Anda di halaman 1dari 14

Batuk Berdahak pada Anak

Batuk merupakan suatu refleks kompleks yang melibatkan banyak


sistem organ. Batuk akan terbangkitkan apabila ada rangsangan pada reseptor
batuk yang melalui saraf aferen akan meneruskan impuls ke pusat batuk
tersebar difus di medula. Dari pusat batuk melalui saraf eferen impuls
diteruskan ke efektor batuk yaitu berbagai otot respiratorik. Bila rangsangan
pada reseptor batuk ini berlangsung berulang maka akan timbul batuk
berulang, sedangkan bila rangsangannya terus menerus akan menyebabkan
batuk kronik.
Anatomi refleks batuk telah diketahui secara rinci. Reseptor batuk
terletak dalam epitel respiratorik, tersebar di seluruh saluran respiratorik, dan
sebagian kecil berada di luar saluran respiratorik misalnya di gaster. Lokasi
utama reseptor batuk dijumpai pada faring, laring, trakea, karina, dan bronkus
mayor. Lokasi reseptor lainnya adalah bronkus cabang, liang telinga tengah,
pleura, dan gaster. Ujung saraf aferen batuk tidak ditemukan di bronkiolus
respiratorik ke arah distal. Berarti parenkim paru tidak mempunyai resptor
batuk.
Reseptor ini dapat terangsang secara mekanis (sekret, tekanan),
kimiawi (gas yang merangsang), atau secara termal (udara dingin). Mereka
juga bisa terangsang oleh mediator lokal seperti histamin, prostaglandin,
leukotrien dan lain-lain, juga oleh bronkokonstriksi.
Batuk terjadi akibat adanya rangsangan pada reseptor batuk, reseptor
tersebut berada di dalam dan di luar rongga thorax, dimana merupakan
serabut syaraf tak bermielin, terdapat antara lain pada, bronkus, karina,
trakea, laring, juga ada pada telinga, snus paranasalis, pericardial, dan
diagfragma. Reflek batuk yang ada tersebut kemudian disalurkan ke medulla
oblongata oleh beberapa nervus, yaitu nervus vagus yang melanjutkan
rangsang dari bronkus, trakea dan telinga. Nervus glossofaringeus
melanjutkan rangsang dari faring, nervus trigeminus menyalurkan rangsang
dari sinus paranasalis, nervus phrenikus meyalurkan dari perikardium dan
diagframa. Semua rangsang tersebut kemudian menuju pusat pernapasan

berupa nukleus retroambigualis, dan pusat motorik laring dan faring di


nukleus ambigualis.

Demam Naik Turun


Demam merupakan peningkatan suhu tubuh akibat adanya peningkatan
set point di hipotalamus. Adanya zat asing seperti infeksi bakteri atau virus
bisa menyebabkan demam karena adanya endotoksin dari zat asing tersebut
merangsang sel PMN untuk menghasilkan pirogen endogen yaitu IL-1, IL-6,
atau TNF. Demam juga dapat diakibatkan oleh berbagai jenis penyakit
inflamasi, trauma, atau kompleks antigen antibody yang dapat menginduksi
IL_1, IL-6, TNF yang merangsang hipotalamus untuk meningkatkan set point
ke level demam.
Pirogen endogen bekerja di hipotalamus dengan bantuan
siklooksigenase 2 (COX-2) membentuk prostaglandin E2. Hal ini
menyebabkan peningkatan level prostaglandin E2 dari jaringan hipotalamus
anterior dan ventrikel 3 dimana konsentrasi tertinggi berada di sekitar organ
vasculosum lamina terminalis yang jaringan kapilernya meluas ke sekeliling
pusat termoregulasi hipotalamus. Interaksi pirogen dengan endhotelium
pembuluh darah circumventricular hipotalamus adalah langkah awal
meningkatkan set point ke level demam. Sitokin pirogenik seperti IL-1, IL-6,
dan TNF dilepaskan dari sel dan memasuki sirkulasi sistemik menginduksi
sintesis PGE 2 untuk mencetuskan demam, sitokin pirogenik juga
menginduksi pembentukan PGE2 di jaringan perifer. PGE2 di perifer dapat
berkomunikasi dengan otak secara tidak langsung untuk meningktakan set
point hipotalamus melalui beberapa cara, diantaranya dengan menstimulasi
serabut saraf otonom dan melalui rute vagal yang merupakan cara terbaik.
Peningkatan PGE 2 di perifer juga menyebakan myalgia non spesifik dan
artralgia yang sering menyebkan demam.
Demam memiliki tiga fase klinis yaitu menggigil, febris, dan
kemerahan. Pada fase menggigil, temperature inti tubuh naik menjangkau set
point suhu baru dengan vasokontriksi perifer melalui mengurangi
pengeluaran panas dan peningkatan aktivitas otot untuk meningkatkan
produksi panas. Pada fase febris terjadi keseimbanagn antara produksi dan
kehilangan panas pada set point yang meningkat. Kulit teraba hangat,
kemerahan, dan kering. Ketika set point kembali normal, tubuh

