Anda di halaman 1dari 8

Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta dan Pengaruhnya

Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta


1. Pendahuluan
Di dalam RUU Keistimewaan Daerah Yogyakarta yang marak dibicarakan di
media massa baru-baru ini, terdapat sebuah kalimat di bagian penjelasan yang
menyatakan bahwa masyarakat Yogyakarta kini memasuki sebuah fase baru yang
ditandai oleh munculnya masyarakat berwajah ganda (dual faces society). Di satu
sisi, masyarakat tersusun secara hierarkhis mengikuti pola hubungan patronclient di masa lalu, di sisi yang lain, memiliki corak horizontal yang kuat. Hal ini
menyebabkan bergesernya otoritas kesultanan Yogyakarta dari yang tadinya
memiliki otoritas politik, menjadi sebuah badan yang hanya memiliki otoritas
budaya dan menjadi ciri khas keistimewaan Provinsi DI Yogyakarta. Akan tetapi,
kebenaran dari pernyataan ini masih bisa dipertanyakan.
Apakah perubahan masyarakat di Yogyakarta mempengaruhi otoritas
Kesultanan dalam masyarakat Yogyakarta? Di satu sisi, kita tidak bisa memungkiri
bahwa perubahan budaya karena globalisasi, modernisasi, dan bahkan nasionalisme
telah menggeser posisi Keraton menjadi sekedar penjaga nilai dan budaya
masyarakat Yogyakarta. Namun di sisi lain, dapat dilihat bahwa Keraton Yogyakarta
tetap mempunyai pengaruh dan otoritas dalam masyarakat Yogyakarta sehingga
Keraton masih mempunyai kemampuan untuk menjaga ketertiban masyarakat
Yogyakarta melalui hukum dan peraturan karena kedudukannya sebagai pemegang
lembaga eksekutif daerah. Esai ini mencoba untuk menelaah bagaimana perubahan
masyarakat Yogyakarta mempengaruhi posisi keraton sebagai sumber otoritas di
dalam masyarakat itu sendiri.

Kondisi Masyarakat Yogyakarta


1.1.

Budaya Masyarakat Yogyakarta Kontemporer

Definisi budaya berdasarkan KBBI adalah semua hasil karya dan pemikiran
manusia. Oleh karena itu dalam peninjauan, budaya dapat dibagi menjadi tiga
aspek yaitu mentifak, sosiofak, dan artefak (Koentjaraningrat, 1990). Mentifak
berkaitan dengan pemikiran dan falsafah dasar kebudayaan, sosiofak berkaitan
dengan perilaku dan penerapan nyata ideofak dalam kehidupan, dan artefak
merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat berupa barang, tarian,
teks, atau lagu. Ketiga bagian dari kebudayaan ini dapat dianalisis untuk
mengetahui perubahan yang terjadi dalam budaya yang dianut suatu masyarakat.
Yogyakarta dalam peta kebudayaan Jawa termasuk dalam wilayah
kebudayaan Nagarigung atau daerah pusat kerajaan. Dahulu, nilai-nilai budaya lahir
dari dalam lingkungan keraton sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku bagi
masyarakat di lingkungan tersebut. Hal ini menyebabkan masyarakat yang dekat
dengan keraton mengenal lebih dekat nilai-nilai budaya tersebut. Secara umum,
dari hasil survey yang pernah dilakukan, menunjukkan bahwa hingga kini sebagian

besar masyarakat Yogyakarta masih memegang teguh tradisi para pendahulu


mereka, sehingga pemahaman mereka terhadap berbagai falsafah hidup masih
sangat kuat (Gauthama, 2003, p. 38). Pemahaman ini ditunjukkan oleh pemahaman
mengenai lima hakekat pokok budaya Jawa yang disebutkan oleh Koentjaraningrat.
Di Yogyakarta, pemahaman mengenai hakekat tersebut adalah sebagai berikut:
Hakekat Pokok

Paham

Tidak
Paham

Hakekat Hidup

96.35
%

3.65%

Hakekat Kerja

96.35
%

3.65%

Hakekat Waktu

72.37
%

27.63
%

Hakekat
Hubungan
Antarmanusia

100%

0%

Hakekat
Hubungan
73.15
Manusia
dan %
alam

26.85
%

Sumber: (Gauthama, 2003)


Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa secara ideofak, budaya Jawa di
Yogyakarta masih terjaga dengan cukup baik, lebih baik dari daerah-daerah lain di
Jawa. Hal ini disebabkan adanya keterkaitan budaya antara masyarakat Yogyakarta
dan keraton. Keraton di Yogyakarta menjadi penjaga nilai dan budaya.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, perubahan perilaku dan gaya hidup juga
terjadi di Yogyakarta terutama pada generasi muda. Pemahaman falsafah budaya
belum tentu diaplikasikan di kehidupan nyata. Salah satu contoh nyata adalah
penggunaan bahasa dalam kehidupan. Penggunaan bahasa ngoko ketimbang
bahasa kramaterhadap orang tua sudah mulai dimaklumi dan menjadi hal yang
wajar (Gauthama, 2003, p. 266). Artinya, interpretasi nilai-nilai kesopanan dan
penghormatan sudah mulai berubah. Bentuk lain dari perubahan perilaku adalah
berubahnya hubungan sosial di dalam masyarakat. Hubungan kekeluargaan di
dalam masyarakat Yogyakarta sudah mulai berkurang akibat gaya hidup modern
yang mendorong orang untuk bersifat individualis. Pekerjaan yang menuntut orang
untuk bepergian mengurangi waktu yang tersedia untuk bersosialisasi dengan
orang lain. Beberapa orang bahkan tidak menyukai bersosialisasi (Gauthama, 2003,
p. 268). Hubungan antarmanusia sekarang bersifat lebih praktis dan orang-orang
dapat menikmati kebebasan individual, bebas dari kekangan komunal masyarakat.
Selain itu, penggunaan sistem kasta sudah hampir dihilangkan dalam kehidupan
masyarakat Yogyakarta. Etika penghormatan tradisional terhadap orang-orang

berkasta tinggi seperti ningrattidak lagi penting bagi sebagian besar masyarakat
Yogyakarta, walaupun menjadi darah biru tetap menjadi kebanggaan dan status di
dalam masyarakat. Dari perubahan-perubahan di atas, dapat disimpulkan bahwa
falsafah budaya Jawa di Yogyakarta tidak diterapkan di dalam masyarakat. Artinya,
secara sosiofak, budaya Jawa sudah mulai hilang dari masyarakat Yogyakarta.
Perubahan di dalam masyarakat Yogyakarta telah menggeser nilai-nilai yang
dahulu dianut oleh masyarakat tersebut. Walaupun secara falsafah nilai-nilai ini
dipahami banyak orang, di dalam berperilaku, nilai-nilai ini tidak diterapkan
sepenuhnya. Falsafah budaya Jawa sudah menjadi sesuatu yang usang di dalam
masyarakat Yogyakarta, sesuatu yang ada tetapi tidak sepenuhnya terpakai. Hal ini
tentu berpengaruh pada peran dan posisi keraton di dalam masyarakat Yogyakarta.
Pandangan masyarakat berubah dari yang dahulu melihat keraton sebagai sumber
otoritas utama di masyarakat, sekarang melihat keraton menjadi cagar budaya
yang harus dilestarikan. Otoritas politik keraton tetap ada di masyarakat bukan
karena pengakuan hirearki kesultanan tetapi pengakuan hirearki pemerintahan
Republik Indonesia. Keraton mempunyai otoritas politik di masyarakat karena Sultan
Hamengkubuwono X menjadi gubernur DI Yogyakarta bukan karena beliau menjabat
Sultan.

1.2.

