Oleh :
Jatnika Permana
G99122005 / B-04-2014
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. F
Umur
: 3 tahun
Berat Badan
: 14 kg
Panjang Badan
: 94 cm
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Jebres Surakarta
Tanggal masuk
: 5 September 2015
: 01312804
II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara aloanamnesis terhadap ayah pasien
A. Keluhan Utama
Kejang
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kejang 5 jam SMRS. Pasien kejang
pada seluruh tubuh, disertai mata melirik ke atas. Kejang berlangsung selama
kurang lebih 5 menit. Pasien tidak sadar saat kejang. Setelah kejang berhenti
pasien kemudian menangis. Sebelum kejang, pasien mengalami demam.
1 jam SMRS pasien mengalami kejang kembali. Kejang pada seluruh
tubuh dan berlangsung kurang lebih 3 menit. Selanjutnya pasien dibawa ke
IGD RS Dr Moewardi. Saat di IGD pasien dalam keadaan tidak kejang dan
dalam keadaan sadar. Demam (+), pilek (+), batuk (-), mual muntah (-),
mencret (+).
Riwayat mondok di RS
: (-)
: (+) kakek
: (-)
: 0,2,3,4 bulan
BCG
: 1 bulan
DPT
: 2,3,4 bulan
Polio
: 1,2,4 bulan
Campak
: 9 bulan
BB sekarang 14 kg, 94 cm
Meraih: 3 bulan
J. Pohon Keluarga
Tn. S, 30 thn
An. F, 3 thn
Ny. S, 27 thn
Keadaan Umum
Status gizi
Vital sign
Suhu : 37,9 oC per aksiler
HR
: 100 x/menit
RR
: 30 x/menit
Status gizi :
: bentuk mesocephal
4. Mata
5. Hidung
6. Mulut
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: SIC II LPSS
Kiri bawah
: SIC V LMCS
Kanan atas
: SIC II LPSD
Auskultasi
Pulmo:
Pulmo anterior:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pulmo posterior:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
11. Abdomen :
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
: tympani
Palpasi
oedem
-
sianosis
-
STATUS NEUROLOGIS
R. Meningeal :
Kaku kuduk
: (-)
Brudzinski I
: (-)
Brudzinski II
: (-)
Kernig
: (-)
R. Fisiologis :
Biceps
: (+2/+2)
Triceps
: (+2/+2)
Patella
: (+2/+2)
Achilles : (+2/+2)
R. Patologis :
Babinski
: (-/-)
Chaddock
: (-/-)
Oppenheim
: (-/-)
Gordon
: (-/-)
Schaffer
: (-/-)
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
HASIL
SATUAN
RUJUKAN
12.7
g/dl
11.5 13.5
39
34 40
16.3
ribu/ul
5.5-17.0
401
ribu/ul
150 450
Eritrosit
INDEX ERITROSIT
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
PDW
HITUNG JENIS
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu
ELEKTROLIT
Natrium darah
Kalium darah
Chlorida darah
Ca Ion
4.58
juta/ul
3.90 5.30
84.8
27.7
32.7
11.8
7.6
15
/um
Pg
g/dl
%
Fl
%
80.0 96.0
28.0 33.0
33.0 36.0
11.6 14.6
7.2 11.1
25 65
0.50
0.10
76.00
17.60
5.80
%
%
%
%
%
0.00 4.00
0.00 1.00
29.00 72.00
60.00 66.00
0.00 6.00
141
mg/dl
60-100
130
3.8
100
1.33
mmol/L
mmol/L
mmol/L
mmol/L
132 145
3.1 5.1
98 - 106
1.17 1.29
: CRP
V. RESUME
Pasien datang dengan keluhan kejang 5 jam SMRS. Pasien kejang pada
seluruh tubuh, disertai mata melirik ke atas. Kejang berlangsung selama kurang
lebih 5 menit. Pasien tidak sadar saat kejang. Setelah kejang berhenti pasien
kemudian menangis. Sebelum kejang, pasien mengalami demam.
1 jam SMRS pasien mengalami kejang kembali. Kejang pada seluruh
tubuh dan berlangsung kurang lebih 3 menit. Selanjutnya pasien dibawa ke IGD
RS Dr Moewardi. Saat di IGD pasien dalam keadaan tidak kejang dan dalam
keadaan sadar. Demam (+), pilek (+), batuk (-), mual muntah (-), mencret (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
gizi kesan baik, tanda vital didapatkan suhu 37,9oC per aksiler, nadi 100 x/menit,
frekuensi nafas 30 x/menit. Pemeriksaan kepala hingga ekstremitas tidak
ditemukan kelainan, pada pemeriksaan genital didapatkan phimosis. Pemeriksaan
status neurologis tidak didapatkan kelainan.
Pada pemeriksaan laboratorium darah darah tanggal 5 September 2015
didapatkan Hb: 12,7 gr/d1, Hct : 39 % AL : 16.3 x 103/mm3 AT: 401 ribu/ L
AE: 4,58 juta/uL MCV: 84,8 /um MCH 27,7 pg MCHC: 32,7 g/dl. Eosinofil:
0.50% Basofil: 0.10% Netrofil: 76.00% Limfosit: 17.60% Monosit: 5.80%. Hasil
pemeriksaan urine rutin tanggal 7 September 2015 dalam batas normal. Hasil
pemeriksaan tinja tanggal 7 September 2015 didapatkan tinja cair warna hijau
kekuningan, berlendir, ditemukan kista E.histolytica pasa sampel tinja.
VI. ASSESMENT
1. Kejang Demam Kompleks
2. Gizi baik
3. Phymosis
VII. PENATALAKSANAAN
Terapi
O2 nasal 2 lpm
Parasetamol 3xcth 1
Planning
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam
: baik
Ad sanam
: baik
Ad fungsionam
: baik
IX. MONITORING
Dibawah ini adalah monitoring pasien:
Tanggal
6 September 2015
demam(+),
batuk(-),
7 September 2015
muntah(-),
demam(-),
batuk(-),
8 September 2015
muntah(-),
demam(-),
batuk(-),
muntah(-),
RR : 38x/
RR : 26x/
RR : 24x/
t : 37,8 0C
t : 36,4 0C
t : 36,6 0C
Kepala : mesocephal
Kepala : mesocephal
Kepala : mesocephal
Mulute : MB (+)
Mulute : MB (+)
Mulute : MB (+)
sistolik gr III/VI
sistolik gr III/VI
sistolik gr III/VI
Hasil Lab
1.
E.Histolytica
1. Kejang Demam Kompleks
2.
3.
Terapi
Gizi baik
Phimosis
2. Gizi baik
3. Phimosis
2. Gizi baik
3. Phimosis
4. Amoebiasis
5. Parasetamol 3xcth 1
5.Parasetamol 3xcth 1
Plan
terapi amoebiasis
Kejernihan
KIMIA URIN
Berat jenis
pH
Leukosit
Nitrit
Protein
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Eritrosit
MIKROSKOPIS
Eritrosit
Leukosit
EPITEL
Squamous
Transisional
Bulat
HASIL
RUJUKAN
Yellow
Clear
1.021
6.0
Negatif
Negatif
Negatif
Normal
Negatif
Normal
Negatif
Negatif
1.015-1.025
4.5-8.0
Negatif
Negatif
Negatif
Normal
Negatif
Normal
Negatif
Negatif
3/ul
0.5/LPB
0-6.4
0-12
0/LPB
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
SILINDER
Hyalin
0/LPK
Granulated
Negatif
Leukosit
Negatif
Bakteri
1.0/ul
Kristal
0.3/ul
Yeast like cell
0.0/ul
Sperma
0.0/ul
Konduktivitas
24.0 ms/cm
Lain-lain :
Eritrosit 0-1/LPB, Leukosit 0-1/LPB, kristal amorf (+)
0-3
Negatif
Negatif
0.0-2150.0
0.0-0.0
0.0-0.0
0.0-0.0
3.2-32.0
Warna
Darah
Lendir
Lemak
Pus
Parasit
MIKROSKOPIS
Sel epitel
HASIL
RUJUKAN
Cair
Lunak berbentuk
Hijau
kekuningan
Kuning cokelat
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif/ditemukan
sedikit
Negatif
Negatif
Negatif/ditemukan
sedikit
Leukosit
Eritrosit
Makanan tidak tercerna
Telur cacing
Larva cacing
Proglotid cacing
Protozoa
+++
++
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Kista
E.histolytica
Negatif
Yeast/pseudohifa
Kesimpulan :
Ditemukan kista E.histolytica pada sampel tinja
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
TINJAUAN PUSTAKA
KEJANG DEMAM
A. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal diatas 38,5oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (1).
Kejang demam ini terjadi pada 2%-4% anak berumur 6 bulan-5 tahun(2). Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam(4). Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi,
yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam (3). Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak termasuk
dalam kejang demam(1). Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1
bulan tidak termasuk dalam kejang demam(4). Bila anak berumur kurang dari 6 bulan
atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, kemungkinan lain harus
dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama
demam(4). Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya
mengenai sistem susunan saraf pusat(3).
B. Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2%-4% di Amerika Serikat, Amerika
Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus
merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun
kedua kehidupan (1723 bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada lakilaki(2).
C. Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi
saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran
kemih(2).
D. Faktor Resiko
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam (3). Ada riwayat
kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua,
menunjukkan kecenderungan genetik(1,3). Selain itu terdapat faktor perkembangan
terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar
natrium rendah, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur
yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga
epilepsi(1,3).
Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya gangguan
neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga,
lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks(1).
E. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
kardiovaskuler(6). Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air (6). Sel dikelilingi oleh suatu membran yang
terdiri dari permukaan dalam adalah lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan
jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial
yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim NaKATPase yang
terdapat pada permukaan sel(6). Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah
oleh adanya:
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan(6).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran
tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang (6). Tiap
anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya
ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi
pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang
baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang
rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu
berapa penderita kejang(6). Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin
arginin dapat merupakan mediator penting pada patogenesis kejang akibat
hipertermia(1).
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas
adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah
yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul
edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak(6). Kerusakan pada daerah
mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang
spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi(6).
F. Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonikdan atau klonik, tanpa
gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam(7). Kejang demam
sederhana merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam(6). Suhu yang tinggi
merupakan keharusan pada kejang demam sederhana, kejang timbul bukan oleh
infeksi sendiri, akan tetapi oleh kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat
lain, misalnya pada radang telinga tengah yang akut, dansebagainya. Bila dalam
riwayat penderita pada umur-umur sebelumnya terdapat periode-periode dimana
anak menderita suhu yang sangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang; maka
pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati-hati, mungkin kejang yang ini
ada penyebabnya(2).
Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika suhu
sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak
mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu
yang tiba-tiba merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang(2).
Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat
tonik-klonik seperti kejang grand mal; kadang-kadang hanya kaku umum atau
mata mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih
dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang
mendadak, dalam hal ini juga kejang demam sederhana masih mungkin(2).
dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya
kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun
untuk sejenak, tetapi setelah beberapadetik atau menit anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelainan saraf(6). Livingston (1954,1963) membuat kriteria dan
membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
a. Kejang demam Sederhana (simple febrile convulsion)
b. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever).
Modifikasi kriteria Livingston(6):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
menunjukkan kelainan.
g. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh
demam(6).
H. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula
darah.
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan
cairan
serebrospinal
dilakukan
untuk
menegakkan
atau
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30%-60 % kasus, begitu pula
dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 oC.
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang
cukup berat pada 25%-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin
pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
c. Pemberian Obat Rumat(4)
1. Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salahsatu) :
1) Kejang lama > 15 menit.
2) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misaln
yahemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3) Kejang fokal.
4) Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
Kejang demam > 4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya
keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan
rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik.
2. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa
kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek
samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif
dandalam
jangka
pendek.
Pemakaian
fenobarbital
setiaphari
dapat
fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis.
Angka
kejadian
pasca
vaksinasi
DPT
adalah
6-
9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,sedangkan setelah vaksinasi MMR 2534 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila
anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak
merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.
L. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak
menyebabkan kematian.
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal (4). Kejang yang
lebih dari 15 menit, bahkan ada yang mengatakan lebihdari 10 menit, diduga
biasanya telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap(2). Apabila tidak diterapi
dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi(3,5):
1. Kejang
demam
berulang
dengan
frekuensi
berkisar
antara
25%-
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas. Standar Pelayanan Medik. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas Makassar.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI Jakarta. 1985
3. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3,
Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000
4. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 27. 1982
5. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta. 2006.
6. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006