Anda di halaman 1dari 13

MORTALITAS DAN ANALISIS KEBIJAKANNYA

A. PENDAHULUAN
A.1 LATAR BELAKANG
Penduduk Indonesia adalah mereka yang tinggal di Indonesia pada saat
dilakukan sensus dalam kurun waktu minimal 6 bulan. Masalah kependudukan
merupakan masalah umum yang dimiliki oleh setiap negara di dunia ini. Secara
umum, masalah kependudukan di berbagai negara dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu dalam hal kuantitas/jumlah penduduk dan kualitas penduduknya. Data tentang
kualitas dan kuantitas penduduk tersebut dapat diketahui melalui beberapa cara,
diantaranya melalui metode sensus, registrasi, dan survei penduduk.
Masalah kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan
distribusi yang tidak merata. Hal itu dibarengi dengan masalah lain yang lebih
spesifik, yaitu angka fertilitas dan angka mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi ini
dianggap tidak menguntungkan dari sisi pembangunan ekonomi.. Hal itu diperkuat
dengan kenyataan bahwa kualitas penduduk masih rendah sehingga penduduk lebih
diposisikan sebagai beban daripada modal pembangunan. Logika seperti itu secara
makro

digunakan

sebagai

landasan

kebijakan

untuk

mengendalikan

laju

pertumbuhan penduduk Secara mikro hal itu juga digunakan untuk memberikan
justifikasi mengenai pentingnya suatu keluarga melakukan pengaturan pembatasan
jumlah anak.
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu diantara tiga komponen proses
demografi yang berpengaruh terhadap struktur penduduk selain fertilitas dan
migrasi. Tinggi rendahnya tingkat mortalitas di suatu
mempengaruhi

pertumbuhan

penduduk,

tetapi

juga

daerah tidak hanya

bisa

dijadikan

sebagai

barometer dari tinggi rendahnya tingkat kesehatan di daerah tersebut. Kasus


kematian terutama dalam jumlah banyak berkaitan dengan masalah sosial,
ekonomi, adat istiadat maupun masalah kesehatan lingkungan. Indikator kematian
berguna

untuk

memonitor

kinerja

pemerintah

pusat

maupun

lokal

dalam

peningkatan kesejahteraan masyarakat (Budi Utomo, 1985).


Salah satu ukuran kematian yang cukup menjadi perhatian adalah jumlah
kematian bayi. Jumlah kematian bayi ini dipublikasikan dengan sebuah indikator
yang disebut angka kematian bayi (IMR). Di Indonesia, IMR telah mengalami
penurunan dari 142 pada 1967-1971 menjadi 46 pada periode 1992-1997.
Penurunan IMR yang drastis ini menyembunyikan perbedaan IMR antar daerah

geografis dan kalangan sosial ekonomi yang berbeda. Data dinas kependudukan
menyebutkan perbedaan IMR antara perkotaan dan pedesaan semakin melebar,
sekitar 42% lebih tinggi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan.
Tinggi rendahnya angka maternal mortality dapat dipakai mengukur taraf
program kesehatan di suatu negara khususnya program kesehatan ibu dan anak
(Sukarni, 1994). Semakin rendah angka kematian ibu di suatu negaramenunjukkan
tingginya taraf kesehatan negara tersebut. Di Indonesia, tiap tahun sekitar 14.180
wanita meninggal karena hamil dan melahirkan atau dalam satu jam terdapat dua
orang ibu meninggal saat melahirkan. Jika dikalkulasikan, angka kematian ibu saat
melahirkan akibat komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas mencapai 20 ribu
orang per tahun. Angka ini masih merupakan angka yang tertinggi di Asia Tenggara
(Sahrudin, 2008). Oleh karena itu, berbagai upaya harus dilakukan untuk
menurunkan angka kematian ibu. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menurunkan angka maternal mortality adalah dengan mengetahui penyebabnya.
Faktor-faktor penyebab tersebut akan dimodelkan dalam bentuk model regresi
Poisson. Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah maternal
mortality di Jawa Timur pada tahun 2003 menggunakan model regresi Poisson telah
dilakukan oleh Setyorini (2006).

A.2 TUJUAN
Mengetahui permasalahan mortalitas di Indonesia dan bagaimana menentukan
kebijakan yang sesai dengan permasalahan yang ada.

B. LANDASAN TEORI
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu di antara tiga komponen
demografi yang dapat mempengaruhi perubahan penduduk. Dua komponen
demografi lainnya adalah fertilitas (kelahiran)

dan migrasi. Informasi tentang

kematian penting, tidak saja bagi pemerintah melainkan juga bagi pihak swasta,
yang terutama berkecimpung dalam bidang ekonomi dan kesehatan.
Menurut PBB dan WHO, kematian adalah hilangnya semua tanda-tanda
kehidupan secara permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup.
Still birth dan keguguran tidak termasuk dalam pengertian kematian. Perubahan
jumlah kematian (naik turunnya) di tiap daerah tidaklah sama, tergantung pada

berbagai macam faktor keadaan. Besar kecilnya tingkat kematian ini dapat
merupakan petunjuk atau indikator bagi tingkat kesehatan dan tingkat kehidupan
penduduk di suatu wilayah.
Konsep-konsep lain yang terkait dengan pengertian mortalitas adalah:
1. Neo-natal death adalah kematian yang terjadi pada bayi yang belum berumur
satu bulan.
2. Lahir mati (still birth) atau yang sering disebut kematian janin (fetal death) adalah
kematian sebelum dikeluarkannya secara lengkap bayi dari ibunya pada saat
dilahurkan tanpa melihat lamanya dalam kandungan.
3. Post neo-natal adalah kematian anak yang berumur antara satu bulan sampai
dengan kurang dari satu tahun.
4. Infant death (kematian bayi) adalah kematian anak sebelum mencapai umur satu
tahun.
Banyak faktor yang menyebabkan mortalitas menjadi tinggi. Dalam studi ilmu
kesehatan masyarakat dipelajari berbagai faktor yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat atau lebih dikenal dengan teori H.L. Blum, diantaranya
adalah karena faktor perilaku individu atau masyarakat, pelayananan kesehatan,
lingkungan, dan genetik. Kematian dapat disebabkan karena perilaku dan pola hidup
yang tidak bersih dan sehat sehingga menimbulkan penyakit, apabila penyakit
tersebut menyebar ke masyarakat maka dapat terjadi kematian penduduk dalam
jumlah yang banyak.
Kedua, kematian dapat disebabkan oleh pelayanan kesehatan yang kurang
memadai, hal ini terkait dengan kebijakan kesehatan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, seperti adanya penyelewengan dana penyediaan alkes, pembagian
jamkesmas yang tidak merata dan sesuai sasaran menyebabkan terjadinya
kematian penduduk terutama penduduk yang ada di bawah garis kemiskinan.
Ketiga, banyak penyakit yang bersumber dari lingkungan. Misalnya, lingkungan yang
kumuh memiliki sedikit sumber oksigen (tumbuh-tumbuhan), sedikitnya lahan untuk
membuang sampah rumah tangga sehingga mencemari tanah, air, dan udara.
Keempat, banyaknya kematian juga dipengaruhi oleh factor genetic, di mana
seorang bayi yang lahir cacat bahkan meninggal dunia dapat diakibatkan oleh gen
orang

tua

yang

mengandungnya,

misalnya

sang

orang

tua

tidak

gemar

mengkonsumsi nutrisi yang baik bagi kandungannya atau terdapat penyakit


keturunan yang dibawa oleh orang tuanya.

Pendekatan kelangsungan hidup anak melalui pendekatan Mosley dan Chen.

Dalam kerangka analisis kelangsungan hidup anak menurut Mosley dan Chen,
terdapat lima kelompok variabel antara yaitu variabel yang hubungannya langsung
terhadap KHA (Kelangsungan Hidup Anak). Kelimanya meliputi :
1. Faktor ibu: terdiri dari umur, jarak kelahiran, dan paritas
2. Lingkungan
3. Gizi
4. Luka
5. Usaha preventif perorangan.
Live Affecting Variabels (Lavs) Dari Mahadevan (1986) Beberapa hal yang
mempengaruhi

kelangsungan

hidup

auak

menurut

mahadevan

baik

yang

pengaruhnya langsung maupun tidak langsung digambarkan melalui model berikut.

