Anda di halaman 1dari 3

Hukuman Mati bagi Para Koruptor di Indonesia, Pantaskah?

HAK ASASI DIBALIK HUKUMAN MATI PARA KORUPTOR


239 dan 12
Korupsi adalah kejahatan sosial atau perbuatan yang melawan hukum yang
harus diberantas melalui proses peradilan tindak pidana korupsi. Maraknya pelaku
korupsi di Indonesia ini menimbulkan kerugian besar bagi bangsa yang melibatkan para
pejabat atau pengusaha negeri. Di Indonesia, sampai tahun 2003 survey yang dilakukan
oleh Transparency Internasional menunjukkan bahwa Indonesia masih berada dalam
peringkat ke 130 dari 136 negara terkorup dengan indeks 2,4 dan pada tahun 2007
survey mencakup 180 negara, dimana Indonesia berada diperingkat 145 dari 180 dengan
indeks 2,3. Sedangkan pada tahun 2009 Indonesia menduduki posisi 111. Pelaku
korupsi atau koruptor ini telah ditetapkan sanksi baginya berupa hukuman mati. Namun
perlakuan hukuman mati bukanlah jalan yang terbaik bagi mereka yang bersalah.
Hukuman mati justru akan merumitkan keadaan mengingat banyaknya koruptor di
Indonesia yang harus diberantas dan hal ini juga terkait dengan hak asasi manusia
(HAM). Hak untuk hidup yang masing-masing dipegang oleh manusia termasuk
koruptor tidak semerta-merta harus dicabut dengan kejahatan yang walaupun terbilang
sangat kejam.
Menurut Asmara Nababan, Direktur Eksekutif Demos, dalam artikel
mengusulkan agar hukuman mati dicabut karena penghapusan hukuman mati sudah
menjadi gerakan internasioanl. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada
tahun 1966 yang berlaku sejak 1976, yang menyebutkan bahwa larangan hukuman mati
dan memberikan hak untuk hidup. Selain itu, mantan Sekjen Komnas HAM ini juga
mengatakan bahwa ancaman hukuman mati lebih banyak kepada alasan pembalasan
dendam kepada penjahat yang telah membunuh dengan sadis, dan tidak ada korelasi
langsung antara hukuman mati dengan efek jera kepada masyarakat atau pidana korupsi
lainnya.
Beberapa sudut pandang yang berbeda dari peserta FGD lainnya yakni terdiri
dari empat orang pro dan dua orang konta termasuk saya sendiri. Pihak pro mengatakan
bahwa koruptor telah melanggar hak asasi manusia dan membunuh masyarakat secara
perlahan-lahan, serta pidana korupsi juga jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 28
dan 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

dinyatakan Undang-Undang Nomor 20/2001 pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: Dalam hal
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Hal ini berpacu pada Koruptor yang pantas
dapat hukuman mati adalah mereka yang telah berada dalam tingkat teratas atau kelas
kakap. Serta tidak adanya efek jera bagi masyarakat lain jika melihat terpidana korupsi
tidak menerima hukuman mati yang dianggap setimpal dengan perbuatannya.
Menanggapi hal tersebut bahwa Koruptor juga manusia yang memegang hak
untuk hidup. Nyawa dibalas dengan nyawa bukanlah hal yang baik dilakukan. Manusia
adalah manusia. Yang berhak mencabut haknya untuk hidup bukan manusia dan itu juga
tidak diatur dalam al-quran dan undang-undang bahwa hanya orang-orang yang
melewati batas kejahatan atau koruptor kelas kakap sampai yang telah membunuh
sesamanya sendiri yang harus mendapat hukuman mati.
Para aktivis dibidang penegakan HAM menentang hukuman mati. Mereka
berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan
Undang-Undang 1945 pasal 28A dan 28I yang berbunyi bahwa hak untuk hidup, tidak
bisa dikurangi dengan alasan apapun. Selain itu sila kedua Pancasila Kemanusiaan
yang adil dan beradap juga bertentangan dengan hukuman mati. Hukuman yang
mempunyai tingkatan paling tinggi ini tidak akan memberikan efek jera bagi
masyarakat. Contohnya di negeri China, seperti yang dikatakan oleh Bhatara Ibnu Reza,
peneliti Imparsial bahwa di China setiap tahun 50 hingga 60 orang (koruptor) dihukum
mati. Tapi buktinya, China tetap masuk sepuluh besar sebagai negara paling korupsi di
dunia.
Dari beberapa argument di atas, dapat saya simpulkan bahwa hukuman mati bagi
para koruptor tidaklah pantas karena terikat hak asasi manusia dan bukanlah satusatunya jalan untuk memberantas koruptor di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh
mantan Sekjen Komnas HAM bahwa larangan hukuman mati dan telah bertentangan
dengan HAM (hak untuk hidup). Penerapan di Indonesia, selama masih ada hukuman
yang sedikit lebih manusiawi dan tetap membuat mereka jera dan malu bahkan merasa
ngeri untuk korupsi kembali, kenapa tidak dilakukan. Yakni lebih dari cukup dan pantas
mendapatkan hukuman seumur hidup dibanding hukuman mati, dengan catatan semua
aset, rekening, tabungan dan semua hartanya disita atas nama si koruptor itu sendiri.
Selain itu jika terbukti bahwa harta benda milik istri, anak, saudara, sepupu dan kerabat

keluarganya yang lain adalah hasil korupsi maka harta tersebut juga harus dibekukan
dan diberikan ke Negara pada batas waktu tertentu sampai kerugian Negara benar-benar
terganti.
Sumber Referensi:
Anonim.
2003.
Hukuman
Mati
bagi
Koruptor, Perlukah?.
http://www.hukumonline.com. Diakses pada tanggal 17 Maret 2016.

[online]

Tanjung, Akbar. 2014. Hukuman Mati Bukan Jalan Mengakhiri Korupsi, Lantas
Hukuman Apa yang Layak Bagi Pelaku Korupsi?. [online] http://writingcontest.bisnis.com/artikel/read/20140401/376/214922/hukuman-mati-bukanjalan-mengakhiri-korupsi-lantas-hukuman-apa-yang-layak-bagi-pelaku-korupsi.
Diakses pada tanggal 17 Maret 2016.
Waluyanti, walentina. 2016. Hukuman Mati Untuk Koruptor, Pantaskah? [online]
http://walentina.waluyanti.com/guests/392-hukuman-mati-untuk-koruptorpantaskah. Diakses pada tanggal 17 Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai