Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

SEPSIS

Pembimbing : Dr. Asep S. Karim,SpPD


Disusun oleh :

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BUDHI ASIH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

BAB I
0

LAPORAN KASUS

STATUS ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH JAKARTA

Nama

NIM

Pembimbing : Dr. Asep S. Karim, SpPD

I. IDENTITAS
Nama lengkap/CM

: Ny. M /01.00.21.20

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 53 tahun

Suku bangsa

: Betawi

Status perkawinan

: Menikah

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: SLTA

Alamat

: Jl.

Tanggal masuk RS

: 17-02-2016

II. ANAMNESIS
1

Telah dilakukan autoanamnesis dengan pasien pada hari Rabu pukul 13.00 WIB, tanggal 17
Februari 2016 di ruang 508.
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan demam sejak1 bulan yang lalu SMRS.
Keluhan Tambahan
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut,
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan demam sejak 1 bulan yang lalu
sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasa os setiap hari dan naik turun. Os mengaku sering
berkeringat dan menggigil. Os juga mengeluhkan nyeri perut di bagian bawah sejak 3 bulan
SMRS. Os mengaku rutin kontrol kebidanan dan di diagnosa mioma uteri, dengan rencana
operasi bulan Juni mendatang. BAK dan BAB baik.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat riwayat hipertensi dan DM pada keluarga pasien. Terdapat riwayat kista
ovarium pada adik pasien
Riwayat Kebiasaan
-

Riwayat Pengobatan
Obat anti nyeri
Riwayat alergi
2

Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.


Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal dirumah padat penduduk, pencahayaan baik tidak perlu memakai lampu pada
pagi hari, ventilasi cukup baik.
Anamnesis menurut sistem
Umum: Lemas
Kulit : Tidak ada keluhan
Kepala : Kepala, mata, telinga, hidung, mulut, tenggorokan tidak ada keluhan.
Leher : Nyeri menelan, sakit tenggorokan disangkal.
Dada : Nyeri dada dan sesak setelah makan, batuk disangkal.
Abdomen : Nyeri di perut bagian bawah. Bab hitam, nyeri ulu hati, perut kembung, muntah
darah disangkal.
Saluran kemih : Bak lancar, jernih, tidak ada nyeri saat berkemih.
Genital : Tidak ada keluhan.
Ekstremitas : Tidak terasa baal pada kedua kaki dan tangan, tidak terdapat nyeri saat berjalan
jauh.

III. PEMERIKSAAN FISIK


3

Keadaan Umum
Kesan sakit

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis

TTV : TD 100/80 mmHg

N 82x/menit RR 20x/menit

S 38,6oC

BB : 50kg
TB : 165cm
BMI : 18,3
Kesan : Normal
Status Generalis
Kulit
Warna kulit sawo matang, pucat (-), sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit baik, efloresensi
bermakna (-).
Kepala
Normochepali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, deformitas (-)
Mata : Ptosis (-), palpebra oedem (-), Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor, reflex cahaya langsung dan tidak langsung (+/+).
Telinga : Normotia, nyeri tarik atau nyeri lepas (-/-), liang telinga lapang (+/+), serumen
(-/-)
Hidung : Deformitas (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-), kavum nasal tampak lapang (+/+)
Mulut : sianosis (-),bibir tidak kering, mukosa mulut tidak kering, tidak ada efloresensi
yang bermakna, oral hygine baik, uvula letak di tengah, tidak hiperemis, arkus faring
tidak hiperemis dan tidak tampak detritus, tonsil T1/T1.
Leher
4

Inspeksi : Tak tampak benjolan KGB dan kelenjar tiroid


Palpasi : Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar.
JPV : 5+2 cmH2O
Toraks
Inspeksi :Tidak tampak efloresensi yang bermakna, gerak pernafasan simetris tidak
tampak pergerakan nafas yang tertinggal, tulang iga tidak terlalu vertikal maupun
horizontal, retraksi otot-otot pernapasana (-).
Palpasi : vocal fremitus simetris kiri dan kanan dada. Ictus cordis teraba setinggi ICS 5 1
cm dari garis midclavicula kiri.
Perkusi : Didapatkan perkusi sonor pada kedua lapang paru.
-

batas paru dengan hepar : setinggi ICS 5 linea midclavicula kanan dengan suara redup
batas paru dengan jantung kanan : setinggi ICS 3 hingga 5 linea sternalis kanan

dengan suara redup


batas paru dengan jantung kiri : setinggi ICS 5 1 cm linea midclavicula kiri dengan

suara redup
batas atas jantung : setinggi ICS 3 linea parasternal kiri dengan suara redup

Auskultasi :
-

Jantung : Bunyi jantung I & II regular murmur (-) gallop (-).