Tindakan pemerintah untuk meningkatkan mutu kesehatan penduduk secara


eksplisit dan langsung berhubungan dengan upaya menekan tingkat kematian dan
morbiditas (tingkat ketersakitan). Hal itu secara tidak langsung berhubungan pula
dengan upaya mengendalikan tingkat kelahiran. Di belakang tingkat kematian,
morbiditas, dan kelahiran pendudukan terdapat variabel-variabel lain yang saling
berhubungan

dan

mempengaruhi.

Maka

kebijakan

kependudukan

di

bidang

kesehatan harus memperhatikan dan memperhitungkan keberadaannya.


Pengaturan mengenai penurunan angka kematian telah dituangkan dengan jelas
pada

pasal

30-32

Undang-Undang

52

tahun

2009

Tentang

Perkembangan

Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Pada regulasi tersebut diwajibkan bagi


pemerintah guna menciptakan kebijakan publik yang menekan dan mengurangi
angka

kematian

dengan

bantuan

pemerintah

daerah

dan

partisipasi

aktif

masyarakat.

C. KONDISI SAAT INI


Secara umum AKB di Indonesia sejak awal abad ke 20 cenderang menunm
diawali dengan masuknya industrialisasi dari eropa ke Indonesia (Hugo dan kawankawan , 1987). Menurut Gardiner dan Oey (1983), penurunan angka kematian
sampai tahun 1930-an kemungkinan besar lebih banyak disebabkan oleh faktorfaktor

seperti

pembukaan

tanah

pertanian

baru,

peningkatan

irigasi

dan

pengendalianterhadap produksi makanan . Widjoyo (1970) memperkirakan AKK

sebelum tahun 1930 adalah sebesar 33,5 dan pada tahun 1930-1935 dan 19351940 turun menjadi 30,1 dan 27,8 sedangkan AHH naik dari 30,0 menjadi 32,5 dan
35,0 pada periode yang sama.
Berdasarkan pengamatan Cho dan peneliti lainya (1980) turunya angka
kematian pada decade 1930-an ini lebih lambat dibandingkan dengan tahun
sebelumnya karena adanya depresi ekonomi. Pada decade 1940-an AKK naik tinggi
sekali menjadi 35,1 pada tahun 1940-1945 dan 35,0 pada tahun 1945-1950 disertai
dengan turunya AHH menjadi 27,5 pada periode 1940-1950 (Widjoyo, 1970).
Naiknya

angka

kematian

dengan

disebabkan

karena

perang

yaitu

jaman

pendudukan jepang (1942-1945) dan jaman perjuangan setelah kemerdekaan


(1945-1949), (Cho dan kawankawan, 1980).
Kesejahteraan masyarakat nampaknya sudah mulai membaik pada tahun 1950an

dengan

dijalankanya

program-program

kesehatan

masyarakat

seperti

pembasmian malaria dan cacar (Hugo dan kawan-kawan, 1987). Perbaikan gizi
keluarga dan masyarakat, serta pembangunan kesehatan mempunyaiandil yang
cukup memadai dalam menurunkan AKB. Demikian juga halnya dengan kesadaran
masyarakat. Terhadap masyarakat kesehatan telah meningkat, sejalan dengan
meningkatnya

tingkat

pendapatan

masyarakat.

Khususnya

keadaan

setelah

merdeka, pendapatan pemerintah mulai ada dan kebijakankebijakan tantang


kependudukan mulai dilaksanakan.
Pembangunan baik ekonomi, sosial, dan lainya makin digalakkan, sehingga
pendapatan

masyarakat

dan

kesadaran

akan

kesehatan

makin

meningkat.

Berdasarkan perkiraan Widjoyo (1970), AKK periode 1950-1955 adalah 28,3 dan
AHH adalah 35,0 kemudian pada periode 1955-1960 AKK menjadi 26,2 dan AHH
menjadi 37,5. Pada tahun 1960-an informasi mengenai AKB sudah tersedia dari hasil
penghitungan sensus penduduk pertama setelah kemerdekaan (tahun 1961)
walaupun baru terbatas pada tiga propinsi di jawa. Penghitungan AKB menurut 26
propinsi di Indonesia baru dapat dihitimg setelah diadakanya SP71 (Cho dan kawankawan, 1980).
Pada tahun 1960-an perbedaan AKB antar propinsi cukup beragam. Menurut Cho
dan kawan-kawan (1980) perbedaan ini disebabkan oleh factor sosial-ekonomi
antara

