Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI EMERGENCY, OEDEMA PULMO, DIABETES MELITUS


TIPE II

Disusun Oleh :
dr. Fenda Adita

Pembimbing :
dr. Priyanto
dr. Rusnandar, Sp.PD, FINASIM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR SOEPRAPTO CEPU


BLORA
2014

Kasus 3
Topik

: Hipertensi Emergency, Oedem Pulmo, Diabetes Melitus Tipe II

Tanggal (Kasus)

: 8 November 2013

Persenter

Tanggal Presentasi

: 12 Januari 2014

Pendamping : dr. Supriyanto

Tempat Presentasi

: Ruang Komdik RSU Cepu

Obyektif Presentasi

: dr. Fenda Adita

Keilmuan
Diagnostik dan Manajemen
Dewasa-Lansia
Deskripsi: Laki-laki, 60 th, sesak nafas mendadak, dada terasa panas, menjalar ke
lengan kiri dan kanan
Tujuan: mendiagnosis dan memberikan penganganan yang tepat pada pasien dengan
Hipertensi Emergency, Oedem Pulmo dan Diabetes Melitus Tipe II

Bahan Bahasan

: Tinjauan Pustaka

Cara Membahas

: Presentasi dan Diskusi

A. DATA PASIEN
Nama

: Tn. M

Umur

: 60 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Alamat

: Karangboyo

No. RM

: 075807

Tanggal Periksa : 8 November 2013

B. SUBYEKTIF - ANAMNESIS
Keluhan Utama: sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak nafas berat yang timbul mendadak 15 menit sebelum
masuk rumah sakit. Sesak nafas tidak berkurang dengan istirahat. Pasien sudah
merasakan sesak nafas sejak 1 tahun yang lalu. Sesak nafas hilang timbul, timbul

terutama jika untuk aktivitas ringan. Pasien terbiasa tidur dengan satu bantal. Pasien tidak
pernah terbangun malam hari karena sesak.
Pasien juga mengeluh dada kiri terasa panas sejak setengah bulan yang lalu.
Keluhan ini hilang timbul, jika timbul berlangsung kurang dari lima menit. Keluhan
dirasakan menjalar ke lengan kiri dan kadang-kadang sampai lengan kanan. Pasien tidak
mengeluh nyeri dada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Sakit Jantung

: (+) sejak 1 tahun yang lalu

Riwayat Hipertensi

: (+)

Riwayat DM

: (+)

Riwayat TB Paru

: (+) 1 tahun yang lalu, sudah dinyatakan sembuh

C. OBJEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sesak, komposmentis
Vital Sign

: Tensi : 220/120

Respiratory Rate

: 32x/menit

Nadi

Suhu

: 36,6

: 104x/menit

Kepala

: bentuk mesocephal

Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher

: JVP tidak meningkat, trachea di tengah

Thorak : retraksi (-)


Cor

: I : iktus cordis tampak di SIC V 2 jari lateral LMCS


P : iktus cordis kuat angkat
P : batas jantung kesan melebar ke kaudolateral
A : bunyi jantung I-II intensitas meningkat, reguler, bising (-)

Pulmo

: I : pengembangan dada kanan = kiri


P : fremitus raba kanan = kiri
P : sonor/sonor

A : SDV (+/+), RBK (+/+) di 1/3 paru bawah, RBH (+/+) di 1/3 paru
bawah
Abdomen: I : dinding perut sejajar dinding dada
A : bising usus (+) normal
P : nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
P : timpani

Ekstremitas : akral dingin


-

2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 8 November 2013
Hb

: 15,6 gr/dL

Hematokrit : 41%
Trombosit : 300.000/mm3
Lekosit

: 9.700/mm3

Eritrosit

: 5,50 juta/mm3

GDS

: 296 mg/dL

Ureum

: 17 mg/dL

Kreatinin

: 0,6 mg/dL

SGOT

: 112 g/dL

SGPT

: 48 g/dL

Asam Urat : 4,0 mg/dL


Kolesterol : 185 mg/dL
Trigliserid : 209 mg/dL
3. PEMERIKSAAN EKG
Irama

: sinus

pitting oedem

Heart Rate

: 1500/12 = 125x/menit

Reguler
Zona transisi : Axis deviasi ke kanan

D. ASSESSMENT
Sesak napas yang dirasakan pada pasein ini terutama adalah saat aktivitas. Hal ini
disebabkan karena pada saat aktvitas kebutuhan jaringan akan oksigen meningkat. Untuk
memenuhi kebutuhan oksigen jaringan tersebut, maka jantung harus meningkatkan
cardiac output dengan meningkatkan heart rate. Hal ini mengakibatkan waku pengisian
diastolik (diasolik time) menurun sehingga darah tidak bisa semuanya masuk ke dalam
ventrikel. Lama-lama darah akan terkumpul di atrium, kemudian diteruskan ke belakang
ke vena pulmonalis kemudian ke paru sehingga terjadi oedem paru dan timbul sesak
napas.
Pasien juga mengaku lebih nyaman jika tidur dengan menggunakan 2 bantal.
Pasien mengeluh sesak bertambah jika berbaring. Hal ini disebabkan oleh peningkatan
venous return saat pasien berbaring. Selain itu, saat berbring cairan akan terkumpul di
posterior paru , padahal bagian posterior paru adalah tempat yang paling luas untuk difusi
oksigen sehingga timbul sesak.