Paru : Suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronki (-/-).

Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak efloresensi yang bermakna, perut buncit, smiling umbilicus (-),
hernia umbilikalis (-), pulsasi abnormal (-), spider navy (-).
Auskultasi : BU (+) normal.
Perkusi : Didapatkan timpani pada seluruh lapang abdomen, shifting dullness (-).

Palpasi : datar, tidak teraba massa, defence muscular (-), nyeri tekan epigastrium (-).
Nyeri lepas (-).
Hepar, lien tidak teraba, ballotemen (-).
Ekstremitas
Inspeksi : Simetris, tidak tampak efloresensi yang bermakna, oedem ekstremias superior
(-/-), oedem ekstremitas inferior (-/-), palmar eritema (-/-).
Palpasi : Akral teraba hangat, CRT < 2 detik.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
(17/2/16)

JENIS
PEMERIKSAAN
Hematologi
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
Kimia Klinik
Ureum
Kreatinin
GDS
Elektrolit
Na
K
Cl

Hasil

Satuan

Nilai normal

45,0
3,8
11,2
34
172
89,0
29,7
33,3
13,2

ribu/ul
juta/ul
g/dl
%
ribu/ul
fL
Pg
g/dl
%

3,6-11
3,8-5,2
11,7-15,5
35-47
150-440
80-100
26-34
32-36
<14

99
1,10
123

mg/dl
mg/dl
mg/dL

13-43
<1,1
<110

139
5,5
105

mmol/l
mmol/l
mmol/l

135-155
3,6-5,5
98-109

IV.

RINGKASAN
Pasien seorang perempuan berusia tahundatang ke IGD RSUD Budhi Asih dengan
keluhan demam sejak 1 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasa os setiap
6

hari dan naik turun. Os juga mengeluhkan nyeri perut di bagian bawah sejak 3 bulan SMRS.
Nyeri dirasakan menjalar ke punggung, nyeri diakui os semakin memberat. Os mengaku rutin
kontrol kebidanan dan di diagnosa mioma uteri, dengan rencana operasi bulan Juni
mendatang. BAK dan BAB baik. Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran pasien compos
mentis, suhu 38,00C. Pada pemeriksaan lab didapatkan leukositosis, anemia, dan
hiperkalemia.
V. DAFTAR MASALAH
- Sepsis
- Mioma Uteri
- Hiperkalemia
VI.

PENGKAJIAN MASALAH

1. Sepsis
a. Gejala klinis yang mendukung adalah demam tinggi > 38,0C, leukositosis > 12.000
pada pasien 45.000, terpenuhi 2 dari 5 gejala SIRS (Systemic inflamatory Response
syndrome) + curiga adanya infeksi pada uterus maka pasien didiagnosis mengalami
sepsis.
b. Rencana diagnosis :
-Darah Lengkap
-Elektrolit
-AGD
-Ro Thorax
-Urinalisa
-Prokalsintonin
c. Rencana terapi :
-Perbaiki Hemodinamik: Aseng / 8 j
-Antibiotik: cefoperazone 3x1g
-Vasopressor
-Edukasi
2. Mioma Uteri
a. Dasar diagnostik : Nyeri pada perut bagian bawah. Nyeri menjalar ke punggung
belakang, nyeri dirasakan semakin memberat. riw. kista ovarium pada keluarga,
b. Rencana diagnostik :
- USG
c. Rencana Terapi :
- Laparotomi
3. Hiperkalemia
a. Dasar diagnostik : hasil kalium
b. Rencana diagnostik :
- elektrolit
7

c. Rencana Terapi :
- KCl
VII.

PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam

: dubia ad bonam

Follow up harian
Tanggal
18/02/12

Subjektif
Nyeri perut,

Objektif
Kesadaran : CM

Sulit BAB,

KU

tampak

Assessment
Penatalaksanaan
Prolonge fever ec Epysan sry 3x1cth
sakit susp Sepsis

B com 3x1

sedang

Mioma Uteri

Cefoperazon 3x1gr

Suhu : 37,4C

Hiperkalemia

Ranitidin 2x1

TD : 90/60

Tramadol 2x1 drip

N : 102x/menit

Ondancentron 2x1

RR:20x/menit
Mata : CA -/-, SI -/Thorax
-

Paru : Sn
vesikuler +/+,
ronki -/-,

wheezing -/Jantung : S1 dan


S2 reg, M (-), G
(-)

Abd : supel, NT (+),


NTE (-) BU (+) timpani
Eks : akral hangat (+/+)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SEPSIS

A. DEFINISI
SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) adalah suatu bentuk respon inflamasi
terhadap infeksi atau non-infeksi yang ditandai oleh gejala: 6
Tabel 1. Kriteria SIRS 6,7

Sedangkan sepsis adalah SIRS yang disebabkan oleh infeksi. 6 Sepsis berat adalah sepsis
disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi yang tidak terbatas hanya pada laktat
asidosis, oliguria maupun perubahan mental akut.7,8 Sedangkan syok sepsis adalah sepsis dengan
hipotensi yang ditandai dengan penurunan TDS < 90 mmHg atau penurunan >40 mmHg dari
tekanan darah awal tanpa adanya obat-obatan yang dapat menurunkan tekanan darah.6-9

Gambar 1. Derajat sepsis 9


B. ETIOLOGI
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan presentase 60-70%
kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yang terpacu untuk
melepaskan mediator inflamasi. 10
Gambar 3. Etiologi Sepsis 7
Tabel 2. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis. 2

Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi dasar predisposisi,


penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ atau disingkat menjadi PIRO
(Predisposing Factors, Insult, Response And Organ Dysfunction).

Gambar

3. Faktor

predisposisi, infeksi, respon klinis dan disfungsi organ pada sepsis10


Tabel 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis 10
C. PATOGENESIS
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat. Hal ini
dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung terus menerus dengan
sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini menggambarkan penyebaran infeksi
melalui pembuluh darah dan dikatakan peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah
perluasan dari peradangan biasa. 10
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator inflamasi
termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan antiinflamasi. Sitokin yang
termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon yang bekerja membantu sel untuk
menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi

yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan
untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses penyembuhan.
Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon proinflamasi akan meluas menjadi respon
sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan
kerusakan jaringan akibat gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi.
Sedangkan konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi adalah alergi dan immunosupressan.
Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga menciptakan kondisi ketidak
harmonisan imunologi yang merusak.10

Gambar 4. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis


Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri gram
negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan lipopolisakarida
(LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga
membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan
bereaksi dengan

perantara reseptor CD

14+ dan akan

bereaksi

makrofag

mengekspresikan

dan

dengan

imunomodulator.10

Gambar 5. Patogenesis sepsis 12


Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka dapat berperan
sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai
antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC (Antigen Presenting Cell).
Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari MHC (Major
Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+
(Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan perantara T-cell Reseptor. 10
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan
substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator akan mengeluarkan IFN-,
IL2

dan

M-CSF

(Macrophage

Colony

Stimulating

Factor),

sedangkan

Th2

akan

mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1 dan TNF yang merupakan sitokin
proinflamantori. IL-1 yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga memiliki efek pada
sel endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E 2) dan
merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil
tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.10 Neutrofil yang beradhesi akan
mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka
dan menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk
kedalam radikal bebas (nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria
sehingga endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya
kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan
sehingga terjadi kerusakan organ multipel.10

Gambar
6.

Pengaktifan komplemen dan sitokin pada sepsis 13


Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-, IL-8, IL-6
menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi pada jaringan
iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil metabolisme xantin dan
hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam amino yang turut menyebabkan
kerusakan jaringan. ROS penting artinya bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam
memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh
darah, Namun bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia
akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa menjadi
disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal
dan hematologi.11

D. GEJALA KLINIS
Umumnya klinis pada sepsis tidak spesifik, biasanya hanya didahului oleh tanda-tanda
non spesifik seperti demam, menggigil dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah dan
tampak kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering adalah paru-paru, traktus digestifus,
traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan sistem saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan

semakin berat pada pendeita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama yang
sering diikuti dengan syok.10
E. DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis sepsis, diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik
pemeriksaan yang menyeluruh, termasuk pemeriksaan penunjang.