lain:

pendapatan,

kemudahan

mendapatkan

fasilitas

kesehatan

dan

pendidikan. Factor-faktor inilah yang mempengaruhi perbedaan AKB di suatu daerah


(lebih tinggi atau rendah) dengan daerah lainya. Perbedaan pendapatan, fasilitas
kesehatan dan pendidikan sangat bervariasi antara satu propinsi dengan propinsi
lain. Perbedaan tersebut, saat itu jaman pendudukan jepang (1942-1945) dan jaman
perjuangan setelah kemerdekaan (1945-1949), (Cho dan kawan-kawan, 1980).

Estimasi AKB yang dihitung berdasarkan SP71, SP80, SP90, dan SP2000 masmgmasing menggambarkan keadaan 4 tahun sensus/survey yaitu masingmasing tahun
1967, 1976, 1986, dan 1996. angka kematian bayi yang dianalisa adalah AKB ratarata yang dihitung dari probalitas kematian bayi pada kelompok umur ibu 20-24, 2529, dan 30-34, berkaitan dengan analisa AKB, akan dibahas pula AHH dan level
mortalitas. Sedangkan analisa AKB menurut propinsi akan didukung oleh perkiraan
AHH dan level mortalitas menurut propinsi. Sebagaimana AKB, AHH juga dihitung
berdasarkan rata-rata kelompok umur ibu 20-24,25-29, dan 30-34.
D. PERMASALAHAN
Hal yang dipahami sejak awal tentang mortalitas yakni penurunan angka
mortalitas dengan berbagai caranya merupakan suatu hak asasi manusia, artinya,
usaha penurunan angka tersebut merupakan arahan kebijakan publik yang
sesungguhnya disamping usaha penekanan jumlah penduduk. Diharapkan tidak saja
fokus pada penekanan jumlah penduduk, namun tidak memperhatikan tingkat
kematian penduduk, pemerintah harus menyediakan program yang menjamin hakhak tersebut, antara lain dengan jaminan kesehatan hingga ke pelosok daerah,
penyediaan informasi demografi dan kesehatan yang memadai dan mudah diakses,
serta pelayanan pascapenanganan. Usaha-usaha tersebut diharapkan mampu
menjadi penurun angka kematian penduduk di Indonesia.
Gwatkin

(2000)

mengindikasikan

bahwa

perbedaan

IMR

di

Indonesia

berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang diukur dengan tingkat kekayaan
dan rasio penduduk miskin. Kawachi (1994) dalam Poerwanto dkk 2 (2003)
mengemukakan bahwa pada kenyatannya kalangan dengan tingkat sosial ekonomi
yang rendah memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Sehingga kebijakan
pemerintah dalam memperbaiki fasilitas kesehatan dalam rangka menurunkan
perbedaan sosial ekonomi antar daerah sangat berpengaruh terhadap penurunan
kematian bayi. Suatu peristiwa akan mengikuti distribusi poisson jika peristiwa itu
jarang terjadi dalam suatu ruang sampel yang besar (Cameron dan Trivedi, 1998).
Berdasarkan teori tersebut maka jumlah kematian bayi merupakan variabel
yang berdistribusi poisson karena peristiwa tersebut jarang terjadi. Hubungan
antara jumlah kematian bayi sebagai variabel respon dan faktor-faktor penyebabnya
sebagai variabel predictor dapat diketahui dengan menggunakan model regresi.
Sesuai dengan asumsi diatas, maka model regresi yang tepat adalah model regresi
Poisson. Beberapa penelitian sebelumnya telah menghasilkan banyak faktor
terutama sosial-ekonomi yang menyebabkan kematian bayi. Tulisan ini akan lebih