Faktor-Faktor Pengubah Masyarakat Di Yogyakarta

Perubahan masyarakat Yogyakarta dimulai sejak zaman kolonial hingga


sekarang. Kolonialisme di Indonesia membawa perubahan-perubahan mendasar di
dalam masyarakat dan menggeser pusat kekuasan. Dengan adanya kolonial
Belanda kapitalisme terbentuk di Indonesia. Kapitalisme merubah sistem ekonomi
tradisional dan merubah sistem sosial dengan membentuk kelas-kelas berdasarkan
level ekonomi. Sebelum masuknya kolonial Belanda, sistem ekonomi yang
digunakan adalah sistem ekonomi feudal dimana ekonomi didasarkan pada hirarki
kerajaan. Petani memberikan hasil tani mereka kepada Raja sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Di zaman kolonial, sistem ini digunakan oleh pemerintah
kolonial pada awalnya, tetapi pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda
bertransaksi langsung dengan petani ketika lahan pribadi mulai berkembang
sehingga pengaruh kapitalisme dapat dirasakan hingga ke seluruh sendi
masyarakat (Kroef, 1952). Masuknya masyarakat Indonesia ke dalam sistem
perekenomian pasar membuat beberapa perubahan yang fundamental. Pertama,
secara sosial, ikatan-ikatan tradisional berubah menjadi ikatan rasional berdasarkan
kedudukan masing-masing lembaga ekonomi. Hal ini menyebabkan berpindahnya
simbol otoritas dari pembesar-pembesar tradisional kepada kaum intelektual
berpendidikan sehingga keraton sebagai sumber otoritas tradisional melemah.
Kedua, dengan perkembangan kapitalisme, masyarakat kelas menengah
mulai terbentuk di Indonesia. Hal ini terjadi terutama di wilayah urban, wilayah
yang berkembang pesat di zaman kolonial. Golongan ini hidup dengan bebas,
dengan patron baru, yaitu kelas menengah itu sendiri dan pasar. Ikatan golongan ini
tidak terletak kepada keraton tetapi pada pasar. Di sini, hubungan patron-client
dalam budaya tradisional digantikan oleh hubungan produsen-konsumen, hubungan

vertikal diganti dengan hubungan horizontal (Kuntowijoyo, 2006). Status sosial tidak
lagi ditentukan oleh keturunan, siapa saja yang mampu mengangkat dirinya secara
ekonomis, sosial, dan intelektual dapat menjadi elit sosial. Bangkitnya kelas
menengah merusak hegemoni elit sosial tradisional dan menciptakan elit baru
berdasarkan status ekonomi. Kepemimpinan sosial mulai berpindah tangan kepada
kaum elit baru.
Selain pembentukan sistem ekonomi, perubahan juga terjadi karena
pembentukan sistem pemerintahan kolonial yang merubah golongan priyayi. Kaum
priyayi yang tadinya berada di bawah Keraton digunakan dalam administrasi
kolonial sehingga ikatan subordinasi mereka berpindah, tidak lagi pada keraton
tetapi kepada pemerintah kolonial. Golongan ini menjadi patron dan pembentuk
selera baru dalam kebudayaan dan menggeser hirarki lama dimana keraton adalah
pusat dari segala aspek kehidupan masyarakat. Bersamaan dengan munculnya
golongan priyayi baru, kelas menengah urban yang terdiri dari kaum intelektual,
pedagang, dan pengusaha juga mulai terbentuk di kota-kota. Dua golongan baru ini
membentuk sebuah rasionalitas baru, rasionalitas modern yang berdasarkan
kebebasan, produktivitas, partisipasi, dan perubahan (Kuntowijoyo, 2006). Kelaskelas baru ini berpusat di kota sehingga membuat sebuah locus budaya baru di
dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan baru ini berlawanan dengan kebudayaan
tradisional yang hirarkis dengan sifat dominasi yang menonjol. Perlawanan budaya
ini menyatakan dirinya dengan Gerakan Jawa Dipa dan penggunaan bahasa ngoko
oleh kelas priyayi dan wong cilik di awal abad 20. Pembentukan kebudayaan baru
ini menyurutkan otoritas keraton dengan membentuk sebuah kekuatan tandingan
yang bersifat modern dan menentang feodalisme tradisional. Pada akhirnya,
keraton akan tergantikan dengan birokrasi rasional dan modern.
Pergerakan nasionalisme di Indonesia juga berperan dalam pelemahan kekuatan
tradisional karena ideologi pergerakan nasionalisme ingin menghapuskan ikatanikatan tradisional dan menggantikannya dengan ikatan-ikatan modern. Ideologi dari
pergerakan kemerdekaan Indonesia sangat dipengaruhi oleh ideologi modern Barat
karena pemimpin-pemimpin intelektual mendapatkan pendidikan Barat. Baik itu
liberalisme, komunisme, ataupun humanisme, semua menentang hirarki sosial yang
dimiliki oleh sistem sosial tradisional Indonesia. Pergerakan kemerdekaan Indonesia
adalah pergerakan anti-feudal. Untuk Sjahrir, feudalisme adalah alasan utama untuk
keterbelakangan dan penghambaan, bukan hanya sebuah sistem dominasi tetapi
cara berpikir yang mengerikan(Elson, 2008). Dengan pemikiran ini, nasionalisme
Indonesia berkembang dengan ide tentang masyarakat egaliter, sebuah masyarakat
tanpa hirarki sosial dimana semua orang setara dan berkesempatan sama untuk
mewujudkan potensinya.
Perubahan di dalam sebuah masyarakat selain bisa menyebabkan erosi
budaya
juga
bisa
menyebabkan
retradisionalisasi (Kuntowijoyo,
2006).
Retradisionalisasi adalah dampak dari ketakutan masyarakat yang menganggap
modernisasi tidak bisa dikontrol sehingga akan menghapus budaya Indonesia
seluruhnya (Ferzacca, 2002). Ketakutan akan perubahan ini membuat beberapa
masyarakat kembali kepada budaya tradisional dengan menghidupkan kembali
simbol-simbol tradisional seperti jimat, pusaka, atau upacara-upacara. Akan tetapi,

penghidupan kembali tradisi ini bersifat semu karena hanya bernilai ekstrinsik, yaitu
sebagai lambang status setelah orang memperoleh kedudukan kelas tertentu dalam
masyarakat atau bersifat politis sebagai gejala nasionalisme-protradisi-antiasing.
Tradisi disini dijadikan sebagai fashion oleh kelas menengah kota sebagai tanda
kelimpahan ketika tanda-tanda kelas modern seperti mobil, rumah, atau pangkat
tercapai (Kuntowijoyo, 2006). Walaupun ada gerakan retradisionalisasi dalam
masyarakat, gerakan ini tidak memberikan banyak otoritas kepada sistem hirarki
tradisional karena gerakan ini hanya mengambil kulit dari budaya Jawa, bukan
resureksi budaya yang menyeluruh.

2.
2.1.

Peran Keraton Yogyakarta Dalam Masyarakat


Peran Keraton Di Ranah Politik

Otoritas politik dalam tulisan ini diartikan sebagai otoritas dalam pengaturan
masyarakat. Artinya, kemampuan untuk membuat perintah agar masyarakat
berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu, contohnya ketertiban dan
keamanan masyarakat. Otoritas politik merupakan sebuah otoritas yang
memberikan alasan untuk tindakan, bukan alasan untuk berpikir, sehingga otoritas
politik disebut otoritas praktis (Cristiano, 2004). Otoritas dalam kebudayaan Jawa
berbeda dengan otoritas dalam budaya Barat. Perbedaan tersebut terletak pada
sifat dasar otoritas, sumber otoritas, sifat otoritas, dan legitimasi dari
otoritas (Anderson, 2006). Otoritas dalam kebudayaan Jawa bersumber dari wahyu
Ilahi yang diberikan kepada orang-orang terpilih sehingga legitimasi dari otoritas
tidak berasal dari rakyat yang dipimpin tetapi dari ranah supernatural. Dengan
konsep otoritas seperti ini, otoritas seorang raja berakhir ketika wahyu Ilahi tersebut
berpindah ke orang lain. Perpindahan wahyu ini bisa dilihat oleh rakyat jelata dari
penurunan kepemimpinan atau kekalahan raja dalam peperangan. Untuk orangorang dengan kemampuan spiritual tinggi, perpindahan otoritas ini bisa terlihat
sebagai perpindahan cahya atau teja dari satu orang ke orang lain. Otoritas dalam
kebudayaan Jawa tidak bisa dipertanyakan oleh rakyat.
Kekuasaan raja adalah kekuasaan absolut karena kekuasaan raja adalah
tanggung jawab yang diberikan langsung oleh Tuhan melalui pemberian wahyu.
Otoritas politik keraton dalam masyarakat Jawa tradisional meliputi seluruh aspek
kehidupan masyarakat karena keraton adalah pusat dari kehidupan. Keraton adalah
asal dari kehidupan itu sendiri sehingga pengaturan kehidupan diberikan
seluruhnya kepada keraton. Aspek ini terlihat dari gelar penuh Sri Sultan
Hamengkubuwono IX yaitu Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan
Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo,
Kalifatullah Ingkang Kaping IX. Arti gelar yang panjang ini adalah dia adalah
penguasa yang sah di dunia ini; dia juga Senopati Ing Ngalogo, yang berarti bahwa
dia adalah panglima tertinggi, penentu perdamaian dan peperangan. Sultan juga
disebut Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo yang berarti penata agama yang
pemurah,
sebab
dia
diakui
sebagaiKalifatullah,
pengganti
Muhammad
SAW (Soemardjan, 1962). Otoritas Sultan dalam masyarakat tradisional Yogyakarta
terlegitimitasi oleh budaya dan kultur masyarakat. Bagi masyarakat tradisional

Yogyakarta, tiap kata Sultan adalah hukum karena Sultan bukan sekedar seseorang
yang kebetulan memegang kekuasaaan tetapi seseorang yang didukung oleh
segenap kekuatan magis pusaka-pusaka kerajaan.
Adanya pemerintahan kolonial Belanda memperlemah otoritas keraton secara
signifikan. Dalam pemerintahan kolonial Belanda, otoritas Sultan digunakan dalam
pemerintahan masyarakat Yogyakarta dalam sistem yang dikenal sebagai Indirect
Rule. Dalam sistem ini, sistem pemerintahan tradisional tetap dipertahankan tetapi
status penguasa lokal berubah menjadi pegawai sipil yang mempunyai gelar dan
atribut penguasa lokal. Pembuatan keputusan, dalam sistem ini, dibuat oleh Sultan
untuk keputusan-keputusan yang bersifat budaya dan agama tetapi keputusankeputusan yang menyangkut perdagangan dan keamanan dipegang oleh Belanda.
Melalui Perjanjian Giyanti, keraton Yogyakarta menjadi sebuah vassal Belanda yang
bertanggung jawab pada Gubernur Jendral Hindia Belanda. Perjanjian Giyanti juga
menempatkan Pepatih Dalem, dengan persetujuan residen/gubernur menjadi
pemegang kekuasaan sehari-hari yang sebenarnya, bukan di tangan sultan. Selain
itu pemerintahan colonial juga mempunyai aparat hukum beserta hukum perdata
sendiri untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan orang Belanda. Keraton
tidak mempunyai kekuatan untuk menangani perkara yang melibatkan orang
Belanda.
Setelah kemerdekan Indonesia, kekuasaan keraton di Yogyakarta tetap diakui
oleh Republik yang baru dibentuk dengan surat Presiden Soekarno kepada Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan akhirnya disahkan dengan UU No. 3 Tahun 1950.
Pelaksanaan Otonomi Daerah Istimewa berubah dari waktu ke waktu dengan yang
paling baru adalah Dekrit Presiden No. 6 Tahun 1959. Saat ini, Sultan mempunyai
jabatan ganda sebagai Kepala Daerah Istimewa Otonom dan Wakil Pemerintah
Pusat yang bertanggung jawab langsung kepada Meteri Dalam Negeri. Kesetiaan
kepada keraton berarti kesetiaan kepada negara Republik Indonesia karena
keduanya adalah bagian yang tidak terpisahkan antara satu lainnya.
2.2.

Peran Keraton Di Ranah Sosial Budaya

Peran keraton dalam ranah sosial dan budaya adalah sentral karena keraton
adalah salah satu locus pendidikan budaya dimana nilai dan budaya mengalir ke
bawah paling deras (Kuntowijoyo, 2006). Selain itu, peran keraton dalam
pelaksanaan adat dan tradisi sangat penting karena pelaksanaan adat dan tradisi
termasuk dalam pemeliharaan kekuasaan keraton itu sendiri.
Pada tahun 1996, Sri Sultan Hemengkubuwono X dengan jelas mengatakan
bahwa dirinya dan Keraton Yogyakarta adalah simbol dan penjaga budaya Jawa.
Beliau mengatakan bahwa dengan pengakuan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
terhadap negara Republik Indonesia, tugas dari Keraton harus dibatasi kepada
kegiatan budaya dan pelaksanaan ritual (Woodward, 2010).

3. Kesimpulan

Perubahan budaya di dalam masyarakat Yogyakarta menggeser otoritas


politik Kesultanan Yogyakarta dengan menggeser legitimasi Kesultanan Yogyakarta.
Saat ini, otoritas politik Kesultanan Yogyakarta ada karena status Yogyakarta
sebagai Daerah Istimewa. Sumber otoritas Sultan adalah posisinya sebagai
Gubernur DI Yogyakarta. Tanpa status ini, Kesultanan Yogyakarta akan sama dengan
kesultanan di daerah lain seperti Cirebon dimana kesultanan ada tetapi tidak
memiliki kemampuan untuk mengatur daerahnya. Keistimewaan Yogyakarta
memberikan kemampuan ini pada Kesultanan Yogyakarta. Legitimasi pemerintahan
di Yogyakarta diberikan kepada Keraton oleh rakyat Yogyakarta karena Kesultanan
Yogyakarta adalah bagian dari negara Republik Indonesia bukan karena Keraton
adalah lembaga pemerintahan tradisional di Yogyakarta.
Pemisahan antara otoritas Sultan dalam pengaturan masyarakat Yogyakarta
tidak diinginkan oleh masyarakat Yogyakarta terjadi karena banyak hal antara lain
ketidakpercayaan pada pemerintah pusat, pandangan bahwa Sultan adalah
manifestasi Tuhan di Bumi masih cukup kuat, dan keinginan untuk melestarikan
budaya lokal yang unik dari daerah lain. Dengan disahkannya RUU Keistimewaan
Yogyakarta, dimana pemerintah daerah terpisah dari kesultanan dengan
pembedaan fungsi antara gubernur yang dipilih oleh rakyat dan gubernur utama
yang dipegang oleh Sultan, otoritas budaya Kesultanan tidak akan hilang tapi
otoritas politiknya akan terkikis sehingga kedudukan Sultan sebagai pemegang
otoritas di Yogyakarta akan pudar.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B. (2006). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia.
Jakarta: Equinox Publishing.
Cristiano, T. (2004). Authority. Retrieved from Stanford Encylopedia Of Philosophy:
http://www.seop.leeds.ac.uk/entries/authority/
Elson, R. E. (2008). The Idea of Indonesia: A History. UK: Cambridge University
Press.
Ferzacca, S. (2002, Mar - Jun). A Javanese Metropolis and Mental Life. Ethos, Vol.
30(No. 1/2), 95 - 112.
Gauthama, M. P. (Ed.). (2003). Budaya Jawa Dan Masyarakat Modern. Jakarta:
P2KTPW BPPT.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kroef, J. M. (1952, July). Society and Culture in Indonesian Nationalism. The
American Journal of Sociology, Vol. 58(No. 1), 11-24.
Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Murniatmo, G., Sumintarsih, Sukari, Ariani, C., & Nurwanti, Y. H. (2000). Aktualisasi
Nilai Budaya Bangsa Di Kalangan Generasi Muda DI Yogyakarta. Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional. Jakarta:
Depdikbud.
Soemardjan, S. (1962). Social Changes in Jogjakarta. New York: Cornell University
Press.
Woodward, M. (2010). Muslims in Global Societies Series (Vol. III). (G. Marranci, & B.
S. Turner, Eds.) Springer.

Anda mungkin juga menyukai