Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 33 TAHUN DENGAN PENYAKIT GRAVES

Disusun Oleh :
dr. Fenda Adita

Pembimbing :
dr. Priyanto
dr. Rusnandar, Sp.PD, FINASIM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR SOEPRAPTO CEPU


BLORA
2014

Kasus 4
Topik

: Penyakit Graves

Tanggal (Kasus)

: 5 Januari 2013

Persenter

Tanggal Presentasi

: 12 Januari 2014

Pendamping : dr. Supriyanto

Tempat Presentasi

: Ruang Komdik RSU Cepu

Obyektif Presentasi

: dr. Fenda Adita

Keilmuan
Diagnostik dan Manajemen
Dewasa-Lansia
Deskripsi: Laki-laki, 33 tahun, Penyakit Graves
Tujuan: mendiagnosis dan memberikan penganganan yang tepat pada
pasien dengan Penyakit Graves

Bahan Bahasan

: Tinjauan Pustaka

Cara Membahas

: Presentasi dan Diskusi

STATUS PASIEN

A. ANAMNESA
1. Identitas Pasien
Nama

: Tn. S

Umur

: 33 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Petani

Alamat

: RT01 RW 01 Jati, Blora

No. RM

: 01136239

Masuk RS

: 5 Januari 2014

Pemeriksaan

: 5 Januari 2014

2. Keluhan Utama
Berdebar-debar
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien yang merupakan rujukan dari puskesmas Doplang mengeluh
dada berdebar-debar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
tersebut dirasakan terus menerus tanpa disertai nyeri dada. Pasien
mengaku banyak mengeluarkan keringat, mudah lelah saat bekerja, kadang
suka gugup. Pasien tidak pernah sesak nafas saat bekerja. Pasien lebih
suka udara dingin daripada udara panas. Pasien mengeluh nafsu makannya
meningkat, namun berat badannya justru turun. Pasien tidak mengeluh
kelemahan otot, diare, maupun susah buang air besar. Pasien juga tidak
mengeluh adanya rambut rontok, rambut tipis, kulit kemerah-merahan,
maupun gatal-gatal. Pasien tidak merasakan penglihatan kabur, dobel,
namun merasa sering keluar air mata.
Sejak 1 bulan yang lalu, pasien mulai merasakan berdebar-debar
terus menerus, tanpa disertai nyeri dada. Pasien juga mengeluarkan banyak
keringat, suka udara dingin, berat badan mulai menurun. Karena kondisi
ini semakin sering dan meningkat, pasien berobat ke dokter

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a.

R. Sakit serupa

: disangkal

b.

R. Tensi tinggi : disangkal

c.

R. Sakit gula

: disangkal

d.

R. Asma

: disangkal

e.

R. Alergi

: disangkal

f.

R. Mondok

: disangkal

5. Riwayat Penyakit keluarga


a.

R. Sakit jantung

: disangkal

b.

R. Stroke

: disangkal

c.

R. Tensi Tinggi

: disangkal
d. R. Sakit Gula

e.

R. Asma

: disangkal
: disangkal

6. Riwayat Kebiasaan
a. R. Merokok

pasien adalah perokok

aktif
b. R. Olahraga

: jarang olahraga tapi

rutin aktifitas sbg petani


c.

R. Minum alkohol :

disangkal
d. R. Minum jamu

: disangkal

7. Riwayat Status Gizi


Penderita biasa makan tiga kali sehari dengan nasi kurang dari 1
piring, lauk pauk, tahu, tempe, jarang makan daging ayam. Penderita
minum air putih kurang lebih 5-6 gelas perhari.
8. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita bekerja sebagai petani. Di rumah tinggal dengan istri dan
2 anaknya. Penderita membayar biaya rumah sakit dengan BPJS.

9. Anamnesa Sistemik
Keluhan utama

: Berdebar-debar

Kepala

: pusing (-), nggliyer (-), jejas (-)

Leher

: kaku (-)

Mata

: pandangan

kabur

(-),

mata

kuning

(-),

pandangan dobel (-), berkunang-kunang (-)


Hidung

: pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-)

Telinga

: pendengaran berkurang (-), keluar cairan (-),


berdenging (-)

Mulut

: mulut terasa kering (-), bibir biru (-), sariawan


(-), gusi berdarah (-), gigi berlubang (-), bibir
pecah-pecah (-)

Tenggorokan

: sakit telan (-), serak (-), gatal (-)

Respirasi

: batuk (-), dahak (-) berwarna putih, batuk darah


(-), mengi (-)

Cardiovaskuler

: Berdebar-debar (+), keringat berlebih (+),


lemas (+), nyeri dada (-), pingsan (-), kaki
bengkak (-),berdebar-debar (-)

Gastrointestinal

: mual (+) saat serangan, muntah (-), perut terasa


panas (-), kembung (-) saat serangan, sebah (-),
mbeseseg (-), nafsu makan menurun (-), perut
membesar (-), muntah darah (-), BAB warna
hitam (-), BAB darah lendir (-), BAB sulit (-),
ambeien (-)

Genitourinaria

: BAK warna seperti teh (-), BAK warna merah


(-), nyeri saat BAK (-), sering kencing (-),
kencing sedikit (-)

Muskuloskeletal

: nyeri otot (-), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-),


kesemutan (-)

Extremitas

: atas

: pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-),


luka (-/-), terasa dingin (-/-)

bawah : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-),


luka (-/-), terasa dingin (-/-)
Kulit

: kering (-), gatal (-), luka (-), pucat (-), kuning


(-), kebiruan (-)

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum

: tampak sakit sedang, compos mentis, gizi kesan


cukup

2. Tanda Vital
Tekanan darah

: 110/80 mmHg

Nadi

: 116x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup,


elastisitas keras

Pernafasan

: 21x/menit

Suhu

: 37.1 0C per axiller

3. Status Gizi
Berat Badan

: 60 kg

Tinggi Badan : 162 cm


BMI

: 22,86 kg/m2 kesan normoweight

4. Kulit

: Warna coklat, pucat (-), turgor menurun (-), mixoedema


Pretibial (-), Eritema Palmaris (-),

5. Kepala

: Bentuk mesocephal, rambut warna hitam

6. Wajah

: Moon face (-)

7. Mata

: Von Graeffs sign (+), Jaffroy sign (+), Stelwag


sign (+), Rosenbach sign (-), Eksoftalmus (+), Morbius
sign (-), Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya
(+/+), edema palpebra (-/-)

8. Telinga

: Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan


mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)

9. Hidung

: Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi


penghidu baik

10. Mulut

: Sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat (-),

stomatitis (-)
11. Leher

: JVP R+2 cm, trakhea di tengah, simetris,


kelenjar tiroid (+) teraba diffus, ukuran 2,5x2x5 cm,
permukaan rata, konsistensi kenyal, tidak terfiksir,
bruit (-), pembesaran limfonodi cervical

(-), distensi

vena-vena leher (-)


12. Limfonodi

: kelenjar limfe retroaurikuler, submandibuler,


servikalis, supraklavikularis, aksilaris dan inguinalis tidak
membesar

13. Thorax

: Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan


= kiri, retraksi intercostal (-/-)

14. Jantung
Inspeksi

: iktus

cordis

tidak

tampak,

pulsasi

parasternal,

precardial, dan epigastrium tidak tampak


Palpasi

: iktus cordis tidak kuat angkat, teraba di spatium


intercostale V, 1 cm di medial linea mid clavicularis
sinistra

Perkusi

: batas jantung:

kanan atas

: SIC II linea parasternal kanan

kanan bawah

: SIC IV linea parasternal kanan

kiri atas

: SIC II linea parasternal kiri

kiri bawah

: SIC V 1 cm medial linea midclavicula sinistra

Pinggang jantung

: SIC III linea parastrenal kiri

Kesan

: Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi

: Heart Rate 116 kali/menit, reguler. Bunyi jantung I-II


intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-),
ekstrasistol (-)

15. Pulmo :

Depan
Inspeksi

Statis

: normochest, simetris, sela iga tidak melebar,

Dinami

iga tidak melebar


: pengembangan dada kanan = kiri, sela iga

s
Palpasi

Perkusi

Auskultas

tidak melebar, retraksi interkostalis (-),

Statis

retraksi supraklavikula (-).


: Simetris

Dinami

: pergerakan kanan = kiri,

s
Kanan

fremitus raba kiri = kanan


: Sonor, batas relatif paru hepar

Kiri

: Sonor

Kanan

: suara dasar vesikuler (+) normal, suara

tambahan wheezing (-), ronki basah kasar


Kiri

(-), ronki basah halus (+) di basal paru


: suara dasar vesikuler (+) normal, suara
tambahan wheezing (-), ronki basah kasar
(-), ronki basah halus (+) di basal paru

Belakang
Inspeksi

Palpasi

Perkusi

Statis

: normochest,

simetris,

sela

iga

tidak

Dinami

melebar, retraksi (-)


: pengembangan dada kanan = kiri, sela iga

s
Statis
Dinami

tidak melebar, retraksi intercostalis (-)


: simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-)
: pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kiri =

s
Kanan

kanan
: Sonor, sampai batas paru hepar di vertebra
thorax IX
Peranjakan diafragma 1 cm

Kiri

: Sonor, sampai batas paru lambung di


vertebra thorax X

Auskultas
i

Kanan

Peranjakan diafragma 1 cm
: suara dasar vesikuler (+) normal, suara
tambahan wheezing (-) ronki basah kasar

(-), ronki basah halus (+) di basal paru.


: suara dasar vesikuler (+) normal, suara

Kiri

tambahan wheezing(-), ronki basah kasar (-),


ronki basah halus (+) di basal paru.
16. Abdomen
Inspeksi

dinding perut<dinding dada, distended (-)

Auskultasi

peristaltik (+) normal

Perkusi

: tympani, ascites (-), pekak alih (-), pekak sisi (-),


undulasi (-)

Palpasi

supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

17. Genitourinaria : ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-), bengkak
scrotum (-).
18. Ekstremitas

Edema
Sianosis
Pucat
Akral dingin

Extremitas superior
Dextra
Sinistra
-

Extremitas inferior
Dextra
Sinistra
-

Indeks Wayne

Gejala

Sesak saat kerja


Berdebar
Kelelelahan
Gugup
Nafsu makan naik
Nafsu makan turun
Keringat berlebih

Nilai
+1
+2
+2
+2
+3
-3
+3

Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada

Hasil
+2
+2
+2
+3
+3

BB turun
BB naik
Suka udara dingin
Suka udara panas
Von graeffs sign
Eksoftalmus
Bising tiroid
Tiroid teraba
Tremor jari
Tangan basah
Tangan panas
Hiperkinetik
Fibrilasi atrial
Nadi teratur
<80 x/
80-90 x/
>90 x/

Tanda

Indeks Wayne
Interpretasi

+3
-3
+5
-5
+1
+2
+2
+3
+1
+1
+2
+4
+4

Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
-

+3
+5
+1
+2
+3
+1
+1
+2
-

-3
0
+3

Ada

+3

= 33
= Hipertiroid

Gambar 1. Eksoftalmus

Gambar 2. Eksoftalmus

Gambar 3. Jaffroy sign (+)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI
RUTIN
Hb
HCT
AL
AT
AE
Gol.darah ABO
KIMIA KLINIK
TSH
T3
T4
Na+
K+
Cl-

05/1/201

06/1/201

4
14,2
40
6,0
287
4,55
B

0,004
3,62
>24,00
141
3,6
109

SATUAN

RUJUKAN

g/dl

103/l
103/l
106/l

12.3 - 15.3
35-47
4.0 11.3
150 450
4.1 -5.1

IU/mL
Ng/mL
g/dL
mmol/ L
mmol/ L
mmol/ L

0,4-4,0
0,82-1,79
5,2-12,5
136-145
3,3-5,1
98-106

2. Elektrokardiografi

D. RESUME
Pasien yang merupakan rujukan dari puskesmas Doplang mengeluh
dada berdebar-debar sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
tersebut dirasakan terus menerus tanpa disertai nyeri dada. Pasien mengaku
banyak mengeluarkan keringat, mudah lelah saat bekerja, kadang suka gugup.
Pasien tidak pernah sesak nafas saat bekerja. Pasien lebih suka udara dingin
daripada udara panas. Pasien mengeluh nafsu makannya meningkat, namun
berat badannya justru turun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi 110/80, Nadi = 116 x/ menit,
RR= 21x/menit suhu badan 37,1oC. BMI: 22,86 kg/m2. Indeks Wayne 33.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan TSH 0,004 IU/mL , T3 3,62
Ng/mL T4 >24,00 g/dL
E. DIAGNOSIS BANDING
1.
2.
3.
F. DIAGNOSIS
Penyakit Graves

Penyakit Graves
Toxic Multinodular Goiter
Thyrotoxic periodic paralysis

G. PENATALAKSANAAN
1.

Non Medikamentosa

a. Bed rest
b. Diet 1700 Kkal
2.

Medikamentosa

a. Infus Assering 28 tpm


b. Propiltiurasil tab 3 x 100mg
c. Propanolol tab 3 x 20mg
H. PLANNING
Monitoring KU/VS, Monitoring fungsi tiroid tiap 4-6 minggu
I. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam


J. MONITORING BANGSAL
5 / 01 / 14
S

Berdebar-debar
semakin sering, tanpa
nyeri dada
Semakin banyak
mengeluarkan keringat
Mudah lelah saat
bekerja
Sering gugup
Tidak sesak
napas
Lebih suka udara
dingin
Nafsu makan
meningkat
Berat badan turun
Tidak ada
kelemahan otot, diare,
maupun kesulitan
buang air besar
Vital sign
TD : 110/80 mmHg

6 / 01 / 14

7 / 01 / 14

Berdebar-debar
masih sering masih
terasa
Banyak
mengeluarkan keringat
Masih gugup
Masih suka udara
dingin
Nafsu makan
masih meningkat
Lemas

Vital sign
TD : 110/80 mmHg

Berdebar-debar
berkurang, tanpa nyeri
dada
Masih banyak
mengeluarkan keringat
Masih gugup
Masih suka udara
dingin
Nafsu makan
masih meningkat

Vital sign
TD : 110/80 mmHg

HR : 116x/menit
RR : 21x/menit
t : 37,1oC
Oftalmopathy (+)

Dx
Tx

Susp Hipertiroid
IVFD Assering 28 tpm

Pla
n

Tunggu hasil darah rutin,


elektrolit, faal tiroid

HR : 116x/menit
RR : 21x/menit
t : 37,1oC
Oftalmopathy (+)

Penyakit Graves
IVFD Assering 28tpm
PTU 3x100mg
Propanolol 3x20mg

HR : 116x/menit
RR : 21x/menit
t : 37,1oC
Oftalmopathy (+)

Penyakit Graves
IVFD Assering 28tpm
PTU 3x100mg
Propanolol 3x20mg
BLPL

TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT GRAVES
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang
paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur,
sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves
yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus),
tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai
oftalmopati,

serta

disertai

dermopati,

meskipun

jarang.(1,2,3)

Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.
Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita
penyakit

Graves.

Berdasarkan

ciri-ciri

penyakitnya,

penyakit

Graves

dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya


antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor
Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.(1,2)
1. Definisi

Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering


hipertiroidisme adalah suatu penyakit otonium yang biasanya ditandai oleh
produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid.
Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan
gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus,
oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan
dermopati.(1,4,5,6)

2. Etiologi
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya
sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai
predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan
keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari
keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam
darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian
tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.(2,6)
3. Patogenesis
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap
antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang
limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang
disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid
sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan
TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi
yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas
merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,
oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves. Sampai saat ini dikenal ada
3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal
peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula
suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid
dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan

kandungan

orbita

dan

kelenjar

tiroid

penderita

penyakit

Graves.

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang

oleh

pengaruh

sitokin

(seperti

interferon

gamma)

akan

mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II,


seperti

DR4)

untuk

mempresentasikan

antigen

pada

limfosit

T.

Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Graves


Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLAB8 dan HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina
dan HLA-B17 pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan
dalam patogenesis penyakit tiroid otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang
menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada
permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin
(terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica,
yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang

dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica


terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran sel tiroid
yang dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium yang
tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih
imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit
tiroid otoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam
pengobatan psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel
limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid otoimun.
Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves,
namun sampai saat ini belum ada hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut.
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola
mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan
menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan
pembengkakan

otot-otot

bola

mata,

proptosis

dan

diplopia.

Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin


didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan
terjadinya akumulasi glikosaminoglikans .
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan
katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya
hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena
terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.(2)
4. Manifestasi Klinis
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri
tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme
akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme
berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan.
Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak
bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan

meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot.


Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang
biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50%
sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar,
kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. (3) Gambaran klinik klasik dari
penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan
eksoftalmus. (5)
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American
Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan
NOSPECS) :
Kelas Uraian
0. Tidak ada gejala dan tanda
1. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
2. Perubahan jaringan lunak orbita
3. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
4. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
5. Perubahan pada kornea (keratitis)
6. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai
keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan
tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi proses
infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2 ditandai dengan
keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita, kongesti dan
pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3 ditandai dengan adanya
proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer. Pada kelas 4,
terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada
musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan
bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi
kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5 ditandai dengan

perubahan pada kornea ( terjadi keratitis). Kelas 6 ditandai dengan kerusakan


nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan.
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot
ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh
tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan
menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan
otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola
mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila
pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus
opticus yang akan menimbulkan kebutaan. Pada penderita yang berusia lebih
muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous,
mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan
lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves
dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan pada
penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok
terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan
adanya palpitasi, dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.
(1,2)
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif
jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan.
Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif
tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid
karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena
pembedahan. (8)
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga
dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu
sebagai berikut :

5. Pemeriksaan Penunjang
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada
skema

dibawah

ini

Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada


penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih
spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam
keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tandatanda klinis dan laboratorium yang jelas. (2)
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves
dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada
hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan

normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin
(T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone
(TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat
dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan
menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di
membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid
secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar
hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis,
sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak
terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan
penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH
sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati
0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free
T-4/FT-4). (1,2,3)
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid)
untuk menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan
tiroid pada tes supresi tiroksin. (1)
6. Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga
diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat
ditemukan pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan
dengan kelainan neurologik primer. Pada sindrom yang dikenal dengan
familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia dapat ditemukan protein yang
menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam serum yang dapat
berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan
peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal.
Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3
dan TSH serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan
penyakit Graves.

Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita lakilaki etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai
hipokalemi.
Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan
pemberian suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat
disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat.
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejalagejala kelainan jantung, dapat berupa :
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
-

High-output heart failure


Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung

sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan


pengobatan terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua dapat
ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma yang kecil,
atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis dari
manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal
dengan apathetic hyperthyroidism. (2)
7. Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala
tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita.
Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara
lain:
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain
- Terapi yodium radioaktif
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati
secara adekuat.
- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi
akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme
berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi :
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38C sampai mencapai 41C
disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.

- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.


Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari simpanan
hormon

tiroid

didalam

kelenjar

tiroid.

Namun

beberapa

penelitian

menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita dengan krisis


tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada penderita
tirotoksikosis tanpa krisis tiroid.
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat
peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti
bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap
katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif terhadap
katekolamin yang ada didalam sirkulasi. (2)
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari
seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu
terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin.
Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan preeklampsi pada
kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif, tirotoksikosis
pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta peningkatan
angka kematian perinatal. (8)
8. Penatalaksanaan
Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan
dalam

patogenesis

penatalaksanaannya
hipertiroidisme.
Sampai saat

terjadinya
terutama
ini

dikenal

sindrom
ditujukan
ada

tiga

penyakit
untuk
jenis

Graves,

namun

mengontrol

keadaan

pengobatan

terhadap

hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu : Obat anti tiroid, Pembedahan


dan Terapi Yodium Radioaktif.
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat
ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat
antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang
menyertainya.
3.1 Obat obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

(1,2)

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan


imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan
imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat
golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama
dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi
dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah
struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin.
Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat
konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini,
PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan
penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan
metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang
dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan
jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa
kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan
methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya
dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat
antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan
eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan
secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal
100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50200 mg , 1 atau 2 kali sehari.
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole
karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam
penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.

Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan


dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40
mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5
20 mg perhari. (2)
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU
dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai
dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah
periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan
biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai
dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang
masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas
dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek
perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai
dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab
lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. (1)
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like
syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu
penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk
terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai
dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu
diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian
terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik,
Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk
mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi
perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes
fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi.

Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan


memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih
modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. (1,2)
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba
ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau
sebaliknya. (1)
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat
penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan
kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan
sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai
respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid.
Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih
mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi
dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat
diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti
Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian
Obat Anti Tiroid dosis rendah.
3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat
T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek
klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak
terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai.
Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi,
tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata.
b. Beta Bloker
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida,
sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis
(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi
panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek
antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit-

menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke


T-3.
Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta
dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol.
Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari
mempunyai efek serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik.
Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala,
insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah
kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan
penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung,
kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini
juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud
dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin
oksidase.
c. Obat lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic
contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai
efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai
regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian
digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi
atau setelah terapi iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia
muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan.
Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan
relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai
2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan
OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan
dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan,
kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang

tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif


terhadap OAT.
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk
memantau respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah
pemeriksaan kadar FT4 dan TSH.
3.2 Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves
dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada
tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan renddah yaitu hanya
1,7 % pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi
methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok
kontrol

yang

hanya

mendapatkan

terapi

methimazole.

Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :


Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6
bulan, selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100 g perhari selama
1 tahun, dan kemudian hanya diberi tiroksin saja selama 3 tahun.
Kelompok kontrol juga diberi methimazole dengan dosis dan cara yang
sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata
lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan
sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH
selama pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan molekul
antigen tiroid yang bersifat antigenic, yang pada gilirannya akan
merangsang pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan kata
lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin
eksogen eksogen (yang menekan produksi TSH), maka reaksi imun
intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi
antigen. Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan
tiroksin adalah agar penyesuaian dosis OAT untuk menghindari
hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu sering, terutama bila
digunakan OAT dosis tinggi.
3.3 Pembedahan

Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita


dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam
keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu).
Disamping itu , selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau
potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk
mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat
ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan
tiroid yang harus diangkat.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein
dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu
banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi
relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid.
Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen
tiroid

setelah

mengalami

tiroidektomi

pada

penyakit

Graves.

Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan


komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus.
3.4 Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak
lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar
tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2
mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang
berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti
dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan
fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat
tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas
kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid
dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun.
Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna
untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid.
Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman ,
tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun

teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari


ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil
atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan
yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak
hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut
pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi
diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan
yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme
anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh
dengan OAT.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat
jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah
terjadi karena massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil,
hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu
terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat
diberikan

obat-obat

penyekat

beta

dan

atau

OAT.

Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi


oleh besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun,
jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya
dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi
angka kejadian hipotiroidisme.
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat
jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10%
dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.
Efek

samping

lain

yang

perlu

diwaspadai

adalah

- memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya


antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH),
dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131

- hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya


sangat jarang terjadi)
- gastritis radiasi (jarang terjadi)
- eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara
mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk
mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT
terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3
sampai 6 bulan pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid
cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi
adanya hipotiroidisme. (2)

3.5 Pengobatan oftalmopati Graves


Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan
oftalmologis dalam menangani oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia,
iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata
atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal
lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok,
menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata
gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema
periorbital.
Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat
yang

mempunyai

khasiat

imunosupresi

dapat

digunakan

seperti

kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid.


Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti
dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata.
Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada
pasien yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO
atau antibody antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan
diagnosis.

Pemeriksaan

CT

scan

atau

MRI

digunakan

untuk

menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya.

3.6 Pengobatan krisis tiroid


Pengobatan krisis

tiroid

meliputi

pengobatan

terhadap

hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan


hormon

dan

menghambat

kortikosteroid,

penyekat

konversi T4 menjadi T3,


beta

dan

plasmafaresis),

pemberian
normalisasi

dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan


mengatasi faktor pemicu.

3.7 Penyakit Graves Dengan Kehamilan


Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu
sampai keadaan hipertiroidisme-nya diobati dengan adekuat, karena angka
kematian janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila
ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu
diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar
FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi.
PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan
hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit,
dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak
dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di
samping karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat
menyebabkan hipotiroidisme.
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama
pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang - dengan
mekanisme yang belum diketahui- terdapat penurunan kadar TSHR-Ab
dan

peningkatan

kadar

thyrotropin

receptor

antibody,

sehingga

menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antirioid


dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat
antiroid,

tetap

dapat

menyusui

bayinya

dengan

aman.

(1)

DAFTAR PUSTAKA
1. Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001 : hal 1-5
2. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli
2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18
3. Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa
Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995 : hal 1049 1058, 1070 1080
4. Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001 : hal 263 265
5. Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi
3, EGC, Jakarta, 2000 : hal 606 630
6. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H.
Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000 : hal 2144-2151
7. Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Graves
Disease, Majalah Kedokteran Atma Jaya Jakarta, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004 : hal
57 64
8. Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999 : hal 594-598
9. Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996 : hal 725 778

Anda mungkin juga menyukai