Pada kasus akut, gejala yang khas adalah gejala edema paru yang meliputi
dyspnea, orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadang-kadang
hemoptisis, ditambah gejala low output seperti: takikardi, hipotensi dan oligouri, beserta
gejala-gejala penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti keluhan angina pektoris
pada infark miokard akut. Apabila telah terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri yang berat,
maka dapat ditemukan pulsus alternans. Pada keadaan sangat berat akan terjadi syok
kardiogenik.
Tanda khas pada auskultasi ialah adanya bunyi jantung ketiga (diastole gallop).
Dapat pula terdengar bising apabila terjadi dilatasi ventrikel. Sedangkan pada paru
hampir selalu terdengar ronki basah.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk gagal jantung kongestif.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium tergantung dari penyakit dasar dan komplikasi
yang terjadi.
Gambaran EKG pada penderita gagal jantung kongestif tidak khas, tergantung
pada penyakit dasar. Namun hampir semua EKG ditemukan takikardi (kecuali pada yang
sudah diobati). Pada gagal jantung kongestif akut karena selalu terjadi iskemik dan
gangguan fungsi konduksi ventrikel, maka selain takikardi dapat pula ditemukan
gambaran LBBB, perubahan segmen ST dan gelombang T.
Pada foto thorak, sering ditemukan pembesaran jantung dan tanda-tanda
bendungan paru. Apabila telah terjadi edema paru, dapat ditemukan gambaran kabut di
daerah perihiler, penebalan interlobar fissure (Kerleys line). Sedangkan kasus yang berat
dapat ditemukan efusi pleura.

E. PLAN
Assesment : - Hipertensi Emergensi
- Oedem Pulmo
- ST Elevasi Miokard Infark
- Diabetes Melitus Tipe II
Pengobatan : - Posisi setengah duduk
- O2 8 lpm dengan masker NRM
- Infus RL 300 cc + Nicardipin 1 ampul 20 tpm (target: MAP turun
25%)
- Nitrogliserin 5,4 /jam dinaikkan bertahap setiap 25 menit sampai
dengan 15,4 /jam
- Injeksi Furosemid 2x2 ampul
- Injeksi Cefotaxim 3x1 gr
- Spironolacton 25 mg 1-0-0
- Captopril 3x25 mg

HCT -0-0
Diltiazem 3x1
Aspilet 1x80 mg
Insulin 5 unit bolus target 150 mg/dl
Sliding scale insulin dengan syringe pump
< 150
0 unit
150-200
1 unit
200-250
2 unit
250-300
3 unit
300-350
4 unit
> 350
5 unit
- Rawat ICU

Pendidikan : dilakukan kepada pasien dan keluarganya untuk membantu proses


penyembuhan dan pemulihan. Pasien harus minum obat dan kontrol secara teratur. Jangan
melakukan akyivitas yang berat dan dapat memperberat penyakit. Jika gejala kambuh,
segera dibawa ke dokter atau rumah sakit.
Konsultasi : dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan spesialis Penyakit
Dalam untuk pemeriksaan lebih lanjut dan pengobatan yang lebih intensif.
Follow Up
Tanggal/Jam
8-11-2013
Jam 07.30

Perjalanan Penyakit
TD: 88/60
MAP: 70 mmHg
HR: 85x/menit
SpO2: 100%
Konsul dr. Hidayat, Sp.PD

TINJAUAN PUSTAKA

Rencana pengobatan

CONGESTIVE HEART FAILURE (GAGAL JANTUNG KONGESTIF)

A. Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung
(cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO
mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang. Untuk mempertahankan fungsi
sirkulasi yang adekuat, maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau
mekanisme kompensasi melalui perubahan-perubahan neurohormonal, dilatasi ventrikel
dan mekanisme Frank-Starling. Dengan demikian, manifestasi klinis gagal jantung terdiri
dari berbagai respon hemodinamik, renal, neural, dan hormonal yang tidak normal.
(Kabo. 2011)
Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan
pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. (Kabo, 2011)
Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan
bendungan di sistem vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif. Apabila
tekanan pengisian meningkat dengan cepat sekali seperti yang sering terjadi pada infark
miokard akut, sehingga dalam waktu singkat menimbulkan berbagai tanda-tanda
kongestif sebelum jantung sempat mengadakan mekanisme kompensasi yang kronis,
maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif akut. (Kabo, 2011)
Mekanisme Frank-Starling
Gagal jantung akibat penurunan kontraktilitas ventrikel kiri
menyebabkan pergeseran kurva penampilan ventrikel ke bawah.
Karena itu, pada setiap beban awal, isi sekuncup menurun
dibandingkan dengan normal dan setiap kenaikan isi sekuncup pada
gagal jantung menuntut kenaikan volume akhir diastolik lebih tinggi
dibandingkan normal.
Penurunan isi sekucup mengakibatkan pengosongan ruang yang
tidak sempurna sewaktu jantung berkontraksi sehingga volume darah
yang menumpuk dalam ventrikel semasa diastol lebih tinggi
dibandingkan normal. Hal ini terjadi sebagai kompensasi karena
B. Etiologi
kenaikan beban awal (atau volume akhir diastolik) merangsang isi

