Anda di halaman 1dari 32

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Batubara
2.1.1 Pengertian Batubara
Batubara merupakan sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk yang
awalnya berakumulasi di rawa dan tanah gambut. Pembentukan batubara dimulai sejak
Carboniferous Period (Periode Pembentukan Karbon atau Batu Bara) dikenal sebagai zaman batu
bara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap
batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lamanya waktu pembentukan yang disebut
sebagai maturitas organik (World Coal Institute, 2009)
2.1.2 Analisa Batubara
Ada dua metode untuk menganalisa batubara, yaitu dengan cara analisa ultimate dan
analisa proximate. Analisa ultimate adalah menganalisis seluruh elemen komponen batubara,
padat atau gas. Sedangkan analisa proximate adalah meganalisa hanya fixed carbon, bahan yang
mudah menguap, kadar air dan persen abu. Analisa ultimate harus dilakukan dilaboratorium
dengan peralatan yang lengkap dan oleh para ahli kimia yang terampil, sedangkan analisa
proximate dapat dilakukan dengan peralatan yang sederhana.(Indonesian Science & Teknologi
digital Library 2010)

1) Pengukuran kadar air


Cara untuk mengukur kadar air dilakukan dengan menempatkan sampel bahan baku
batubara yang dihaluskan sampai ukuran 200-mikron dalam krus terbuka, kemudian
dipanaskan dalam oven pada suhu 108 + 20 C dan diberi penutup. Sampel kemudian
didinginkan hingga suhu kamar dan ditimbang lagi. Kehilangan berat merupakan kadar
airnya.
2) Pengukuran bahan yang mudah menguap (volatile matter)
5

Sampel batubara halus yang masih baru ditimbang, ditempatkan pada krus tertutup,
kemudian dipanaskan dalam tungku pada suhu 900 + 150 C. Sampel kemudian didinginkan
dan ditimbang. Sisanya berupa kokas (fixed carbon dan abu).

3) Pengukuran karbon dan abu


Tutup krus dari dari uji bahan mudah menguap dibuka, kemudian krus dipanaskan
dengan pembakar Bunsen hingga seluruh karbon terbakar. Abunya ditimbang, yang
merupakan abu yang tidak mudah terbakar. Perbedaan berat dari penimbangan sebelumnya
merupakan fixed carbon. Dalam praktek, Fixed Carbon atau FC dihitung dari pengurangan
nilai 100 dengan kadar air, bahan mudah menguap dan abu.

a) Analisis proximate
Analisis proximate menunjukan persen berat dari fixed carbon, bahan mudah
menguap, abu, dan kadar air dalam batubara. Jumlah fixed carbon dan bahan yang mudah
menguap secara langsung turut andil terhadap nilai panas batubara. Fixed carbon bertindak
sebagai pembangkit utama panas selama pembakaran. Kandungan bahan yang mudah
menguap yang tinggi menunjukan mudahnya penyalaan bahan bakar. Kadar abu merupakan
hal penting dalam perancangan grate tungku, volum pembakaran, peralatan kendali polusi
dan sistim handling abu pada tungku. Analisis proximate untuk berbagai jenis batubara
diberikan dalam Tabel 2.1
Tabel 2.1 Analisa Proximate Batubara
Batubara

Batubara

Batubara Afrika

India

Indonesia

Selatan

Kadar air

5,98

9,43

8,5

Abu

38,63

13,99

17

20,70

29,79

23,28

34,69

46,79

51,22

Parameter

Bahan mudah menguap


(volatile matter)
Fixed Carbon

Sumber: Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia-www.energyefficiencyasia.org

Parameter-parameter tersebut digambarkan dibawah.


1. Fixed carbon
Fixed carbon adalah bahan bakar padat yang tertinggal dalam tungku setelah bahan yang
mudah menguap didestilasi. Kandungan utamanya adalah karbon. Selain mengandung
karbon, fixed carbon juga mengandung hidrogen, oksigen, sulfur dan nitrogen yang tidak
terbawa gas. Fixed carbon memberikan perkiraan kasar terhadap nilai panas batubara.
2. Bahan yang mudah menguap (volatile matter)
Bahan yang mudah menguap dalam batubara adalah metan, hidrokarbon, hydrogen, karbon
monoksida, dan gas-gas yang tidak mudah terbakar, seperti karbon dioksida dan nitrogen.
Bahan yang mudah menguap merupakan indeks dari kandungan bahan bakar bentuk gas
didalam batubara. Kandungan bahan yang mudah menguap berkisar antara 20% hingga 35%.
Bahan yang mudah menguap:

Berbanding lurus dengan peningkatan panjang nyala api, dan membantu dalam
memudahkan penyalaan batubara.

Mengatur batas minimum pada tinggi dan volum tungku.

Mempengaruhi kebutuhan udara sekunder dan aspek-aspek distribusi.

Mempengaruhi kebutuhan minyak bakar sekunder.

3. Kadar abu dan akibatnya


Abu merupakan kotoran yang tidak akan terbakar. Kandungan abunya berkisar antara 5%
hingga 40%:

Mengurangi kapasitas handling dan pembakaran.

Meningkatkan biaya handling.

Mempengaruhi efisiensi pembakaran dan efisiensi boiler.

Menyebabkan penggumpalan dan penyumbatan.

4. Kadar air dan akibatnya

Kandungan air dalam batubara harus diangkut, di-handling dan disimpan bersama-sama
batubara. Kadar air akan menurunkan kandungan panas per kg batubara, dan kandungannya
berkisar antara 0,5% hingga 10%. Kadar air:

Meningkatkan kehilangan panas, karena penguapan dan pemanasan berlebih dari uap.

Membantu pengikatan partikel halus pada tingkatan tertentu.

Membantu radiasi transfer panas


5. Kadar Sulfur dan akibatnya

Pada umumnya berkisar pada 0,5 % hingga 0,8%. Sulfur:

Mempengaruhi kecenderungan terjadinya penggumpalan dan penyumbatan

Mengakibatkan korosi pada cerobong asap,peralatan lain seperti preheater/pemanas udara


awal dan sekitar economizers

Membatasi suhu gas buang yang keluar dengan jalan memanfaatkan sisa gas buangnya

b) Analisa ultimate
Analisa ultimate menentukan berbagai macam kandungan kimia unsur- unsur seperti
karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dll. Analisis ini berguna dalam penentuan jumlah udara
yang diperlukan untuk pembakaran dan volume serta komposisi gas pembakaran. Informasi
ini diperlukan untuk perhitungan suhu nyala dan perancangan saluran gas buang dll. Analisis
ultimate untuk berbagai jenis batubara diberikan dalam tabel di bawah.

