Hubungan Kelebihan BB Dengan Kelainan Faal Paru
Hubungan Kelebihan BB Dengan Kelainan Faal Paru
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Masalah pangan yang dihadapi penduduk dunia bukan hanya kelaparan,
lebih dari satu diantara sepuluh populasi orang dewasa mengalami obesitas
(WHO, 2012). Prevalensi global telah meningkat drastis di sebagian besar negara
selama 20 tahun terakhir (Mary, 2009).
Menurut WHO, kegemukan yang berlebihan ini menjadi penyebab utama
munculnya risiko penyakit kronis membuat tiga juta orang di seluruh dunia
mengalami kematian dini setiap tahun karena stroke, penyakit jantung koroner,
tekanan darah tinggi (hipertensi), kencing manis (Diabetes Melitus), fungsi paru,
kanker dan berbagai jenis penyakit lainnya pada orang dewasa dan juga dapat
menimbulkan masalah estetika.
Tantangan masa depan gizi di Indonesia sangat unik. Indonesia masih akan
menghadapi masalah-masalah gizi kurang, sementara di sisi lain Indonesia juga
harus segera memerangi masalah obesitas yang jumlahnya terus menunjukkan
peningkatan. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 mengungkapkan bahwa jumlah
balita penderita gizi buruk mencapai 17%, sedangkan jumlah balita penderita
obesitas sudah mencapai 14% (Tribun Medan, 2011). Ratio kegemukan dan
kelebihan berat badan lebih tinggi di kota-kota besar, artinya ini sangat erat
kaitannya dengan gaya hidup : orang-orang lebih sering tidak aktif, sehingga
meningkatkan jumlah kalori pada diet mereka dan kurang berolahraga (Health
Messenger, 2008).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2010), status gizi pada kelompok
dewasa di atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah
kurus juga masih cukup tinggi. Angka obesitas pada perempuan cenderung lebih
tinggi dibanding laki-laki. Berdasarkan karakteristik masalah obesitas cenderung
lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan, berpendidikan lebih tinggi
dan pada kelompok status ekonomi yang tertinggi pula. Berdasarkan Persentase
Status Gizi Penduduk Dewasa (>18 Tahun) Menurut Kategori IMT, Jenis
Kelamin, dan Provinsi, Riskesdas 2010, di Aceh pada laki-laki ada sebesar 10,0 %
yang mengalami berat badan lebih dan 7,9 % yang mengalami obesitas.
Sedangkan pada perempuan sebesar 11,8 % yang mengalami berat badan lebih
dan 18,8 % yang mengalami obesitas.
Selama tahun 1990-an, peranan lemak yang berlebihan pada paru-paru
merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan
obesitas karena keterkaitannya dengan napas yang pendek, sleep apnea (henti
napas sewaktu tidur) dan morbiditas psikososial yang terjadi bersamaan (Michael
dkk, 2009). Menurut Laksmi dan Manasye (2007), gangguan seperti ini lamalama bisa menyebabkan gagal jantung hingga berujung pada kematian.
Kelebihan lemak dapat menyebabkan tertekannya saluran pernapasan yang
bisa menyebabkan sleep apnea, yaitu terhentinya napas saat tidur. Bahkan dapat
juga menyebabkan gagal jantung dan berujung pada kematian. Sebuah studi di
Ottawa terhadap 50 perempuan penderita obesitas menunjukkan bahwa ketika
mereka mengalami penurunan berat badan sebesar 10%, fungsi paru nya akan
meningkat sebesar 5% dan ketika mereka kehilangan 25 % dari bobotnya semula,
kekuatan bernapasnya akan meningkat 10% (Priandini, 2010).
Obesitas memberikan beban tambahan pada thoraks dan abdomen berupa
peregangan berlebihan. Otot-otot pernapasan bekerja lebih keras. Beban kerja
pernapasan merupakan jumlah energi yang dibutuhkan dalam proses pernapasan.
Jumlah energi diukur dengan banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot-otot
pernapasan untuk tiap liter ventilasi. Semakin besar indeks massa tubuh, kian
berat kerja pernapasan. Beban kerja pernapasan pada obesitas meningkat 60%;
obesitas berat 250% (Timmreck, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Jaowenny (2001) terhadap 699 responden di
RSUP Dr. Kariadi menyimpulkan bahwa sebanyak 151 orang menderita obesitas,
144 orang diantaranya mempunyai nilai kapasitas vital (KV) paru yang menurun.
Sedangkan untuk nilai kapasitas vital paksa (KVP) sebanyak 171 orang yang
mengalami overweight, 153 orang diantaranya mengalami nilai KVP yang
menurun Untuk orang yang mengalami obesitas, dari 151 penderita obesitas, ada
sebanyak 144 orang yang mengalami penurunan nilai KVP.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jelas
hubungan kelebihan berat badan dengan faal paru yang meliputi nilai kapasitas
vital (KV) paru, kapasitas vital paksa (KVP) paru dan volume ekspirasi paksa 1
detik (VEP1) pada mahasiswa Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti mengangkat permasalahan
sebagai berikut :
Bagaimana hubungan kelebihan berat badan dengan faal paru?
Apakah ada hubungan antara kelebihan berat badan dengan kapasitas
vital (KV)?
Apakah ada hubungan antara kelebihan berat badan dengan kapasitas
1.3.