focus kepada faktor maternal yang merupakan faktor vital penyebab kematian bayi.
Faktor maternal tersebut antara lain: usia ibu pada saat melahirkan, jumlah
pemeriksaan yang dilakukan oleh ibu pada saat hamil, tingkat pendidikan ibu, dan
tingkat kesejahteraan keluarga. Sedangkan faktor lingkungan yang dijadikan faktor
pendukung adalah jumlah sarana kesehatan, jumlah tenaga medis, dan persentase
daerah yang berstatus desa. Penentuan model terbaik dilakukan berdasarkan nilai
devians terkecil, dimana model terbaik yang diperoleh menunjukkan bahwa faktorfaktor yang berpengaruh pada jumlah maternal mortality adalah jumlah sarana
kesehatan dan persentase penolong proses persalinan yang dilakukan oleh tenaga
nonmedis (dukun bayi). Penelitian tentang mortalitas yang dilakukan di beberapa
negara, terutama negara-negara yang rentan akan kematian bayi, seperti Africa
sudah mulai menggunakan pendekatan ini.
Kynast-Wolf et al (2002) menggunakan regresi poisson untuk memodelkan
mortalitas di Burkina Faso, Africa. Sankoh et al (2003) menggunakan Poisson
regression untuk memodelkan kematian orang dewasa dan tua di pedesaan Burkina
Faso, Africa. Kemudian Rhodes et al (2005) 4 juga menggunakan regresi poisson
untuk menganalisis mortalitas berdasarkan gender, sarana medis, dan tingkat
kematian itu sendiri. Semua penelitian tersebut mengarah kepada penentuan model
pendugaan yang paling mendekati benar. Pada kenyataannya, ketika ingin
memodelkan mortalitas dengan data yang di ambil dari daerah yang berbeda
karakteristik, perlu diperhatikan apakah parameter lokal lebih sesuai dibandingkan
dengan parameter global. Mathews (2002) mengemukakan bahwa Geographically
Weighted Regression (GWR) adalah teknik pemodelan baru untuk analisis local
spasial.
Teknik ini mempertimbangkan aspek local, yang merupakan kebalikan dari
model global. Model Hybrid telah dicoba oleh Byrne dan Pezic (2004) untuk
memodelkan arus migrasi di Australia dengan mengasumsikan jumlah migrasi
berdistribusi poisson. Selain itu, Nakaya et al (2005) mencoba memetakan
mortalitas di Tokyo dengan menggunakan hybrid dua model tersebut yang kemudian
lebih dikenal dengan Geographically Weighted Poisson Regression (GWPR). Atkinson
dan Cheng (2007) juga menggunakan GWPR untuk menganalisis hubungan antara
kanker leher rahim dengan faktor social ekonomi di UK.
Hasil dari tiga penelitian tersebut menujukkan bahwa model regresi poisson
dengan variasi spasial signifikan atau lebih sesuai digunakan. Mengingat wilayah
Indonesia yang sangat beragam karakteristiknya, baik dari segi alam, maupun

fasilitas yang dimiliki, maka dapat menerapkan model hybrid GWPR pada data
jumlah kematian bayi di Indonesia sebagai variabel respon dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya sebagai variabel 5 prediktor. Metode ini menggunakan fungsi
pembobot spasial untuk mengestimasi variasi spasial pada parameter regresi
poisson.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991 AKBA di
Indonesia mencapai angka 97 per 1.000. Ini berarti probabilita meninggal anak usia
di bawah lima tahun di Indonesia pada tahun 1991 adalah 97 dari 1.000 kelahiran
hidup. Kemudian AKBA di Indonesia mengalami penurunan menjadi 81 (SDKI 1994),
58 (SDKI 1997), 46 (SDKI 2002/2003), dan 44 (SDKI 2007). Menurut World Health
Organization (WHO) pada tahun 2012, mayoritas kematian balita di Indonesia
disebabkan oleh kelahiran prematur 25 persen, pneumonia 14 persen, dan kondisi
dimana bayi kekurangan oksigen sebelum, selama, atau setelah kelahiran (birth
asphyxia)

11

persen.

Berdasarkan

Profil

Data

Kesehatan

Indonesia

yang

dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penulis berpendapat nilai


AKBA di Indonesia cukup tinggi jika dibandingkan negara-negara Asia Tenggara
lainnya.
Pada tahun 2009 AKBA di Indonesia mencapai 39, sedangkan AKBA di Filipina
mencapai 33, Vietnam mencapai 24, Thailand mencapai 13, dan Malaysia mencapai
6. Pencapaian Indonesia hanya lebih baik jika dibandingkan dengan Laos (59),
Kamboja (88), dan Timor Leste (56). Besarnya AKBA di Indonesia menunjukkan
bahwa masih buruknya kualitas lingkungan tempat di mana balita tinggal, sebab
balita, terutama bayi, sangat rentan terserang oleh penyakit. Angka kematian ibu
(AKI) adalah jumlah kematian perempuan ketika hamil sampai 42 hari setelah
persalinan. AKI di Indonesia terus menunjukkan penurunan secara lambat.
Berdasarkan SDKI 1991 AKI di Indonesia mencapai 390 per 100.000 kelahiran
hidup. Hal ini berarti di Indonesia terdapat 390 kematian ibu per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 1991. Kemudian, AKI terus mengalami penurunan menjadi 334
(SDKI 1994), 307 (SDKI 2002/2003), dan 228 (SDKI 2007). Menurut Kemenkes
mayoritas kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh pendarahan 28 persen,
eklamsia (kondisi kejang yang disebabkan oleh hipertensi) 24 persen, dan infeksi 11
persen. Berdasarkan Profil Data Kesehatan Indonesia yang dipublikasi oleh
Kemenkes,

penulis

berpendapat

nilai

AKI

di

Indonesia

sangat

tinggi

jika

dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Pada tahun 2008 AKI di
Indonesia mencapai 240 (lebih tinggi jika dibandingkan data dari SDKI 2007),

sedangkan AKI di Filipina mencapai 94, Vietnam mencapai 56, Thailand 48, dan
Malaysia mencapai 31.
Pencapaian Indonesia hanya lebih baik jika dibandingkan dengan Laos (580),
Kamboja (290), dan Timor Leste (370). Besarnya AKI di Indonesia menunjukkan
masih

rendahnya

perhatian

pemerintah

dan

masyarakat

terhadap

hak-hak

perempuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Walaupun AKBA


dan AKI Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain di Asia
Tenggara, tetapi pencapaian Indonesia ini telah lebih baik jika dibandingkan dengan
beberapa periode sebelumnya. Menurut Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium Indonesia tahun 2010, pencapaian tersebut tak terlepas dari beberapa
faktor. Untuk kesehatan balita, keberhasilan program imunisasi menjadi salah satu
penyebab membaiknya pencapaian tingkat AKBA saat ini.
Cakupan program imunisasi lengkap terus meningkat. Selama periode 20022005, cakupan beberapa proram imunisasi utama, yaitu BCG, DPT3, dan hepatitis,
masing-masing telah meningkat mencapai 82 persen, 88 persen, dan 72 persen.
Sementara itu, cakupan nasional imunisasi campak pada tahun 2007 mencapai 67
persen. Penulis berpendapat bahwa meningkatnya cakupan program imunisasi ini,
telah meningkatkan daya imunitas balita terhadap serangan penyakit. Untuk
kesehatan ibu, meningkatnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih
menjadi salah satu penyebab membaiknya pencapaian tingkat AKI saat ini.
Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari
66,7 persen pada tahun 2002 menjadi 77,34 persen pada tahun 2009, serta menjadi
82,3 persen pada tahun 2010. Selain itu, pada tahun 2007 93 persen ibu hamil telah
memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa
kehamilan.

E. ANALISIS KEBIJAKAN
Penulis

berpendapat

bahwa

meningkatnya

pertolongan

persalinan

dan

pelayanan antenatal ini telah menurunkan risiko kematian ibu pada saat melahirkan.
Namun, komitmen yang lebih tinggi dari pemerintah sangat dibutuhkan, terutama
untuk menurunkan tingkat AKI. Menurut penulis komitmen pemerintah itu belum
terlihat, jika dilihat dari sisi anggaran kesehatan pemerintah pusat tahun 2013 yang
belum mencapai angka 5 persen. Selain itu, Indonesia juga masih menghadapi
permasalahan disparitas pelayanan kesehatan antar daerah yang cukup tinggi. Hal
ini terlihat dari data Tim Nasional Percepatan Pemberantasan Kemiskinan (TNP2K).

