Anda di halaman 1dari 15

DRAFT PEDOMAN PENILAIAN KHASIAT DAN KEAMANAN OBAT KANKER

Versi Bahasa Inggris


DILLA, DESI PB, SISKA, ICHA, NORITA,
VRINGGA
2. Nonclinical Studies (Dilla, Desi PB)
2.1. Sudies to Support Nonclinical
Evaluation
2.1.1. Pharmacology
Prior to Phase I studies, preliminary
characterization of the mechanism(s) of action
and schedule dependencies as well as anti-tumor
activity of the pharmaceutical should have been
made. Appropriate models should be selected
based on the target and mechanism of action,
but the pharmaceutical need not be studied using
the same tumor types intended for clinical
evaluation.
These studies can:
provide nonclinical proof of principle;
guide schedules and dose-escalation
schemes;
provide information for selection of test
species;
aid in start dose selection and selection of
investigational biomarkers, where
appropriate; and
if relevant, justify pharmaceutical
combinations.
Understanding the secondary pharmacodynamic
properties of a pharmaceutical could contribute
to the assessment of safety for humans, and
those properties might be investigated as
appropriate.
2.1.2. Safety Pharmacology
An assessment of the pharmaceuticals effect on
vital organ functions (including cardiovascular,

Versi Bahasa Indonesia newest

Versi Bahasa Indonesia newest_edit PIC

2. Studi Non klinik (Dilla, Desi PB)


2.1. Studi-studi untuk mendukung evaluasi
nonklinik
2.1.1. Farmakologi
Sebelum studi fase I dilakukan, karakterisasi
awal dari mekanisme kerja dan ketergantungan
jadwal sama seperti aktivitas obat anti tumor
harus sudah dibuat. Model yang sesuai harus
dipilih berdasarkan target dan mekanisme kerja,
tetapi obat tidak perlu dipelajari menggunakan
tipe tumor yang sama ditujukan untuk evaluasi
klinik.
Studi-studi ini dapat:
Menyediakan bukti nonklinis dari
principal
Pedoman jadwal dan skema peningkatan
dosis
Menyediakan informasi untuk pemilihan
jenis test
Membantu dalam pemilihan dosis awal
dan pemilihan investigasi biomarkers,
yang sesuai.
Jika relevan, memberikan alasan obat
dikombinasi

2.
Penilaian
Non
klinik
(alternatif:
Penilaian Data Non Klinik)
2.1. Studi-studi untuk mendukung evaluasi
nonklinik

Memahami/mengetahui efek (properties)


farmakodinamik sekunder dariobat could
contribute to penilaian keamanan pada
manusia, dan those properties might be
investigated as appropriate.

2.1.2. Studi Keamanan Farmakologi

2.1.2. Keamanan Farmakologi


Penilaian efek obat pada fungsi organ vital

Studi Non klinik yang dilakukan meliputi studi


farmakologi, studi kemanan farmakologi, studi
farmakokinetika, studi toksisitas umum, studi
toksisitas khusus (reproduksi, genotoksisitas,
karsinogenisitas, imunotoksisitas, photosafety)
2.1.1. Studi Farmakologi
Studi farmakologi dilakukan untuk memastikan
karakterisasi awal senyawa obat, mekanisme
kerja, schedule dependencies,
dan aktivitas
anti tumor.
Model hewan yang digunakan sesuai dengan
target dan mekanisme kerja, tetapi tidak perlu
menggunakan tipe tumor yang sama dengan
yang ditujukan untuk penggunaan klinik.
Dari studi farmakologi ini juga dapat diketahui
jadwal dan skema peningkatan dosis; informasi
untuk pemilihan jenis spesies uji; infomasi
pemilihan dosis awal dan pemilihan biomarkers.
Efek
farmakodinamik
sekunder
perlu
diperhatikan karena berkontribusi terhadap
penilaian keamanan pada manusia.

Studi keamanan farmakologi stand-alone tidak


diperlukan untuk mendukung studi pada pasien
dengan advanced cancer. Namun pada kasus
yang teridentifikasi bahwa pasien dapat
terpapar risiko tambahan yang signifikan dalam
uji
klinis,
harus
dipertimbangkan
studi

respiratory and central nervous systems) should


be available before the initiation of clinical
studies; such parameters could be included in
general toxicology studies. Detailed clinical
observations following dosing and appropriate
electrocardiographic measurements in nonrodents are generally considered sufficient.
Conducting stand-alone safety pharmacology
studies to support studies in patients with
advanced cancer is not called for.
In caseswhere specific concerns have been
identified that could put patients at significant
additional risks in clinical trials, appropriate
safety pharmacology studies described in ICH
S7A and/or S7B should be considered. In the
absence of a specific risk, such studies will not be
called for to support clinical trials or for
marketing.
2.1.3. Pharmacokinetics
The evaluation of limited pharmacokinetic
parameters (e.g., peak plasma/serum levels, area
under the curve (AUC), and half-life) in the
animal species used for nonclinical studies can
facilitate dose selection, schedule and escalation
during Phase I studies. Further information on
absorption, distribution, metabolism and
excretion of the pharmaceutical in animals should
normally be generated in parallel with clinical
development.
2.1.4. General Toxicology
The primary objective of Phase I clinical trials in
patients with advanced cancer is to assess the
safety of the pharmaceutical. Phase I
assessments can include dosing to a maximum
tolerated dose (MTD) and dose limiting toxicity
(DLT). Toxicology studies to determine a no

(termasuk kardiovaskular, pernafasan dan


sistem saraf pusat) harus ada sebelum memulai
studi klinis; seperti parameter-parameter yang
dapat dimasukkan dalam studi toksisitas umum
(such parameters could be included in general
toxicology studies). Observasi klinik yang rinc
isetelah pemberian obat dan pengukuran
electrocardiographic yang sesuai pada nonrodent secara umum dinilai cukup.
Melakukan studi keamanan farmakologi standalone untuk mendukung studi pada pasien
dengan advanced cancer tidak diperlukan.
Pada kasus dimana perhatian khusus have
been identified that could put patients pada
risiko tambahan yang signifikan dalam uji klinis,
studi keamananf armakologi yang sesuai
digambarkan dalam ICH S7A dan/atau S7B
harus dipertimbangkan. In the absence of a
specific risk, such studies will not be called for
tosupport clinical trials or for marketing.
2.1.3. Farmakokinetika
Evaluasi dari batasan (limited) parameterparameter farmakokinetika (misalnya,peak
plasma/serumlevels, area under the curve
(AUC), and half-life) pada spesies hewan yang
digunakan untuk studi nonklinik dapat
memudahkan pemilihan dosis, jadwal dan
peningkatan dosis selama studi fase I.
Informasi lebih lanjut pada absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi dari obat pada hewan
harus secara normal dihasilkan secara parallel
dengan perkembangan klinis.