Tabel 4. Sepsis menurut Society of Critical Care Medicine 7,11

dan

Sedangkan severe sepsis atau sepsis berat didiagnosis berdasarkan:

Tabel
5.
Sepsis berat menurut Society of Critical Care Medicine 7,11

F. DATA LABORATORIUM

Tabel. 5. Data laboratorium yang merupakan indikator pada sepsis2,10


G. PENATALAKSANAAN
Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman dalam
mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi penyebab (pola kuman
di RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi antimikroba empirik. 1,5,6
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi pasien langsung (perbaikan
hemodinamik), pemberian antibiotik, pengobatan fokus infeksi dan resusitasi serta terapi suportif
apabila telah terjadi disfungsi organ.10
1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan oksigenasi, terapi
cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6
jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan
saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70%
dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk
mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
g/kg/menit).11
Banyak pasien syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai
respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Untuk
mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Jika
tekanan darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu dipertimbangkan
pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit. Dopamin
diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan
sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal

meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 g/


KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5 mg/Kg
BB/menit, tetapi di kombinasi dengan levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi kedua
vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti
dengan vasokonstriktor lain (fenilefrin atau epinefrin)
2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak
mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan
prostesis yang terinfeksi.1 Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi
yang adekuat.11
3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik
intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah
kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas
melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber
sepsis.11 Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan
antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki
keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ. 1 Pemberian
antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan
klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi
lebih baik daripada monoterapi. Indikasi terapi kombinasi yaitu:
Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropenia
Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen (pseudomonas
aureginosa, enterokokus)
Tabel 6. Antibiotik berdasarkan sumber infeksi (Sepsis Bundle: Antibiotic Selection Clinical
Pathway from the Nebraska Medical Centre)

4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
b. Terapi cairan
Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau

ringer laktat) maupun koloid.1,6


Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi

tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.


Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb
rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan
septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10
g/dL.

c. Vasopresor dan inotropic

Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan


adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah
dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik
90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8g/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5g/kg.menit,
phenylepherine 0.5-8g/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5g/kg/menit. Inotropik dapat
digunakan: dobutamine 2-28 g/kg/menit, dopamine 3-8 g/kg/menit, epinefrin 0.10.5 g/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).1
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9 mEq/L
dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki
dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin
dosis renal (1-3 g/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi
ginjal pada sepsis, namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi
pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi
kontinu.
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis, glukoneogenesis),
ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan
kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis,
hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi:
kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini
mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas
sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai
kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin
baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula
darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena
ada risiko hipoglikemia.
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan DIC
(konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada
sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses

fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan


organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor
pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan
mortalitas.
Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal merupakan harapan
dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat meningkatkan
efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF antibodi hanya efektif bila
diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan antibodi CB0006 dan TNF
antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak dan mungkin juga dapat digunakan
untuk pengobatan walaupun terapeutic window-nya sempit. Pemberian HA-1A
Human monoclonal antibody sebaiknya dipertimbangkan pada pasien sepsis yang
penyebabnya dicurigai bakteri Gram negative, terutama pada sumber infeksi saluran
cerna dan saluran kemih yang sering disebabkan kuman Gram negatif.
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50
mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan
penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid
sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.6

Pemberian kortikosteroid pada

binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat menurunkan angka mortalitas. Pada
suatu studi prospektif pada manusia pemberian dosis tinggi 30 mg metil
prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam sampai 9 jam pada ke dua studi ini
tidak didapatkan peningkatan angka mortalitas. Pada penelitian yang lain juga
didapatkan hasil yang sama dan hanya dapat memperbaiki keadaan shock tetapi tidak
memperbaiki angka mortalitas.11
5. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog lipopolisakarida);
antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF;
metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein,
selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA); imunostimulator (imunoglobulin, IFN-,
G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi).
Endogenous activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi,
koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk
rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan
mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi.11