Secara ekstrem, penulis dapat membandingkan jarak rata-rata menuju rumah


sakit terdekat di Jakarta Pusat (1,94 km) atau rasio bidan per 100.000 penduduk di
Jakarta Pusat (11,80) dengan Kabupaten Asmat, Papua masing-masing mencapai
96,60 km dan rasio 1,42. Lebih memprihatinkan lagi, pada tahun 2011 menurut
Kementerian Kesehatan dari 14.773.538 rumah tangga yang diobservasi hanya
53,89 persen diantaranya yang berperilaku bersih dan sehat. Oleh karena itu,
dibutuhkan sinergi antara pemerintah dan masyarakat untuk menurunkan AKBA dan
AKI di Indonesia.
Pemerintah

tidak

secara

eksplisit

memiliki

kebijaksanaan

mempengaruhi

mortalitas seperti yang dilakukan untuk menurunkan angka fertilitas. Penurunan


mortalitas

merupakan

tujuan

semua

pemerintah

termasuk

mereka

yang

menginginkan untuk mengurangi rata-rata pertumbuhan penduduk.


a. Kebijakan yang Menurunkan Mortalitas
Semua kebijakan pemerintah yang secara langsung berkaitan dengan penurunan
mortalitas adalah semua yang mensupport pengembangan pengetahuan medis
yang berpotensi meningkatkan umur manusia (life expectacy), usaha pemerintah
yang diarahkan untuk mengurangi menjalarnya atau datangnya penyakit tertentu,
usaha untuk menjaga keselamatan dalam perjalanan, menyediakan pelayanan
kesehatan bagi para wanita hamil, serta pemerintah juga telah menurunkan angka
kematian dengan pengaturan rokok.
b. Kebijakan yang Meningkatkan Angka Mortalitas
Rasanya janggal bahwa kebijaksanaan yang meningkatkan agka mortalitas ini ada,
kerena pemerintah justru menghendaki sebaliknya. Tetapi, berbagai kebijakan
pemerintah yang mencelakakan kesehatan, meskipun secara tidak sengaja,
akhirnya juga meningkatkan kematian.

F. PENUTUP
AKBA di Indonesia mencapai angka 97 per 1.000 di tahun 1990. Ini berarti
probabilita meninggal anak usia di bawah lima tahun di Indonesia pada tahun 1991
adalah 97 dari 1.000 kelahiran hidup. Kemudian AKBA di Indonesia mengalami
penurunan menjadi 81 (SDKI 1994), 58 (SDKI 1997), 46 (SDKI 2002/2003), dan 44
(SDKI 2007). Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012, mayoritas

kematian balita di Indonesia disebabkan oleh kelahiran prematur 25 persen,


pneumonia 14 persen, dan kondisi dimana bayi kekurangan oksigen sebelum,
selama, atau setelah kelahiran (birth asphyxia) 11 persen. Berdasarkan Profil Data
Kesehatan Indonesia yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes),
penulis berpendapat nilai AKBA di Indonesia cukup tinggi jika dibandingkan negaranegara Asia Tenggara lainnya.
Pada tahun 2009 AKBA di Indonesia mencapai 39, sedangkan AKBA di Filipina
mencapai 33, Vietnam mencapai 24, Thailand mencapai 13, dan Malaysia mencapai
6. Pencapaian Indonesia hanya lebih baik jika dibandingkan dengan Laos (59),
Kamboja (88), dan Timor Leste (56). Besarnya AKBA di Indonesia menunjukkan
bahwa masih buruknya kualitas lingkungan tempat di mana balita tinggal, sebab
balita, terutama bayi, sangat rentan terserang oleh penyakit. Angka kematian ibu
(AKI) adalah jumlah kematian perempuan ketika hamil sampai 42 hari setelah
persalinan. AKI di Indonesia terus menunjukkan penurunan secara lambat.
Pemerintah tidak secara eksplisit memiliki kebijaksanaan mempengaruhi mortalitas
seperti yang dilakukan untuk menurunkan angka fertilitas. Penurunan mortalitas
merupakan tujuan semua pemerintah termasuk mereka yang menginginkan untuk
mengurangi rata-rata pertumbuhan penduduk. Semua kebijakan pemerintah yang
secara langsung berkaitan dengan penurunan mortalitas adalah semua yang
mensupport pengembangan pengetahuan medis yang berpotensi meningkatkan
umur

manusia

(life

expectacy),

usaha

pemerintah

yang

diarahkan

untuk

mengurangi menjalarnya atau datangnya penyakit tertentu, usaha untuk menjaga


keselamatan dalam perjalanan, menyediakan pelayanan kesehatan bagi para wanita
hamil, serta pemerintah juga telah menurunkan angka kematian dengan pengaturan
rokok.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai