Anda di halaman 1dari 16

ANTARA KULIAH DAN KELUARGA

MAKALAH
Diajukan Kepada Dra. Nanik Puspitasari
Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Kewarganegaraan

Oleh:
SITI ZULAIHA
14.03.0218

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL WASHLIYAH


JURUSAN DAKWAH
PRODI BIMBINGAN PENYULUSAN ISLAM
BARABAI
2015
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan.......................................................................... 2

BAB II ANTARA KULIAH DAN KELUARGA.......................................... 3


A. Pengertian Keluarga..................................................................... 3
B. Hakikat Keluarga Menurut Pandangan Islam.......................... 4
1. Peran dan Kewajiban Suami dalam keluarga............................ 5
2. Peran dan Kewajiban Istri dalam keluarga............................... 6
3. Kewajiban dan Hak bersama.................................................... 7
C. Membagi Waktu Antara Belajar Dan Keluarga........................ 7

BAB III PENUTUP.......................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 14

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suatu keputusan untuk menikah di saat masih belajar di perguruan
tinggi merupakan suatu keputusan yang dapat dipahami sebagai keputusan
yang begitu berani. Dapat dibayangkan cinta seorang laki-laki dan perempuan
yang berawal dari umur belasan tahun hingga akhir baligh semakin bergejolak
jika usia sudah mencapai dua puluhan. Ditambah lagi dengan rangsangan dari
lingkungan hingga membuat keputusan besar untuk menikah pada saat itu
dengan harapan pernikahan dapat menyelamatkan hidupnya. Pernikahan itu
akan memiliki nilai yang benar jika kedua pasangan memiliki misi yang benar
pula, yaitu misi untuk menyelamatkan hidupnya dalam beragama.
Seseorang yang telah menikah di saat masih berstatus sebagai
mahasiswa di perguruan tinggi tentunya fokusnya akan terbagi menjadi dua
antara keluarga dan belajar. Oleh karena itu perlu diketahui hakikat keluarga
dalam rumah tangga, maksudnya adalah pernikahan di masa itu tidaklah sama
dengan pernikahan di saat masing-masing pasangan sudah memiliki pekerjaan.
Sebuah keluarga yang sudah memiliki pekerjaan mungkin hidupnya dalam
kemewahan, namun berbeda dengan sebuah keluarga yang berstatus
mahasiswa yang mungkin juga belum mampu demikian.
Dalam hal ini kita tidak bisa serta-merta menyalahkan atau melarang
siapa pun. Karena hidup berumah tangga merupakan tuntutan fitrah manusia
sebagai makhluk sosial. Keluarga atau rumah tangga dalam pandangan Islam
merupakan lembaga terpenting dalam kehidupan muslim pada umumnya dan
jalan menuju amal Islami pada khususnya. Ini semua disebabkan karena
besarnya peranan rumah tangga dalam mencetak dan menumbuhkan generasi
masa depan, pilar penyangga bangunan umat serta perisai penyelamat bagi
negara.

1
2

Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa keluarga/rumah tangga


merupakan fondasi awal dari bangunan masyarakat dan bangsa. Oleh
karenanya, keselamatan dan kemurnian rumah tangga adalah faktor penentu
bagi keselamatan dan kemurnian masyarakat, serta sebagai penentu kekuatan,
kekokohan, dan keselamatan bangsa dan negara. Apabila bangunan sebuah
rumah tangga hancur maka sebagai konsekuensi logisnya masyarakat serta
negara bisa dipastikan juga akan turut hancur.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulisan makalah ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa pengertian keluarga menurut pandangan Islam?
2. Apa hakikat keluarga menurut pandangan Islam?
3. Bagaimana membagi waktu antara keluarga dan belajar/kuliah?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan di atas, maka penulisan makalah ini bertujuan
untuk:
1. Untuk mengetahui pengertian keluarga menurut pandangan Islam.
2. Untuk memahami hakikat keluarga menurut pandangan Islam.
3. Untuk mengetahui bagaimana membagi waktu antara keluarga dan
belajar/kuliah.
BAB II
ANTARA KULIAH DAN KELUARGA

A. Pengertian Keluarga
Secara umum keluarga adalah sebuah satuan kerabat yang mendasar
terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Menurut Abdul Hamid Kisyik
“keluarga merupakan jiwa masyarakat, denyut nadi masyarakat, pilar
penyangga masyarakat dan merupakan sumber kekayaan dan daya tarik
masyarakat.”1
Rumah tangga merupakan istana kecil dalam masyarakat serta sebagai
madrasah iman diharapkan dapat mencetak generasi-generasi muslim yang
rahmatan lil’amamin. Setiap sekelompok atau sekumpulan manusia yang
terdiri dari dua orang atau lebih dipastikan membutuhkan keberadaan seorang
pemimpin. Demikian juga halnya dalam sebuah keluarga/rumah tangga
dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat membimbing dan mengarahkan
sekaligus mencukupi kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya lahiriah
maupun yang sifatnya batiniyah agar terbentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah. Firman Allah dalam QS. an-Nisaa’/4: 34.
        
     . . . 
Artinya: “laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka . . .”

1
Abdul Hamid Kisyik, Bima’ Al-Usrah Al-Muslimah; Mausu’ah Al-Zawaj Al-Islami,
diterjemahkan oleh Ida Nursida, Bimbingan Islam Untuk Mencapai Keluarga Sakinah, cet. IX
(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 35.

3
4

B. Hakikat Keluarga Menurut Pandangan Islam


Menikah dalam pandangan Islam tidak terlepas dari konsep untuk
membentuk sebuah keluar yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Menikah
merupakan ketetapan-Nya sebagai hukum paling pokok dalam sunnah-sunnah
para Rasul sejak Nabi Adam as, sebagaimana firman-Nya dalam QS. ar-
Ra’d/13: 38.
       
  . . . 
Artinya: “dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum
kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan
keturunan . . .”

Abdul Hamid Kisyik kembali mengatakan perkawinan merupakan


sebuah ikatan yang kokoh yang menunjukkan tanda keesaan Allah serta
merupakan sebuah nikmat agung yang diaguregahkan-Nya kepada umat
manusia.2 Firman Allah dalam QS. an-Nahl/ :72
        
      
      
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka
Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah ?"
Rasulullah saw pun menganjurkan umatnya untuk menikah,
sebagaimana sabda beliau yang berbunyi:
َ‫ب َم ِن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءة‬
ِ ‫ يَا َم ْع َش َر الشَّبَا‬:‫صلَّىا هّلل ُ َعلَي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ُ ‫قَ َل َر ُسلُوهّللا‬
. . .3 ‫ص ُن لِ ْلفَرْ ِج‬ َ ْ‫ص ِر َو اَح‬ َ َ‫ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِ ْلب‬، ْ‫فَ ْليَتَ َز ّوَج‬
Artinya: Rasulullah SAW  bersabda: “Hai para pemuda, barang siapa di
antara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena

2
Ibid, h. 11-12.
3
D. Nuriddin Bin Mukthar al-Khadim, ‘Alimu al-maqashad al-Syar’iyah (Beirut:
Obeikan, 2014), h. 34.
5

sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan


lebih dapat menjaga nafsumu . . .”
Allah menetapkan pernikahan sebagai suatu keharusan karena terdapat
banyak manfaat yang tidak bisa dihitung, adapun di antara manfaat atau
hikmah pernikahan adalah:
1. Sebagai benteng dari godaan syaitan yang menjerumuskan manusia dalam
perzinaan.
2. Mendapatkan keturunan melalui jalan yang diridai oleh Allah.
3. Mendapatkan berkah dari doa-doa anak-anak saleh.
4. Memenuhi keinginan hati dalam berbagi rasa dalam rumah tangga, dan
sebagainya.
Dalam membina rumah tangga tentu tidak terlepas dari hal-hal yang
menyangkut hak, peran dan kewajiban, yaitu:
1. Kewajiban dan peran suami dalam keluarga
a. Memenuhi kebutuhan jasmaniah, meliputi kebutuhan sandang, pangan,
tempat tinggal, sosial interaksi, dan sebagainya.
b. Memenuhi kebutuhan rohaniah, meliputi keagamaan, aqidah,
ketauhidan, dan sebagainya.
c. Memenuhi kebutuhan aqiliyah (akal), yaitu kebutuhan akan
pendidikan. Menurut Al Rasyidin, “aqiliyah merupakan potensi yang
memungkinkan manusia memiliki kemampuan untuk dapat
memahami, menganalisa dan membandingkan sebagai upaya untuk
memilih tindakan yang benar dan tindakan yang salah.”4
Dari beberapa kebutuhan tersebut yang terpenting adalah kebutuhan
rohaniah, karena kebutuhan ini akan berlanjut hingga ke akhirat. QS. At-
Tahriim/6: 66.
      