Tabel 2.2 Analisa Ultimate Batu Bara


Parameter

Batubara India, %

Batubara Indonesia, %

Kadar Air

5,98

9,43

Bahan Mineral (1,1 x Abu)

38,63

13,99

Karbon

41,11

58,96

Hidrogen

2,76

4,16

Nitrogen

1,22

1,02

Sulfur

0,41

0,56

Oksigen

9,89

11,88

Sumber: Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia-www.energyefficiencyasia.org

2.2 Biomassa
2.2.1 Pengertian Biomassa
Biomassa adalah sebuah nama yang diberikan untuk material yang tersisa dari suatu
tanaman atau hewan seperti serbuk kayu dari hutan, sekam padi dan jerami padi dari pertanian
serta limbah organik manusia dan hewan. Energi yang terkandung dalam biomassa berasal dari
matahari. Melalui fotosintesis, karbondioksida di udara ditransformasikan menjadi molekul
karbon lain misalnya, gula dan selulosa dalam tumbuhan. Energi kimia yang tersimpan dalam
tanaman dan hewan diakibatkan karena memakan tumbuhan atau hewan lain maka dari itu
didalam kotorannya terdapat suatu energi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi
dengan kata lain energi ini dikenal dengan nama bio-energi.
Ketika biomassa dibakar maka energi akan terlepas, umumnya energi yang dilepaskan
dalam bentuk panas. Karbon pada biomassa bereaksi dengan oksigen diudara sehingga
membentuk karbondioksida. Apabila dibakar sempurna jumlah karbondioksida yang dihasilkan
akan sama dengan jumlah yang diserap dari udara saat tanaman tersebut tumbuh. Biomassa yang
terdapat di alam bebas bila dibiarkan begitu saja di tanah maka akan terurai dalam waktu yang
lama, melepaskan karbondioksida dan energi yang tersimpan secara perlahan lahan. Dengan
membakar biomassa, energi yang tersimpan akan dengan cepat terlepas dan dapat dimanfaatkan.
Oleh karena itu proses konversi biomassa sangat bagus untuk menjadikan energi yang berguna
meniru proses alam dengan laju yang lebih cepat. Biomassa dapat digunakan langsung misalnya
membakar kayu digunakan untuk pemanasan, memasak, dan dapat juga digunakan untuk
produksi biofuel cair (biodiesel dan alkohol), atau biogas yang dapat digunakan sebagai
pengganti bahan bakar fosil. Misalnya alkohol dari tebu dapat digunakan sebagai pengganti
bahan bakar bensin atau biogas dari kotoran hewan yang dapat digunakan sebagai bahan
pengganti gas alam.

2.2.2 Serbuk Kayu


Salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam menggantikan bahan bakar fosil adalah
dengan mengkonversikan biomassa menjadi bio-oil yaitu dengan cara pirolisis. Sebagai contoh
bahan

yang dapat digunakan adalah limbah serbuk gergaji. Bahan serbuk gergaji, mudah

diperoleh dan dapat terbarukan. Bahan ini juga banyak terdapat di Indonesia sebagai negara yang
kaya akan kayu hutan (Alfathoni, 2002). Besar limbah serbuk gergaji yang berasal dari industri
penggergajian adalah 15% yang terdiri dari 1,5% serbuk dari unit utama, 13% serbuk dari unit
kedua dan 0,5% dari unit trimmer (Martono, 2003).
Berdasarkan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2006) produksi kayu
gergajian di Sumatera Utara pada tahun 2006 mencapai 66.616 m3. Dengan asumsi bahwa
produksi limbah kayu gergajian sebesar 50% dan serbuk gergajian sebesar 15% (Departemen
Kehutanan 1998/1999, dalam Pari, 2002) maka besarnya limbah kayu gergajian yang dihasilkan
adalah sebesar 9.992,4m3. Besarnya produksi kayu gergajian yang terjadi pada industri
penggergajian, ditunjukkan pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Perkembangan produksi gergaji

2.2.3 Komposisi Biomassa


Pada tabel ultimate analysis kandungan utama yang terdapat pada biomassa adalah
carbon, oksigen, dan hidrogen. Pada tabel ultimate analysis memperlihatkan komposisi dari 13
biomassa. Rumus kimia dari biomassa umumnya diwakili oleh CxHyOz. nilai koefisien dari x,y
dan z ditentukan oleh masing-masing biomassa. Nilai x, y, dan z ditunjukan pada tabel berikut.

Table 2.3 Ultimate analysis of Biomass


10

S.N

Biomassa

Ultimate Analysis (wt %) HHVa Density X


(MJ/kg) (kg/m3)
C
H
N O

1
Ampas tebu
43.8 5.8 0.4 47.1 16.29
2
Sabut kelapa
47.6 5.7 0.2 45.6 14.67
3
Batok kelapa
50.2 5.7 0.0 43.4 20.50
4
sabut empulur 44.0 4.7 0.7 43.4 18.07
5
Bonggol jagung 47.6 5.0 0.0 44.6 15.65
6
tangkai jagung 41.9 5.3 0.0 46.0 16.54
7
Limbah kapas 42.7 6.0 0.1 49.5 17.48
8
Kulit kacang
48.3 5.7 0.8 39.4 18.65
9
Jerami padi
42.7 6.0 0.1 33.0 17.48
10
Sekam padi
38.9 5.1 0.6 32.0 15.29
11
Tangkai padi
36.9 5.0 0.4 37.9 16.78
12
Serbuk kayu
48.2 5.9 0.0 45.1 19.78
13
Jerami gandum 47.5 5.4 0.1 35.8 17.99
Average
44.6 5.5 0.3 41.8 17.32
Sumber K Raveendran et.al, Influence of Mineral Matter on Biomass

111
151
661
94
188
129
109
299
201
617
259
259
222
253.84

3.65
3.97
4.18
3.67
3.97
3.49
3.56
4.03
3.56
3.24
3.08
4.02
3.96
3.72

%
conversi
on of
carbon
5.8
2.94 81
5.7
2.85 72
5.7
2.71 65
4.7
2.71 74
5.0
2.79 70
5.3
2.88 82.3
6.0
3.10 87
5.7
2.46 61.2
6.0 2.063 58
5.1
2.0
62
5.0
2.37 82.4
5.9
2.82 70.2
5.4
2.24 56.5
5.49 2.61 70.89

Untuk menentukan sistem energi biomassa, kandungan energi setiap jenisnya harus
ditentukan terlebih dahulu. Nilai kalor seringkali digunakan sebagai indikator kandungan energi
yang dimiliki setiap jenis biomassa. Nilai kalor adalah jumlah panas yang dihasilkan saat bahan
menjalani pembakaran sempurna atau dikenal sebagai kalor pembakaran. Nilai kalor ditentukan
melalui rasio komponen dan jenisnya serta rasio unsur di dalam biomassa itu sendiri (terutama
kadar karbon).
1) Nilai kalor tertinggi dan terendah
Biomassa terdiri atas senyawa karbon, hidrogen, dan oksigen dan saat dibakar secara
sempurna akan menghasilkan air dan karbon dioksida. Air dan uap air yang dihasilkan
mengandung kalor laten yang terbebas saat kondensasi. Nilai kalor yang meliputi kalor laten
disebut sebagai nilai kalor tinggi atau high heating value (HHV), sedangkan untuk nilai kalor
dimana kalor laten tidak termasuk dalam sistem tersebut disebut sebagai nilai kalor rendah
atau low heating value (LHV).
.....(2.1)
Dengan sampel bahan uji seperti persamaan :
11

......... (2.2)
2.2.4 Pemanfaatan Energi Biomassa.
Agar biomassa ini dapat digunakan sebagai bahan bakar maka diperlukan teknologi untuk
mengkonversi biomassa tersebut. Ada beberapa teknologi untuk mengkonversikan biomassa,
dijelaskan pada Gambar 2.1.

Pembakaran
langsung

Panas

Bahan bakar
padat

Pengarangan
thermal
Pirolisis
Gasifikasi

Syngas/gas fuel

Indirect
liquefaction

Biomassa

Bahan bakar
cair

Direct liquefaction

Esterifikasi/
transesterifikasi

Pencernaan
anaerobik

Biodiese
l

Gas metan

non-thermal
Fermentasi
hidrolisis

Gambar 2.1. Teknologi Biomassa


Sumber : Jurnal Teknik Kimia Unsri,no 2 Vol 5, April 200

12

Etanol

Secara umum teknologi konversi biomassa menjadi bahan bakar dapat dibedakan menjadi
tiga yaitu pembakaran langsung, konversi termokimiawi dan konversi biokimiawi. Berikut
adalah proses yang biasanya dipakai untuk memanfaatkan biomassa.

1. Biobriket.
Briket adalah cara yang digunakan untuk mengkonversikan energi biomassa ke bentuk
biomassa lain dengan cara dimampatkan atau dipadatkan sehingga bentuknya menjadi lebih
teratur. Briket yang terkenal adalah briket batubara namun tidak hanya batubara saja yang
bisa dibuat menjadi brike namun biomassa lain seperti sekam padi, arang sekam, serbuk
kayu, dan limbah-limbah biomassa lainnya dapat dijadikan briket.
2. Pirolisa.
Pirolisa adalah penguraian biomassa (lysis) karena panas (pyro) pada suhu yang
lebih dari 150oC. Pada proses pirolisa terdapat beberapa tingkatan proses, yaitu pirolisa
primer dan pirolisa sekunder. Pirolisa primer adalah pirolisa yang terjadi pada bahan baku
(umpan), sedangkan pirolisa sekunder adalah pirolisa yang terjadi atas partikel dan gas/uap
hasil pirolisa primer. Penting diingat bahwa pirolisa adalah penguraian karena panas,
sehingga keberadaan O2 dihindari pada proses tersebut karena akan memicu reaksi
pembakaran, dengan kata lain oksigen tidak diperlukan dalam proses pirolisa.

3. Liquification
Liquification merupakan proses perubahan wujud dari gas ke cair dengan proses
kondensasi, biasanya melalui pendinginan, atau perubahan dari padat ke cair dengan
peleburan, bisa juga dengan pemanasan atau penggilingan dan pencampuran dengan cairan
lain untuk memutuskan ikatan. Pada bidang energi liquification tejadi pada batubara dan gas
berubah bentuk menjadi cair untuk menghemat transportasi dan memudahkan dalam
pemanfaatannya.

4. Biokimia
Pemanfaatan energi biomassa yang lain adalah dengan cara proses biokimia. Contoh
proses yang termasuk ke dalam proses biokimia adalah hidrolisis, fermentasi dan anaerobic
13

digestion. Anaerobic digestion adalah penguraian bahan organik atau selulosa menjadi CH4
dan gas lain melalui proses biokimia. Adapun tahapan proses anaerobik digestion adalah
diperlihatkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Skema Pembentukan Biogas


Sumber : Jurnal Teknik Kimia Unsri,no 2 Vol 5, April 2004

Selain anaerobic digestion, proses pembuatan etanol dari biomassa tergolong dalam
konversi biokimiawi. Biomassa yang kaya dengan karbohidrat atau glukosa dapat
difermentasi sehingga terurai menjadi etanol dan CO2. Akan tetapi, karbohidrat harus
mengalami penguraian (hidrolisa) terlebih dahulu menjadi glukosa. Etanol hasil fermentasi
pada umumnya mempunyai kadar air yang tinggi dan tidak sesuai untuk pemanfaatannya
sebagai bahan bakar pengganti bensin. Etanol ini harus didestilasi untuk mencapai kadar
etanol di atas 99.5%.

5. Transesterifikasi
Transesterifikasi adalah proses kimiawi yang mempertukarkan grup alkoksi pada
senyawa ester dengan alkohol.
14

2.2.5 Produk Biomassa


Terdapat tiga tipe bahan bakar yang dihasikan dari pengolahan bahan biomassa yang biasa
digunakan untuk berbagai macam kebutuhan, yaitu :
1. Cairan (ethanol, biodiesel, dan methanol)
2. Gas (biogas (CH4, CO2), producer gas (CO, H2, CH4, CO2), syngas (CO, H2)
3. Padat (Arang)
Penggunaan etanol dan biodiesel sebagai bahan bakar kendaraan tranportasi dapat
mengurangi emisi gas CO2. Oleh karena itu biomassa bukan hanya energi terbarukan tapi juga
bersih atau ramah lingkungan, dan dapat digunakan sebagai sumber energi secara global.
Biomassa merupakan sumber energi tertua yang dikenal oleh manusia, kontribusinya
terhadap total pemanfaatan energi di Indonesia bahkan di dunia masih sangat kecil. Pemahaman
akan keterbatasan cadangan sumber energi fosil dan kepedulian terhadap keberlangsungan
penyediaan sumber energi tersebut menyebabkan munculnya ketertarikan peneliti terhadap
pemanfaatan biomassa pada tahun 1970an. Akan tetapi harga energi yang terus menurun saat itu
menyebabkan perkembangan teknologi biomassa tidak begitu pesat. Hingga pada tahun 1980an
kepedulian terhadap emisi CO2 yang disebabkan oleh penggunaan energi fosil mengakibatkan
dikeluarkannya peraturan Kyoto Protocol untuk membatasi emisi CO2 yang boleh dilepas ke
udara.

2.3 Pasir silika


Material hamparan (bed material) yang digunakan pada gasifikasi fluidized bed sangat
berpengaruh terhadap berhasil tidaknya proses fluidisasi yang dihasilkan. Material hamparan
adalah suatu jenis bahan yang digunakan pada sistem gasifikasi fluidized bed sebagai media
fluidisasi dan media penyimpan panas. Pada gasifikasi fluidized bed, material hamparan ini akan
difluidisasi dengan menggunakan dorongan angin gasifikasi seperti udara, oksigen, uap atau
campurannya. Jenis material hamparan yang sering digunakan pada gasifikasi adalah pasir silika,
limestone dan dolomite.
Dalam studi ini akan digunakan pasir silika (quartz sand) sebagai material hamparan,.
karena memiliki kalor jenis (specific heat), merupakan material yang sangat baik dalam
15

