beberapa indikator kunci yang meningkatkan kemungkinan diagnose COPD,
antara lain :
Dispnea: progresif (memburuk dari waktu ke waktu).Biasanya lebih buruk dengan
olahraga, setiap hari. Dijelaskan oleh pasien sebagai "meningkat nya upaya untuk
bernapas (susah bernapas), berat, atau terengah-engah."
Batuk kronis: Mungkin sebentar-sebentar dan mungkin tidak produktif.

Produksi dahak kronis : Setiap pola produksi dahak kronis dapat menunjukkan COPD.

15

Sejarah tertular terhadap faktor risiko: Asap tembakau, debu, pekerjaan dan bahan
kimia, asap dari memasak di rumah dan bahan bakar pemanas.
Diagnosis harus dikonfirmasikan oleh tes spirometri
Langkah diagnosis dari PPOK :
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan Fisik
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernafasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi

Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) adalah sikap


seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

16

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh


-

untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal nafas kronik.
Barrel chest (diameter antero posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu nafas
Hipertrofi otot bantu nafas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan, terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
Pink puffer adalah gambaran khas pada emfisema, penderita kurus,
kulit kemerahan dan pernafasan pursed lips.
Blue bloater adalah gambaran khas pada bronchitis kronik, penderita
gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru,
sianosis sentral dan perifer.

Palpasi
- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

17

Auskultasi
- Suara nafas vesikuler atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
-

ekspirasi paksa
Eksprasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh

18

B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal Paru
Spirometri
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%). Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80%

VEP1 % (VEP/KVP) < 75%


VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit


Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternative dengan

memantau variability harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan

APE meter
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan

VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin

3. Radiologi
Foto thorak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
19

Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung

pendulum/tear

drop/eye

drop

appearance)
Sedangkan pada keadaan bronchitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus
b. Pemeriksaan khusus
1. Faal paru
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
DLCO menurun pada emfisema
Raw meningkat pada bronkitis kronik
Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
Sepeda statis (ergocycle)
Jentera (treadmill)
Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.

4. Uji coba kortikosteroid


Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
Gagal napas kronik stabil
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
20

CT - Scan resolusi tinggi untuk mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis
serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks

polos
Scan ventilasi perfusi untuk mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi untuk menilai fungsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada
usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

VIII.

Diagnosis Banding

Asma

Suggestive features
Investigation
Riw. Keluarga, atopi, non Pemantauan peak flow dan
perokok, usia muda, gejala pengujian reversibilitas.

Gagal jantung
Bronkiektasis

Peny. Paru intertisial

nocturnal.
Foto
thorak,
EKG,
Ortopnu, riw. Peny. Jantung
ekokardiogram.
iskemik, fine lung crackles
Mikroskopik dahak, budaya
Produksi dahak berlebihan,
dan sensitivitas.
sering infeksi dada, pneumoni
anak, coarse lung crakles.
Batuk kering, riw. Peny.
Jaringan
obat

Infeksi oportunistik

ikat,

seperti

methotrexate,

penggunaan
amiodarone,
fine

Tes fungsi paru, foto thorak,


biopsy paru, tes autoantiboodi

lung

crackle

Foto
dahak,

Tuberculosis

Batuk kering, faktor resiko

induksi

thorak,
budaya,

mikroskopik
sensitivitas,

sputum,

lavage
21

imunosupresi, demam.
SOPT

Berat

badan

bronchoalveolar
Foto thorak, mikroskopik

menurun,

dahak, budaya, sensitivitas

hemoptisis, keringat malam,


faktor

resiko

imunosupresi
Riwayat

untuk

TB,

tuberculosis

sebelumnya.

22

IX.

Penatalaksanaan
Dalam penatalaksanaan PPOK menurut Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease 2006, terdapat 4 komponen yaitu :
1. Menilai dan memonitor penyakit
2. Mengurangi faktor resiko
3. Penanganan PPOK saat stabil
4. Penanganan eksaserbasi
1. Menilai dan memonitor penyakit
Pada pasien yang punya riwayat medis terperinci kemudian diduga atau
sudah memiliki PPOK harus dinilai hal dibawah ini :
Mengetahui faktor resiko dari pasien, termasuk intensitas dan durasinya
Riwayat kesehatan, termasuk asma, alergi sinusitis, infeksi pernafasan

pada anak-anak, dan penyakit pernafasan lainnya


Riwayat pada keluarga terhadap PPOK atau penyakit pernafasan kronis

lainnya
Pola dari setiap pengembangan gejalanya

23

Riwayat eksaserbasi atau rawat inap sebelumnya untuk gangguan

pernafasan
Adanya penyakit penyerta seperti jantung, kanker, osteoporosis, dan
gangguan musculoskeletal, yang mungkin juga berkontribusi terhadap

pembatasan pernafasan
Dampak penyakit pada kehidupan pasien, termasuk pembatasanpembatasan kegiatan seperti tidak masuk kerja, dampak ekonomi,
berpengaruh terhadap rutinitas keluarga, dan perasaan depresi atau

kecemasan
Dukungan keluarga dan lingkungan social tersedia untuk pasien
Mengurangi faktor resiko, terutama berhenti merokok
Pada pasien PPOK dengan stadium II sampai dengan stadium IV, selain

menggunakan spirometri, dilakukan juga tes di bawah ini :


Pengujian bronkodilator untuk menyingkirkan diagnosis asma, terutama
pada pasien dengan ciri yang khas (misalnya riwayat asma asma pada
waktu kecil, dan pada malam hari sering terbangun dengan batuk ataupun

sesak)
Foto rontgen thorak, sebenarnya bukan cara untuk mendiagnosa PPOK
tetapi penting untuk diagnose alternative seperti TBC paru dan

mengidentifikasi komorbiditas seperti gagal jantung


Pengukuran gas darah arteri (Analisa Gas Darah), dilakukan pada pasien
dengan prediksi FEV1 < 50%, atau dengan tanda-tanda klinis sugestif dari
kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan. Tanda-tanda klinis utama
dari kegagalan pernafasan adalah sianosis sedangkan tanda-tanda klinis
dari gagal jantung kanan termasuk edema peritibial dan peningkatan
tekanan vena jugularis. Kegagalan pernafasan ini ditunjukkan dengan
PaO2 8.0 kPa (60 mmHg) dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7 kPa (50 mmHg)

sambil menghirup udara at sea level.


Skreening defisiensi Alfa 1 anti tripsin, tes ini dilakukan bila PPOK
berkembang pada pasien keturunan dibawah 45 tahun atau riwayat
keluarga yang kuat dari PPOK.
PPOK biasanya merupakan penyakit yang progresif. Fungsi paru-paru

dapat memburuk dari waktu ke waktu bahkan walaupun dengan perawatan


terbaik gejala dan fungsi paru-paru harus di monitor untuk mengikuti
24

perkembangan komplikasi, untuk pengobatan, dan untuk memfasilitasi diskusi


pilihan penanganan terhadap pasien. Komorbiditas PPOK sangat umum pada
PPOK dan harus diidentifikasi.
2. Mengurangi Faktor Resiko
Penghentian merokok merupakan paling efektif dan dari segi biaya
intervensi yang efektif untuk mengurangi resiko PPOK dan memperlambat
perkembangannya.
Bahkan secara singkat, konseling selama 3 menit mendesak seorang
perokok untuk berhenti bisa menjadi efektif, dan minimum cara ini
harus dilakukan dalam setiap kunjungan ke penyedia pelayanan
kesehatan. Adapun strategi yang diberikan untuk mengurangi faktor
resikonya :
1. ASK : Mengidentifikasi semua penggunaan tembakau/perokok di
setiap kunjungan, memastikan kepada pasien tentang pentingnya
berhenti merokok.
2. Nasehat : Mendesak semua pengguna tembakau untuk berhenti,
dengan cara yang jelas, kuat, dan pendekatan personal.
3. Menilai : Menentukan kemauan untuk melakukan upaya agar
berhenti merokok. Tanyakan setiap perokok jika bersedia untuk
melakukan upaya berhenti saat ini (misalnya dalam 30 hari
berikutnya).
4. Membantu : Membantu pasien dalam berhenti merokok,
menyediakan konseling praktis, menyediakan pengobatan dengan
dukungan social baik dari dalam maupun dari luar keluarga,
merekomendasikan penggunaan farmakoterapi yang di setujui jika
perlu.
5. Mengatur : Mengatur jadwal komunikasi baik secara langsung

maupun tidak langsung.