Penyakit arteri koroner


Hipertensi
Penyakit katup jantung
Kardiomiopati
Proses infiltratif seperti amiloid, sarcois, besi, keganasan yang jarang
Proses infeksi seperti miokarditis virus, rheumatic myocarditis, sepsis, endokarditis
infektif dengan miokarditis.
Collagen vascular disease
Drug induced seperti doxorubicin (Adriamycin), daunorubicin, 5-fluorouracil
Metabolik endokrin seperti myxoedema, tirotoksikosis, akromegali, feokromositoma
Racun seperti alkohol

Radiasi
Kekurangan nutrisi seperti pada beri-beri, kwashiorkor, pellagra
Trauma (Swanton and Banerjee, 2008)

C. Patofisiologi
Pada awal gagal jantung, akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan
aktivitas saraf simpatis dan sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA), serta pelepasan
arginin vasopresin yang semuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan tekanan darah yang adekuat. (Kabo, 2011)
Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan volume darah arteri yang efektif. Hal ini
akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral yang menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri. (Kabo, 2011)
Vasokonstriksi dan retensi cairan untuk sementara waktu dapat menigkatkan tekanan
darah, sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui
hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload akan
meningkatkan peregangan dinding ventrikel melalui hukum Laplace, sedangkan
pengingkatan preload dan hipertrofi/dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung
sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. (Kabo, 2011)
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang timbul tergantung pada ventrikel mana yang terkena, derajat
kerusakan dan etiologinya.
Gagal Jantung Kiri
- Fatigue dan peningkatan toleransi batas latihan, kelelahan bahkan hanya setelah
aktivitas ringan, dyspnea, orthopnea, dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
- Batuk kering pada malam hari, akral dingin, palpitasi, angina, pusing atau sinkop
- Emboli sistemik
- Nokturia dan ritme diurnal yang terbalik
- Penurunan berat badan dan massa otot (Swanton and Banerjee, 2008)
Gagal Jantung Kanan
- Edema perifer yang bisa meluas menjadi ascites dan edema anasarca
- Distensi perut dengan ascites
- Nyeri hepatic, terutama saat aktivitas
- Nausea dan anoreksia
- Pulsasi pada wajah dan leher (regurgitasi trikuspid)
Gejala-gejala tersebut juga dapat timbul sebagai efek samping dari pengobatan
misalnya nausea dan anoreksia (digoxin), gout, impoten, diabetes melitus, kelemahan
hipokalemik (diuretik tiazid), hipotensi postural (diuretik dan semua agen yang
mengurangi afterload), batuk kering malam hari (ACE inhibitor), sakit kepala dan
migrain (nitrat). (Swanton and Banerjee, 2008)
Psikologis
Depresi sangat sering terjadi. Banyak pasien harus berhenti bekerja dan mengalami
kesulitan finansial. Semua olah raga, hobi seperti berkebun dan sering juga aktivitas
sexual harus ditinggalkan. Impotensi sering terjadi meskipun tidak menggunakan tiazid.
Bepergian jauh menjadi sulit dan bisa berbahaya. (Swanton and Banerjee, 2008)
Prediktor Kematian pada Gagal Jantung

