Anda di halaman 1dari 6

Kebakaran hutan dan lahan telah menimbulkan bencana asap, merugikan secara fisik dan psikis.

Tahun 2015, diperkirakan merupakan bencana asap paling parah yang pernah dialami Indoneisia.
Dan tidak perlu mencari siapa yang salah dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, karena
Negara, Kementrian dan Gubernur mengijinkan dilakukan pembakaran saat membuka lahan.
Pembukaan lahan dengan cara membakar diperbolehkan oleh negara yang dikukuhkan melalui
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan, bahwa dalam pasal pasal 69 ayat (2)
menyebutkan : Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Dalam penjelasan UU Nomor 32,
pasal 69 ayat (2), menjelaskan : Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk
ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah
penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Mengacu pada Undang-undang tersebut, selama
pembakaran dengan keluasan 2Ha kebawah, dinyatakan tidak melanggar undang-undang yang
berlaku. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 10 tahun 2010, tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran
Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau
Lahan, pada pasal 4 ayat (1), tertulis Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran
lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektare per kepala keluarga untuk ditanami jenis
varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. Walaupun pembakaran tersebut harus
diberitahukan kepada kepala desa dan selanjutnya kepala Desa akan memberitahukan kepada
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup kabupaten/kota (ayat 2) dan tidak dibenarkan melakukan pada saat curah hujan
dibawah normal, kemarau panjang dan iklim kering (ayat 3), sulit untuk menjamin bahwa
ketentuan pada ayat 2 dan 3 dijalankan sebagaimana mestinya, karena sulitnya melakukan
pengawasan dilapangan. Jika undang-undang sudah mengijinkan membuka lahan dengan cara
membakar, maka Peraturan-peraturan yang ada dibawahnya hanya sebagai bentuk implementasi
dan uraian secara detail dari yang dimaksud dalam Undang-undang. Yang dilakukan oleh
Gubernur Kalimantan Tengah, melalui Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010, tidaklah
sepenuhnya salah, karena hanya bentuk akomodatif dari pelaksanaan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 tahun 2010. Demikian juga
yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau melalui Peraturan yang disahkan tahun 2007
dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan,
Lahan, dan Lingkungan Hidup. Peraturan tersebut membolehkan pembakaran lahan untuk
pertanian, perkebunan, dan perladangan. Syarat pembakaran diatur melalui Pasal 3 Ayat 4
ketentuan mengenai perizinan pembakaran lahan diatur peraturan tingkat desa dan kabupaten
terkait hak ulayat. Walaupun benar secara hukum, harus dikaji dan dipertimbangkan kembali
untuk dilakukan amandemen terhadap Undang-undang tersebut, karena bukan tidak mungkin
peluang tersebut disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan secara
nyata bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar telah menimbulkan dampak negatif yang
luar biasa. Cukup undang-undangnya saja yang diamandemen, maka dengan sendirinya,

peraturan yang dibawahnya harus mengikuti perubahan, jika tidak maka peraturan dibawahnya
dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. Jadi, karena
negara mengijinkan pembukaan lahan dengan cara membakar (terlepas dari adanya
penyalahgunaan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab), maka bencana asap yang
terjadi saat ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/alldie/negara-membenarkan-pembukaan-lahandengan-cara-dibakar_562b407b917a615a073fe578

Kebun Kelapa Sawit.