mempersipkan dirinya menjadi terlalu panas, sehingga mekanisme


mengurangi panas dimulai melalui vasodilatasi perifer dan berkeringat.

Retraksi Dinding Dada


Retraksi merupakan penarikan dinding dada kearah dalam saat bernafas
disertai dengan peningkatan frekuensi nafas. Pada anak- anak lokasi
terjadinya retraksi menentukan lokasi terjadinya serta beratnya kelainan.
Retraksi subcostal dan substernal biasanya terkait dengan kelainan saluran
nafas bawah. Retraksi suprasternal menunjukkan kelainan saluran nafas atas.
Retraksi intercostals ssendiri menunjukkan keadaan yang fisiologis. Retraksi
intercostral ditambah dengan retraksi pada subcostal serta substernal
mengindikasikan kelainan respirasi yang sedang. Sedangkan jika keemmpat
bagian yaitu substernal, suprasternal, subcostal, serta intercostals mengalami
retraksi menunjukkan kelainan respirasi sangat berat.
Pada pemeriksaan inspeksi sering dilihat adanya tanda retraksi pada
dinding dada,retraksi ini timbul karena tekanan intrapleura yang semakin
negatif selama inspirasi tubuh berupaya melawan resistensi paru yang
tinggi pada jalan nafas usaha ini akan menyebabkan tertariknya jaringan
ikat subkostal dan interkostal ,fossa subclavia dan suprasternal.

CROUP (Laringotrakeobronkitis Akut)


A. Definisi
Sindrom croup, adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak,
batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres
pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada anak. Sifat penyakit ini adalah
self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung menjadi berat bahkan fatal.
B. Etiologi
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus
yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini menimbulkan obstruksi
saluran respiratori, mulai dari obstruksi ringan hingga berat. Virus penyebab
tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah Human Parainfluenza
Virus type I (HPIV-1), HPIV-2,3, dan 4, Virus Influenza A dan B, Adenovirus,
Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan virus campak. Meskipun jarang,
pernah juga ditemukan Mycoplasma penumonia.
C. Patogenesis
Infeksi dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitel trakea dan
laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding trakea
menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis
mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau).
Aliran udara yang melewati saluran respiratori-atas mengalami turbulensi
sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama
inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea.
Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu
tinggi selam 12-72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan.
Kondisi ini akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan
kasar. Gejala sistemik yang menyertai seperti demam dan malaise. Bila
keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratorik yang berat,
retraksi, dan anak tampak gelisah, serta akan bertambah berat pada malam
hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya
perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering

menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau
digendong.
E. Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring,
dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai
dengan derajat stres pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu
diperlukan. Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat
napas/respiratory distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut
sangat diperlukan.
F. Tata Laksana

CROUP
Diagnosis banding
Aspirasi benda asing
Obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa
Abnormalitas kongenital
Sianosis
Epiglotitis
Penurunan kesadaran
O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi adrenalin (5ml) 1:1000
TIDAK

Intubasi anak sesegera mungkin oleh seorang yang berpengalaman


YA
Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak

Croup derajat ringan


Croup derajat sedang
Batuk menggonggong
Croup derajat berat
Stridor saat istirahat
Tanpa retraksi dada
Stridor menetap saat istirahat
Terdapat retraksi dinding dada minimal
Tanpa sianosis
Trakeal tug dan retraksi dinding dada terlihat jel
Mampu berinteraksi
Apatis dan gelisah
Pulsus paradoksus

i orang tua

bangkan kortikosteroid dosis tunggal (oral)


sametason 0,15-0,30 mg/kg atau Prednison 1-2 mg/kg (oral) atau nebulisasi Budesonide 2 mg jika kortikoste
kemampuan orang tua dan kemampuan dalam menyediakan transport
Minimal handling

O2 4 lpm dan nebulisasi


adrenalin
OBSERVASI
> 4 JAMdan kortikosteroid sistemik (dosis sama d
DIPULANGKAN
Intubasi
RAWAT RS

Membaik
Dipulangkan bila tidak ada stridor saat istirahat
Perbaikan
Edukasi orang tua pasien

Tidak membaik
Evaluasiulang
Rawat
Hubungikonsulen
Evaluasi diagnosis

Rawat/observasi di IGD

adrenalin (dosis sama) dan kortikosteroid sistemik (d


Ulangi pemberian kortikosteroid oral/12 jam NebulisasiSebagian
Persiapkan pelayanan untuk tindakan darurat
Edukasi ortu pasien
Pertimbangkan
Sediakan penjelasan tertulis untuk dokter umum
yang akanintubasi
follow up
Evaluasi diagnosis

Bronkitis
A. Patofisiologi
Mucosiliar clearance merupakan mekanisme pertahanan yang penting
yang melindungi paru-paru dari efek berbahaya dari polutan yang dihirup,
alergen, dan patogen. Disfungsi mukosiliar adalah fitur umum dari penyakit
saluran napas kronis.
Aparatus mukosiliar terdiri dari 3 kompartemen fungsional: silia,
lapisan lendir pelindung, dan airway surface liquid (ASL) lapisan saluran
napas, yang bekerja sama untuk menghilangkan partikel inhalasi dari paruparu. Data studi telah mengidentifikasi peran penting untuk ASL dehidrasi
dalam patogenesis disfungsi mukosiliar dan penyakit saluran napas kronis.
Deplesi ASL mengakibatkan berkurangnya clearance mukus dan histologis
tanda-tanda penyakit saluran napas kronis, termasuk obstruksi mukosa,
hiperplasia sel goblet, dan kronis infiltrasi sel inflamasi. Hewan studi
mengalami penurunan izin bakteri dan kematian paru tinggi sebagai hasilnya.
Peran paparan iritan, terutama asap rokok dan udara partikulat, dalam
berulang (serak) bronkitis dan asma menjadi lebih jelas. Kreindler et al
menunjukkan bahwa fenotipe transportasi ion sel epitel manusia normal
bronkus terkena ekstrak asap rokok adalah mirip dengan cystic fibrosis epitel,
dimana sodium diserap dari proporsi klorida sekresi dalam pengaturan
peningkatan produksi lendir. Temuan ini menunjukkan bahwa efek negatif
dari asap rokok pada clearance mukosiliar dapat dimediasi melalui perubahan
dalam transportasi ion.
B. Etiologi
Virus merupakan penyebab tersering. Sebagai contoh Rhinovirus,
Respiratory sintyval virus (RSV), virus influensa, para influensa, Adenovirus,
dan Coxsackie virus. Bronkitis akut selalu terdapat pada anak yang menderita
morbili, pertusis, dan infeksi Mycoplasma pneumonea. Belum ada bukti yang
menunjukkan bahawa penyakit ini disebabkan bakteri. Di lingkungan sosio
ekonimi buruk biasanya terdapat infeksi sekunder oleh bakteri.
C. Gejala Klinis
Biasanya dimulai ole tanda tanda infeksi saluran napas atas oleh virus.
Batuk mula mula kering, setelah dua tiga hari menjadi berdahak dan