menyimpan kalor. Semakin kecil nilai kalor jenis suatu material, maka akan semakin mudah
untuk menaikkan suhu material tersebut. Pasir silika memiliki titik lebur yang tinggi sampai
mencapai 1800oC, sehingga sangat cocok digunakan untuk aplikasi gasifikasi fluidized bed.
Disamping untuk material hamparan pada gasifikasi fluidized bed, pasir silika banyak digunakan
dalam industri semen, gelas, pengecoran besi baja, keramik dan lain-lain.
2.4 Gasifikasi
Gasifikasi adalah proses yang merubah biomassa menjadi gas yang dapat dibakar. Secara
umum, proses gasifikasi melibatkan empat tahapan proses berupa drying, pyrolisis, oksidasi
parsial dan reduksi. Drying merupakan tahapan pertama dari proses gasifikasi, yaitu proses
penguapan kandungan air didalam biomassa melalui pemberian sejumlah panas pada interval
suhu 100 ~ 3000C. Pada drying ini, biomassa tidak mengalami penguraian unsur-unsur kimianya
(dekomposisi kimia), tetapi hanya terjadi pelepasan kandungan air dalam bentuk uap air. Proses
drying dilanjutkan dengan dekomposisi termal kandungan volatile matter berupa gas dan
menyisakan arang karbon, dimana proses ini biasa disebut sebagai pirolisis. Proses pirolisis
merupakan proses eksoterm yang melepas sejumlah panas pada interval suhu 300 ~ 600 0C.
Selanjutnya sisa arang karbon akan mengalami proses oksidasi parsial, dimana proses ini
merupakan proses eksoterm yang melepas sejumlah panas pada interval suhu diatas 6000C.
Panas yang dilepas dari proses oksidasi parsial ini digunakan untuk mengatasi kebutuhan panas
dari reaksi reduksi endotermis dan untuk memecah hidrokarbon yang telah terbentuk selama
proses pirolisis. Proses reduksi gas CO2 dan H2O ini terjadi pada interval suhu 400 ~ 900 0C.
Reduksi gas CO2 melalui reaksi kesetimbangan Boudouard equilibrium reaction dan reduksi gas
H2O melalui reaksi kesetimbangan water-gas reaction, dimana reaksi-reaksi tersebut secara
dominan dipengaruhi oleh suhu dan tekanan.
Produk gas terdiri atas karbonmonoksida (CO), karbondioksida (CO2), hidrogen (H2),
metan (CH4), sedikit hidrokarbon berantai lebih tinggi (etena, etana), air, nitrogen (apabila
menggunakan udara sebagai oksigen), dan berbagai kontaminan seperti partikel arang, debu, tar,
hidrokarbon rantai tinggi, alkali, amoniak, asam, dan senyawa-senyawa sejenisnya.

16

2.4.1 Teknologi Co-Gasifikasi


Teknologi co-gasifikasi adalah proses gasifikasi bersama antara dua jenis bahan bakar,
dalam hal ini adalah bahan bakar utama berupa batu bara dan biomassa sampah organik
pertanian, perkebunan, dan rumah tangga. Teknologi ini diterapkan untuk menghasilkan
karakteristik gas yang ramah lingkungan. Sampah/biomassa memiliki kandungan sulfur dan
nitrogen yang sangat rendah sehingga pembakarannya menghasilkan SO2 dan NOx yang rendah
pula
2.4.2 Reaktor Gasifikasi
Saat ini terdapat 3 (tiga) jenis utama reaktor gasifikasi yaitu reaktor unggun bergerak
(moving bed), reaktor unggun terfluidakan (fluidized bed), dan reaktor entrained flow. Ketiga
jenis reaktor tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing yang akan diuraikan
pada sub bab berikutnya.

Tabel 2.4 Kelebihan dan Kelemahan Gasifier

Jenis gasifier
Updraft
Gasifier

Kelebihan

Kelemahan

a. menghasilkan pembakaran yang


sangat bersih

a. menghasilkan sedikit
metan

b. lebih mudah dioperasikan

b. tidak dapat beroperasi

c. arang yang dihasilkan lebih sedikit

secara kontinyu
c. gas yang dihasilkan
tidak kontinyu

Dwondraft
Gasifier

a. dapat beroperasi secara kontinyu


b. suhu gas tinggi

a. tar yang dihasilkan lebih


banyak
b. produksi asap terlalu
banyak selama operasi
c. menghasilkan arang
lebih banyak

Crossdraft

a. suhu gas yang keluar tinggi

Gasifier

b. reduksi CO2 rendah

a. komposisi gas yang


dihasilkan kurang bagus

17

c. kecepatan gas tinggi

b. gas CO yang dihasilkan

d. tempat penyimpanan,

tinggi, gas H rendah

pembakaran dan zona reduksi


terpisah

c. gas metan yang


dihasilkan juga rendah

e. kemampuan pengoperasiannya
sangat bagus
f. waktu mulai lebih cepat
Fluidized bed
Gasifier

a. reaktor mempunyai kemampuan

a. rancang bangunannya

untuk memproses fluida dalam

kompleks sehingga

jumlah yang besar

biaya pembuatannys

b. pengendalian temperatur lebih


baik

mahal
b. jarang digunakan di

c. pencampuran (mixing) yang

dalam laboratorium

bagus untuk katalis dan reaktan

1. Updraft Gasifier
Pada tipe ini udara masuk melalui arah bawah dan mengoksidasi arang secara parsial untuk

Gambar 2.3 Updraft gasifier


Sumber : Biomass Thermochemical Conversion, Paul Grabowski, 2004

menghasilkan CO dan H2 (jika digunakan uap) dan ditambah N2 (jika digunakan udara).
Gas ini kemudian bertemu dengan biomassa. Gas yang sangat panas tersebut mempirolisa
18

biomassa, menghasilkan karbon padatan (arang), uap air dan 10 - 20% uap minyak pada
temperatur 100 - 400 oC, tergantung pada kadar air biomassa. Selanjutnya arang akan dioksidasi
parsial oleh udara dan menghasilkan gas.
2. Downdraft Gasifier
Udara

masuk

menyebabkan

pirolisis

(flaming

pyrolisis)

biomassa.

Proses ini

mengkonsumsi uap-uap minyak dan menghasilkan gas reduksi partial CO, CO2, H2 dan H20,
serta sedikit metan sekitar 0,1%. Gas panas bereaksi dengan arang untuk mereduksi gas lebih
lanjut dan meninggalkan sekitar 2-5% abu arang. Berdasar gas yang perlukan untuk proses
gasifikasi, terdapat gasifikasi udara dan gasifikasi uap. Gafisikasi udara, dimana gas yang
digunakan untuk proses gasifikasi adalah udara. Gasifikasi uap, gas digunakan untuk proses
adalah uap.

Gambar 2.4 Downdraft Gasifier


Sumber : Biomass Thermochemical Conversion, Paul Grabowski, 2004

3. Crossdraft Gasifier
Mungkin gasifikasi tipe cross-draft lebih menguntungkan dari pada updraft dan down-draft
gasifier. Keuntungannya seperti suhu gas yang keluar tinggi, reduksi CO2 yang rendah dan
kecepatan gas yang tinggi yang dikarenakan desainnya. Tidak seperti down-draft dan up-drat
gasifier, tempat penyimpanan, pembakaran, dan zona reduksi pada cross-draft gasifier terpisah.
19

Untuk desain bahan bakar yang terbatas untuk pengoperasian rendah abu bahan bakar seperti
kayu, batu bara, limbah pertanian. Kemampuan pengoperasiannya sangat bagus, menyebabkan
konsentrasi sebagian zona beroperasi diatas suhu 200oC. Waktu mulai (start up) 5-10 menit jauh
lebih cepat daripada down-draft dan up-draft gasifier. Pada cross-draft dapat menghasilkan
temperatur yang relatif tinggi, komposisi gas yang dihasilkan kurang baik seperti tingginya gas
CO dan rendahnya gas hidrogen serta gas metana.

Gambar 2.5 Crossdraft Gasifier


Sumber : Biomass Thermochemical Conversion, Paul Grabowski, 2004

4. Fluidised bed gasifiers


Gasifikasi fluidised bed ini awalnya dikembangkan untuk mengatasi masalah operasional
pada gasifikasi moving bed yang menghasilkan kadar abu yang tinggi, tetapi sangat cocok untuk
kapasitas lebih besar (lebih besar dari 10 MWth) pada umumnya. Fitur dari gasifikasi fluidised
bed dapat dibandingkan dengan pembakaran fluidised bed. Dibandingkan dengan moving bed
gasifiers yang temperatur gasifikasinya relatif rendah sekitar 750-900C. Dalam moving bed
gasifiers suhu di zona perapian mungkin setinggi 1200C, dalam gasifiers arang suhunya bahkan
1500C. Bahan bakar ini dimasukkan ke dalam pasir panas yang dalam keadaan suspensi
(fluidised bed gelembung) atau sirkulasi (sirkulasi fluidised bed). Bed berperilaku kurang lebih
seperti fluida dan ditandai dengan turbulensi yang tinggi. Pencampuran partikel bahan bakar
20

yang sangat cepat dengan material bed, sehingga dalam pirolisis cepat dan jumlah gas pirolisis
yang relatif besar. Karena suhu rendah konversi tar tidak terlalu tinggi.

Gambar 2.6 Fluidized bed gasifiers


Sumber : Biomass Thermochemical Conversion, Paul Grabowski, 2004

Tabel 2.5 Aspek-aspek Teknis Gasifikasi menggunakan Fluidized Bed


Gasifikasi bertekanan

Gasifikasi atmosferik

(+) Peralatan disisi hilir lebih kecil dan secara

(-) Ukuran peralatan di sisi hilir lebih besar

umum lebih murah terutama untuk peralatan


berskala kecil
(-) Reaktor gasifikasi (gasifier) memakan biaya

(+) Reaktor gasifikasi (gasifier) memakan biaya

yang lebih besar apabila skala proses lebih

yang lebih murah apabila skala proses lebih

kecil

kecil

(-) Sulit menjaga laju massa di dalam gasifier


agar tetap konstan, sehingga pengalaman

(+) Terdapat banyak pengalaman komersial


menggunakan udara sebagai agen gasifikasi

operasi masih terbatas pada proyek-proyek


demo
Oksigen

Udara

(-) Dibutuhkan pabrik pemisahan udara, sehingga

(+) Proses lebih murah

skala kecil kurang ekonomis


(+) Tidak terjadi pelarutan gas sintesis oleh N2

(+) Gas sintesis larut dalam N2, berpengaruh


pada selektivitas C5+

Pemanasan langsung

Pemasan Tidak Langsung

(+) Produksi tar lebih sedikit

(-) Produksi tar lebih banyak

21

Sumber: Exploration of the possibelities for production of Ficher Tropsch liquids and power via biomass
gasification, Tijmensu, 2002

5. Recirculasi/ Cyclonic
Cyclonic merupakan unit utama yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi gasifikasi
dengan jalan membakar kembali melalui proses sirkulasi. Gas panas dan tar,debu bercampur
kembali ke reactor. Siklon ini menggunakan gaya sentrifugal untuk memisahkan padatan dari gas
dengan mengarahkan aliran gas menuju jalur melingkar. Karena pengaruh gaya inersia, partikel
tidak akan mampu mengikuti jalur tersebut sehingga akan terpisahkan dari aliran gas. Meskipun
secara fisik pemisahan partikel cukup kompleks, filter siklon dengan kinerja yang sudah
diprediksikan sebelumnya dapat dirancang menggunakan teknologi teoritis dan empiris yang
sudah dikembangkan selama ini.
Siklon (seringkali dirancang sebagai tube berbentuk U) umumnya digunakan sebagai
langkah pembersihan gas yang paling pertama di sebagian besar sistem gasifikasi karena unit ini
dipandang cukup efektif dan relatif murah untuk dibangun dan dioperasikan. Di dalam gasifier
unggun terfluidakan ataupun entrained bed, siklon merupakan bagian terintegrasi dalam
perancangan reaktor yang digunakan untuk memisahkan material unggun dan partikel lainnya
dari aliran gas.
Partikel ini efektif untuk memisahkan partikel yang ukurannya lebih besar dan dapat
dioperasikan pada rentang temperatur yang cukup besar. Batasan utamanya hanya pada segi
bahan konstruksi. Siklon, seringkali dirancang dalam bentuk beberapa unit yang dipasang seri
(multi-clones), dapat memisahkan >90% partikel berdiameter 5 micron dengan penurunan
tekanan minimum 0,01 atm. Pemisahan partikel dengan diameter 1-5 micron secara parsial juga
masih memungkinkan, namun Siklon menjadi tidak efektif untuk memisahkan partikel submicron. Karena siklon dapat dioperasikan pada temperatur tinggi, panas sensible dalam produk
gas dapat dipertahankan.
Siklon juga dapat memisahkan tar yang terkondensasi dan material alkali dari aliran gas,
namun bentuk uap dari kedua jenis kontaminan tersebut masih akan terbawa oleh aliran gas.
Dalam praktiknya, pemisahan sejumlah tar secara signifikan dapat dilakukan secara sekuensial
dengan cara memisahkan partikel.
22

Teknologi siklon merupakan teknologi yang sudah matang dan pengembangannya di


masa depan akan terus dikembangkan untuk mendapatkan hasil yang lebih maximal.

Gambar 2.7 cyclone CFB


Konsep gasifikasi CFB di Finland, dilengkapi dengan cyclone sistem.
Sumber: Technical Research Centre of Finland 2002

6. Reaktor Entrained Flow


Reaktor entrained flow dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu slagging dan non slagging.
Di dalam gasifier slagging, komponen-komponen yang terbentuk dari parikel debu dapat meleleh
di dalam gasifier, mengalir turun di sepanjang dinding reaktor, dan meninggalkan reaktor dalam
bentuk slag cair. Secara umum, laju alir massa slag sekurang-kurangnya 6 % dari laju alir bahan
bakar untuk memastikan proses berjalan dengan baik. Di dalam gasifier non slagging, dinding
reaktor tetap bersih dari slag. Jenis gasifier ini cocok untuk umpan yang kandungan partikel debu
nya tidak terlalu tinggi.