- Kadar Na serum yang rendah


- Wide QRS pada EKG
- Tingginya kadar noradrenalin
- Microvolt T-wave alternans
- Cardiac cachexia dengan >7,5% penurunan berat badan (Swanton and Banerjee, 2008)
Tanda yang Harus Dicari
- Kelelahan, tampak sakit; sesak nafas saat istirahat atau aktivitas ringan.
- Tangan dan kaki yang dingin dengan sianosis perifer, penurunan massa otot.
- Tekanan darah: tekanan sistolik yang rendah dengan tekanan nadi yang rendah. Cek
adakah pulsus paradoksus.
- Peningkatan JVP. Tanda kussmaul harusnya negatif. Vena yang prominen pada bahu,
dada, perut dan tungkai.
- Volume nadi yang rendah. Resting tachycardia. Kemungkinan pulsus alternans.
- Displaced apex dengan dilatasi ventrikel kiri. Apeks yang terdorong pada gangal
jantung hipertensif. Bising sistolik jika terjadi ruptur pada korda mitral. Double apex
dari hipertrofi ventrikel kiri pada irama sinus.
- Auskultasi: gallop S3 merupakan tanda yang paling penting. Tanda-tanda penyakit
katup jantung. Pada keadaan output yang rendah, bising pada stenosis aorta yang
parah mungkin tidak terdengar.
- Hepatomegali. Pulsatile liver dengan regurgitasi trikuspid.
- Ascites
- Pola ventilasi: hipeerventilasi jika terdapat oedem pulmo akut. Pernafasan cheynestokes pada pasien yang disedasi.
- Dada: efusi basal bilateral. Wheezing ekspirasi. Ronkhi basah basal halus tidak dapat
dipercaya sebagai tanda oedem pulmo. (Swanton and Banerjee, 2008)
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
(Panggabean, 2007)
Kriteria Major
- Paroksismal nokturnal dispnea
- Distensi vena leher
- Ronki paru
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Gallop S3
- Peninggian tekanan vena jugularis
- Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
- Edema ekstremitas
- Batuk malam hari
- Dispnea deffort
- Hepatomegali
- Eusi pleura
- Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
- Takikardi (>120x/menit)
Major atau Minor
- Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria
minor.
E. Klasifikasi
Berdasarkan gejala sesak nafas yang terjadi, New York Heart Association (NYHA)
membagi gagal jantung kongestif menjadi 4 kelas, yaitu: (Kabo, 2011)
Kelas 1
: aktivitas sehari-hari tidak terganggu. Sesak timbul jika melakukan kegiatan
fisik yang berat.
Kelas 2
: aktivitas sehari-hari terganggu sedikit.
Kelas 3
: aktivitas sehari-hari sangat terganggu. Merasa nyaman pada waktu istirahat.
Kelas 4
: walaupun istirahat terasa sesak.
Ternyata kelas NYHA bersifat reversibel, artinya pasien dapat naik kelas dari kelas II
ke kels III, namun dapat juga turun kelas dari III menjadi II setelah pengobatan. Akan
tetapi kerusakan struktur jantung bersifat ireversibel artinya sekali rusak maka tetap
rusak. Sedangkan proses yang menimbulkan kerusakan struktur jantung berlangsung
lambat (kecuali pada infark miokard akut), maka American Collage of Cardiology /
American Heart Association 2005 Guidelines Update membagi gagal jantung menjadi 4
tingkat (stage) menurut keparahan, yaitu: (Kabo, 2011)
1. Pasien memiliki risiko menerita gagal jantung namun belum ada tanda-tanda gagal
jantung, misalnya penderita PJK, DM, kardiomiopati dan hipertensi. Penanganan
yang baik dari penyakit-penyakit ini dapat mencegah terjadinya gagal jantung.
2. Pasien menderita strucural heart disease namun belum ada tanda-tanda gagal jantung,
misalnya inark miokard, LVH atau penyakit jantung katup. Penanggulangan yang
tepat penyakit-penyakit ini adalah dengan ACE-inhibitor, -blocker, atau operasi
katup jantung efektif untuk mencegah timbulnya gagal jantung.
3. Pasien menderita structural heart disease dan gejala gagal jantung. Penanganan yang
lebih agresif dengan ACE-inhibitor, -blocker, diuretik, Angiotensin receptor blocker
(ARB) dan perubahan pola hidup kan meringankan gejala.
4. Gagal jantung yang refrakter walaupun telah mendapat terapi maksimal. Pada
golongan ini maka dibutuhkan intervensi khusus seperti transplantasi jantung,
pemberian obat inotropik kronis dan permanent mechanical support.
F. Penatalaksanaan
Usaha pertama dalam penanggulangan gagal jantung kongestif ialah mengatasi
sindrom gagal jantung yaitu meningkatkan cardiac output dan menurunkan ventricular
filling pressure. Kemudian mengobati faktor presipitasi seperti aritmia, tirotoksikosis,
stress, infeksi, dan lain-lain, memperbaiki penyakit penyebab seperti hipertensi, PJK,
penyakit katup serta mencegah komplikasi seperti tromboemboli. (Kabo, 2011)
Kasus Kronis
Pengobatan non-farmakologik seperti memperbaiki oksigenasi jaringan, membatasi
kegiatan fisik sesuai beratnya keluhan, dan diet rendah garam, cukup kalori dan protein.
Kesemuanya ini memegang peranan penting dalam penanggulangan gagal jantung
kongestif kronis atau yang tidak akut. (Kabo, 2011)
Berdasarkan patogenesis dan patofisiologi yang telah diuraikan diatas, konsep terapi
farmakologis saat ini ditujukan terutama pada: (Kabo, 2011; Ghanie, 2007)

1. Menurunkan preload melalui pemberian diuretik termasuk aldosteron receptor


antagonis dan nitrat. Diuretik juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi retensi
cairan tubuh.
a. Diuretik
Diuretik merupakan pengobatan standard untuk penderita gagal jantung
kongestif. Kebanyakan pasien membutuhkan obat golongan ini secara kronis
untuk mempertahanan euvolemia. Diuretik yang sering diapaki ialah tiazid,
furosemid dan spironolacton.
HCT harganya murah, namun sayangnya selalu menyebabkan hipokalemia dan
hipomagnesemia. Dosis kecil yaitu 12,5 mg/hari atau dengan substitusi kalium
dapat mengurangi efek samping.
Spironolacton akhir-akhir ini mendapat perhatian khusus bukan karena
memiliki efek potassium sparing yang tidak menyebabkan hipokalemia, akan
tetapi obat ini adalah antagonis reseptor aldosteron. Dosis spironolacton
dianjurkan tidak melebihi 25 mg karena dapat menyebabkan hiperkalemia, apalagi
bila dikombinasi dengan ACE-inhibitor.
Furosemid adalah loop diuretik yang kuat, mula kerja untuk diuresis sudah
tampak dalam 30 menit dengan masa kerja 4-6 jam. Obat ini masih
memperlihatkan efek diuresisnya walaupun glomerular filtration rate turun
dibawah 25 ml/jam dan aman digunakan untuk penderita gagal ginjal. Bagi
penderita gagal jantung kongestif yang ringan sampai sedang, furosemid dengan
dosis 20-40 mg per hari akan memberi respon yang baik. Sedangkan pada kasus
berat mungkin membutuhkan 40-80 mg per hari. Dosis ini dapat ditingkatkan
sesuai kebutuhan.
Kontraindikasi pemberian diuretik adalah tamponade jantung, infark miokard
ventrikel kanan, hepatic failure, hipokalemia dan hipersensitif.
b. Nitrat (ISDN)\
Pemberian nitrat sangat berguna bagi penderita gagal jantung yang juga
memiliki riwayat PJK atau bagi mereka yang telah mendapat furosemid dosis
tinggi namun belum mampu mengatasi sindrom gagal jantung. Pemberian nitrat
selalu harus dimulai dengan dosis awal yang rendah untuk mencegah sinkope.
2. Obat Inotropik
Obat inotropik hanya diberikan pada pasien yang terbukti ada gangguan
kontraktilitas misalnya pada pemeriksaan fisik atau pada foto thoraks tampak
pembesaran jantung, atau hasil ECHO menunjukkan ejection fraction (EF) <40%.
a. Digitalis (Digoksin)
Digoksin adalah rapid-acting digitalis yang dapat diberikan secara oral dan
intravena. Mekanisme kerja digoksin yang pertama adalah menghambat aktivitas
sodium pump (Na+/KATPase) yang memperlambat fase repolarisasi atau dengan
kata lain menyebabkan fase depolarisasi miokard lebih lama, dengan demikian
lebih banyak Ca++ masuk ke dalam sel sehingga kontraktilitas meningkat.
Mekanisme digoksin yang kedua adalah meningkatkan tonus otot vagus
(parasimpatis) sehingga menurunkan laju jantung.
Digoksin IV diberikan pada gagal jantung akut akibat fibrilasi atrium respon
cepat. Digoksin oral diabsorbsi lambat dan tidak sempurna (hanya 30-40%), akan

tetapi obat ini masuk ke dalam sirkulasi enterohepatis sehingga waktu paruhnya
panjang yaitu 1,6 hari. Sifat-sifat ini menyebabkan pemberian digoksin selalu
mulai dengan dosis muat (loading dose), yaitu 3x1 tablet (0,25 mg) per hari
selama tiga hari untuk orang dewasa, kemudian dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan (maintenance dose). Pada umumnya dosis pemeliharaan adalah 0,25
mg/hari untuk umur di bawah 70 tahun dan 0,125 untuk usia diatas 70 tahun.
b. Ibopamin (Inopamil)
Ibopamin adalah dopamin-like drug. Berbagai studi melaporkan bahwa
pemberian ibopamin 3x100 mg per hari pada penderita gagal jantung mampu
menaikkan cardiac index sebesar 30% disertai penurunan resistensi vaskular,
tanpa banyak memperngaruhi denyut jantung dan tekanan darah.
c. -blocker
-blocker yang terbukti meningkatkan ejection fraction, memperbaiki gejala
dan menurunkan angka kematian pasien gagal jantung adalah metoprolol,
bisoprolol dan carvedilol. Start slow and go slow adalah cara pemberian blocker untuk pasien gagal jantung. Semua pasien harus dalam kondisi relatif
stabil, yaitu sudah tidak terlau sesak, tidak oedem pretibial atau ascites. Start low
artinya dosis awal sangat rendah yaitu 1/8-1/10 dosis target, misalnya dosis target
carvedilol adalah 25 mg/hari atau bisoprolol 5 ,g/hari, maka mulai dengan 1/8
tablet/hari. Go slow artinya dosis dinaikkan pelan-pelan dengan supervisi ketat
yaitu apabila kondisi pasien membaik, maka setiap 1-2 minggu dosis ditingkatkan
1/8 tablet sampai mencapai dosis target. Kemajuan akan tampak setelah beberapa
minggu bahkan beberapa bulan kemudian.
3. Menurunkan after-load
a. Angiotensin Converting Enzyme (ACE)-inhibitor
Penderita gagal jantung kongestif yang juga hipertensi adalah golongan
penderita yang aman untuk menerima ACE-inhibitors. Biasanya pengobatan
dimulai dengan ACE-inhibitor yang short acting seperti captopril dosis rendah
yaitu 3x6,25 mg atau 12,5 mg per hari, atau enalapril 2x2,5 mg per hari selama
beberapa hari di bawah pengawasan ketat (fisrt dose effects), kemudian dosis
dinaikkan secara bertahap. Apabila tampak perbaikan dan hemodinamik stabil,
obat golongan short acting ini dapat diganti ke golonbgan yang long acting seperti
lisinopril atau ramipril.
b. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
ACE-inhibitor tidak mampu menghambat sebagian besar produksi Angiotensin
II, jadi dengan memblokade AT-I reseptor, ARB diharapkan dapat menghambat
sebagian besar efek negatif dari sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA).
Kombinasi antara ACE-inhibitor dan ARB juga dilaporkan memiiki efek sinergis
dalam mempengaruhi hemodinamik, remodelling dan profil neurohormon.
c. Direct Renin Inhibitor (Aliskiren)
Aliskiren adalah obat antihipertensi yang relatif baru. Aliskiren Observation of
Heart Failure Treatment (ALOFT) Study menunjukkan bahwa pada pasien gagal
jantung yang stabil dengan obat-obat gagal jantung termasuk ACE-inhibitor dan