terdengar suara lendir. Dahak mukoid kental sering tidak keliatan karena
tertelan. Dahak mungkin kental dan kuning, tetapi tidak berarti adanya infeksi
bakteri sekunder. Anak mula mula tidak napas dan pada anak besar mengeluh
rasa sakit retrosternal. Beberapa hari pertama tidak timbul kelainan pada
pemeriksaaan dada, tetapi kemudian dapat timbul ronki basah kasar dan suara
napas kasar.
Batuk kemudian hilang selama satu dua minggu. Bila dalam dua
minggu selanjutnya masih tetap batuk, mungkin ada kolaps paru segmental
atau infeksi bakteri sekunder.
Mengi (wheezing) dapat terjadi pada penderita bronkitis, akibat
bronkitis atau terdapat kemungkinan terjadinya asma.
D. Penatalaksanaan
Berhubungan penyebab adalah virus, maka pengobatan kausal belum
ada yang perlu diberikan. Antibiotik tidak ada gunanya. Tapi bila batuk terjadi
selama 2 minggu atau lebih maka bisa diberikan antibiotik untuk membunuh
bakteri sekunder itu misalnya amoksisilin, kotrimoksasol, dan golongan
makrolid.

Bronkiolitis
A. Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran pernafasan akut-bawah
yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya, infeksi
tersebut disebabkan oleh virus. Secara klinis ditandai dengan episode pertama
wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala infeksi saluran pernafasan
akut.
B. Etiologi
Sekitar 95% dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbukti
disebabkan oleh invasi Respiratory sintyval virus (RSV). Orenstein
menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti Adenovirus, virus
influenza, virus parainfluenza, Rhinovirus, dan mikoplasma, tetapi belum ada
bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri.
C. Patofisiologi
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respon
inflamasi akut, ditandai dengan onstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi
mukus, timbunan debris seluler/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti
dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan
aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran
respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan
aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang
saluran respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase
inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil
selama ekspirasi, maka akan terjadi air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis
dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak
diabsorbsi.
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang berikutnya akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan.
Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada
beberapa pasien. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah
tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan meningkat selama end-

expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun.


Hiperkapnea biasanya baru terjadi bisa respirasi mencapai 60x/menit.
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan
diganti setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh
makrofag.

Daftar Pustaka
Bronkiolitis, Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan Penerbit IDAI:
2008. p 333-349
Croup (Laringotrakeobronkitis akut), Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama.
Badan Penerbit IDAI: 2008. p 320-328
Dafpus sisanya, aku baca dari laporan kakak tingkat hehe. Silahkan mau
dimasukkan atau engga.
Akib, A. Asma pada Anak. Sari Pediatri 2002; 4; 78-82.
Anonymous. Dyspnea: How to Assess and Palliate Dyspnea (AirHunger). 2006. Diunduh dari:
http://summit.stanford.edu/pcn/M07_Dyspnea/pathophys.html.
akses pada tanggal 12 Maret 2015.
Behrman. 1999. NELSON: IlmuKesehatan Anak. Jakarta: EGC.
Eddy Widodo. 2003. Tuberkulosis Pada Anak : Diagnosis dan Tata
Laksana Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Jakarta: IDAI Jaya.
Hassan, R. Husein A. 1998. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Penerbit FK UI.
Malmstrom K, Sorva R, Silvasti M. Application and efficacy of the
multidose powder inhaler, easyhaler, in childrenwith asthma.
Pediatr Allergy Immunol 1999; 10:66-70.
Manning HL, Schwartzstein RM, Epstein FH [editor]. Pathophysiology of
Dyspnea. N Engl J Med 1995; 333:1547-1553.
Mark P. Bowes, Ph.D and friends. 2002. Appropriate Use of Common
OTC Analgesics and Cough and Cold Medications, Monograph
No.1. American Academy of Family Physician.
Matondang, C. Wahdiyat, I. Sastroasmoro, S. 2003. Diagnosis Fisik
pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004: 64-70. Batuk Kronik pada
Anak : masalah dan tatalaksana
Sherwood,L (2008). Human physiology : From cells to systems, 7th
edition. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins.

Supriyatno, B. Nataprawira, H. Terapi Inhalasi pada Asma Anak. Sari


Pediatri 2002; 4:67-73.
T, Nishino. Dyspnoea: Underlying Mechanisms and Treatment:
Mechanisms of Dyspnoea. Br J Anaesth. 2011;106(4):463-474.

Anda mungkin juga menyukai