. . . 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api . . .”

4
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islami, cet. 1, (Bandung: Citapustaka Media Sarana,
2008), h. 23-24.
6

2. Kewajiban dan peran istri dalam keluarga


Dari hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya ternyata
masih banyak yang belum mengetahui secara benar apa saja kewajiban
pokok bagi seorang istri. Dalam Islam kewajiban seorang istri terhadap
suaminya hanya ada dua, yaitu:
a. Melayani suaminya secara biologis.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, Rasulullah saw bersabda:
َ‫ات‬ttَ‫ ِه فَب‬tِ‫ ِه فَلَ ْم تَأْت‬t‫اش‬
ِ ‫هُ إِلَى فِ َر‬tَ‫ ُل ا ْم َرأَت‬t‫ إِ َذا َدعَا ال َّر ُج‬:‫لَّ َم‬t‫ ِه َو َس‬t‫لَّىاهّلل ُ َعلَي‬t‫ص‬
َ ُ ‫قَ َل َر ُسلُوهّللا‬
5
‫غَضْ بَانَ َعلَ ْيهَا لَ َعنَ ْتهَا ْال َمالَئِ َكةُ َحتَّى تُصْ بِ َح‬
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: Apabila seorang suami mengajak
istrinya ke ranjang (berjimak), lalu sang istri menolaknya,
hingga suaminya marah istrinya pada malam itu, maka
malaikat melaknatnya hingga pagi tiba.”
b. Patuh dan taat kepada suami, kecuali hal kemaksiatan.
Kewajiban istri untuk taat pada suami bermacam-macam
bentuknya. Misalnya menjaga harta suaminya saat ditinggal pergi,
tidak memasukan laki-laki lain ke dalam rumah tanpa izin suaminya,
tidak meninggalkan rumah kecuali dengan izin suaminya, menjaga
kehormatannya, dan lain-lain. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
al-Nasa’i, al-Hakim, dan al-Tabrani, “Dari Aisyah ra, bertanya kepada
Rasulullah: Siapakah orang yang paling berhak atas diri seorang
perempuan? Rasul menjawab: "Suaminya". Saya bertanya: Siapakah
orang yang paling berhak atas diri seorang lelaki. Rasul menjawab:
"Ibunya".” 6
3. Kewajiban dan hak bersama
Terlepas dari hak dan kewajiban suami serta istri, terdapat
kewajiban bersama dalam memelihara dan mendidik anak atau keturunan

5
M. Nashiruddin al-Albani, Mukhtashar Shahih Muslim, diterjemahkan oleh Elly Latifah,
Ringkasan Shahih Muslim, cet. 4, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 389.
6
Abd al-Qadir Manshur, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah Min al-Kitâb Wa al-Sunnah,
diterjemahkan oleh Muhammad Zaenal Arifi dengan judul: Buku Pintar Fikih Wanita, cet. 1,
(Jakarta: Zaman, 2009), h. 359.
7

yang lahir dari pernikahan dan memelihara rumah tangga yang sakinah
mawaddah warohmah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasullulah saw:
7
‫ص َرانِ ِه أَو يُ َم ِّج َسا ِه‬ ِّ َ‫ُكلُّ َموْ لُو ِد يُولَ ُد َعلَى ْالفِ ْط َر ِة فَأ َ بَوْ اهُ يُ ْه ِّودَانِ ِه أَوْ يُن‬
ِّ َ‫ص َرانِ ِه أَوْ يُن‬
Artinya: “Setiap anak yang dilahirkan itu telah membawa fitrah
keagamaan (perasaan percaya kepada Allah), maka kedua
orangtualah yang menjadikan ia beragama yahudi, nasrani
atau majusi”.
Selain itu suami dan istri hendaklah saling memperkokoh rasa cinta,
saling menghargai dan saling menjaga kehormatan/tidak menyebarkan
kekurangan pasangan kita masing-masing.

C. Membagi Waktu Antara Keluarga dan Belajar


Secara umum belajar merupakan sebuah proses dari yang sebelumnya
tidak tahu menjadi tahu, dari yang belum bisa menjadi bisa, dari yang belum
mengerti menjadi mengerti. Belajar juga diartikan sebagai proses untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dalam Islam dijelaskan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban
bagi setiap muslim, Sebagaimana Hadist Rasulullah saw:
‫أُ ْطلُبُوا ْال ِع ْل َم ِم ْن ال َم ْه ِد إِلَى ْاللَ َحد‬
Artinya: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahad.”
Pada hakikatnya manusia terlahir sebagai Abdullah yang menjadikan
Allah sebagi pusat ilmu pengetahuan, sehingga hidupnya bermakna dengan
menebar kemakmuran dan kemanfaatan bagi seluruh umat. 8 Sebagai mana
firman Allah dalam QS. Al-‘Alaq/96: 1-8.
         
        
        
         


7
Abdullah bin Muhammad dan Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Kasyir.
Diterjemahkan oleh M.Abdul dengan judul, Tafsir Ibnu Kasir, Jilid 4, (Bogor: Pustaka Imam Asa-
Syafi’i, 2004), h.332.
8
Kamrani Buseri, Dasar, Asas dan Prinsip Pendidikan Islam, cet. 1, (Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2014), h. 36-40.
8

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.


Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-
benar melampaui batas. Karena Dia melihat dirinya serba cukup.
Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kamu kembali.
Oleh karena itu sebagai manusia janganlah membiasakan diri tidak
mengetahui tentang apa yang seharusnya dapat diketahui, yang tentunya
semua itu dapat dilakukan melalui proses belajar. Allah menerangkan bahwa
kedudukan orang yang berilmu memiliki kedudukan yang tinggi bila
dibandingkan orang yang tidak berilmu, dan hanya orang yang berakal yang
dapat menerima pengetahuan/pengajaran. QS. az-Zumar/39: 9.
        
    
Artinya: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran.
Belajar merupakan hal yang sangatlah penting dan tidak dapat
diremehkan begitu saja, karena dengan belajar kita bisa mendapatkan ilmu
pengetahuan. Ibnu Ruslan yang dikutip oleh M. Syafi’i Hamdani mengatakan:
9
‫ اَ ْع َملُهُ َمرْ ُدوْ َدةٌ الَتُ ْقبَ ُل‬:ُ‫فَ ُكلُّ َم ْن بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم يَ ْع َمل‬
Artinya: “setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka segala amalnya
ditolak dan tidak diterima.”
Adullah bin Jarallah Al-Jarallah dalam Kitab al-‘Abiyat al-Jàmi’ah
Lilmasà’il al-Nafi’ah, mengatakan:
10
‫ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ُم َعلِّ ًما فَ ْليَرْ َح ِل‬.‫َم ْن لَ ْم يَ ُك ْن يَ ْعلَ ُم َذا فَ ْليَسْـأ َ ِل‬

9
M. Stafi’i Hamdani, Taudhîhul Adillah (Jakarta: PT Elek Media Komputindo-Gramedia,
2010), h. 58.
10
Adullah bin Jarallah Al-Jarallah, Kitab al-‘Abiyat al-Jàmi’ah Lilmasà’il al-Nafi’ah, h. 4.
www.saaid.net/book /11/4313.doc, didownload tanggal 27 September 2015.
9

Artinya: “Barang siapa yang tidak mengetahui tentang sesuatu maka


sebaiknya bertanya. Barang siapa yang tidak menemukan guru
maka sebaiknya bepergian.”
Dari beberapa penjelasan di atas bahwa apapun status kita sebagai
manusia, baik sudah berkeluarga ataupun belum tetaplah wajib dalam
menuntut ilmu.
Bagi mereka yang sudah berkeluarga tentunya tidaklah sama dengan
mereka yang belum berkeluarga, yang tentu fokusnya akan terbagi menjadi
dua antara kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban untuk belajar. Kedua
kewajiban terbut dapat dilakukan dengan tips-tips sebagai berikut:
1. Siapkan diri dan mental
Pekerjaan rumah tangga dan kuliah sama-sama menguras waktu,
tenaga, dan pikiran. Apabila persiapan kurang, putus kuliah di tengah jalan
sangat mungkin terjadi.
10

2. Bijak membagi waktu


Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al ‘Ashr/103: 1-3:
        
    
  
Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasihat-menasehati supaya menaati kebenaran
dan nasihat-menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Dalam membagi waktu cobalah buat 3 pernyataan bagi diri kita
sendiri, seperti hal yang harus dilakukan, yang sebaiknya dilakukan dan
yang tidak penting untuk dilakukan. Misalnya melakukan dua pekerjaan
yang dilakukan dalam satu waktu, seperti membaca buku sambil
menemani anak menonton TV atau mencuci piring sambil memasak.
3. Berani mengatakan tidak
Sebagai seorang mahasiswi di perguruan tinggi kadang-kadang ada
saja ajakan dari teman untuk bepergian atau sekedar jalan-jalan. Jika hal
tersebut hanya membuang waktu lebih baik di tolak saja, akan tetapi
tolaklah dengan alasan yang logis dan tidak menyinggung perasaan
mereka.
4. Carilah dukungan
Mulailah pula belajar untuk terbuka terhadap pasangan (suami) dan
anak-anak untuk berbagi dan bekerja sama, serta janganlah segan untuk
meminta pendapat pada suami. Misalnya suami dapat membantu
menggantikan popok anak atau memandikan anak, karena tugas mengurus
anak adalah tugas kedua belah pihak, yaitu suami dan istri. Percayalah,
suami tidak akan merasa ini adalah beban/tugas untuk dikerjakan.
5. Jangan mudah mengeluh atau putus asa
Jangan pernah mengeluh atau putus asa hingga menyebabkan harus
berhenti belajar hanya karena padatnya waktu. Imam Safi’i mengatakan
dalam syairnya:
11

11
‫ تَ َج َّر ْع ُذ َّل ْال َج ْه ِل طُوْ َل َحيَاتِ ِه‬, ً‫َو َم ْن لَ ْم يَ ُذ ْق ُذ َّل التَّ َعلُّ ِم َسا َعة‬
Artinya: “dan barang siapa yang tidak merasakan pahitnya menuntut
ilmu walau sekejap mata, niscaya dia akan merasakan hinanya
kebodohan sepanjang hidupnya.”
6. Siapkan segala kebutuhan untuk pagi hari pada malam sebelumnya
Menyiapkan kebutuhan untuk pagi hari misalnya baju, tas, atau
sepatu untuk pergi kuliah besok paginya. Begitu pula dengan keperluan
sekolah anak-anak, buku sekolah, pakaian dan sepatu sudah siap dipakai
anak-anak esok pagi.
7. Istirahat yang cukup dan refreshing
Anda harus ingat bahwa Anda bukanlah robot yang bisa bekerja
tanpa henti, atau jangan pernah membandingkan diri anda seperti iklan
supermom yang ada di TV. Dan ingat selalu bahwa kesehatan jauh lebih
penting.
Meskipun hari-hari dipadati oleh jadwal kuliah, tugas-tugas kuliah
dan aktivaitas lainnya, sebisa mungkin jangan abaikan waktu untuk
beristirahat. Hal ini cukup efektif untuk mengisi motivasi dan semangat
dalam menjalani kehidupan.

11
Abdurrahman Mushthawi, Diwan al-Imâm Asy-Syâfi’î (Beirut: Dar El-Marefah, 2005),
h.37.
BAB III
PENUTUP

Secara umum keluarga adalah sebuah satuan kerabat yang mendasar terdiri
dari suami, istri dan anak-anak. Keluarga merupakan jiwa masyarakat, denyut
nadi masyarakat, pilar penyangga masyarakat juga merupakan istana kecil dalam
masyarakat serta sebagai madrasah iman diharapkan dapat mencetak generasi-
generasi muslim yang rahmatan lil’amamin.
Dalam sebuah keluarga/rumah tangga dibutuhkan seorang pemimpin yang
dapat membimbing dan mengarahkan yaitu laki-laki (ayah), seperti yang dijelakan
oleh Allah dalam QS. an-Nisaa’/4: 34. Dalam perkawinan terdapat ikatan yang
kokoh yang menunjukkan tanda keesaan Allah swt yang tertuang dalam firman-
Nya QS. an-Nahl/ :72. Allah juga menetapkan pernikahan sebagai suatu
keharusan karena terdapat banyak manfaatnya seperti mendapatkan keturunan
melalui jalan yang diridai oleh Allah, mendapatkan berkah dari doa-doa anak-
anak saleh, memenuhi keinginan hati dalam berbagi rasa dalam rumah tangga, dan
sebagainya.
Kewajiban dan peran suami dalam keluarga meliputi: kewajiban memenuhi
kebutuhan jasmaniah, kebutuhan rohaniah, dan kebutuhan aqiliyah (akal). Adapun
kewajiban dan peran istri dalam keluarga meliputi: melayani suaminya secara
biologis serta patuh dan taat kepada suami, kecuali hal kemaksiatan. Sedangkan
kewajiban bersama adalah memelihara dan mendidik anak dari pernikahan dan
memelihara rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Selain itu suami
dan istri hendaklah saling memperkokoh rasa cinta, saling menghargai dan saling
menjaga kehormatan/tidak menyebarkan kekurangan pasangan kita masing-
masing.
Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seluruh muslim, baik sudah
berkeluarga ataupun belum berkeluarga. Bagi mereka yang sudah berkeluarga
maka fokusnya akan terbagi menjadi dua antara kewajiban terhadap keluarga dan
kewajiban untuk belajar. Kedua kewajiban terbut dapat dilakukan dengan

12
13

menyiapkan diri dan mental, bijak membagi waktu, berani mengatakan tidak
terhadap ajakan-ajakan yang membuang-buang waktu, mencari dukungan,
menyiapkan segala kebutuhan untuk pagi hari pada malam sebelumnya, jangan
mudah mengeluh atau putus asa, serta istirahat yang cukup dan refreshing.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, M. Nashiruddin. Mukhtashar Shahih Muslim, diterjemahkan oleh Elly


Latifah dengan judul: Ringkasan Shahih Muslim. Cet. 4. Jakarta: Gema
Insani Press, 2008.

Al-Jarallah, Adullah bin Jarallah. Kitab al-‘Abiyat al-Jàmi’ah Lilmasà’il al-


Nafi’ah. www.saaid.net/book /11/4313.doc, didownload tanggal 27
September 2015.

Al-Khadim, D. Nuriddin Bin Mukthar. ‘Alimu al-maqashad al-Syar’iyah. Beirut:


Obeikan, 2014.

Buseri, Kamrani. Dasar, Asas dan Prinsip Pendidikan Islam. Cet. 1. Yogyakarta:
Aswaja Pressindo, 2014.

Hamdani, M. Stafi’i. Taudhîhul Adillah. Jakarta: PT Elek Media Komputindo-


Gramedia, 2010.

Kisyik, Abdul Hamid. Bima’ Al-Usrah Al-Muslimah; Mausu’ah Al-Zawaj Al-


Islami, diterjemahkan oleh Ida Nursida dengan judul: Bimbingan Islam
Untuk Mencapai Keluarga Sakinah. Cet. IX. Bandung: Mizan Pustaka,
2005.

Manshur, Abd al-Qadir. Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah Min al-Kitâb Wa al-


Sunnah, diterjemahkan oleh Muhammad Zaenal Arifi dengan judul: Buku
Pintar Fikih Wanita. Cet. 1. Jakarta: Zaman, 2009.

Muhammad, Abdullah bin. dan Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaik. Tafsir Ibnu
Kasyir, Diterjemahkan oleh M. Abdul dengan judul: Tafsir Ibnu Kasir.
Jilid 4. Bogor: Pustaka Imam Asa-Syafi’i, 2004.

Mushthawi, Abdurrahman. Diwan al-Imâm Asy-Syâfi’î. Beirut: Dar El-Marefah,


2005.

Rasyidin, Al. Falsafah Pendidikan Islami. Cet. 1. Bandung: Citapustaka Media


Sarana, 2008.

14

Anda mungkin juga menyukai