Sejak pemberian Kredit Likuiditas khususnya skim Kredit Koperasi Primer terhadap Anggota
(KKPA), maka pembukaan lahan untuk dijadikan kebun kelapa sawit cukup berkembang.
Propinsi Riau sebagai areal yang memiliki tanah yang cocok untuk tanaman kelapa sawit
menjadi incaran investor. Perkebunan kelapa sawit berkembang pesat. Selain itu, program inti
plasma yang digulirkan semakin memberikan kemudahan dalam pembukaan lahan yang selama
ini tidak produktif (tidur) menjadi kebun sawit (produktif).
Program kredit likuiditas dihentikan tahun 1999 maka program pembukaan lahan secara
korporasi menjadi berhenti. Namun demikian, masyarakat di daerah Riau terbuka mata bahwa
bertanam sawit lebih menjanjikan dibandingkan dengan bertanam karet sebagaimana dilakukan
penduduk selama ini.
Menurut Van Noordwijk, sebagaimana dikemukakan Onrizal, bahwa metode yang lazim dipakai
dalam pembukaan lahan adalah :
- teknik tebang dan bakar (slash and burn)
- teknik tanpa bakar (zero burning)
Dari kedua metode tersebut, teknik tebang dan bakar merupakan metode yang paling sering
dipakai dengan alasan utama lebih murah, cepat dan praktis dibandingkan teknik lain[8].
Paska kredit likuiditas, pembukaan lahan sawit dilakukan dengan model (kasus) :
1. Mengalihkan lahan pertanian (karet, kelapa, singkong) menjadi kebun sawit
Lahan pertanian semula kebun karet, kelapa, singkong diganti dengan tanaman sawit. Proses
penggantian tentu sudah mempertimbangkan aspek ekonomis dari tanaman lama. Untuk karet
dan kelapa penggantian dilakukan terhadap karet dan kelapa yang sudah tua. Untuk singkong
diganti setelah panen.

Tanaman karet dan kelapa yang tua diganti dengan cara tebang. Namun untuk batang dan
akarnya yang sudah dikeringkan dilakukan pembakaran.
Masalahnya adalah tidak tertutup kemungkinan kebun karet atau kelapa yang sudah tua tidak
langsung dialihkan karena terbatasnya modal usaha. Bahkan untuk menutupi keperluan keluarga,
lahan dijual kepada pihak lain. Pihak lain membiarkan lahan sehingga seperti hutan lagi. Pada
saat akan dijadikan kebun, maka pemilik lahan baru akan membersihkan ilalang dan tanaman
lain. Setelah kering maka sampah tersebut akan dibakar.
2. Memanfaatkan lahan kosong menjadi lahan produktif baik individu maupun keluarga. Dalam
memanfaatkan lahan kosong, sering menyertakan pihak lain sebagai pemilik lahan baru dari luar
wilayah tersebut.
Untuk mengefektifkan lahan yang tidur, warga desa menyepakati untuk mengusahakan lahan
tersebut menjadi lahan produktif.
Satu desa bisa berpenduduk 100 kepala keluarga. Selain itu, mengingat luasnya lahan yang
menganggur, satu areal lahan dimiliki 3 sampai 4 desa. Dengan adanya kerabat atau sanak
keluarga yang berdomisili di luar areal tersebut, maka satu areal yang menjadi pengelolaan
masyarakat bisa mencapai ribuan hektare.
Dalam kasus tertentu, desa pada akhirnya mengalihkan lahan produktif menjadi kebun sawit.
Pembahasan
Sesuai pasal 69 ayat (1) h UU 32/2009 menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar;
Dalam ayat 2 ditegaskan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan
luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal
dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya
Tindak Pidana yang dikenakan terhadap pelanggaran pasal 69 ayat (1) huruf h tersebut diatur
dalam Pasal 108 yaitu :
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Perumusan tindak pidana dalam Pasal 108 tersebut dipandang tidak efektif.