2.4 ToksisitasUmum (General Toxicity)


The primary objective dari uji klinis fase I
pada pasien dengan advanced cancer untuk
menilai keamanan obat. Penilaian fase I meliputi

keamanan farmakologi sesuai ICH S7A dan/atau


S7B.
2.1.3. Studi Farmakokinetika
Evaluasi
terhadap
parameter-parameter
farmakokinetika tertentu (misalnya, kadar
puncak plasma, AUC dan waktu paruh) pada
spesies hewan yang digunakan untuk studi
nonklinik dapat digunakan sebagai dasar
pemilihan dosis, jadwal dan peningkatan dosis
selama studi fase I.
Informasi lebih lanjut mengenai absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat pada
hewan dapat diperoleh secara paralel dengan
pengembangan klinis.

2.1.4 Toksisitas Umum (General Toxicity)


Studi toksikologi untuk menentukan a No
Observed Adverse Effects Level (NOAEL) atau
No Effect Level (NOEL) tidak diperlukan untuk
mendukung penggunaan klinik suatu obat anti
kanker.
Karena toksisitas dari obat dapat sangat
dipengaruhi
oleh
jadwal
pemberiannya,
perkiraan jadwal pemberian pada penelitian
klinik harus dievaluasi dalam studi toksikologi.
Hal ini kemudian didiskusikan dalam Seksi 3.3
dan 3.4.

observed adverse effect level (NOAEL) or no


effect level (NOEL) are not considered essential
to support clinical use of an anticancer
pharmaceutical. As the toxicity of the
pharmaceutical can be greatly influenced by its
schedule of administration, an approximation of
its clinical schedule should be evaluated in
toxicology studies. This is further discussed in
Section 3.3 and 3.4.
Assessment of the potential to recover from
toxicity should be provided to understand
whether serious adverse effects are reversible or
irreversible. A study that includes a terminal nondosing period is called for if there is severe
toxicity at approximate clinical exposure and
recovery cannot be predicted by scientific
assessment. This scientific assessment can
include the extent and severity of the pathologic
lesion and the regenerative capacity of the organ
system showing the effect. If a study of recovery
is called for, it should be available to support
clinical development. The demonstration of
complete recovery is not considered essential.
For small molecules, the general toxicology
testing usually includes rodents and non-rodents.
In certain circumstances, determined case-bycase, alternative approaches can be appropriate
(e.g., for genotoxic drugs targeting rapidly
dividing cells, a repeat-dose toxicity study in one
rodent species might be considered sufficient,
provided the rodent is a relevant species). For
biopharmaceuticals, see ICH S6 for the number of
species to be studied. Toxicokinetic evaluation
should be conducted as appropriate.

dosing to a dosis maximum yang masih dapat


ditoleransi (Maximum Tolerated Dose (MTD))
dan dosis toksik (Dose Limiting Toxicity (DLT)).
Studi toksikologi untu kmenentukan a No
Observed Adverse Effects Level (NOAEL) or No
Effect Level (NOEL) dianggap tidak esensial
untuk mendukung penggunaan klinis suatu obat
anti kanker. Seperti toksisitas dari obat dapat
sangat dipengaruhi oleh jadwal pemberian, an
approximation of its clinical schedule harus
dievaluasi dalam studi toksikologi. Hal ini
kemudian didiskusikan dalam Seksi 3.3 dan 3.4.
Penilaian kemampuan untuk pulih kembali dari
toksisitas harus diserahkan untuk mengetahui
apakah efek samping serius bersifat reversible
atau ireversibel. Satu studi yang mencakup a
terminal non-dosing period diperlukan jika di
sana ada toksisitas berat pada approximate
clinical exposure dan pulih kembali tidak dapat
diprediksi oleh penilaian ilmiah. Penilaian ilmiah
tersebut termasuk luas dan beratnya lesi
patologi dan kapasitas/kemampuan regenerasi
dari system organ menunjukan efek tersebut.
Jika a study of recovery diperlukan, studi
tersebut harus ada untuk mendukung
pengembangan klinik. Bukti dari pulih kembali
total dianggap tidak esensial. Untuk molekul
ukuran kecil, uji toksisitas umum biasanya
termasuk rodents dan non-rodents. Pada
keadaan tertentu, ditentukankasus per kasus,
pendekatan alternative dapat dilakukan (misal,
untuk obat-obat genotoksik mempunyai
sasaransel yang membelahs ecara cepat, studi
toksisitas dosis berulang pada satu spesies
rodent dapat dinilai memadai, asalkan rodent
adalah spesies yang relevan. Untuk
biofarmasetika, lihat ICH S6 untuk jumlah
spesies yang digunakan dalam studi.Evaluasi
toksikokinetik harus dilaksanakan secara tepat.

Potensi recoveri dari efek toksik perlu dievaluasi


untuk mengetahui apakah efek samping serius
bersifat reversible atau irreversibel. Apabila
terdapat toksisitas berat pada paparan klinik
yang diperkirakan dan diduga tidak dapat
recoveri berdasarkan penilaian ilmiah
maka
diperlukan suatu studi yang mencakup periode
terminal tanpa obat. Penilaian ilmiah tersebut
mencakup besar dan keparahan lesi patologi
dan kemampuan regenerasi sistem organ yang
menunjukan efek tersebut. Evaluasi sampai
recoveri total dianggap tidak esensial.
Untuk molekul ukuran kecil, uji toksisitas umum
biasanya dilakukan pada rodents dan nonrodents. Pada keadaan tertentu, berdasarkan
kasus per kasus, pendekatan alternative dapat
dilakukan (misal, untuk obat-obat genotoksik
dengan target sel-sel yang membelah secara
cepat, studi toksisitas dosis berulang pada satu
spesies rodent dinilai memadai, apabila rodent
adalah
spesies
yang
relevan).
Evaluasi
toksikokinetik dilakukan jika perlu.

2.1.5. Reproduction Toxicology


An embryofetal toxicology assessment is
conducted to communicate potential risk for the
developing embryo or fetus to patients who are
or might become pregnant.
Embryofetal toxicity studies of anticancer
pharmaceuticals should be available when the
marketing application is submitted, but these
studies are not considered essential to support
clinical trials intended for the treatment of
patients with advanced cancer.
These studies are also not considered essential
for the purpose of marketing applications for
pharmaceuticals that are genotoxic and target
rapidly dividing cells (e.g., crypt cells, bone
marrow) in general toxicity studies or belong to a
class that has been well charajcterized as causing
developmental toxicity.
For small molecules, embryofetal toxicology
studies are typically conducted in two species as
described by ICH S5 (R2). In cases where an
embryofetal developmental toxicity study is
positive for embryofetal lethality or
teratogenicity, a confirmatory study in a second
species is usually not warranted.
For biopharmaceuticals, an assessment in one
pharmacologically relevant species should usually
be sufficient. This assessment might be done by
evaluating the toxicity during the period of
organogenesis or study designs as described by
ICH S6.
Alternative approaches might be considered
appropriate if scientifically justified. The
alternative approaches might include a literature
assessment, assessment of placental transfer,
the direct or indirect effects of the
biopharmaceutical, or other factors.

2.1.5. Toksikologi reproduksi


Penilaian toksikologi embryofetal dilakukan
untuk melihat potensi risiko perkembangan
embrio atau janin untuk pasien yang sedang
atau akan hamil.
Studi toksisitas embryofetal obat-obatan
antikanker harus tersedia ketika pengajuan ijin
edar, namun studi ini tidak dianggap
pentinguntuk mendukung uji klinis pada
pengobatan pasien dengan kanker stadium
lanjut.
Studi-studi ini juga tidak dianggap penting
untuk aplikasi obat-obatan yang genotoksik dan
mengincar sel yang membelah dengan cepat
(Misalnya, sel-sel crypt, sumsum tulang) dalam
studi toksisitas umum atau berasal dari kelas
yang telah dikenal baik sebagai penyebab
perkembangan toksisitas.
Untuk molekul kecil, studi toksikologi
embryofetal biasanya dilakukan dalam dua
spesies seperti yang dijelaskan oleh ICH S5
(R2). Dalam kasus di mana sebuah studi
perkembangan embryofetal terbukti mematikan
embryofetal atau teratogenik, studi konfirmasi
pada pesies kedua biasanya tidak diperlukan.
Untuk biofarmasetik, diperlukan penilaian dalam
satu spesies farmakologi. Penilaian ini dapat
dilakukan dengan mengevaluasi toksisitas
selama periode organogenesis atau desain studi
seperti yang dijelaskan oleh ICH S6.
Pendekatan alternatif mungkin diperlukan jika
dapat dijustifikasi secara ilmiah. Pendekatan
alternatif dapat mencakup penilaian literatur,
penilaian transfer plasenta, efek langsung
maupun tidak langsung dari biofarmasetik, atau
faktor lainnya.

A study of fertility and early embryonic

2.1.5. Toksikologi reproduksi


Studi toksisitas embryofetal obat kanker harus
tersedia ketika pengajuan ijin edar, namun studi
ini dianggap tidak penting untuk mendukung uji
klinik pengobatan pasien kanker stadium lanjut.
Studi toksisitas embryofetal juga tidak
diperlukan untuk obat-obat genotoksik dan obat
untuk target sel yang membelah dengan cepat
(Misalnya, sel-sel crypt, sumsum tulang) atau
obat yang termasuk kelompok obat yang
menyebabkan toksisitas perkembangan.
Untuk molekul kecil, studi toksikologi
embryofetal biasanya dilakukan dalam dua
spesies. Jika hasil studi pada satu spesies
menunjukkan bahwa obat menyebabkan
kematian embryofetal atau teratogenik, studi
konfirmasi pada pesies kedua umumnya tidak
diperlukan.
Untuk biofarmasetik, penelitian cukup dilakukan
pada satu spesies hewan yang relevan secara
farmakologi. Pendekatan alternatif seperti
penilaian literatur, penilaian transfer plasenta,
efek langsung maupun tidak langsung dari
biofarmasetik, atau faktor lainnya, dapat
dipertimbangkan dengan justifikasi ilmiah.
Studi fertilitas dan perkembangan awal embrio
tidak diperlukan untuk obat-obatan untuk
pasien kanker stadium lanjut. Informasi yang
tersedia dari studi toksikologi umum terkait efek
obat terhadap organ reproduksi digunakan
sebagai dasar penilaian gangguan kesuburan.
Studi toksikologi pra - dan postnatal umumnya
juga tidak diperlukan untuk obat-obatan untuk
pasien kanker stadium lanjut

development is not warranted to support clinical


trials or for marketing of pharmaceuticals
intended for the treatment of patients with
advanced cancer. Information available from
general toxicology studies on the
pharmaceuticals effect on reproductive organs
should be used as the basis of the assessment of
impairment of fertility.
A pre- and postnatal toxicology study is generally
not warranted to support clinical trials or for
marketing of pharmaceuticals for the treatment
of patients with advanced cancer.
2.1.6. Genotoxicity
Genotoxicity studies are not considered essential
to support clinical trials for therapeutics intended
to treat patients with advanced cancer.
Genotoxicity studies
Nonclinical Evaluation for Anticancer
Pharmaceuticals should be performed to support
marketing (see ICH S2). The principles outlined in
ICH S6 should be followed for
biopharmaceuticals. If the in vitro assays are
positive, an in vivo assay might not be warranted.
2.1.7. Carcinogenicity
The appropriateness of a carcinogenicity
assessment for anticancer pharmaceuticals is
described in ICH S1A. Carcinogenicity studies are
not warranted to support marketing for
therapeutics intended to treat patients with
advanced cancer.
2.1.8. Immunotoxicity
For most anticancer pharmaceuticals, the design
components of the general toxicology studies are
considered sufficient to evaluate immunotoxic
potential and support marketing. For
immunomodulatory pharmaceuticals, additional
endpoints (such as immunophenotyping by flow

Sebuah studi tentang fertilitas dan


perkembangan awal embrio tidak dibenarkan
untuk mendukung uji klinis atau untuk
persetujuan obat-obatan yang ditujukan untuk
pengobatan pasien dengan kanker stadium
lanjut.
Informasi yang tersedia dari studi toksikologi
umum pada efek farmasi terhadap organ
reproduksi harus digunakan sebagai dasar
penilaian kelainan kesuburan.
Sebuah studi toksikologi pra - dan postnatal
umumnya tidak diperlukan untuk mendukung
percobaan klinis atau untuk persetujuan obatobatan untuk pengobatan pasien kanker
stadium lanjut
2.1.6. Genotoksisitas
Studi genotoksisitas tidak dianggap penting
untuk mendukung uji klinis pada terapi yang
dimaksudkan untuk mengobati pasien dengan
kanker stadium lanjut.
Studi genotoksisitas
Evaluasi nonklinik untuk sediaan antikanker
harus dilakukan untuk mendukung persetujuan
(lihat ICH S2). Prinsip-prinsip yang digariskan
dalam ICH S6 harus diikuti untuk
biofarmassetik. Jika uji in vitro positif, sebuah uji
in vivo mungkin tidak diperlukan (?).
2.1.7. Karsinogenisitas
Perlunya penilaian karsinogenisitas untuk obatobatan antikanker
dijelaskan dalam ICH S1A. Studi
Karsinogenisitas tidak diperlukan untuk
persetujuan edar apabila dimaksudkan untuk
mengobati pasien dengan kanker stadium lanjut
2.1.8. Imunotoksisitas
Untuk obat-obat antikanker yang kuat, desain
komponen studi toksikologi dianggap cukup

2.1.6. Genotoksisitas
Studi genotoksisitas tidak dianggap penting
untuk mendukung uji klinis pada pasien kanker
stadium lanjut.
Studi genotoksisitas
Evaluasi nonklinik untuk sediaan antikanker
harus dilakukan untuk mendukung persetujuan
(lihat ICH S2). Prinsip-prinsip yang digariskan
dalam ICH S6 harus diikuti untuk biofarmassetik.
Jika uji in vitro positif, sebuah uji in vivo
mungkin tidak diperlukan (?).
2.1.7. Karsinogenisitas
Studi Karsinogenisitas tidak diperlukan untuk
obat-obatan untuk pasien kanker stadium lanjut

2.1.8. Imunotoksisitas
Untuk kebanyakan obat kanker, komponenkomponen disan studi toksikologi umum
dipertimbangkan cukup untuk mengevaluasi
potensi imunotoksik dan. Untuk obat-obatan
imunomodulator, endpoint tambahan (seperti
immunophenotyping dengan flow cytometry)
dapat dimasukkan dalam disain studi.
2.1.9. Photosafety testing

cytometry) might be included in the study design.


2.1.9. Photosafety testing
An initial assessment of phototoxic potential
should be conducted prior to Phase I, based on
photochemical properties of the drug and
information on other members in the class. If
assessment of these data indicates a potential
risk, appropriate protective measures should be
taken during outpatient trials. If the photosafety
risk cannot be adequately evaluated based on
nonclinical data or clinical experience, a
photosafety assessment consistent with the
principles described in ICH M3 should be provided
prior to marketing

2.2. Nonclinical Data To Support Clinical


Trial Design And Marketing (Icha, Siska)
2.2.1. Start Dose for First Administration in
Humans
The goal of selecting the start dose is to identify
a dose that is expected to have pharmacologic
effects and is reasonably safe to use. The start
dose should be scientifically justified using all
available nonclinical data (e.g.,
pharmacokinetics, pharmacodynamics, toxicity),
and its selection based on various approaches
(see Note 2).
For most systemically administered small
molecules, interspecies scaling of the animal
doses to an equivalent human dose is usually
based on normalization to body surface area. For
both small molecules and biopharmaceuticals,
interspecies scaling based on body weight, AUC,
or other exposure parameters might be

untuk mengevaluasi potensi immunotoxic dan


mendukung persetujuan. Untuk obat-obatan
imunomodulator, endpoint tambahan (seperti
immunophenotyping dengan sitometri) mungkin
dimasukkan dalam rancangan penelitian.
2.1.9. Photosafety testing
Penilaian awal potensi fototoksik harus
dilakukan sebelum Tahap I, berdasarkan sifat
fotokimia obat dan informasi anggota lain di
kelas yang sama. Jika penilaian data ini
menunjukkan potensi risiko, tindakan
perlindungan yang tepat harus diambil selama
studi pada pasien rawat jalan. Jika risiko
photosafety tidak dapat dievaluasi secara
memadaiberdasarkan data nonclinical atau
pengalaman klinis, penilaian photosafety
konsisten dengan prinsip-prinsip yang diuraikan
dalam ICH M3 harus tersedia sebelum
pemasaran
2.2. Data Non-Klinik Untuk Mendukung
Desain Uji Klinik Dan Pemasaran (Icha,
Siska)
2.2.1. Dosis awal yang diberikan pada
manusia
Tujuan pemilihan dosis awal adalah untuk
mengidentifikasi dosis yang diharapkan
memiliki efek farmakologi dan aman untuk
digunakan.
Dosis awal harus terjustifikasi secara ilmiah
menggunakan semua data non-klinik yang
tersedia (farmakokinetik, farmakodinamik,
toksisitas), dan pemilihannya berdasarkan
beberapa pendekatan (lihat catatan 2).
Pada umumnya pemberian secara sistemik
untuk molekul kecil, peningkatan dosis
interspesies dari dosis hewan ke dosis manusia
berdasarkan normalisasi luas permukaan tubuh.
Untuk molekul kecil dan biofarmasetik,
peningkatan skala interspesies berdasarkan

Penilaian
awal
potensi
fototoksik
harus
dilakukan berdasarkan sifat fotokimia obat dan
informasi dari obat lain dengan kelas yang
sama.
Jika penilaian data ini menunjukkan
potensi risiko, tindakan perlindungan yang tepat
harus diambil selama studi pada pasien rawat
jalan. Penilaian photosafety minimal harus
tersedia sebelum pengajuan ijin edar.

2.2. Data Non-Klinik Untuk Mendukung


Desain Uji Klinik Dan Pemasaran (Icha,
Siska)
2.2.1. Dosis awal yang diberikan pada
manusia
Pemilihan dosis awal untuk penelitian klinik
harus dijustifikasi secara ilmiah menggunakan
semua data non-klinik yang tersedia
(farmakokinetik, farmakodinamik, toksisitas),
dan pemilihannya berdasarkan beberapa
pendekatan.
Pendekatan yang umum untuk banyak molekul
kecil, dosis awal adalah 1/10 dosis toksik parah
yang terjadi pada 10% hewan rodent (Severe
Toxic Dose/STD 10). Jika spesies yang paling
cocok adalah non-rodent maka dosis awal yang
adalah 1/6 dosis toksik tidak-parah tertinggi
(The Highest Non-Severely Toxic Dose/HNSTD).
HNSTD didefinisikan sebagai tingkat dosis
tertinggi yang terbukti tidak menimbulkan
kematian, toksisitas yang mengancam jiwa,

appropriate. For biopharmaceuticals with immune


agonistic properties, selection of the start dose
using a minimally anticipated biologic effect level
(MABEL) should be considered.
2.2.2. Dose Escalation and the Highest Dose
in a Clinical Trial
In general, the highest dose or exposure tested in
the nonclinical studies does not limit the doseescalation or highest dose investigated in a
clinical trial in patients with cancer. When a steep
dose- or exposure-response curve for severe
toxicity is observed in nonclinical toxicology
studies, or when no preceding marker of severe
toxicity is available, smaller than usual dose
increments (fractional increments rather than
dose doubling) should be considered.
2.2.3. Duration and Schedule of Toxicology
Studies to Support Initial Clinical Trials
In Phase I clinical trials, treatment can continue
according to the patients response, and in this
case, a new toxicology study is not called for to
support continued treatment beyond the duration
of the completed toxicology studies.
The design of nonclinical studies should be
appropriately chosen to accommodate different
dosing schedules that might be utilized in initial
clinical trials. It is not expected that the exact
clinical schedule always will be followed in the
toxicological study, but the information provided
from the toxicity studies should be sufficient to
support the clinical dose and schedule and to
identify potential toxicity. For example, one factor
that can be considered is the half-life in the test
species and the projected (or known) half-life in
humans. Other factors could include exposure
assessment, toxicity profile, saturation of
receptors, etc. Table 1 provides examples of
nonclinical treatment schedules that are

berat badan, AUC, atau parameter paparan lain


yang sesuai.
Untuk biofarmasetik dengan immune agonistic
properties, pemilihan dosis awal menggunakan
minimally anticipated biologic effect level
(MABEL) harus dipertimbangkan.
2.2.2. Eskalasi dosis dan dosis tertinggi
pada uji klinik.
Secara umum, dosis tertinggi atau exposure
tested yang digunakan dalam uji non-klinik
tidak membatasi eskalasi dosis atau dosis
tertinggi yang di uji dalam uji klinik pada pasien
kanker. Peningkatan dosis dalam jumlah kecil
harus dipertimbangkan ketika dalam uji
toksisitas non-klinik tidak tersedia penanda
untuk toksisitas berat atau kurva respon
paparan meningkat tajam.
2.2.3. Durasi dan jadwal uji toksikologi
yang mendukung uji klinik awal
Pada uji klinik fase I, perlakuan dapat
dilanjutkan sesuai dengan respon pasien, dan
pada kasus ini uji toksikologi baru yang melebihi
durasi uji toksikologi yang sudah selesai tidak
diperlukan.
Disain uji non-klinik yang dipilih harus sesuai
untuk mengakomodasi jadwal dosis yang
berbeda yang digunakan pada uji klinik awal.
Jadwal uji klinik tidak selalu mengikuti uji
toksikologi namun informasi yang didapat dari
uji toksikologi harus sesuai untuk mendukung
dosis klinik dan jadwal dan untuk
mengidentifikasi potensial toksisitas. Sebagai
contoh, salah satu faktor yang dapat
dipertimbangkan adalah paruh dalam spesies
uji dan diproyeksikan ( atau dikenal ) paruh
pada manusia . Faktor lain bisa meliputi

atau temuan bersifat ireversibel.


Untuk banyak molekul kecil yang diberikan
secara sistemik, perubahan dari dosis hewan ke
dosis manusia berdasarkan normalisasi luas
permukaan tubuh. Untuk molekul kecil dan
biofarmasetik, perubahan dosis berdasarkan
berat badan, AUC, atau parameter paparan lain
yang sesuai.
Untuk biofarmasetik dengan efek imun agonis,
pemilihan dosis awal menggunakan minimally
anticipated biologic effect level (MABEL).
2.2.2. Eskalasi dosis dan dosis tertinggi
pada uji klinik.
Secara umum, dosis tertinggi atau exposure
tested yang digunakan dalam uji non-klinik tidak
membatasi eskalasi dosis atau dosis tertinggi
yang di uji dalam uji klinik pada pasien kanker.
Peningkatan dosis yang lebih rendah dari
peningkatan dosis pada umumnya (umumnya
double dosis) harus dipertimbangkan ketika
dalam uji toksisitas non-klinik tidak tersedia
penanda untuk toksisitas berat atau kurva
respon paparan meningkat tajam.
2.2.3. Durasi dan jadwal uji toksikologi
yang mendukung uji klinik awal
Walaupun pada uji klinik fase I, pemberian obat
dapat dilanjutkan sesuai dengan respon pasien,
namun tidak diperlukan studi toksikologi baru
dengan durasi yang melebihi durasi uji
toksikologi lengkap.
Disain studi non-klinik yang dipilih harus sesuai
untuk mengakomodasi jadwal pemberian obat
yang berbeda-beda yang digunakan pada uji
klinik awal. Mungkin jadwal pemberian pada uji
klinik tidak selalu sama dengan uji toksikologi,

commonly used in anticancer pharmaceutical


development and can be used for small
molecules or biopharmaceuticals. In cases where
the available toxicology information does not
support a change in clinical schedules, an
additional toxicology study in a single species is
usually sufficient.

penilaian eksposur, profil toksisitas, kejenuhan


reseptor. Tabel 1. Menyediakan contoh dari
jadwal perlakuan non-klinik yang umumnya
digunakan dalam pengembangan obat
antikanker dan dapat digunakan untuk molekul
keil atau biofarmasetik. Pada kasus dimana
informasi toksikologi yang tersedia tidak
mendukung perubahan dalam jadwal klinik, uji
toksikologi tambahan pada satu spesies
biasanya cukup.

namun informasi yang didapat dari uji


toksikologi harus cukup untuk mendukung dosis
klinik dan jadwalpemberian dan untuk
mengidentifikasi potensi toksisitas. Sebagai
contoh, faktor yang dapat dipertimbangkan
adalah waktu paruh dalam spesies uji dan
proyeksi waktu paruh pada manusia, penilaian
paparan, profil toksisitas , kejenuhan reseptor,
dll. Tabel 1. Memperlihatkan contoh jadwal
perlakuan non-klinik yang umum digunakan
dalam pengembangan obat kanker dan dapat
digunakan untuk molekul kecil atau
biofarmasetik. Pada kasus dimana informasi
toksikologi yang tersedia tidak mendukung
perubahan dalam jadwal pemberian klinik, perlu
dilakukan uji toksikologi tambahan pada satu
spesies.
Tabel 1: Contoh Jadwal Pengobatan Obat
Antikanker untuk Mendukung Uji Klinik
Tahap Awal
Jadwal Pengobatan Klinis
Sekali setiap 3 4 minggu
Setiap hari selama 5 hari setiap 3
minggu
Setiap hari selama 5-7 hari,
selang seminggu
Sekali seminggu selama 3
minggu,
1 minggu libur
Dua atau tiga kali seminggu
Setiap hari
Setiap minggu

Contoh Ja
Perngobatan
Dosis tunggal
Setiap hari selama

Setiap hari selama


selang seminggu
Sekali seminggu se
minggu

Dua atau tiga kali


selama 4 minggu
Setiap hari selama
Sekali seminggu un

Tabel 1 menjelaskan Tahap Pemberian Obat. Waktu


penilaian toksisitas dalam studi pra klinik harus
dijustifikasi secara ilmiah berdasarkan pada profil
toksisitas yang telah diperkirakan dan jadwal
1

pengobatan klinis. Sebagai contoh, harus


dipertimbangkan pengorbanan hewan tak lama
setelah tahap pemberian obat untuk memeriksa
toksisitas awal dan pengorbanan hewan pada tahap
berikutnya untuk memeriksa toksisitas yang
terlambat muncul.
Jadwal pemberian yang dijelaskan di tabel tidak
menentukan periode recoveri (Lihat bagian 2.1.4
mengenai pemulihan).
2

Jadwal pengobatan yang dijelaskan dalam tabel ini


harus dimodifikasi untuk molekul dengan efek
farmakodinamik luas, waktu paruh panjang atau
berpotensi menimbulkan reaksi anafilaksis. Selain
itu, harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya
imunogenisitas (Lihat ICH S6)
3

2.2.4. Duration of Toxicology Studies to


Support Continued Clinical Development
and Marketing
The nonclinical data to support Phase I and the
clinical Phase I data would normally be sufficient
for moving to Phase II and into second or first line
therapy in patients with advanced cancer.
In support of continued development of an
anticancer pharmaceutical for patients with
advanced cancer, results from repeat dose
studies of 3 months duration following the
intended clinical schedule should be provided
prior to initiating Phase III studies.
For most pharmaceuticals intended for the
treatment of patients with advanced cancer,
nonclinical studies of 3 months duration are
considered sufficient to support marketing.
When considering a change in the clinical
schedule, an evaluation of the existing clinical
data should be conducted to justify such change.
If the clinical data alone are inadequate to
support the change in schedule, the factors
discussed in Section 3.3 above should be

2.2.4. Durasi Studi Toksikologi untuk


Mendukung Kelanjutan Pengembangan
Klinik dan Pemasaran
Data nonklinik untuk mendukung Phase I dan
data klinik phase I biasanya cukup untuk
melanjutkan ke Phase II dan menjadi terapi lini
pertama atau kedua pada pasien dengan kanker
stadium lanjut.

2.2.4. Durasi Studi Toksikologi untuk


Mendukung Kelanjutan Pengembangan
Klinik dan Pemasaran

Untuk mendukung kelanjutan pengembangan


obat anti kanker untuk pasien dengan kanker
stadium lanjut, hasil dari studi dosis berulang
dengan durasi 3 bulan diharapkan mengikuti
Jadwal pengujian klinik yang telah tersedia
sebelum memulai studi Phase III.

Untuk mendukung kelanjutan pengembangan


obat anti kanker stadium lanjut, hasil dari studi
dosis berulang dengan durasi 3 bulan dan
jadwal pemberian mengikuti jadwal pemberian
klinik harus tersedia sebelum memulai studi
Phase III.

Bagi terlebih obat-obatan diharapkan untuk


pengobatan pasien dengan kanker stadium
lanjut, studi nonclinical dengan durasi 3 bulan
dianggap cukup untuk mendukungnya
pemasaran

Ketika mempertimbangkan perubahan jadwal


pemberian klinik,harus dilakukan evaluasi dan
justifikasi terhadap data klinik yang tersedia.
Jika data klinik saja tidak cukup untuk
mendukung perubahan jadwal pemberian,
faktor-faktor yang dibahas dalam sub bagian
2.2.3 diatas perlu dipertimbangkan.

Ketika mempertimbangkan perubahan jadwal


klinis, evaluasi data klinis harus dilakukan untuk
membenarkan perubahan tersebut.

Data nonklinik untuk mendukung Phase I dan


data klinik phase I biasanya cukup untuk
melanjutkan ke Phase II dan menjadi terapi lini
pertama atau kedua.

considered.

2.2.5. Combination of Pharmaceuticals


Pharmaceuticals planned for use in combination
should be well studied individually in toxicology
evaluations. Data to support a rationale for the
combination should be provided prior to starting
the clinical study. In general, toxicology studies
investigating the safety of combinations of
pharmaceuticals intended to treat patients with
advanced cancer are not warranted.
If the human toxicity profile of the
pharmaceuticals has been characterized, a
nonclinical study evaluating the combination is
not usually warranted. For studies in which at
least one of these compounds is in early stage
development (i.e., the human toxicity profile has
not been characterized), a pharmacology study to
support the rationale for the combination should
be provided. This study should provide evidence
of increased activity in the absence of a
substantial increase in toxicity on the basis of
limited safety endpoints, such as mortality,
clinical signs, and body weight. Based on
available information, a determination should be
made whether or not a dedicated toxicology
study of the combination is warranted.

Jika data klinis saja tidak memadai untuk


mendukung perubahan jadwal, factor-faktor
yang dibahas dalam bagian 3.3 diatas
seharusnya dapat dipertimbangkan kembali.
2.2.5. Kombinasi Obat-obatan
Obat-obatan yang direncanakan untuk
digunakan dalam kombinasi seharusnya
dipelajari dengan baik secara individu dalam
evaluasi toksikologi. Data untuk mendukung
kerasionalan kombinasi seharusnya disediakan
sebelum memulai studi klinik. Secara umum,
studi toksikologi meneliti kemanan kombinasi
obat yang diharapkan untuk pengobatan pasien
dengan tidak berlaku pada penderita kanker
stadium lanjut.
Jika profil toksisitas manusia dari obat-obatan
telah memiliki karaktersisasi, studi nonclinical
mengevaluasi kombinasi biasanya tidak
diperlukan. Untuk studi di mana setidaknya
salah satu dari senyawa ini adalah
pengembangan tahap awal (yaitu, profil
toksisitas manusia belum berkarakterisasi),
harius tersedia sebuah studi farmakologi untuk
mendukung dasar pemikiran untuk kombinasi.
Penelitian ini harus memberikan bukti
peningkatan aktivitas tanpa adanya
peningkatan yang substansial dalam toksisitas
atas dasar endpoint terbatas pada keselamatan,
kematian, tanda-tanda klinis, dan berat badan.
Berdasarkan informasi yang tersedia,
determinasi harus dibuat apakah atau tidak
sebuah studi toksikologi berdedikasi kombinasi
dibenarkan.

2.2.6. Nonclinical Studies to Support Trials


in Pediatric Populations
The general paradigm for investigating most
anticancer pharmaceuticals in pediatric patients
is first to define a relatively safe dose in adult
populations and then to assess some fraction of
that dose in initial pediatric clinical studies. The

2.2.5. Kombinasi Obat-obatan


Obat-obat yang direncanakan untuk digunakan
dalam kombinasi, evaluasi toksikologi dilakukan
terhadap masing-masing komponen obat. Data
untuk mendukung kerasionalan kombinasi harus
tersedia sebelum memulai studi klinik. Secara
umum, studi toksikologi untuk menilai kemanan
kombinasi obat yang ditujukan untuk
pengobatan pasien kanker stadium lanjut, tidak
diperlukan.
Jika profil toksisitas obat-obat pada manusia
telah diketahui, studi non klinik untuk
mengevaluasi kombinasi biasanya tidak
diperlukan.
Jika salah satu obat dalam kombinasi masih
dalam tahap awal pengembangan dan profil
toksisitas pada manusia belum diketahui,
diperlukan studi farmakologi untuk mendukung
rasional penggunaan kombinasi tersebut. Perlu
ada bukti peningkatan aktivitas dan tidak ada
peningkatan toksisitas yang substansial, seperti
kematian, tanda-tanda klinis, dan berat badan.
Berdasarkan informasi yang tersedia, perlu
ditentukan perlu atau tidaknya dilakukan studi
toksikologi obat kombinasi.

2.2.6. Studi Non Klinik untuk Mendukung


Penelitian pada Populasi Pediatrik
Prinsip umum yang pertama untuk menilai
kebanyakan obat kanker pada pasien anak
adalah menentukan dosis, berapa dosis yang
relatif aman pada populasi dewasa dan

10

recommendations for nonclinical testing outlined


elsewhere in this document also apply for this
population. Studies in juvenile animals are not
usually conducted in order to support inclusion of
pediatric populations for the treatment of cancer.
Conduct of studies in juvenile animals should be
considered only when human safety data and
previous animal studies are considered
insufficient for a safety evaluation in the intended
pediatric age group.

kemudian menilai beberapa fraksi dari dosis


tersebut yang digunakan dalam studi klinis
pediatrik awal. Rekomendasi untuk pengujian
nonklinik yang diuraikan dalam dokumen ini
juga berlaku untuk populasi pediatrik.
Studi pada hewan muda (juvenile animal) untuk
mendukung pengobatan kanker pada populasi
pediatrik biasanya tidak dilakukan. Melakukan
studi pada hewan muda dipertimbangkan hanya
ketika data keamanan pada manusia dan studi
hewan sebelumnya dianggap tidak cukup untuk
evaluasi keamanan pada kelompok usia
pediatrik

2.3. Other Considerations (Norita,


Vringga)
2.3.1. Conjugated Products
Conjugated products are pharmaceuticals
covalently bound to carrier molecules, such as
proteins, lipids, or sugars. The safety of
the conjugated material is the primary
concern. The safety of the unconjugated
material, including the linker used, can have
a more limited evaluation. Stability of the
conjugate in the test species and human
plasma should be provided. A
toxicokinetic evaluation should assess
both the conjugated and the unconjugated
compound after administration of the
conjugated material.

