A. PENDAHULUAN
A.1 LATAR BELAKANG
Penduduk Indonesia adalah mereka yang tinggal di Indonesia pada saat
dilakukan sensus dalam kurun waktu minimal 6 bulan. Masalah kependudukan
merupakan masalah umum yang dimiliki oleh setiap negara di dunia ini. Secara
umum, masalah kependudukan di berbagai negara dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu dalam hal kuantitas/jumlah penduduk dan kualitas penduduknya. Data tentang
kualitas dan kuantitas penduduk tersebut dapat diketahui melalui beberapa cara,
diantaranya melalui metode sensus, registrasi, dan survei penduduk.
Masalah kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan
distribusi yang tidak merata. Hal itu dibarengi dengan masalah lain yang lebih
spesifik, yaitu angka fertilitas dan angka mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi ini
dianggap tidak menguntungkan dari sisi pembangunan ekonomi.. Hal itu diperkuat
dengan kenyataan bahwa kualitas penduduk masih rendah sehingga penduduk lebih
diposisikan sebagai beban daripada modal pembangunan. Logika seperti itu secara
makro
digunakan
sebagai
landasan
kebijakan
untuk
mengendalikan
laju
pertumbuhan penduduk Secara mikro hal itu juga digunakan untuk memberikan
justifikasi mengenai pentingnya suatu keluarga melakukan pengaturan pembatasan
jumlah anak.
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu diantara tiga komponen proses
demografi yang berpengaruh terhadap struktur penduduk selain fertilitas dan
migrasi. Tinggi rendahnya tingkat mortalitas di suatu
mempengaruhi
pertumbuhan
penduduk,
tetapi
juga
bisa
dijadikan
sebagai
untuk
memonitor
kinerja
pemerintah
pusat
maupun
lokal
dalam
geografis dan kalangan sosial ekonomi yang berbeda. Data dinas kependudukan
menyebutkan perbedaan IMR antara perkotaan dan pedesaan semakin melebar,
sekitar 42% lebih tinggi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan.
Tinggi rendahnya angka maternal mortality dapat dipakai mengukur taraf
program kesehatan di suatu negara khususnya program kesehatan ibu dan anak
(Sukarni, 1994). Semakin rendah angka kematian ibu di suatu negaramenunjukkan
tingginya taraf kesehatan negara tersebut. Di Indonesia, tiap tahun sekitar 14.180
wanita meninggal karena hamil dan melahirkan atau dalam satu jam terdapat dua
orang ibu meninggal saat melahirkan. Jika dikalkulasikan, angka kematian ibu saat
melahirkan akibat komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas mencapai 20 ribu
orang per tahun. Angka ini masih merupakan angka yang tertinggi di Asia Tenggara
(Sahrudin, 2008). Oleh karena itu, berbagai upaya harus dilakukan untuk
menurunkan angka kematian ibu. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menurunkan angka maternal mortality adalah dengan mengetahui penyebabnya.
Faktor-faktor penyebab tersebut akan dimodelkan dalam bentuk model regresi
Poisson. Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah maternal
mortality di Jawa Timur pada tahun 2003 menggunakan model regresi Poisson telah
dilakukan oleh Setyorini (2006).
A.2 TUJUAN
Mengetahui permasalahan mortalitas di Indonesia dan bagaimana menentukan
kebijakan yang sesai dengan permasalahan yang ada.
B. LANDASAN TEORI
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu di antara tiga komponen
demografi yang dapat mempengaruhi perubahan penduduk. Dua komponen
demografi lainnya adalah fertilitas (kelahiran)
kematian penting, tidak saja bagi pemerintah melainkan juga bagi pihak swasta,
yang terutama berkecimpung dalam bidang ekonomi dan kesehatan.
Menurut PBB dan WHO, kematian adalah hilangnya semua tanda-tanda
kehidupan secara permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup.
Still birth dan keguguran tidak termasuk dalam pengertian kematian. Perubahan
jumlah kematian (naik turunnya) di tiap daerah tidaklah sama, tergantung pada
berbagai macam faktor keadaan. Besar kecilnya tingkat kematian ini dapat
merupakan petunjuk atau indikator bagi tingkat kesehatan dan tingkat kehidupan
penduduk di suatu wilayah.
Konsep-konsep lain yang terkait dengan pengertian mortalitas adalah:
1. Neo-natal death adalah kematian yang terjadi pada bayi yang belum berumur
satu bulan.
2. Lahir mati (still birth) atau yang sering disebut kematian janin (fetal death) adalah
kematian sebelum dikeluarkannya secara lengkap bayi dari ibunya pada saat
dilahurkan tanpa melihat lamanya dalam kandungan.
3. Post neo-natal adalah kematian anak yang berumur antara satu bulan sampai
dengan kurang dari satu tahun.
4. Infant death (kematian bayi) adalah kematian anak sebelum mencapai umur satu
tahun.
Banyak faktor yang menyebabkan mortalitas menjadi tinggi. Dalam studi ilmu
kesehatan masyarakat dipelajari berbagai faktor yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat atau lebih dikenal dengan teori H.L. Blum, diantaranya
adalah karena faktor perilaku individu atau masyarakat, pelayananan kesehatan,
lingkungan, dan genetik. Kematian dapat disebabkan karena perilaku dan pola hidup
yang tidak bersih dan sehat sehingga menimbulkan penyakit, apabila penyakit
tersebut menyebar ke masyarakat maka dapat terjadi kematian penduduk dalam
jumlah yang banyak.
Kedua, kematian dapat disebabkan oleh pelayanan kesehatan yang kurang
memadai, hal ini terkait dengan kebijakan kesehatan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, seperti adanya penyelewengan dana penyediaan alkes, pembagian
jamkesmas yang tidak merata dan sesuai sasaran menyebabkan terjadinya
kematian penduduk terutama penduduk yang ada di bawah garis kemiskinan.
Ketiga, banyak penyakit yang bersumber dari lingkungan. Misalnya, lingkungan yang
kumuh memiliki sedikit sumber oksigen (tumbuh-tumbuhan), sedikitnya lahan untuk
membuang sampah rumah tangga sehingga mencemari tanah, air, dan udara.
Keempat, banyaknya kematian juga dipengaruhi oleh factor genetic, di mana
seorang bayi yang lahir cacat bahkan meninggal dunia dapat diakibatkan oleh gen
orang
tua
yang
mengandungnya,
misalnya
sang
orang
tua
tidak
gemar
Dalam kerangka analisis kelangsungan hidup anak menurut Mosley dan Chen,
terdapat lima kelompok variabel antara yaitu variabel yang hubungannya langsung
terhadap KHA (Kelangsungan Hidup Anak). Kelimanya meliputi :
1. Faktor ibu: terdiri dari umur, jarak kelahiran, dan paritas
2. Lingkungan
3. Gizi
4. Luka
5. Usaha preventif perorangan.
Live Affecting Variabels (Lavs) Dari Mahadevan (1986) Beberapa hal yang
mempengaruhi
kelangsungan
hidup
auak
menurut
mahadevan
baik
yang
dan
mempengaruhi.
Maka
kebijakan
kependudukan
di
bidang
pasal
30-32
Undang-Undang
52
tahun
2009
Tentang
Perkembangan
kematian
dengan
bantuan
pemerintah
daerah
dan
partisipasi
aktif
masyarakat.
seperti
pembukaan
tanah
pertanian
baru,
peningkatan
irigasi
dan
sebelum tahun 1930 adalah sebesar 33,5 dan pada tahun 1930-1935 dan 19351940 turun menjadi 30,1 dan 27,8 sedangkan AHH naik dari 30,0 menjadi 32,5 dan
35,0 pada periode yang sama.
Berdasarkan pengamatan Cho dan peneliti lainya (1980) turunya angka
kematian pada decade 1930-an ini lebih lambat dibandingkan dengan tahun
sebelumnya karena adanya depresi ekonomi. Pada decade 1940-an AKK naik tinggi
sekali menjadi 35,1 pada tahun 1940-1945 dan 35,0 pada tahun 1945-1950 disertai
dengan turunya AHH menjadi 27,5 pada periode 1940-1950 (Widjoyo, 1970).
Naiknya
angka
kematian
dengan
disebabkan
karena
perang
yaitu
jaman
dengan
dijalankanya
program-program
kesehatan
masyarakat
seperti
pembasmian malaria dan cacar (Hugo dan kawan-kawan, 1987). Perbaikan gizi
keluarga dan masyarakat, serta pembangunan kesehatan mempunyaiandil yang
cukup memadai dalam menurunkan AKB. Demikian juga halnya dengan kesadaran
masyarakat. Terhadap masyarakat kesehatan telah meningkat, sejalan dengan
meningkatnya
tingkat
pendapatan
masyarakat.
Khususnya
keadaan
setelah
masyarakat
dan
kesadaran
akan
kesehatan
makin
meningkat.
Berdasarkan perkiraan Widjoyo (1970), AKK periode 1950-1955 adalah 28,3 dan
AHH adalah 35,0 kemudian pada periode 1955-1960 AKK menjadi 26,2 dan AHH
menjadi 37,5. Pada tahun 1960-an informasi mengenai AKB sudah tersedia dari hasil
penghitungan sensus penduduk pertama setelah kemerdekaan (tahun 1961)
walaupun baru terbatas pada tiga propinsi di jawa. Penghitungan AKB menurut 26
propinsi di Indonesia baru dapat dihitimg setelah diadakanya SP71 (Cho dan kawankawan, 1980).
Pada tahun 1960-an perbedaan AKB antar propinsi cukup beragam. Menurut Cho
dan kawan-kawan (1980) perbedaan ini disebabkan oleh factor sosial-ekonomi
antara
lain:
pendapatan,
kemudahan
mendapatkan
fasilitas
kesehatan
dan
Estimasi AKB yang dihitung berdasarkan SP71, SP80, SP90, dan SP2000 masmgmasing menggambarkan keadaan 4 tahun sensus/survey yaitu masingmasing tahun
1967, 1976, 1986, dan 1996. angka kematian bayi yang dianalisa adalah AKB ratarata yang dihitung dari probalitas kematian bayi pada kelompok umur ibu 20-24, 2529, dan 30-34, berkaitan dengan analisa AKB, akan dibahas pula AHH dan level
mortalitas. Sedangkan analisa AKB menurut propinsi akan didukung oleh perkiraan
AHH dan level mortalitas menurut propinsi. Sebagaimana AKB, AHH juga dihitung
berdasarkan rata-rata kelompok umur ibu 20-24,25-29, dan 30-34.
D. PERMASALAHAN
Hal yang dipahami sejak awal tentang mortalitas yakni penurunan angka
mortalitas dengan berbagai caranya merupakan suatu hak asasi manusia, artinya,
usaha penurunan angka tersebut merupakan arahan kebijakan publik yang
sesungguhnya disamping usaha penekanan jumlah penduduk. Diharapkan tidak saja
fokus pada penekanan jumlah penduduk, namun tidak memperhatikan tingkat
kematian penduduk, pemerintah harus menyediakan program yang menjamin hakhak tersebut, antara lain dengan jaminan kesehatan hingga ke pelosok daerah,
penyediaan informasi demografi dan kesehatan yang memadai dan mudah diakses,
serta pelayanan pascapenanganan. Usaha-usaha tersebut diharapkan mampu
menjadi penurun angka kematian penduduk di Indonesia.
Gwatkin
(2000)
mengindikasikan
bahwa
perbedaan
IMR
di
Indonesia
berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang diukur dengan tingkat kekayaan
dan rasio penduduk miskin. Kawachi (1994) dalam Poerwanto dkk 2 (2003)
mengemukakan bahwa pada kenyatannya kalangan dengan tingkat sosial ekonomi
yang rendah memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Sehingga kebijakan
pemerintah dalam memperbaiki fasilitas kesehatan dalam rangka menurunkan
perbedaan sosial ekonomi antar daerah sangat berpengaruh terhadap penurunan
kematian bayi. Suatu peristiwa akan mengikuti distribusi poisson jika peristiwa itu
jarang terjadi dalam suatu ruang sampel yang besar (Cameron dan Trivedi, 1998).
Berdasarkan teori tersebut maka jumlah kematian bayi merupakan variabel
yang berdistribusi poisson karena peristiwa tersebut jarang terjadi. Hubungan
antara jumlah kematian bayi sebagai variabel respon dan faktor-faktor penyebabnya
sebagai variabel predictor dapat diketahui dengan menggunakan model regresi.
Sesuai dengan asumsi diatas, maka model regresi yang tepat adalah model regresi
Poisson. Beberapa penelitian sebelumnya telah menghasilkan banyak faktor
terutama sosial-ekonomi yang menyebabkan kematian bayi. Tulisan ini akan lebih
focus kepada faktor maternal yang merupakan faktor vital penyebab kematian bayi.
Faktor maternal tersebut antara lain: usia ibu pada saat melahirkan, jumlah
pemeriksaan yang dilakukan oleh ibu pada saat hamil, tingkat pendidikan ibu, dan
tingkat kesejahteraan keluarga. Sedangkan faktor lingkungan yang dijadikan faktor
pendukung adalah jumlah sarana kesehatan, jumlah tenaga medis, dan persentase
daerah yang berstatus desa. Penentuan model terbaik dilakukan berdasarkan nilai
devians terkecil, dimana model terbaik yang diperoleh menunjukkan bahwa faktorfaktor yang berpengaruh pada jumlah maternal mortality adalah jumlah sarana
kesehatan dan persentase penolong proses persalinan yang dilakukan oleh tenaga
nonmedis (dukun bayi). Penelitian tentang mortalitas yang dilakukan di beberapa
negara, terutama negara-negara yang rentan akan kematian bayi, seperti Africa
sudah mulai menggunakan pendekatan ini.
Kynast-Wolf et al (2002) menggunakan regresi poisson untuk memodelkan
mortalitas di Burkina Faso, Africa. Sankoh et al (2003) menggunakan Poisson
regression untuk memodelkan kematian orang dewasa dan tua di pedesaan Burkina
Faso, Africa. Kemudian Rhodes et al (2005) 4 juga menggunakan regresi poisson
untuk menganalisis mortalitas berdasarkan gender, sarana medis, dan tingkat
kematian itu sendiri. Semua penelitian tersebut mengarah kepada penentuan model
pendugaan yang paling mendekati benar. Pada kenyataannya, ketika ingin
memodelkan mortalitas dengan data yang di ambil dari daerah yang berbeda
karakteristik, perlu diperhatikan apakah parameter lokal lebih sesuai dibandingkan
dengan parameter global. Mathews (2002) mengemukakan bahwa Geographically
Weighted Regression (GWR) adalah teknik pemodelan baru untuk analisis local
spasial.
Teknik ini mempertimbangkan aspek local, yang merupakan kebalikan dari
model global. Model Hybrid telah dicoba oleh Byrne dan Pezic (2004) untuk
memodelkan arus migrasi di Australia dengan mengasumsikan jumlah migrasi
berdistribusi poisson. Selain itu, Nakaya et al (2005) mencoba memetakan
mortalitas di Tokyo dengan menggunakan hybrid dua model tersebut yang kemudian
lebih dikenal dengan Geographically Weighted Poisson Regression (GWPR). Atkinson
dan Cheng (2007) juga menggunakan GWPR untuk menganalisis hubungan antara
kanker leher rahim dengan faktor social ekonomi di UK.
Hasil dari tiga penelitian tersebut menujukkan bahwa model regresi poisson
dengan variasi spasial signifikan atau lebih sesuai digunakan. Mengingat wilayah
Indonesia yang sangat beragam karakteristiknya, baik dari segi alam, maupun
fasilitas yang dimiliki, maka dapat menerapkan model hybrid GWPR pada data
jumlah kematian bayi di Indonesia sebagai variabel respon dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya sebagai variabel 5 prediktor. Metode ini menggunakan fungsi
pembobot spasial untuk mengestimasi variasi spasial pada parameter regresi
poisson.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991 AKBA di
Indonesia mencapai angka 97 per 1.000. Ini berarti probabilita meninggal anak usia
di bawah lima tahun di Indonesia pada tahun 1991 adalah 97 dari 1.000 kelahiran
hidup. Kemudian AKBA di Indonesia mengalami penurunan menjadi 81 (SDKI 1994),
58 (SDKI 1997), 46 (SDKI 2002/2003), dan 44 (SDKI 2007). Menurut World Health
Organization (WHO) pada tahun 2012, mayoritas kematian balita di Indonesia
disebabkan oleh kelahiran prematur 25 persen, pneumonia 14 persen, dan kondisi
dimana bayi kekurangan oksigen sebelum, selama, atau setelah kelahiran (birth
asphyxia)
11
persen.
Berdasarkan
Profil
Data
Kesehatan
Indonesia
yang
penulis
berpendapat
nilai
AKI
di
Indonesia
sangat
tinggi
jika
dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Pada tahun 2008 AKI di
Indonesia mencapai 240 (lebih tinggi jika dibandingkan data dari SDKI 2007),
sedangkan AKI di Filipina mencapai 94, Vietnam mencapai 56, Thailand 48, dan
Malaysia mencapai 31.
Pencapaian Indonesia hanya lebih baik jika dibandingkan dengan Laos (580),
Kamboja (290), dan Timor Leste (370). Besarnya AKI di Indonesia menunjukkan
masih
rendahnya
perhatian
pemerintah
dan
masyarakat
terhadap
hak-hak
E. ANALISIS KEBIJAKAN
Penulis
berpendapat
bahwa
meningkatnya
pertolongan
persalinan
dan
pelayanan antenatal ini telah menurunkan risiko kematian ibu pada saat melahirkan.
Namun, komitmen yang lebih tinggi dari pemerintah sangat dibutuhkan, terutama
untuk menurunkan tingkat AKI. Menurut penulis komitmen pemerintah itu belum
terlihat, jika dilihat dari sisi anggaran kesehatan pemerintah pusat tahun 2013 yang
belum mencapai angka 5 persen. Selain itu, Indonesia juga masih menghadapi
permasalahan disparitas pelayanan kesehatan antar daerah yang cukup tinggi. Hal
ini terlihat dari data Tim Nasional Percepatan Pemberantasan Kemiskinan (TNP2K).
tidak
secara
eksplisit
memiliki
kebijaksanaan
mempengaruhi
merupakan
tujuan
semua
pemerintah
termasuk
mereka
yang
F. PENUTUP
AKBA di Indonesia mencapai angka 97 per 1.000 di tahun 1990. Ini berarti
probabilita meninggal anak usia di bawah lima tahun di Indonesia pada tahun 1991
adalah 97 dari 1.000 kelahiran hidup. Kemudian AKBA di Indonesia mengalami
penurunan menjadi 81 (SDKI 1994), 58 (SDKI 1997), 46 (SDKI 2002/2003), dan 44
(SDKI 2007). Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012, mayoritas
manusia
(life
expectacy),
usaha
pemerintah
yang
diarahkan
untuk
DAFTAR PUSTAKA