1. Pidana penjara selama 3 tahun.


Pemidanaan dengan penjara selama 3 tahun untuk perbuatan pembakaran lahan, untuk seorang
individu atau kepala keluarga relatif berat. Namun untuk seseorang yang merupakan suruhan
atau atas nama seseorang akan menjadi berbeda. Terlebih lagi, dalam pembukaan lahan seperti
lahan sawit di Riau, patut di duga didalangi oleh pihak korporat.
Jika dibandingkan pembukaan lahan dengan metode lain, pembakaran merupakan metode
pembukaan lahan yang paling rendah biaya operasinya. Untuk lahan yang luas dengan dukungan
korporasi, tidak sulit mencari seseorang yang mau melakukan pembakaran lahan dengan imbalan
yang lumayan.
2. Pengenaan denda Rp. 3.000.000.000
Sama dengan pengenaan pidana penjara, pengenaan denda paling sedikit Rp. 3 miliar tidak
terlalu berarti bagi korporasi yang akan membuka lahan sawit puluhan ribu hektare.
3. Tindak pidana penjara 3 tahun dan pengenaan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 tersebut
di atas relatif lemah karena sulitnya melakukan tindak pidana terhadap korporasi.
Dalam penjelasan UU No.32/2009, dicantumkan bahwa tindak pidana dalam UU tersebut sudah
mecakup tindak pidana korporasi. Hal ini tercantum dalam Penjelasan Umum butir (6) sebagai
berikut :
Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman
minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu,
keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan
hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan
penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum
administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi
tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah,
emisi, dan gangguan.[9]
Namun tindak pidana korporasi hanya bisa dilakukan terhadap korporasi yang terbukti perbuatan
tindak pidana dilakukan oleh pegawai dari korporasi itu sendiri.
Dalam proses pembukaan lahan perkebunan sawit terlalu sering terjadi bahwa lahan sudah di
bakar tetapi belum ada korporasi yang menjadi penanggung jawab lahan tersebut. Bahkan dapat
terjadi, ketika lahan masih dalam pengurusan kepada pihak yang berwenang artinya belum ada
penetapan hak pengelola lahan, lahan tersebut sudah dibakar.
Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di desa bahkan sebagian besar buta aksara
menjadi persoalan tersendiri terhadap pemberlakuan peraturan tersebut.

Memang diakui bahwa seorang warga negara tidak bisa berdalih tidak mengetahui keberadaan
sebuah undang-undang manakala undang-undang itu sudah diterbitkan dalam lembar negara.
Tetapi faktanya adalah bahwa yang bersangkutan tidak bisa membaca dan akses informasi yang
terbatas hendaknya perlu menjadi pertimbangan dalam menetapkan suatu kebijakan pemidanaan.
Dari kasus kedua tersebut di atas, pembakaran lahan dengan skala ribuan hektare tidak
bertentangan dengan pasal 69 ayat 1 huruf h, sepanjang lahan tersebut dimiliki oleh minimal
1.000 kepala keluarga. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pembakaran lahan ribuan hektare
dengan dukungan pemilikan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 69 ayat 2 tidak merusak
lingkungan? Luasnya lahan dan volume material yang dibakar akan merusak ekosistem dan
tatanan makluk hidup yang lain yang selama ini tergantung pada areal tersebut. Kelestarian alam
rusak, tetapi tindakan (perbuatan) pembakaran tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
sehingga tidak dapat dikenakan tindak pidana.
Kebijakan pidana dalam hal ini menjadi tidak efektif karena tujuan semula adalah untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup namun oleh dukungan undang-undang lingkungan hidup dirusak
secara sengaja.
Dari kasus pertama juga menimbulkan ketidakpastian karena pemilik lahan tidak membuka lahan
karena pengalihan (konversi) dari tanaman karet menjadi tanaman sawit.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana pembakaran dalam rangka pembukaan lahan akan
semakin sulit setelah mempertimbangkan opini publik terhadap aparat Yudisial. Teguh
Soedarsono mengemukakan bahwa keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, potensi
penyalahgunaan wewenang serta belum sterilnya lembaga maupun aparat Yudisial tetap
memberikan peluang bagi terjadinya Judicial Corruption[10].
Dalam kasus yang lebih besar seperti illegal loging keputusan yang telah berkekuatan tetap di
pengadilan masih perlu dilakukan pengawasan melalui uji publik. Hal merupakan pencerminan
bahwa betapa lemahnya implementasi penegakan tindak pidana yang terkait dengan lingkungan
dan kehutanan.
Daftar Pustaka
1. Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung 2010
2. Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulana Kejahatan, Prenada Media, Jakarta, 2010
3. Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
PIdana, Bandung , 2010
4. Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 2010

5. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1986


6. Soedarsono, Teguh, Illegal Loging, Mullya Angkasa, Jakarta, 2011

Anda mungkin juga menyukai