F. ALGORITMA PENATALAKSANAAN RESUSITASI DAN SEPSIS

MIOMA UTERI
A. Definisi

Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri dari sel-sel jaringan otot
polos, jaringan fibroid dan kolagen. Beberapa istilah untuk mioma uteri antara lain
fibromioma, miofibroma, leiomiofibroma, fibroleiomioma, fibroma dan fibroid.
B. Gejala Klinis
Tanda dan gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35 50% pasien. Gejala yang
disebabkan oleh mioma uteri tergantung pada lokasi, ukuran dan jumlah mioma. Gejala
dan tanda yang paling sering adalah :
1. Perdarahan
uterus
yang
abnormal.
Perdarahan
uterus
yang
merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi dan paling penting. Gejala ini
terjadi pada 30% pasien dengan mioma uteri. Wanita dengan mioma uteri mungkin
akan mengalami siklus perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur. Menorrhagia
dan atau metrorrhagia sering terjadi pada penderita mioma uteri. Perdarahan
abnormal ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
2. Nyeri
panggul
Mioma uteri dapat menimbulkan nyeri panggul yang disebabkan oleh karena
degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari mioma yang bertangkai maupun
akibat kontraksi miometrium yang disebabkan mioma subserosum. Tumor yang besar
dapat mengisi rongga pelvik dan menekan bagian tulang pelvik yang dapat menekan
saraf sehingga menyebabkan rasa nyeri yang menyebar ke bagian punggung dan
ekstremitas posterior.
3. Penekanan
Pada mioma uteri yang besar dapat menimbulkan penekanan terhadap organ sekitar.
Penekanan mioma uteri dapat menyebabkan gangguan berkemih, defekasi maupun
dispareunia. Tumor yang besar juga dapat menekan pembuluh darah vena pada pelvik
sehingga menyebabkan kongesti dan menimbulkan edema pada ekstremitas posterior
4. Disfungsi
reproduksi
Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih belum jelas.
Dilaporkan sebesar 27 40% wanita dengan mioma uteri mengalami infertilitas.
Mioma yang terletak didaerah kornu dapat menyebabkan sumbatan dan gangguan
transportasi gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi tuba bilateral.
Mioma uteri dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus yang sebenarnya
diperlukan
untuk
motilitas
sperma
didalam
uterus.
Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi
reproduksi

DAFTAR PUSTAKA
1. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock: rapid recognition and
institution of therapy are crucial. Postgraduate Med 2002;3:50-9.
2. Angus DC, Linde WT, Lidicker J. Epidemiology of severe sepsis in the United
States. Crit Care Med 2001;20:1303-31.
3. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of sepsis and multiple
organ dysfunctions. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds. Textbook of critical
care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co; 2005. p.1249-57.
4. Hoyert DL, Anderson RN. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep 2001;49:16.
5. Michael R Pinsky, Shock Septic. Available at: http://emedicine.medscape.com/
article/168402-overview#a0156. Accessed on 23rd January, 2016.
6. Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi cairan.
Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro, 2006. p.23-5.
7. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al; SCCM/ ESICM/ ACCP/ ATS/ SIS: 2001
SCCM/ ESICM/ ACCP/ ATS/ SIS International Sepsis Definitions Conference.
Crit Care Med 2003; 31: 1250-56.
8. PAPDI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, 2007.
9. Linde-Zwirble WT, Angus DC: Severe sepsis epidemiology: Sampling, selection
and society. Crit Care 2004:8: 222-6.
10. A.Guntur.H. Sepsis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbit IPD Fakultas Kedokteran UI. 2007;1840-43.
11. R. Phillip Dellinger, Mitchell M, Andrew Rhodes, Djillali Annane, Herwig
Gerlach, Steven M, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Crit Care Med 2013;
41:580-637.
12. Sepsis. Pathogenesis of sepsis. Available at: http://www.scielo.br/scielo. php?
pid=S0103507X2009000400013&script=sci_arttext&tlng=en. Accessed on 26th
January, 2016.
13. Sepsis. Activation of complements on sepsis. Available at: Error! Hyperlink
reference not valid.. Accessed on 26th January, 2016.

27

14. PB PAPDI. Panduan Tatalaksana Kegawatdaruratan di Bidang Ilmu Penyakit


Dalam Edisi I. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2010.p.123-5.
15. Brower RG, Lanken PN, Maclyntyre N, et al. National Heart, Lung, and Blood
Institute ARDS Clinical Trials Network: Higher versus lower positive and
expiratory pressures in patient with the acute respiratory distress syndrome. N
Engl J Med 2004; 351:327-36.
16. Gattinoni L, Caironi P, Cressoni M, et al: Lung recruitment in patients with the
acute respiratory distress syndrome. N Eng J Med 2006; 354: 1775-86.
17. Augustine JJ, Sandy D, Seifert TH. A randomized trial comparing intermittent
with contimuous dialysis in patients with ARF. Am J Kidney Dis 2004;44:1000-7.
18. Akech S, Ledermann H, Maitland K. Choice of fluids for resuscitation in chidren
with severe infection and shock: systematic review. BMJ 2010; 341:4416.

28

29

Anda mungkin juga menyukai