Anda di halaman 1dari 21

BAB I

STATUS PASIEN

I.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. D
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 38 tahun
Alamat
: Cisaat
Pekerjaan
: Pegawai
Status
: Menikah
Suku
: Sunda
Agama
: Islam
Tgl. Masuk RS
: 21 Januari 2016
Jenis Anamnesis
: Autoanamnesis

II.

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri di seluruh lapang perut sejak 4 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
OS mengatakan perutnya terus kembung disertai rasa sakit pada seluruh perut,
nyeri seperti ditusuk-tusuk, sifatnya hilang timbul. OS juga muntah 4 kali sehari, isi
makanan. Mual, batuk, dan demam disangkal. OS merasakan lemas dan nyeri ulu hati.
Untuk nyeri ulu hatinya sudah lama OS rasakan sekitas 2 tahun, tetapi OS selalu
minum obat untuk nyeri hatinya. Nafsu makan berkurang. Sejak 3 hari SMRS OS
mengeluh tidak bisa BAB, Flatus (-). BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
OS pernah mengalami keluhan seperti ini sekitar 1 tahun yang lalu dan hanya
berobat di klinik, ada perbaikan. Riwayat sakit magh (+), riwayat hipertensi (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan yang sama dalam keluarga disangkal, hipertensi (+) pada Ayah.
Riwayat Pengobatan
OS belum pernah minum obat sejak 4 hari SMRS.
Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat atau makanan tertentu.
Riwayat Psikososial
Makan tidak teratur, merokok 3 batang/hari

III.

PEMERIKSAAN FISIK
1

Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: 15 (E4 M6 V5)
Tanda Vital
Suhu
Nadi
Pernapasan
Tekanan Darah

: 37,2o C
: 67 x/mnt
: 20 x/mnt
: 100/70 mmHg

Status Gizi
Antropometri
BB
: 55 kg
TB
: 160 cm
IMT : 21,48 (Normoweight)
Status Generalis
Kepala
: Normochepal
Rambut
: Hitam, tidak rontok, distribusi merata
Kulit
: Ikterik (-), Pucat (-), Eritema (-), Sikatrik (-)
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-)
Alis mata madarosis (-/-)
Sklera Ikterik (-/-)
Refleks Cahaya (+/+)
Pupil Isokhor
Hidung
: Sekret (-/-), Epitaksis (-/-), septum deviasi (-/-), mukosa hiperemis(-/-)
Mulut
: Stomatitis (-)
Leher
: KGB dan kel. Tiroid tidak ada pembesaran
Thorax
Inspeksi : Simetris, Retraksi (-), otot napas tambahan (-), ictus cordis tidak
Palpasi

tampak
: Vocal fremitus antara kanan dan kiri sama, ictus cordis teraba

Perkusi

setinggi ics 5 midclavikula sinistra


: Sonor pada kedua lapang paru, batas paru jantung setinggi ics 4-5

midclavikula sinistra
Auskultasi : Vesikuler (+/+), tidak ada suara napas tambahan, Bunyi jantung I/II
normal, tidak ada bunyi jantung tambahan
Ekstremitas
atas
bawah
Akral
:
hangat/hangat
hangat/hangat
Udem
:
-/-/Krepitasi :
-/-/Nyeri Tekan:
-/-/Status Lokalis : Regio Abdomen
Inspeksi
: Perut distensi, gerakan pernafasan abdomen (-), darm countour (-),
darm steifung (-), sikatriks bekas operasi (-)
2

Auskultasi
Perkusi

: Bising usus (+) menurun , metalic sound (-), borborigmi (-)


: Hipertimpani di seluruh lapang abdomen, pekak hati menghilang,

Palpasi

pekak beralih (-)


: Defans muskular (+), nyeri tekan di seluruh lapang abdomen (+),
reboun tenderness (+)

Status Urologi
Regio Costovetebralis
Inspeksi :
Warna kulit sama dengan sekitarnya, tanda radang (-), hematom (-), alignment
tulang belakang normal, tidak tampak massa tumor
Palpasi :
Massa tumor (-), ballotemen ginjal (-), nyeri tekan costovetebral (-)
Perkusi :
Nyeri ketok (-), CVA (-)
Regio Suprapubic

Inspeksi
:
Kesan datar, tidak tampak massa tumor

Palpasi
:
Nyeri tekan (-), buli-buli tidak teraba, isi terasa koson.
Regio Genitalis Eksterna
Penis
Inspeksi
: warna lebih gelap dari sekitarnya, disunat (+), Ostium Urethra Eksterna
Palpasi

di ujung penis
: massa tumor, nyeri tekan (-)

Scrotum
Inspeksi
Palpasi

: warna lebih gelap dari sekitarnya, udema (-), massa (-)


: tampak dua buah testis, kesan normal, nyeri tekan (-)

Perineum
Inspeksi
Palpasi

: warna sama dengan sekitarnya, tumor (-), tanda-tanda inflamasi (-)


: massa tumor (-), nyeri tekan (-)

Pemeriksaan Rectal Toucher


Spingter ani lemah
Ampula recti kolaps
Permukaan mukosa licin
Pole atas prostat teraba
Nyeri tekan (-)
Tidak teraba massa
Tidak ada darah dan lendir pada handscoon
IV.

RESUME
Anamnesis
3

Pasien laki-laki berumur 34 tahun datang dengan keluhan :


Nyeri di seluruh lapang perut sejak 4 hari SMRS.
perutnya terus kembung disertai rasa sakit pada seluruh perut, nyeri seperti ditusuktusuk, sifatnya hilang timbul.
muntah 4 kali sehari, isi makanan.
Lemas dan nyeri ulu hatinya sudah lama OS rasakan sekitar 2 tahun
Nafsu makan berkurang. tidak bisa BAB.
Pemeriksaan fisik
Status lokalis :
Auskultasi
: BU (+) menurun
Perkusi
: Hipertimpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi
:Defans muskular (+), nyeri tekan di seluruh lapang abdomen
(+), reboun tenderness (+)
V.

DIFFERENT DIAGNOSIS
Peritonitis e.c. Perforasi Gaster
Peritonitis e.c. Perforasi Kolon
Peritonitis e.c. Perforasi Appendisitis

VI.

RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG


Cek laboratorium : Darah rutin, GDS, Ureum, Kreatinin, SGOT, SGPT,
HbsAG.
Foto BNO abdomen 3 posisi

VII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal : 28/11/2015

Jenis Pemeriksaan
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
RDW-SD
PDW
MPV
Differential
LYM %

HEMATOLOGI
Hasil
Nilai Rujukan

Satuan

15,8
*11,5

13.5 17.5
4.8 10.8

g/dL
10^3/uL

47,4
232
540
87,8
29,3
33,3
*45,0
10,0
8,9

42 52
150 450
4.7 6.1
80 94
27 31
33 37
10 15
9 14
8 12

%
10^3/uL
10^6/uL
Fl
Pg
%
Fl
Fl
Fl

*8,7

26 36

%
4

MXO %
NEU %
Absolut
LYM %
MXO %
NEU %

2,3
*89,0

1,0
1.00 1.43
0,3
0.- 1.2
*10,2
1.8 7.6
KIMIA KLINIK
Hasil
Nilai Rujukan

Jenis Pemeriksaan
Glukosa Darah
Glukosa Darah Sewaktu
Fungsi Hati
AST (SGOT)
ASLT (SGPT)
Fungsi Ginjal
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Natrium (Na)
Kalium (K)
Calcium Ion

0 11
40 70

10^3/uL
10^3/uL
10^3/uL
Satuan

*112

70 110

Mg%

29
29

< 40
< 42

U/L
U/L

*63,0
0,7

10 50
0 1.0

Mg%
Mg%

*131,9
135 148
4,37
3.50 5.30
*0,86
1.15 1.29
IMUNOSEROLOGI

Hepatitis Marker
HBsAg

%
%

Non-Reaktif

Non-reaktif

mEq/L
mEq/L
mmol/L
Index

VIII. WORKING DIAGNOSIS


Peritonitis e.c Perforasi Gaster
IX.

RENCANA PENATALAKSANAAN
- Pasang
: NGT dan DC
- Infus Nacl 30 tpm
- Berikan : Metronidazole 3 x 500 mg inf.
- Ceftriaxone 1 x 1 gr
- Instruksikan pasien untuk puasa
- Rencana operasi : Laporotomi explorasi dengan wide excise

X.

ANALISIS KASUS
Dasar diagnosis Peritonitis e.c Perforasi Gaster dari kasus ini adalah:
Laki-laki
umur 34 tahun
Nyeri di seluruh lapang perut
perutnya terus kembung disertai rasa sakit pada seluruh perut, nyeri seperti

ditusuk-tusuk, sifatnya hilang timbul.


muntah 4 kali sehari, isi makanan.
Lemas dan nyeri ulu hatinya sudah lama OS rasakan sekitar 2 tahun
Nafsu makan berkurang. tidak bisa BAB.
Auskultasi : BU (+) menurun.
5

Perkusi
Palpasi

: Hipertimpani di seluruh lapang abdomen.


: Defans muskular (+), nyeri tekan di seluruh lapang abdomen
(+), reboun tenderness (+)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus
visera dalam rongga perut.
Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang
disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri.
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada
permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di
6

antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron
didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus
saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
1.

Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).

2.

Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.

3.

Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.


Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan

kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf
autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan
atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi
bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan
pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti
apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral biasanya
tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan
seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul
karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri
dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan
tepat lokasi nyeri.
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten
dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak
kedua arah. Molekul-molekul yang lebih besar dibersihkan kedalam mesotelium
diafragma dan limfatik melalui stomata kecil. Organ-organ yang terdapat di cavum
peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum,
kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon
ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).
2.2

ANATOMI
Dinding Abdomen
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.
Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis,
7

yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub
kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m.
obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum
abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia
transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri
dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan
oleh linea alba. Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga
perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk
mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot
dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar
dengan meninggikan tekanan intra abdominal. Perdarahan dinding perut berasal dari
beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI
XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a. sircumfleksa
superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi
ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan
gangguan perdarahan.Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh
n.thorakalis VI XII dan n. Lumbalis I.

Gaster
Epitel gaster terdiri dari rugae yang mengandung gastric pit / lekukan berukuran
mikroskopis. Setiap rugae bercabang menjadi empat atau lima kelenjar gaster dari sel
sel epitel khusus. Susunan kelenjar tergantung letak anatominya. Kelenjar di daerah
cardia terdiri < 5 % kelenjar gaster mengandung mucus dan sel sel endokrin.
Sebagian kelenjar terbesar gaster ( 75% ) terletak di dalam mukosa oksintik
mengandung sel sel leher mukosa, parietal, chief, endokrin, dan sel enterokromafin.
Kelenjar pilorik mengandung mucus dan sel sel endokrin ( termasuk sel sel gastrin )
dan di dapati di daerah antrum.
Sel parietal juga dikenal sebagai sel oksintik biasanya didapati di daerah leher
atau isthmus atau kelenjar oksintik. Sel parietal yang tidak terangsang, punya
sitoplasma tubulovesikel dan kanalikuli interselular yang berisi mikrovili berukuran
pendek sepanjang permukaan apical / atas. Enzim H +, K+, ATPase didapati di daerah
tubulovesikel. Bila sel dirangsang, membran ini dan membran apical lainnya diubah
8

menjadi jaringan padat dari kanalikuli interseluler apical yang mengandung mikrovili
ukuran panjang. Sekresi HCl dari kanalikuli ke lumen lambung memerlukan energy
besar berasal dari pemecahan H+, K+, ATP oleh enzim H+, K+, ATPase , terjadi dari
permukaan atas kanalikuli yang dihasilkan 30 40 % jumlah total mitokondria.
2.3

FISIOLOGI
FAKTOR PERTAHANAN MUKOSA GASTRO DUODENAL
Epitel gaster mengalami iritasi terus menerus oleh 2 faktor perusak :
1.

Perusak Endogen ( HCl, pepsinogen / pepsin dan garam empedu )

2.

Perusak Eksogen ( obat obatan, alcohol, bakteri )


Untuk penangkal iritasi tersedia sistem biologi canggih, dalam mempertahankan

keutuhan dan perbaikan mukosa lambung bila timbul kerusakan. Sistem pertahanan
gastroduodenal terdiri dari 3 rintangan yakni : Pre Epitel, Epitel, Post Epitel / Sub
Epitel.
Lapisan pre epitel berisi mucus bikarbonat bekerja sebagai rintangan fisikokemikal
terhadap ion seperti hydrogen, mucus yang disekresi sel epitel permukaan mengandung
95 % air dan mencampur lidip dengan glikoprotein dalam ikatan dengan fosfolipid,
membentuk lapisan penahan air dengan asam lemak yang muncul keluar dari
membrane sel. Bikarbonat memiliki kemampuan mempertahankan perbedaan pH yakni
pH 1 2 di dalam lumen lambung
Lapisan sel epitel permukaan adalah pertahanan kedua dengan kemampuan :
menghasilkan mucus, transportasi ionic sel epitel serta produksi bikarbonat yang dapat
mempertahankan pH interselular 6 7, dan intracellular tight junction.
Sistem mikrovaskular yang rapi di dalam lapisan sub mukosa lambung adalah
komponen kunci dari pertahanan / perbaikan sistem sub epitel. Sirkulasi yang baik
dapat menghasilkan bikarbonat / HCO3 untuk menetralkan HCl, memberikan asupan
nutrient dan oksigen serta membuang hasil metabolic toksik.
2.4

ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi
dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi
tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga
karena trauma abdomen.
a.

Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus,


9

kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.


b.

Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, obat obatan


(OAINS).

Penyebab peritonitis
Esofagus

: Keganasan, Trauma,

Lambung

: Perforasi ulkus peptikum, Keganasan (mis.Adenokarsinoma, limfoma,

tumor stroma gastrointestinal, Trauma, Iatrogenik


Duodenum : Perforasi Tukak Duodeni, Trauma (tumpul dan penetrasi), Iatrogenik
Traktus bilier: Kolesistitis, Perforasi batu dari kandung empedu, Keganasan, Kista
duktus koledokus, Trauma, Iatrogenik.
Pankreas

: Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu empedu), Trauma,

Iatrogenik.
Kolon asendens: Iskemia kolon, Hernia inkarserata, Penyakit Crohn, Keganasan,
Divertikulum Meckel, Trauma
Kolon desendens dan apendiks: Iskemia kolon, Divertikulitis, Keganansan, Kolitis
ulseratif dan penyakit Crohn, appendicitis, trauma, iatrogenic.
Salping uterus dan ovarium: Pelvic inflammatory disease, keganasan, trauma.
Ket. Penyebab iatrogenik umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian atas,
termasuk pankreas, saluran empedu, dan kolon. Kadang bisa juga berasal dari trauma
endoskopi. Jahitan operasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab tersering
terjadinya peritonitis.
Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden peritonitis
sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi) seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk
penyakit inflamasi (mis. apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko
kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko ini dapat
meningkat hingga lebih dari 50% pada penyakit kolon gangren dan perforasi viseral.
Setelah operasi trauma abdomen juga dapat mengakibatkan peritonitis sekunder dan
abses. Risiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses juga makin tinggi dengan
adanya keterlibatan duodenum, pankreas, perforasi kolon, kontaminsai peritoneal, syok
perioperatif, dan transfusi yang masif.
Sebagaimana disebutkan di atas, bentuk peritonitis yang paling sering ialah
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan
karena infeksi intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat
10

penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal
sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi
bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami
komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi
risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi
yang rendah antarmolekul komponen asites.
Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Patogen
yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40%
Eschericia coli, 7% Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus, dan gram
negatif lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus
pneumoniae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus sebesar
3%. Pada kurang dari 5% kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari
semua kasus, 10% mengandung infeksi campur beberapa mikroorganisme.
Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi,
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan
inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab
asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri
gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi
asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi gram negatif.
Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan ratusan bakteri dan
jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung gabungan
bakteri aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif.
Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan
mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan
spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian
cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien seperti ini.
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal
dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau
flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien
dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais.
Meskipun jarang ditemui bentuk infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden terjadi
11

peritonitis tersier yang membutuhkan IVU akibat infeksi abdomen berat tergolong
tinggi di USA, yakni 50-74%. Lebih dari 95% pasien peritonitis didahului dengan asite,
dan lebih dari stengah pasien mengalami gejala klinis yang sangat mirip asites.
Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya tidak diduga akan
mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan
bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu komplikasi penyakit TB.
Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni peritonitis
steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia,
misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi
transmural dari organ-organ dalam (mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi
bakteri di rongga abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan
pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.
Helicobacter pylori

12

Secara morfologi bakteri Helicobacter pylori mempunyai sifat sebagai berikut :


Gram negatif, berbentuk spiral ( huruf S atau C dengan kurva pendek ),
dengan lebar 0,5 1,0 mikrometer dan panjang 3 mikrometer, dan
mempunyai 4 6 flagella. Kadang kadang berbentuk batang kecil atau
cocoid berkelompok.
Bersifat

microaerophilic,

tumbuh

baik

dalam

suasana

lingkungan

yang

mengandung 02 5%, CO2 5 10% pada temperatur 37oC selama 16 19 hari


dalam media agar basa dengan kandungan 7% eritrosit kuda dan dengan pH 6,7
8 serta tahan beberapa saat dalam suasana sitotoksin seperti ph 1,5.
13