2.3. PERTIMBANGAN LAIN-LAIN (Norita,


Vringga)
2.3.1. Produk Terkonjugasi
Produk terkonjugasi adalah obat yang
berikatan kovalen dengan molekul pembawa,
seperti protein, lemak atau gula. Yang menjadi
perhatian utama adalah keamanan bahan
terkonjugasi. Keamanan bahan yang tidak
terkonjugasi, termasuk linker
(penyambung/penaut: glosarium KBBI) yang
digunakan, mungkin hanya sedikit dievaluasi.
Stabilitas konjugat dalam spesies uji dan
plasma manusia harus tersedia. Evaluasi
toksikokinetik harus menilai kedua aspek yaitu
senyawa terkonjugasi dan senyawa yang tidak
terkonjugasi setelah pemberian bahan
terkonjugasi.

2.3.2. Liposomal Products


A complete evaluation of the liposomal
product is not warranted if the
unencapsulated material has been well
characterized. As appropriate, the safety
assessment should include a toxicological
evaluation of the liposomal product and a
limited evaluation of the unencapsulated
pharmaceutical and carrier (e.g., a single

2.3.2. Produk Liposomal


Evaluasi lengkap terhadap produk liposomal
tidak diperlukan jika bahan yang tidak
terenkapsulasi sudah dikenal dengan baik.
Penilaian keamanan harus meliputi evaluasi
toksikologi produk liposomal serta evaluasi
terbatas terhadap obat yang tidak
terenkapsulasi dan bahan pembawanya
(misalnya, single arm pada studi Toksikologi).

11

2.3. PERTIMBANGAN LAIN


2.3.1. Produk Terkonjugasi
Produk terkonjugasi adalah obat yang
berikatan kovalen dengan molekul pembawa,
seperti protein, lemak atau gula. Yang menjadi
perhatian utama adalah keamanan bahan
terkonjugasi. Keamanan bahan yang tidak
terkonjugasi, termasuk linker (penyambung)
yang digunakan, mungkin hanya sedikit
dievaluasi. Data stabilitas konjugat dalam
spesies uji dan plasma manusia harus
tersedia. Evaluasi toksikokinetik harus menilai
kedua aspek yaitu senyawa terkonjugasi dan
senyawa yang tidak terkonjugasi setelah
pemberian bahan terkonjugasi.
2.3.2. Produk Liposomal
Evaluasi lengkap terhadap produk liposomal
tidak diperlukan jika bahan yang tidak
terenkapsulasi sudah dikenal dengan baik.
Penilaian keamanan harus meliputi evaluasi
toksikologi produk liposomal serta evaluasi
terbatas terhadap obat yang tidak
terenkapsulasi dan bahan pembawanya
(misalnya, single arm pada studi Toksikologi).
Evaluasi toksikokinetik perlu dilakukan. Jika
memungkinkan, evaluasi tersebut harus

arm in a toxicology study). The principle


described here might also apply to other
similar carriers. A toxicokinetic evaluation
should be conducted as appropriate. If possible,
such an evaluation should assess both the
liposomal product and the free compound after
administration of the liposomal product.

Prinsip yang dijelaskan di sini mungkin juga


berlaku untuk pembawa lain yang serupa.
Evaluasi toksikokinetik harus dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Jika memungkinkan,
evaluasi tersebut harus menilai keduanya
yaitu produk liposomal maupun senyawa
bebasnya setelah produk liposomal digunakan.

menilai keduanya yaitu produk liposomal


maupun senyawa bebasnya setelah produk
liposomal digunakan.
Prinsip yang dijelaskan di sini mungkin juga
berlaku untuk pembawa lain yang serupa.

2.3.3. Evaluation of Drug Metabolites


In some cases, metabolites that have been
identified in humans have not been
qualified in nonclinical studies. For these
metabolites, a separate evaluation is
generally not warranted for patients with
advanced cancer.

2.3.3. Evaluasi Metabolit Obat


Pada beberapa kasus, metabolit yang
ditemukan pada manusia tidak terkualifikasi
pada studi pra klinik. Untuk metabolit
tersebut, umumnya evaluasi terpisah tidak
diperlukan untuk pasien kanker stadium lanjut.

Pada beberapa kasus, metabolit yang


ditemukan pada manusia tidak terkualifikasi
pada studi non klinik. Untuk metabolit
tersebut, umumnya evaluasi terpisah tidak
diperlukan untuk pasien kanker stadium lanjut.

2.3.4. Evaluation of Impurities


It is recognized that impurity standards
have been based on a negligible risk, as
discussed in ICH Q3A and Q3B. Exceeding
the established limits for impurities
identified in these ICH guidelines
could be appropriate for anticancer
pharmaceuticals, and a justification should
be provided in the marketing application.

2.3.4. Evaluasi Senyawa Pengotor


Standar pengotor ditetapkan berdasarkan
pada pengabaian resiko, seperti pembahasan
dalam ICH Q3A dan Q3B. Melebihi batas yang
telah ditetapkan untuk senyawa pengotor
yang diidentifikasi dalam pedoman ICH bisa
sesuai untuk obat-obat antikanker, dan
justifikasi harus tersedia di dalam berkas
registrasi.

The justification could include the disease


being treated and the patient population,
the nature of the parent pharmaceutical
(pharmacologic properties, genotoxicity and
carcinogenic potential, etc.), duration of
treatment, and the impact of impurity
reduction on manufacturing.

Justifikasi tersebut meliputi penyakit yang


diobati dan populasi pasien, sifat dari obat
induk (sifat farmakologi, genotoksisitas dan
potensi karsinogenik, dll), jangka waktu
pengobatan, serta dampak dari penurunan
pengotor pada pembuatan obat.

Further, the qualification assessment could


include consideration of either the dose or
concentration tested in nonclinical study
relative to clinical levels. For genotoxic
impurities, several approaches have been
used to set limits based on increase in
lifetime risk of cancer. Such limits are not

Selanjutnya, penilaian kualifikasi bisa meliputi


pertimbangan dosis atau konsentrasi yang
diuji dalam studi pra klinik dibandingkan
dengan tahap klinik. Untuk pengotor bersifat
genotoksik, beberapa pendekatan telah
digunakan untuk mengatur batasan

12

2.3.3. Evaluasi Metabolit Obat

2.3.4. Evaluasi Senyawa Pengotor


Adanya pengotor yang melebihi batas yang
telah ditetapkan (dapat merujuk ICH Q3Adan
Q3B) dapat sesuai untuk obat kanker, dan
justifikasi harus tersedia di dalam pengajuan
ijin edar.
Justifikasi tersebut meliputi penyakit yang
diobati dan populasi pasien, sifat dari obat
induk (sifat farmakologi, genotoksisitas dan
potensi karsinogenik, dll), jangka waktu
pengobatan, serta dampak dari penurunan
pengotor pada pembuatan obat.
Selanjutnya, penilaian kualifikasi dapat
meliputi pertimbangan dosis atau konsentrasi
yang diuji dalam studi non klinik dibandingkan
dengan kadar pada pemberian klinik. Untuk
pengotor yang bersifat genotoksik, beberapa
pendekatan telah digunakan untuk mengatur
batas kadar berdasarkan peningkatan resiko
kanker seumur hidup. Batasan tersebut tidak
diperlukan pada obat-obat yang digunakan
untuk mengobati pasien kanker stadium lanjut,
dan justifikasi yang telah dijelaskan di atas
harus dipertimbangkan untuk menetapkan

appropriate for pharmaceuticals intended to


treat patients with advanced cancer, and
justifications described above should be
considered to set higher limits. Impurities
that are also metabolites present in
animal and/or human studies are
generally considered qualified.

berdasarkan peningkatan resiko kanker


seumur hidup. Batasan tersebut tidak
diperlukan pada obat-obat yang digunakan
untuk mengobati pasien kanker stadium lanjut,
dan justifikasi yang telah dijelaskan di atas
harus dipertimbangkan untuk menetapkan
batasan yang lebih tinggi. Pengotor yang
merupakan metabolit yang muncul di studi
pada hewan dan/atau manusia umumnya
dianggap memenuhi syarat.

batas kadar yang lebih tinggi. Pengotor yang


merupakan metabolit yang muncul di studi
pada hewan dan/atau manusia umumnya
dianggap memenuhi syarat.
2.5. Catatan

Untuk studi yang menggunakan hewan nonpengerat, kelompok dosis biasanya terdiri dari
minimal 3 hewan/jenis kelamin/kelompok,
Table 1: Examples of Treatment
dengan tambahan 2 hewan/jenis
Schedules for Anticancer
Tabel 1: Contoh Jadwal Pengobatan Obat
kelamin/kelompok untuk pemulihan, jika sesuai
Pharmaceuticals
Antikanker untuk Mendukung Uji Klinik
(Lihat bagian 2.4). Studi biasanya dilakukan
to Support Initial Clinical Trials
Tahap Awal
terhadap kedua jenis kelamin, harus diberikan
justifikasi apabila studi hanya menggunakan
salah
satu jenis kelamin.
Examples
Contoh
Jadwal
Clinical Schedule
Jadwal Pengobatan Klinis
Treatmen
Perngobatan
Once every 3-4 weeks
Single dose
Sekali setiap 3 4 minggu
Dosis tunggal
Daily for 5 days every 3 weeks
Daily for 5 day Setiap hari selama 5 hari setiap 3 Setiap hari selama 5 hari
Daily for 5-7 days,
Daily for 5-7 d minggu
alternating weeks
weeks (2-dose Setiap hari selama 5-7 hari,
Setiap hari selama 5
selang seminggu
Once a week for 3 weeks, Once a week fo selang seminggu
1 week off
Sekali seminggu selama 3
Sekali seminggu selama 3
minggu
Two or three times a week
Two or three t minggu,
1 minggu libur
weeks
Dua atau tiga kali
Daily
Daily for 4 we Dua atau tiga kali seminggu
selama 4 minggu
Weekly
Once a week fo
Setiap hari
Setiap hari selama 4 minggu
1
Setiap minggu
Sekali seminggu untuk 4 -5 dosis
Table 1 describes the dosing phase. The
timing of the toxicity assessment(s) in the
1
non-clinical studies should be scientifically
Tabel 1 menjelaskan Tahap Pemberian Obat.
justified based on the anticipated toxicity
Waktu penilaian toksisitas dalam studi pra
profile and the clinical schedule. For
klinik harus dijustifikasi secara ilmiah
example, both a sacrifice shortly after the
berdasarkan pada profil toksisitas yang telah
dosing Phase to examine early toxicity and
diperkirakan dan jadwal pengobatan klinis.
a later sacrifice to examine late onset of
Sebagai contoh, harus dipertimbangkan
toxicity should be considered.
pengorbanan hewan tak lama setelah tahap
pemberian obat untuk memeriksa toksisitas
awal dan pengorbanan hewan pada tahap
berikutnya untuk memeriksa toksisitas yang
2
For further discussion regarding
terlambat muncul.

13

flexibility in the relationship of the


clinical schedule and the non-clinical
toxicity studies, see Section 3.3.
3

The treatment schedules described in the


table do not specify recovery periods (see
Section 2.4 and Note 1 regarding recovery).
4

The treatment schedules described in this


table should be modified as appropriate for
molecules with extended pharmacodynamic
effects, long half-lives or potential for
anaphylactic reactions. In addition, the
potential effects of immunogenicity should
be considered (see ICH S6).
NOTES
1. For nonrodent studies, dose groups
usually consist of at least 3
animals/sex/group, with an additional
2/sex/group for recovery, if appropriate (see
Section 2.4). Both sexes should generally be
used, or justification should be given for
specific omissions.

2. A common approach for many small


molecules is to set a start dose at 1/10
the Severely Toxic Dose in 10% of the
animals (STD 10) in rodents. If the nonrodent is the most appropriate species,
then 1/6 the Highest Non-Severely Toxic
Dose (HNSTD) is considered an appropriate
starting dose. The HNSTD is defined as the
highest dose level that does not
produce evidence of lethality, lifethreatening toxicities or irreversible
findings.

Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai


fleksibilitas dalam hubungan antara jadwal
pengobatan klinis dan studi toksisitas pra
klinik, lihat bagian 3.3.
3

Jadwal perawatan yang dijelaskan di tabel


tidak menentukan periode pemulihan (Lihat
bagian 2.4 dan catatan 1 mengenai
pemulihan).
4

Jadwal pengobatan yang dijelaskan dalam


tabel ini harus dimodifikasi untuk molekul
dengan efek farmakodinamik luas, waktu
paruh panjang atau berpotensi menimbulkan
reaksi anafilaksis. Selain itu, harus
dipertimbangkan kemungkinan terjadinya
imunogenisitas (Lihat ICH S6)
CATATAN
1. Untuk studi yang menggunakan hewan nonpengerat, kelompok dosis biasanya terdiri dari
minimal 3 hewan/jenis kelamin/kelompok,
dengan tambahan 2 hewan/jenis
kelamin/kelompok untuk pemulihan, jika
sesuai (Lihat bagian 2.4). Studi biasanya
dilakukan terhadap kedua jenis kelamin, harus
diberikan justifikasi apabila studi hanya
menggunakan salah satu jenis kelamin.
2. Dosis awal yang lazim untuk sebagian besar
molekul kecil adalah 1/10 dosis toksik parah
pada 10% hewan pengerat (Severe Toxic
Dose/STD 10). Jika spesies yang paling cocok
adalah non-pengerat, maka dosis awal yang
lazim digunakan adalah 1/6 dosis toksik tidakparah tertinggi (The Highest Non-Severely Toxic
Dose/HNSTD). HNSTD didefinisikan sebagai
tingkat dosis tertinggi yang terbukti tidak
menimbulkan kematian, toksisitas yang
mengancam jiwa, atau temuan bersifat
ireversibel.

14

15

Anda mungkin juga menyukai