ARB, penambahan aliskiren 150 mg menurunkan konsentrasi N terminal pro-Btype natriuretic peptide (NT proBNP), suatu petanda gaga jantung. Aliskiren juga
dilaporkan mampu menurunkan hipertrofi ventrikel kiri pada Aliskiren inLeft
Ventricular Hypertrophy (ALLAY) trial (2007).
d. Calcium Channel Blocker
CCB dihidropiridin merupakan vasodilator kuat sehingga biasanya diberikan
pada pasien gagal jantung grade II yang tidak takikardi. CCB yang long acting
seperti amlodipin dan nifedipin GIT lebih baik karena tidak mempresipitasi
refleks takikrdi dan dilaporkan bermanfaat pada kasus yang belum maupun yang
sudah terjadi gangguan fungsi sistolik.
4. Mencegah remodelling
Obat yang memiliki efek mencegah remodelling seperti ACE-inhibitor dan ARB
bermanfaat untuk menghambat progresivitas gagal jantung. Namun dosis yang
diberikan harus maksimal. Sebenarnya hampir semua obat antihipertensi memiliki
efek mencegah remodelling termasuk CCB, -blocker dan diuretik.
5. Memperbaiki metabolisme energi miokard
Patogenesis disfungsi miokard terutama disebabkan karena kekurangan produksi
energi atau ATP. D-ribose merupakan satu-satunya komponen yang dapat mengisi
ulang cadangan energi. Co-enzyme Q10 (co-Q10) menangkap elektron yang elektron
yang keluar dri siklus Krebs dan menbghantarkannya ke sitokrom dalam rantai
transportasi elektron. L-carnitine berfungsi mengangkut asam lemak ke dalam
mitokondria. Mg++ merupakan kation yang terdapat di dalam ATP yang berperan
dalam berbagai metabolisme. Dengan demikian D-ribose, L-carnitine, Co-Q10 dan
Mg++ merupakan empat bahan yang sangat dibutuhkan untuk memperbaiki
metabolisme energi dan menyuplai kebutuhan energi secara maksimal pada miokard.
Pada pasien gagal jantung kongestif yang selalu diikuti gangguan penyerapan
nutrisi oleh usus, atau usia lanjut yang selalu disertai berbagai penyakit kronis dan
malnutrisi, maka pembentukan bahan-bahan ini berkurang sehingga perlu
memperoleh suplemen untuk menjaga atau memperbaiki fungsi jantung. Pemberian
keempat bahan ini secara teoritis adalah jauh lebih fisologis dalam pengobatan gagal
jantung, dibandingkan berbagai obat gagal jantung yang diperkenalkan saat ini yang
lebih memfokuskan pada memacu kontraktilitas dan laju jantung.
6. Intervensi khusus
a. Implantable Cardioverter Defibrilator (ICD)
b. Biventricular Pacing (Resynchronization) Therapy
c. Revaskularisasi melalui PTCA (Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty)
atau cABGs (Coronary Artery Bypass Graft)
d. Lain-lain: transplantasi jantung, Cardiomyoplasty and Ventricular Reduction
Surgery.
Kasus Akut
Tindakan umum untuk gagal jantung kongestif akut ialah penderita dibaringkan pada
posisi setengah duduk, dan diberi oksigen. Oksigen secara rutin diberikan pada penderita
gagal jantung kongestif akut, karena hampir semua penderita mengeluh sesak nafas.
Oksigen konsentrasi tinggi mutlak diperlukan pada penderita yang PO2 kurang dari 70%
atau terdapat tanda-tanda edema paru yang berat. (Kabo, 2011; Manurung, 2007)

Agar tidak terjadi kekeringan mukosa jaringan paru, pemberian oksigen sebaiknya
disertai uap air. Pada pemberian oksigen konsentrasi sangat tinggi (60-100%), maka
setiap 5 jam harus dihentikan beberapa menit untuk mencegah keracunan oksigen. Tandatanda keracunan oksigen antara lain perasaan lemah, nausea, vomitus, batuk-batuk,
perasaan terbakar di daerah substernl dan tanda serebral seperti konvulsi. (Kabo, 2011)
Keberhasilan penanggulangan gagal jantung kongestif akut sangat tergantung dari
ketepatan memonitor fungsi kardiovaskular melalui perubahan-perubahan hemodinamik,
karena hal ini merupakan petunjuk dalam pemberian obat-obat untuk memperbaiki fungsi
jantung secara optimal. Perubahan-perubahan hemodinamik dapat dimonitor dengan
menggunakan metoda noninvasif atau invasif. (Kabo, 2011; Manurung, 2007)
1. Mengurangi preload
a. Furosemid
Di dalam klinik, pemberian furosemid iv dengan dosis awal 40 mg (bolus) secara
perlahan-ahan (1-2 menit) jelas meringankan gejala edema paru akibat gagal
jantung. Apabila pemberian furosemid yang pertama tidak memberi tanda-tanda
diuresis, maka 2 jam kemudian dapat diulangi lagi dengan dosis yang sama atau
ditingkatkan. Pada keadaan dimana pemberian furosemid iv secara intermiten
tidak memberi efek diuresis yang optimal, dapat diganti engan infus secara
kontinu (2-3 mg/jam) selama beberapa hari.
b. Nitrat
Nitrat iv sangat efektif dalam menanggulangiu gagal jantung kongestif akut yang
disbebkan karena infark miokard. Pada dosis kecil, nitrat menyebabkan
venodilasi sehingga menurunkan preload.
c. Morfin
Pada gagal jantung kongestif akut, apabila pemberian furosemid dan nitrat belum
berhasil meredakan gejala, maka pemberian morfin sulfat iv dengan dosis 2,5-5
mg merupakan pilihan. Morfin selain menyebabkan venodilasi juga menurunkan
tekanan kapiler pulmonalis, serta yang lebih penting adalah mengurangi atau
menghilangkan kecemasan yang hampir selalu menyertai penderita gagal
jantung.
2. Meningkatkan kontraksi jantung dengan obat-obat inotropik (pada keadaan curah
jantung rendah dan disfungi sistolik).
Jika ditemukan ronki basah, TDS <90 mmHg, akral dingin (perfusi jelek)
menunjukkan indikasi pemberian inotropik (dopamin atau dobutamin)
Digoksin sangat bermanfaat untuk gagal jantung kongestif akut yang disebabkan
oleh fibrilasi atrium respons cepat dan yang telah terjadi kardiomegali. Sebelum
pemberian digoksin, obat-obat yang menurunkan preload seperti diuretik dan nitrat iv
harus pertama diberikan. Dosis muat (loading dose) untuk digoksin iv adalah 8-12
ug/KgBB setiap 6 jam (dosis total tidak melebihi 1,5 mg/hari) sampai tampak tandatanda perbaikan, kemudian dilanjutkan dosis pemeliharaan.
3. Mengurangi afterload (pada keadaan tekanan darah tinggi dan disfungsi sistolik)
Telah dibuktikan bahwa dengan menurunkan tekanan darah sekitar 10-20 mmHg
mealui pemberian vasodilator akan mengurangi afterload, sehingga terjadi
peningkatan stroke volume. Indikasi pemberian vasodilator adalah TDS > 100

mmHg. Berbagai vasodilator yang tersedia antara lain Na Nitroprusid, ACEinhibitor, ARB an pada kedaan khusus CCB golongan dihidropiridin.
DIABETES MELITUS
1

Definisi
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom kronik gangguan metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak akibat ketidakcukupan sekresi insulin pada jaringan
yang dituju.(Dorland, 2002) DM merupakan keadaan hipreglikemik kronik disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada

membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron.(Mansjoer, 2000)


Etiologi dan Faktor Risiko
DM disebabkan berkurangnya produksi dan ketersediaan insulin dalam tubuh
atau terjadinya gangguan fungsi insulin yang sebenarnya berjumlah cukup. Insulin
adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas, merupakan zat utama yang
bertanggungjawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang tepat. Insulin
menyebabkan gula berpindah ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau
disimpan sebagai cadangan energi. Peningkatan kadar gula darah setelah makan atau
minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah
kenaikan kadar gula darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula darah
menurun secara perlahan.
Kekurangan insulin disebabkan adanya kerusakan sebagian kecil atau sebagian
besar sel-sel beta pulau langerhans dalam kelenjar pankreas yang berfungsi
menghasilkan insulin. Namun, jika dirunut lebih lanjut, beberapa faktor yang
menyebabkan DM sebagai berikut.
a

Genetik atau faktor keturunan


DM cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Anggota keluarga
penderita DM (diabetisi) memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini
dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli kesehatan
juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin.
Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan kaum perempuan
sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-anaknya.

Virus dan bakteri


Virus penyebab DM adalah rubela, mumps, dan human coxsackievirus B4.
Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta, virus ini mengakibatkan destruksi atau
perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi otoimunitas yang
menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta. DM akibat bakteri masih belum bisa
dideteksi. Namun, para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan
DM.

Bahan toksik atau beracun


Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah alloxan,
pyrinuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis jamur). Bahan lain adalah
sianida yang berasal dari singkong.

Nutrisi
Nutrisi yang berlebihan (overnutrition) merupakan faktor resiko pertama yang
diketahui menyebabkan DM. Semakin berat badan berlebih atau obesitas akibat nutrisi
yang berlebihan, semakin besar kemungkinan seseorang terjangkit DM.

Klasifikasi
Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI (2011) adalah yang sesuai
dengan klasifikasi DM oleh American Diabetes Association (ADA) tahun 2010.
Klasifikasi etiologi DM:
a

DM tipe 1 (destruksi sel beta, biasanya menjurus ke defisiensi insulin absolut)


-

Autoimun (immune mediated)

Idiopatik

DM tipe 2
Bervariasi muali yg dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin..