Farmakoterapi (penggantian nikotin, buproprion/nortriptilin dan atau
varenicline) direkomendasikan jika konseling tidak berhasil untuk
membantu pasien dalam berhenti merokok. Pertimbangan harus
diberikan sebelum menggunakan farmakoterapi pada orang merokok
kurang dari 10 rokok per hari, wanita hamil, remaja, dan mereka
dengan kontraindikasi medis (penyakit arteri koroner tidak stabil,
25

ulkus peptik, dan infark miokard atau stroke untuk penggantian nikotin

dan riwayat kejang untuk bipropion)


Pencegahan merokok, mendorong kebijakan control penggunan
tembakau, dan pesan yang jelas, konsisten, berulang untuk tidak
merokok. Bekerja sama dengan pemerintah untuk menyetujui undangundang yang menetapkan bebas rokok pada sekolah, fasilitas umum,
lingkungan kerja, dan mendorong pasien untuk menjaga rumah bebas

dari rokok.
Polusi udara baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan,
menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi atau menghindari
polusi udara dalam ruangan dari bahan bakar, memasak dan
pemanasan dalam rumah yang ventilasinya buruk. Sarankan pasien
untuk memantau pengumuman public terhadap kualitas udara dan
tergantung pada beratnya penyakit, menghindari aktivitas berat diluar

atau tinggal di dalam rumah saat polusi udara tinggi.


3. Penanganan PPOK saat stabil
Pada penanganan PPOK stabil harus dipandu dengan beberapa prinsip
umum sebagai berikut :
Menentukan keparahan
memperhatikan

penyakit

gejala-gejala

secara

pasien,

individual

keterbatasan

dengan

pernafasan,

frekuensi dan keperahan eksaserbasi, komplikasi, kegagalan pernafsan,

komorbiditas, dan status kesehatan secara umum


Melaksanakan rencara perawatan yang disesuaikan pada penilaian

keparahan penyakit.
Pilih perawatan sesuai dengan preferensi nasional dan budaya,
keterampilan pasien, ketersediaan obat local. Pendidikan pasien dapat
membantu meningkatkan keterampilan, kemampuan untuk mengatasi
penyakit, dan status kesehatan. Hal tersebut merupakan cara yang
efektif untuk berhenti merokok, memulai diskusi dan pemahaman

tentang petunjuk awal dan merubah respon terhadap eksaserbasi akut.


Pengobatan farmakologis dapat mengontrol dan mencegah gejala,
mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, meningkatkan status
kesehatan dan meningkatkan toleransi latihan.
26

Bronkodilator merupakan obat utama dalam penanggulangan PPOK hal


ini disebabkan karena :
o Inhalasi terapi lebih disukai
o Berikan seperlunya untuk meredakan gejala intermiten dan
secara teratur untuk mencegah atau mengurangi gejala
persisten
o Pilihan antara B 2 agonis, antikolinergik, metilxanthine, dan
terapi kombinasi tergantung pada ketersediaan obat-obatan dan
respon pasien baik terhadap reaksi obat maupun efek samping
obat.
o Pengobatan teratur dengan bronkodilator long acting lebih
efektif

dan

nyaman

dibandingkan

pengobatan

dengan

bronkodilator short acting


o Menggabungkan bronkodilator dapat meningkatkan efektivitas
dan mengurangi resiko efek samping dibandingkan dengan
meningkatkan dosis tunggal bronkodilator

27

Glukokortikoid
Pengobatan teratur dengan inhalasi glukokortikoid hanya sesuai
untuk pasien dengan prediksi FEV <50% dan terjadi eksaserbasi
berulang (misalnya 3 kali dalam 1 tahun terakhir).
Pengobatan ini telah ditunjukkan untuk mengurangi frekuensi
eksaserbasi dan dengan demikian meningkatkan status kesehatan,
tetapi tidak memodifikasi penurunan jangka panjang pada FEV1.
28

Hubungan dosis respon dan keamanan jangka panjang dari inhalasi


glukokortikoid pada PPOK tidak diketahui. Pengobatan dengan oral

dalam waktu jangka panjang tidak dianjurkan.


Vaksin
Vaksin influenza mengurangi penyakit serius dan kematian pada
pasien PPOK sebesar 50%. Vaksin hidup atau mati yang mengandung
virus yang di lemahkan direkomendasikan dan harus diberikan sekali
setiap tahun.
Vaksin pneumokokus polisakarida direkomendasikan untuk pasien
PPOK dengan usia 65 tahun dan usia tua, dan telah terbukti
mengurangi pneumonia pada usia dibawah 65 tahun dengan prediksi

FEV1 < 40%.


Antibiotik
Tidak dianjurkan kecuali untuk infeksi eksaserbasi dan infeksi

bakteri lainnya.
Mukolitik
Pasien dengan dahak yang kental dapat mengambil manfaat
terhadap penggunaan mukolitik, tetapi manfaat secara keseluruhan

sangat kecil. Penggunaan tidak dianjurkan.


Anti tusif merupakan kontraindikasi untuk PPOK stabil
Perawatan non farmakologi
o Rehabilitasi
Dalam rehabilitasi harus mencakup 3 hal yaitu pelatihan,
konseling gizi, pendidikan. Tujuan rehabilitasi paru adalah
untuk mengurangi gejala penyakit, meningkatkan kualitas
hidup, dan meningkatkan partisipasi dalam kegiatan seharihari.
Pasien pada semua tahap penyakit dapat mengambil
manfaat dari program latihan, dengan peningkatan toleransi
latihan dan gejala dipsnu. Panjang minimum program
rehabilitasi yang efektif adalah 6 minggu, semakin lama
program ini berlanjut maka semakin efektif hasilnya. Manfaat
tidak berkurang setelah rehabilitasi berakhir, tetapi jika latihan
dilakukan dirumah, status kesehatan pasien tetap diatas tingkat
pra rehabilitasi.
29

o Terapi oksigen
Pemberian oksigen jangka panjang (> 15 jam per hari)
untuk

pasien

dengan

kegagalan

kronis

pernafasan

meningkatkan kelangsungan hidup memiliki dampak yang


menguntungkan

pada

hemodinamik

paru,

karakteristik

hematologi, kapasitas olahraga, mekanik paru-paru, dan


kondisi mental.
Tujuan terapi oksigen jangka panjang adalah untuk
meningkatkan baseline PaO2 paling sedikit 8,0 kPa (60 mm
Hg) at sea level, dan atau menghasilkan SaO2 setidaknya 90%,
yang akan memelihara fungsi organ penting dan menjamin
pengiriman oksigen yang cukup.
Memulai terapi oksigen untuk pasien dengan Tahap IV: Sangat
berat PPOK jika:
PaO2 berada pada atau dibawah 7,3 kPa (55 mm Hg) atau
SaO2 berada pada atau dibawah 88% dengan atau tanpa
hypercapnia; atau
PO2 adalah antara 7,3 kPa (55 mm Hg) dan 8,0 kPa (60 mm
Hg)
atau SaO2 adalah 88%, jika ada bukti hipertensi paru, edema
perifer

menunjukkan

gagal

jantung

polycythemia (hematokrit> 55%).


o Intervensi bedah
Bullectomy dan transplantasi

kongestif,

paru-paru

atau

mungkin

dipertimbangkan pada pasien yang dipilih hati-hati pada Tahap


IV: PPOK Sangat berat. Saat ini tidak ada bukti yang cukup
bahwa akan mendukung secara luas penggunaan operasi
reduksi volume paru (LVRS). Tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa dukungan pernapasan mekanis memiliki
peran dalam pengelolaan rutin COPD stabil.

30

4. Penanganan eksaserbasi
Sebuah eksaserbasi COPD didefinisikan sebagai peristiwa alami proses
Penyakit yang ditandai dengan perubahan pada pasien seperti dispnea, batuk,
dan / atau dahak yang tidak normal hari per hari, akut pada onset, dan
mungkin memerlukan perubahan dalam pengobatan biasa dalam pasien pada
COPD. Penyebab paling umum dari suatu eksaserbasi adalah infeksi

31

tracheobronchial dan polusi udara, namun penyebab sekitar sepertiga


eksaserbasi parah tidak dapat diidentifikasi.
Cara Menilai Keparahan Eksaserbasi :
1.
Pemeriksaan analisa gas darah (AGD) di rumah sakit :
PaO2 <8,0 kPa (60 mm Hg) dan / atau SaO2 <90% dengan atau tanpa
PaCO2> 6,7 kPa, (50 mmHg) saat bernapas pada udara ruang (room

air) menunjukkan kegagalan pernapasan.


Sedang sampai berat asidosis (pH <7,36) ditambah hypercapnia
(PaCO2 > 6-8 kPa, 45-60 mm Hg) pada pasien dengan kegagalan

2.

3.
4.

pernapasan adalah indikasi untuk pernapasan mekanis.


X-ray dada: radiograf dada (posterior / anterior plus lateral)
Mengidentifikasi diagnosis alternatif yang bisa meniru gejala suatu
eksaserbasi.
EKG: Dalam diagnosis hipertrofi ventrikel kanan, aritmia, dan episode
iskemik.
Tes laboratorium Lainnya:
Dahak dan antibiogram untuk mengidentifikasi infeksi jika ada tidak

ada tanggapan terhadap pengobatan antibiotik awal.


Biokimia tes untuk mendeteksi gangguan elektrolit, diabetes, dan
kurang gizi. Kesuluruhan kadar darah dapat mengidentifikasi
polisitemia atau pendarahan.

Perawatan di rumah jika terjadi eksaserbasi :


1. Bronkodilator : Kenaikan dosis dan atau frekuensi jangka pendek terapi
bronkodilator, sebaiknya dengan B2 agonis jika tidak ada tambahkan
dengan antikolinergik sampai gejala membaik. Menambahkan dosis
bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang
digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebulizer.
2. Glukokortikoid : Jika FEV1 <50%, tambahkan 30-40 mg/hari selama 7-10
hari untuk bronkodilator. Budesonid nebulasi menjadi alternative untuk
gluco oral kortikosteroid dalam pengobatan eksaserbasi nonasidosis.
3. Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
4. Menambahkan mukolitik
5. Menambahkan ekspektoran
Perawatan di rumah sakit jika terjadi eksaserbasi :

32

1. Peningkatan intensitas gejala, seperti sesak saat aktifitas maupun saat


istirahat
2. Riwayat PPOK yang berat
3. Kelainan fisik terbaru seperti sianosis dan edema perifer
4. Kegagalan merespon penanganan awal eksaserbasi
5. Terdapat komorbiditas
6. Terjadi aritmia
7. Usia tua
8. Kurangnya penanganan di rumah
Penggunaan antibiotic harus diberikan pada pasien dengan keadaan :
1. Dengan 3 gejala utama berikut : Dipsnue meningkat, volume dahak
meningkat, purulen dahak meningkat
2. Dengan purulen dahak meningkat dan satu gejala cardinal lain
3. Membutuhkan penanganan ventilasi mekanik

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan


Dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor
lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan
batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.
Penyebab eksaserbasi akut :
Primer : Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
o Pnemonia
o Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
o Emboli paru
o Pneumotoraks spontan
o Penggunaan oksigen yang tidak tepat
o Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
o Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
33

o Nutrisi buruk
o Lingkunagn memburuk/polusi udara
o Aspirasi berulang
o Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan
berat).
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat
jalan atau rawat inap dan dilakukan di :
1. Poliklinik rawat jalan
Indikasi :
- Eksaserbasi ringan sampai sedang
- Gagal napas kronik
- Tidak ada gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Sebagai evaluasi rutin meliputi :
a. Pemberian obat-obatan yang optimal
b. Evaluasi progresifiti penyakit
c. Edukasi
2. Unit gawat darurat
1. Tentukan masalah yang menonjol, misalnya
- Infeksi saluran napas
- Gangguan keseimbangan asam basa
- Gawat napas
2. Triase untuk ke ruang rawat atau ICU
Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi sedang dan berat
(belum memerlukan ventilasi mekanik)
- Obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebuliser
- Terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan ventury mask
- Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas
- Segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi
mekanik
3. Ruang rawat
Indikasi rawat :
- Esaserbasi sedang dan berat
- Terdapat komplikasi
- infeksi saluran napas berat
- gagal napas akut pada gagal napas kronik
- gagal jantung kanan
Selama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan :
1. Menghindari intubasi dan penggunaan mesin bantu napas dengan
cara evaluasi klinis yang tepat dan terapi adekuat
2. Terapi oksigen dengan cara yang tepat
3. Obat-obatan maksimal, diberikan dengan drip, intrvena dan
nebuliser
4. Perhatikan keseimbangan asam basa
34

5. Nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang


6. Rehabilitasi awal
7. Edukasi untuk pasca rawat
4. Ruang ICU
Indikasi perawatan ICU
1. Sesak berat setelah penangan adekuat di ruang gawat darurat atau
ruang rawat
2. Kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot respirsi
3. Setelah pemberian osigen tetap terjadi hipoksemia atau perburukan
4. Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)
X.

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini
imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.

XI.

Pencegahan
1. Mencegah terjadinya PPOK
- Hindari asap rokok
- Hindari polusi udara
- Hindari infeksi saluran napas berulang
2. Mencegah perburukan PPOK
- Berhenti merokok
- Gunakan obat-obatan adekuat
- Mencegah eksaserbasi berulang
35

DAFTAR PUSTAKA
COPD GOLD 2006.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
PPOK di Indonesia 2003.
COPD in Primary Care Margaret Barnett 2006
ABC of COPD Graham Devereux 2007
Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease
www.nejm.org
www.emedicine.org

36

Anda mungkin juga menyukai