23

Gambar 2.8 reaktor entrained flow


Sumber : Biomass Thermochemical Conversion, Paul Grabowski, 2004

Kelakuan partikel debu yang dihasilkan oleh biomassa diteliti secara detail oleh
Boerrigter H., dkk (2004). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa partikel debu yang dihasilkan
oleh biomassa, khususnya biomassa kayu, sulit meleleh pada temperatur operasi gasifier
entrained flow (1300-1500 oC). Hal tersebut disebabkan kenyataan bahwa partikel debu tersebut
banyak mengandung CaO. Oleh karena itu gasifier non slagging sepertinya menjadi pilihan
utama untuk proses gasifikasi, juga dengan pertimbangan bahwa jenis gasifier ini lebih murah.
Akan tetapi gasifier entrained flow jenis slagging lebih disukai untuk operasi gasifikasi dengan
umpan biomassa. Alasan yang paling penting adalah (1) pelelehan sebagian kecil komponen
partikel debu tidak akan pernah dapat dihindari dan (2) gasifier entrained flow jenis slagging
lebih fleksibel terhadap jenis biomassa yang akan digunakan.
Fleksibilitas jenis umpan ini bahkan dapat diperluas hingga ke batu bara. Penambahan
agen fluks seperti silica atau clay diperlukan. Selain itu recycle slag juga diperlukan.
Penggunaan reaktor entrained flow jenis slagging untuk batu bara sudah dapat diaplikasikan.
Oleh karena itu, penambahan material fluks menyebabkan slag yang dihasilkan melalui
gasifikasi biomassa menjadi mirip dengan slag yang dihasilkan oleh gasifikasi batu bara.
Sehingga tidak terdapat permasalahan untuk proses gasifikasi itu sendiri apabila umpan yang
digunakan bukan batu bara, melainkan biomassa.
24

Akan tetapi tantangan utama yang timbul adalah dalam hal pengumpanan biomassa.
Sebagaimana telah dikaji oleh peneliti-peneliti di seluruh dunia, proses gasifikasi dapat terjadi
pada tekanan yang berbeda, melalui proses pemanasan langsung ataupun tidak langsung, serta
menggunakan udara atau oksigen.

2.4.3 Dasar Proses Gasifikasi


1. Zona Pengeringan
Bahan bakar padat dimasukkan ke dalam gasifier di atas. Hal ini tidak perlu menggunakan
peralatan pengumpanan bahan bakar yang kompleks, karena sejumlah kecil kebocoran udara
dapat ditoleransi di tempat ini. Sebagai akibat dari perpindahan panas dari bagian bawah gasifier,
pengeringan bahan bakar biomassa terjadi di bagian bungker. Uap air akan mengalir ke bawah
dan menambah uap air yang terbentuk di zona oksidasi. Bagian dari itu dapat direduksi menjadi
hidrogen dan sisanya akan berakhir sebagai kelembaban dalam gas.

2. Zona Pirolisis
Tidak seperti pembakaran, pirolisis terjadi pada tempat yang tidak terdapat oksigen,
kecuali dalam kasus di mana oksidasi parsial diperbolehkan untuk menyediakan energi termal
yang dibutuhkan untuk proses gasifikasi. Terdapat tiga variasi pirolisis.

a. mild pyrolysis
b. slow pyrolysis
c. fast pyrolysis

Pada pirolisis melokel besar hydrocarbon dipecah menjadi partikel kecil hydrocarbon.
Fast pyrolysis hasil utamanya adalah bahan bakar cair, slow pyrolysis menghasilkan gas dan
arang. Mild pyrolysis yang saat ini sedang dipertimbangkan untuk pemanfaatan biomassa yang
efektif. Pada proses ini biomssa dipanaskan 200-300 0C tanpa kontak dengan oksigen. Struktur
kimia dari biomssa diubah, dimana menghasilkan carbon dioksida, carbon monoksida, air, asam
asetat, dan methanol. Mild pyrolysis meningkatkan densitas energi dari biomssa.
25

Pada suhu di atas 250C, bahan bakar biomassa dimulai pyrolysing. Rincian pirolisis ini
reaksi yang tidak dikenal, tetapi orang bisa menduga bahwa molekul-molekul besar (seperti
selulosa, hemi-selulosa dan lignin) terurai menjadi molekul berukuran sedang dan karbon (char)
selama pemanasan bahan baku. Produk pirolisis mengalir ke bawah ke zona pemanasan pada
gasifier. Beberapa akan dibakar di zona oksidasi, dan sisanya akan memecah bahkan molekul
yang lebih kecil dari hidrogen, metana, karbon monoksida, etana, etilena, dll jika tetap berada di
zona panas cukup lama. Jika waktu tinggal di zona panas terlalu pendek atau suhu terlalu rendah,
maka molekul berukuran menengah dapat melarikan diri dan akan mengembun sebagai tar dan
minyak, dalam suhu rendah bagian dari sistem. Secara umum reaksi yang terjadi pada pirolisis
beserta produknya adalah:
biomassa

char + tar + gases (CO2; CO; H2O; H2; CH4; CxHy)

3. Zona Oksidasi
Zona pembakaran (oksidasi) dibentuk pada tingkat di mana oksigen (udara) dimasukkan.
Reaksi dengan oksigen sangat eksotermik dan mengakibatkan kenaikan tajam suhu sampai 12001500C. Sebagaimana disebutkan di atas, fungsi penting dari zona oksidasi, selain penghasil
panas, adalah untuk mengkonversi dan mengoksidasi hampir semua produk terkondensasi dari
zona pirolisis. Untuk menghindari titik-titik dingin di zona oksidasi, kecepatan udara masuk dan
geometri reaktor harus dipilih dengan baik. Umumnya dua metode yang digunakan untuk
mendapatkan suhu distribusi:
1) mengurangi

luas

penampang

pada

ketinggian

tertentu

dari

reaktor

(konsep

"tenggorokan").
2) penyebaran nozel inlet udara di atas lingkar mengurangi cross-sectional area, atau
alternatif menggunakan inlet udara sentral dengan perangkat penyemprotan.

4. Zona Reduksi
Produk

reaksi dari zona oksidasi (gas panas dan bara arang ) bergerak turun

ke zona reduksi. Di zona ini masuk panas sensible dari gas dan arang dikonversi sebanyak
mungkin menjadi energi kimia dari gas produser. Produk akhir dari reaksi kimia yang terjadi di
26

zona reduksi adalah gas mudah terbakar yang dapat digunakan sebagai bahan bakar gas dalam
pembakaran dan setelah pembuangan abu dan pendinginan cocok untuk motor bakar dalam.
Abu yang dihasilkan dari gasifikasi biomassa kadang-kadang harus dibuang dari gasifier.
Karena biasanya timbul perapian di dasar peralatan dan dengan demikian membantu untuk
mencegah penyumbatan yang dapat menyebabkan obstruksi aliran gas. Berikut adalah reaksi
kimia yang terjadi pada zona tersebut :
Bourdouar reaction:
C + CO2 = 2 CO 172 (MJ/kmol)
Steam-carbon reaction :
C + H2O = CO + H2 131 (MJ/kmol)
Water-gas shift reaction:
CO + H2O = CO2 + H2 + 41 (MJ/kmol)
CO methanation :
CO + 3 H2 206 (MJ/kmol) = CH4 + H2O

2.4.4 Parameter Parameter Penting dalam Proses Gasifikasi


Menurut Belonio (2005), parameter parameter penting yang harus dipertimbangkan
dalam proses gasifikasi, yaitu :
1) Temperatur gasifikasi
Temperatur gasifikasi harus tinggi karena dalam tahap pertama gasifikasi adalah
pengeringan untuk menguapkan kandungan air dalam batu bara dan biomassa agar
menghasilkan gas yang bersih. Temperatur yang tinggi juga dapat berpengaruh dalam
menghasilkan gas yang mudah terbakar. Sehingga untuk mempertahankan temperatur, maka
tangki reaktor diisolasi dengan bata tahan api agar tidak ada panas yang keluar ke lingkungan
sehingga efisiensi reaktor menjadi baik.

27

2) Spesific Gasification Rate (SGR)


SGR mengindikasikan banyaknya biomassa rata-rata yang dapat tergasifikasi dalam
gasifier. Jika SGR semakin besar maka proses gasifikasi tidak berjalan secara sempurna,
sebaliknya jika SGR semakin kecil maka proses gasifikasi berjalan lambat. SGR dapat
dihitung dengan cara :

SGR =

......(2.1)

3) FCR (Fuel Consumtion Rate)


Biomassa yang dibutuhkan pada proses gasifikasi dapat dihitung menggunakan
rumus:

FCR =

.(2.2)

.(2.3)

4) GFR (Gas Fuel Ratio).


GFR (Gas Fuel Ratio) dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

GFR =

........(2.4)

5) Prosentase (%) Char


Prosentase (%) char adalah perbandingan banyaknya arang yang dihasilkan dengan
banyaknya biomassa yang dibutuhkan.Prosentase( %) char dapat dihitung menggunakan
rumus :

% char =

..................(2.5
28

6) Waktu konsumsi bahan bakar


Hal ini mengacu pada total waktu yang dibutuhkan untuk benar-benar mengubah
menjadi gas dari bahan bakar padat di dalam reaktor. Ini termasuk waktu untuk menyalakan
bahan bakar dan waktu untuk menghasilkan gas, ditambah waktu untuk benar-benar
membakar semua bahan bakar dalam reaktor. Kepadatan dari bahan bakar padat (), volume
reaktor (Vr), dan konsumsi bahan bakar tingkat (FCR) adalah faktor yang digunakan dalam
menentukan total waktu untuk mengkonsumsi bahan bakar padat dalam reaktor. Seperti
ditunjukkan di bawah, ini dapat dihitung menggunakan rumus :

....(2.6)

T=

Dimana:
FCR

= Fuel Consumption Rate (kg/hr)

= Waktu konsumsi bahan bakar (hr)


= Massa jenis Bahan bakar (kg/m3)

7) Jumlah udara dibutuhkan untuk gasifikasi


Hal ini mengacu pada laju aliran udara yang diperlukan untuk mengubah bahan bakar
padat menjadi gas . Hal ini sangat penting dalam menentukan ukuran kipas angin atau blower
yang dibutuhkan untuk reaktor di gasifying serbuk kayu. Seperti ditunjukkan, ini dapat hanya
ditentukan dengan menggunakan tingkat konsumsi serbuk kayu bahan bakar (FCR), udara
stoikiometri dari bahan bakar (SA), dan rasio ekuevalensi () untuk gasifying 0,3 sampai 0,4.
Seperti ditunjukkan, ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

AFR =

........(2.7)

Dimana:
AFR

= Air Fuel Rate (tingkat aliran udara) (m3/jam)


29

FCR

= Fuel Consumption Rate (kg/jam)


= Massa jenis udara (1,25 kg/m3)

= Rasio ekuivalensi (0,3-0,4)

SA

= Udara stoikiometri dari bahan bakar padat

2.4.5 Efisiensi gasifikasi


Penelitian parameter-parameter yang mempengaruhi efisiensi gasifier dilakukan oleh
Jayah, dkk (2003). Parameter-parameter tersebut yaitu kandungan moisture, temperatur udara
masuk, dan heat loss. Mereka menyimpulkan bahwa kandungan moistur bahan-bakar semakin
tinggi, nilai kalor syngas semakin rendah, dengan kata lain efisiensi gasifikasi semakin kecil
dengan tingginya kandungan moisture bahan-bakar. Nilai tertinggi dari kandungan moistur dari
bahan-bakar tidak boleh lebih dari 33%. Untuk pengaruh temperatur udara masuk, semakin
tinggi temperatur udara masuk gasifier akan menaikan efisiensi gasifikasi. Disamping itu,
pemanasan udara masuk bisa
menurunkan air fuel ratio. Sedangkan pengaruh besarnya heat loss, semakin kecil heat loss
semakin besar pengaruhnya terhadap efisiensi konversi gasifikasi.
Prins, dkk., (2007) menjabarkan beberapa parameter penting yang mempengaruhi efisien
gasifikasi. Khususnya pengaruh temperatur dan besarnya nilai dari equivalen ratio gasifikasi.
Untuk bahan-bakar biomassa dengan nilai prosentasi karbon yang rendah, temperatur gasifikasi
dikondisikan pada 7820 C - 9270 C pada equivalen ratio 0,244 - 0,295. Pada equivalen ratio yang
lebih rendah, jumlah udara menjadi berlimpah menjadikan panas banyak terbuang, efisiensi
gasifikasi turun. Untuk memastikan semua karbon bereaksi, temperature harus tinggi > 9270C
dan equivalen ratio 0,4. Tetapi, pada kondisi tersebut prosentase tar yang dihasilkan sangat
tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, ada dua cara yaitu memanaskan udara masuk gasifier dan
memperlama waktu tinggal (residence time) produk gas.
Efisiensi gasifikasi didapat dengan perbandingan energi input dan energi output dari
carbon convertion rate (CCR). Dalam hal ini yaitu apabila gas sebuah proses gasifikasi
dimanfaatkan untuk proses pembakaran dalam maka efisiensi gasifikasi merupakan efisiensi
cold-gas dimana gas yang dihasilkan akan didinginkan sampai temperature ambient sebelum
dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Untuk cold-gas efisiensi dapat dijabarkan sebagai berikut:
30

...(2.8)
Dimana:
Mb = Fuel consumption ( kg/sec)
Cb = Heating value of fuel ( kJ/m3)
Vg= Gas generation rate (m3/sec)
qg = Heating value of the gas (kJ/m3)

2.5 Fluidisasi
Bila suatu zat cair atau gas dilewatkan melalui lapisan hamparan partikel padat pada
kecepatan rendah, partikel-partikel itu tidak bergerak. Jika kecepatan fluida berangsur-angsur
dinaikan partikel-partikel itu akhirnya akan mulai bergerak dan melayang di dalam fluida. Istilah
fluidisasi (fluidization) dan hamparan fluidisasi (fluidized bed) bisa digunakan untuk
memeriksa keadaan partikel yang seluruhnya dalam keadaan melayang (suspensi), karena
suspense ini berlaku seakan-akan fluida rapat. Jika hamparan itu dimiringkan, permukaan
atasnya akan tetap horizontal. Dan benda-benda besar akan mengapung atau tengelam di dalam
hamparan itu tergantung pada perbandingan densitasnya terhadap suspense zat padat yang
terfluidisasi dapat dikosongkan dari hamparannya melalui pipa dan katup sebagaimana halnya
suatu zat cair dan sifat fluidisasi ini merupakan keuntungan utama dari penggunaan fluidisasi
menangani zat padat.