DM tipe spesifik lain


-

Defek genetik fungsi sel beta

d
4

Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pankreas

Endokrinopati

Karena obat atau zat kimia

Infeksi

Sebab imunologi yang jarang

Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes mellitus gestasional.

Patofisiologi
Diabetes tipe I dulu dikenal sebagai tipe juvenile onset dan tipe dependen
insulin (IDDM/Insulin Dependent Diabetes Melitus). Insidens diabetes tipe I sebanyak
30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam 2 subtipe, yaitu autoimun
(akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta) dan idiopatik (tanpa bukti
adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya). DM tipe I yang autoimun
ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses
bertahap perusakan imunologis sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka
secara genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu
yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel
beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh
glukosa.(Price & Wilson, 2002; Mansjoer dkk, 2000)
Diabetes tipe II dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan
tipe nondependent insulin (NIDDM/Non Insulin Dependent Diabetes Melitus) yang
penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe II pada
kembar monozigot hampir 100%. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh
terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit
diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominant. Diabetes tipe II ditandai
dengan kelainan sekresi insulin serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat
resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat
dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi

intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan


meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Sekitar 80% pasien diabetes
tipe II mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka
kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe
II. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas
5

insulin dan pemulihan toleransi glukosa.(Price & Wilson, 2002; Mansjoer dkk, 2000)
Manifestasi Klinis dan Penegakan Diagnosis
Diagosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada
wnita. (Gustaviani, 2007)
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok
tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja
abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian
lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah
puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau
dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca
pembedahan 200 mg/dl. (Gustaviani, 2007)
Berikut adalah bagan langkah diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa
menurut Konsensus Perkeni 2011.

140-199

Keterangan:
GDP = Glukosa Darah Puasa, GDS = Glukosa Darah Sewaktu, GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu, IFG = Impaired Fasting Glucose, TGT = To

Komplikasi
Komplikasi DM dapat dibagi menjadi :
a

Komplikasi akut :
a

Hipoglikemia

Ketoasidosis : i. Keto Asidosis Diabetikum (KAD)


ii. Hiper Osmolar Non Ketotik (HONK)

Komplikasi kronis :
1

Komplikasi vaskuler :

mikrovaskuler :

mata : - retinopati
- neuropati (non proliferatif / proliferatif)
- macular edema
- katarak
- glaukoma

neuropati : - sensorik dan motorik


- autonomik

ii.

makrovaskuler : - penyakit jantung vaskuler


- penyakit pembuluh darah perifer
- penyakit cerebrovaskuler

Komplikasi nonvaskuler :
i. gastrointestinal : - diare

- gastroparesis
ii. genitourinaria : - disfungsi ereksi
- ejakulasi retrograde
iii. manifestasi dermatologik
3 Ulkus diabetikum
7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
diabetisi, yaitu :

jangka pendek
- menghilangnya keluhan dan tanda DM
- mempertahankan rasa nyaman
- tercapainya target pengendalian glukosa

jangka panjang

tercegah

dan

terhambatnya

progresivitas

penyulit

mikroangiopati,

makroangiopati, dan neuropati


tujuan akhir penatalaksanaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
dini DM

Untuk tujuan tersebut dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat
badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan tingkah laku. Pilar penatalaksanaan DM :

edukasi

terapi gizi medis

latihan jasma bronkialeni

intervensi farmakologis (Eugene, 2005; Ana dkk, 2005)

DAFTAR PUSTAKA

Eugene, B. 2005. Endocrinology and metabolism. Harrisons Manual of Medicine. Boston :


McGraw Hill.
Ghanie, A. Gagal Jantung Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III.
Ed Sudoyo A. W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., dan Setiati S. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 1511-14.
Kabo, Peter. 2011. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Secara Rasional.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp: 181-203.
Manurung, D. Gagal Jantung Akut dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III.
Ed Sudoyo A. W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., dan Setiati S. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 1506-09.
Panggabean, M. M. Gagal Jantung dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III.
Ed Sudoyo A. W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., dan Setiati S. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 1503-04.
Perkeni. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia
2011. Perkeni-Indonesia.
Price, Sylvia A. Dan Lorraine M. Wilson.2005.PATOFISIOLOGI Konsep Klinis ProsesProses Penyakit.Edisi 6 Volume 1.Jakarta:EGC.
Rani A. A, Sidartawan S., Anna U. 2005. Standar Pelayanan Medik PB PAPDI Edisi Khusus.
Jakarta. FK UI.
Sitompul B. dan Sugeng I. 2003. Gagal Jantung dalam Buku Ajar Kardiologi. Ed Rilantono
L. I, Baraas F., Karo S.K., dan Roebiono P. S. Jakarta: Gaya Baru, pp: 115-120.
Swanton R. H. and Banerjee S. 2008. Swantons Cardiology: A Concise Guide to Clinical
Practice. Sixth Edition. Singapore: Markono Print Media Pte Ltd, pp: 255-60.

Anda mungkin juga menyukai