Menghasilkan beberapa macam enzym yang bersifat sitotoksin seperti; urease dalam
jumlah yang berlebihan, 100x lebih aktif dari yang dihasilkan bakteri proteus
vulgaris dan bakteri penghasil urease yang lain, Protease yang diperkirakan
merusak lapisan mukus, Esterase, Pospolipase A dan C, phospatase.
Menghasilkan VAC ( Vacuolating cytotoxin cell )
Disamping itu juga mengandung protein somatik cytotoxin 120 130 kD yang
bersifat antigenik yang dapat merusak endotel dan merangsang imun dalam
pembentukan Imunoglobulin A, G ( G1, 2, 4 ) dan M.
Mengeluarkan platelet activating factor dan chemotactic substance
Bakteri ini khususnya resisten terhadap Trimetroprim dan sensitif terhadap
Penisilin dan Metronidazole.
2.5

PATOFISOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai
pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan
menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran.
Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan
kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai
respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara
retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi
awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Udema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut

14

meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit
dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian
menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang
berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari
organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon
yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat.
Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi
perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan
bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala
akut abdomen karena perangsangan peritonium.
Efek samping OAINS pada saluran cerna tidak terbatas pada lambung. Efek
samping pada lambung memang yang paling sering terjadi. OAINS merusak mukosa
lambung melalui 2 mekanisme yakni : topikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara
topikal terjadi karena OAINS bersifat asam dan lipofilik, sehingga mempermudah
trapping ion hidrogen masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan. Efek sistemik
OAINS tampaknya lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi
prostaglandin menurun karena OAINS secara bermakna menekan prostaglandin.
Seperti diketahui prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif yang amat penting
bagi mukosa lambung. Efeks sitoproteksi ini dilakukan dengan cara menjaga aliran
darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkatkan
epithelial defense. Aliran darah mukosa yang menurun menimbulkan adhesi netrolit
pada endotel pembuluh darah mukosa dan memacu lebih jauh proses imunologis.
Radikal bebas dan protease yang dilepaskan akibat proses imunologis tersebut akan
merusak mukosa lambung.
2.6

KLASIFIKASI
15

Berdasarkan

patogenesis

peritonitis

dapat

diklasifikasikan

sebagai

berikut:

A. Peritonitis bakterial primer


Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis
bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1.Spesifik : misalnya Tuberculosis
2.Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis, Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
B. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa).
Peritonitis

yang

mengikuti

suatu

infeksi

akut

atau

perforasi

tractus

gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides,
dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu
luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.
Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh
bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
C. Peritonitis tersier, misalnya:
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya
empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
16

D. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis.


- Aseptik/steril peritonitis
- Granulomatous peritonitis
- Hiperlipidemik peritonitis
- Talkum peritonitis
2.7

MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.
Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium
dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan
seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.

2.8.

DIAGNOSIS
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis,
pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
A.

Gambaran klinis.
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis

organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum.
Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya
nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau
menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu
adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita
perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian
abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan
penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain
nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok
(hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan
17

abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus
melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama
dengan peritonitis bakterial.
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya
keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang
peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat,
demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.
B. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil
tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
C. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto
polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1.Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior ( AP ).
2.Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3.Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
Proyeksi AP.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto
polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto
polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum,
pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah :
1.

Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang,


dan kekaburan pada cavum abdomen.
18

2.

Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit
(semilunair shadow).

3.

Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling
tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan
dinding abdomen.

Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas
subdiafragma atau intra peritoneal
2.9

TERAPI
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik
(apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah
keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi,
dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah
harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
19

terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik


(misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan
bakteria menyebar ketempat lain. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak
dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum
peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase
berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula)
dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2.10

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis,
kolesistitis, kehamilan ektopik terganggu, dll.

2.11

KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a.

Komplikasi dini
- Septikemia dan syok septik
- Syok hipovolemik
- Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multi sistem
- Abses residual intraperitoneal
- Portal Pyemia (misal abses hepar)

b.

2.12

Komplikasi lanjut
-

Adhesi

Obstruksi intestinal rekuren

PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan yaitu :
Quo et vitam bonam
Quo et Sanasionam dubia bonam
Qou et Fungsionam bonam
Sedangkan pada peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme
virulen :
20

Quo et vitam dubia malam


Quo et Sanasionam dubia malam
Qou et Fungsionam dubia malam

DAFTAR PUSTAKA
Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta
Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,1989.
Zinner, J. Michael, Maingots Abdominal Operations, Volume I, Appleton &
Lange, A Simon & Schuster Company.1997.(640-650).
http://emedicine.medscape.com/article/1952823-overview. (diakses tanggal19-2-2012)
21

Anda mungkin juga menyukai