2.5.1 Karakteristik Fluidisasi


Bila zat cair atau gas dilewatkan melalui lapisan hamparan partikel pada kecepatan
rendah, partikel-partikel itu tidak bergerak (diam). Jika kecepatan fluida berangsur-angsur
dinaikkan, partikel-partikel itu akhirnya akan mulai bergerak dan melayang di dalam fluida, serta
berperilaku seakan-akan seperti fluida rapat.
Jika hamparan itu dimiringkan, permukaan atasnya akan tetap horizontal, dan bendabenda besar akan mengapung atau tengelam di dalam hamparan itu tergantung pada
perbandingan densitas dari partikel tersebut.
31

2.5.2 Jenis-Jenis Fluidisasi


1. Fluidisasi Partikulat (Particulate Fluidization)
Fluidisasi partikulat adalah jenis fluidisasi yang menggunakan zat cair sebagai fluidanya.
Ekspansi hamparan yang terjadi cukup besar dan seragam pada kecepatan tinggi. Partikelpartikel itu bergerak menjauh satu sama lain dan gerakannya bertambah hebat dengan
meningkatnya kecepatan, tetapi densitas hamparan rata-rata pada kecepatan tinggi.

2. Fluidisasi Gelembung (Bubbling Fluidization)


Fluidisasi gelembung adalah jenis fluidisasi yang menggunakan udara sebagai fluidanya.
Pada fluidisasi ini kebanyakan gas akan mengalir melalui hamparan dalam bentuk gelembung
atau rongga-rongga yang tidak berisikan zat padat dan hanya sebagian kecil gas itu mengalir
dalam saluran-saluran yang berbentuk diantara partikel. Gelembung yang terbentuk berprilaku
hampir seperti gelembung udara didalam air atau gelembung uap didalam zat cair yang
mendidih. Karena itu fluidisasi jenis ini kadang-kadang dinamai dengan istilah hamparan didih
(boiling bed)

2.5.3 Rumus-rumus Umum Fluidisasi


Volume dan Luas Permukaan Padatan
Volume padatan:
(m3) ...(2.10)

Vs =

Luas permukaan padatan:


As =

(m2) .,...(2.11)

dimana:

As = luas permukaan padatan (m2)


Vs = volume padatan (m3)
= sphericity (faktor kebolaan)
32

dm = diameter rata-rata (m)


2.5.4 Fraksi Ruang Kosong (voidage)

(ms

mb)
.................................................................(2.12)

2.5.5 Kecepatan Minimum Fluidisasi (Umf)


Langkah pertama adalah menentukan fraksi ruang kosong (mf) yang terjadi di dalam bed
(hamparan) dengan mengunakan persamaan sebagai berikut:

dimana: = faktor kebolaan pasir silika


Selanjutnya adalah menentukan bilangan Archimedes (Ar) dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:

dimana:

Ar = bilangan Archimedes
g

= percepatan gravitasi bumi (m/detik)

dp = diameter partikel pasir silika (m)


g = densitas udara (kg/m3)
p = densitas pasir silika (kg/m3)
= viskositas udara (kg/m.detik)
33

Bilangan Archimedes (Ar) ini akan digunakan untuk menentukan bilangan Reynolds
(Remf) dengan menggunakan Ergun equation sebagai berikut:

Setelah bilangan Reynolds dapat dihitung dengan rumus di atas, maka kecepatan
minimum fluidisasi (Umf) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
(m/s) ...(2.13)

Umf =

2.5.6 Ekspansi Ketinggian Hamparan Fluidisasi (Ha)


Kecepatan bubble (Ub) :

dimana:

Ub = kecepatan bubble (m/detik)


U

= kecepatan fluidisasi

= konstanta (1)

Umf = kecepatan minimum fluidisasi (m/detik)


g

= percepatan gravitasi bumi (9,81 m/s2)

dB = diameter bubble (meter)

Ekspansi ketinggian hamparan fluidisasi (Ha) :

Ha = Ha Hmf = (U Umf) t bubble ....(2.14)

2.6 Pembakaran Bahan bakar


2.6.1 Nilai Pembakaran
34

Bila di dalam 1 kg bahan bakar yang terdiri dari C kg karbon, H kg Hidrogen, O kg


Oksigen, S kg Belerang, N kg Nitrogen, A kg abu, W kilogram air maka dapat dihitung nilai
pembakaran atau heating value dari bahan bakar tersebut, yaitu jumlah panas yang dihasilkan
dari pembakaran yang sempurna dari 1kg bahan bakar yang dimaksud. Berdasarkan buku ketel
uap (Djokosetyardjo, 1989) tentang pembakaran bahan bakar rumus untuk mentukan heating
value adalah sebagai berikut:
Qhigh = 33915 C + 144033 ( H - O/8 ) + 10648 S (kJ/kg) .........(2.15)
Qlow = 33915 C + 121423 ( H - O/8 ) + 10648 S 2512(W + 9 x O/8) (kJ/kg).(2.16)
Qhigh = nilai pembakaran tertinggi atau highest heating value, yang dalam hal ini uap air
yang

terbentuk

dari

hasil

pembakaran

dicairkan

terlebih

dahulu,

sehingga

panas

pengembunannya turut dihitung serta dinilai sebagai panas pembakaran yang terbentuk.
Qhigh = nilai pembakaran tertinggi atau lowest heating value, yang dalam hal ini uap air
yang terbentuk dari hasil pembakaran tidak perlu dicairkan terlebih dahulu, sehingga panas
pengembunannya tidak turut dihitung serta tidak dinilai sebagai panas pembakaran yang
terbentuk.

2.6.2 Jumlah Udara Pembakaran


Jika susunan bahan bakar diketahui, maka dapat dihitung jumlah kebutuhan udara
pembakaran untuk pembakaran sempurna. Sebelum menghitung kebutuhan udara pembakaran,
terlebih dahulu menghitung oksigen yang diperlukan untuk setiap kandungan C dan H yang
mengikat oksigen dalam pembakaran.

Karbon (C) terbakar sempurna menjadi CO2 menurut persamaan:


C + O2 =CO2
12 kg C + 32 kg O2 = 44 kg CO2
1kg C + 32/12 O2 = 44/12 CO2
1kg C + 2,67 O2 = 3,67 CO2 .(2.17)
Hidrogen (H) terbakar menjadi H20 menurut persamaan:
35

4 H + O2 = 2H2O
4 kg H + 32 O2 = 36 kg H2O
1kg H + 8kg O2 = 9 kg H2O (2.18)
Belerang (S) terbakar berdasarakan persamaan:
S + O2 = SO2
32 kg S + 32 kg O2 = 64 kg SO2
1 kg S + 1 kg O2 = 2 kg SO2 .(2.19)

36

Anda mungkin juga menyukai