TUJUAN PENELITIAN
Sehubungan dengan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
1.3.1. Tujuan Umum
MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk :
1. Pemerintah dan Praktisi Kesehatan
Sebagai sumber informasi bagi pemerintah dan praktisi kesehatan agar
lebih memperhatikan masalah kesehatan berupa kelebihan berat badan
karena mempunyai dampak yang besar, termasuk perubahan dan gangguan
pada sistem respirasi.
2. Subjek Penelitian
Mengetahui keadaan status gizi dan fungsi paru, sehingga dapat
melakukan pencegahan dan penanganan kelebihan berat badan yang
mempengaruhi fungsi paru.
3. Peneliti Lain
Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya.
4. Penulis
Untuk menambah wawasan mengenai kelebihan berat badan dan fungsi
tidak
melakukan
aktivitas
fisik
yang
seimbang
dan
hormon
polipeptida yang disebut leptin. Leptin bekerja sebagai faktor antiobesitas dengan
berikatan
dengan
reseptor
leptin
di
hipotalamus
untuk
kemudian
dalam jumlah berlebihan, berupa fatty in growth pada jaringan subepicard dan
pankreas. Juga hati menunjukkan penimbunan lemak, tetapi bukan perlemakan
seperti gizi buruk.28
2.1.4. Penegakan Diagnosa pada Pasien dengan Obesitas
Menurut Hidajat dkk (2006), cara pemeriksaan pasien pada orang obesitas
adalah:
1) Anamnesis:
a) Saat mulainya timbul obesitas: prenatal, early adiposity rebound,
remaja.
b) Riwayat tumbuh kembang (mendukung obesitas endogenous).
c) Adanya keluhan: ngorok (snoring), restless sleep, nyeri pinggul.
d) Riwayat gaya hidup:
Pola makan/kebiasaan makan
Pola aktifitas fisik: sering menonton televisi
e) Riwayat keluarga dengan obesitas (faktor genetik), yang disertai
dengan resiko seperti penyakit kardiovaskuler di usia muda,
hiperkolesterolemia, hipertensi dan diabetes melitus tipe II.
2) Pemeriksaan fisik: Adanya gejala klinis obesitas seperti diatas.
3) Pemeriksaan penunjang: analisis diet, laboratoris, radiologis,
ekokardiografi dan tes fungsi paru (jika ada tanda-tanda kelainan).
4) Pemeriksaan antropometri:
a) Pengukuran berat badan (BB) dibandingkan berat badan ideal (BBI). BBI
adalah berat badan menurut tinggi badan ideal. Disebut obesitas bila BB >
b)
120% BB Ideal.
Pengukuran indeks massa tubuh (IMT). Obesitas bila IMT P > 95 kurva
c)
d)
Obesitas dapat dinilai secara layak hanya dengan melihat postur tubuh.
Jika diperlukan analisis yang lebih akurat, dapat dihitung rasio tinggi badan
terhadap berat badan dan mengukur ketebalan lipatan kulit (David dan Derek,
2008). The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) menerbitkan
panduan federal pertama mengenai identifikasi, evaluasi, dan terapi overweight,
serta obesitas pada orang dewasa pada tahun 1998. Menurut panduan ini,
penilaian overweight melibatkan evaluasi tiga ukuran penting yaitu (Brenna dkk,
2011) :
1. Indeks Massa Tubuh : suatu cara penilaian terhadap berat badan.
Semua pasien obesitas harus dihitung IMT-nya. Pehitungan IMT untuk
memperkirakan total lemak tubuh lebih baik daripada mengukur berat
badannya saja (Chaula, 2007). Persoalan keterbatasan IMT sebagai
ukuran kegemukan menjadi masalah yang semakin penting pada usia
lanjut. Untuk nilai IMT tertentu, wanita berusia lanjut cenderung
memiliki massa lemak yang lebih banyak dengan jumlah otot dan lean
body mass yang berkurang jika dibandingkan dengan wanita muda
(Michael dkk, 2009). IMT diperoleh dari perbandingan antara berat
badan
dan
tinggi
badan
atau
dirumuskan
Klasifikasi
Berat Badan Kurang
Kisaran Normal
Berat Badan Lebih
IMT(kg/m2)
< 18,5
18,5 24,9
> 25
Pra-Obes
25,0 29,9
Obes Tingkat I
30,0 34,9
Obes Tingkat II
35,0 39,9
> 40
berat badannya.
Mempertahankan penurunan berat badan yang telah dicapai, dengan
tidak mampu untuk mencapai penurunan berat badan yang signifikan, pencegahan
kenaikan berat badan lebih lanjut merupakan tujuan yang paling penting. Pasien
seperti ini tetap diikutsertakan dalam program manajemen berat badan (Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid III, 2009).
Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu
diet rendah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah.
1. Terapi diet
Terapi diet atau terapi nutrisi meliputi penyuluhan kepada pasien mengenai
cara memodifikasi makanan untuk mengurangi asupan kalori. Elemen penting
yang dianjurkan saat ini adalah penurunan kalori secara bertahap untuk mencapai
penurunan berat badan secara perlahan dan progresif sebesar 1 sampai 2 pon per
minggu. Kalori hanya boleh diturunkan hingga ke tingkat yang dibutuhkan untuk
mencapai berat badan yang diidamkan. Ukuran rata-rata makanan untuk
perempuan adalah 1200kal/hari; untuk perempuan yang lebih besar dan laki-laki,
sekitar 1400 sampai 1600 kal/hari. Rencana makanan kurang dari 1200/kal
mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan nutrisi. Umumnya, dibutuhkan
penurunan sebesar 1000 kal/hari untuk menurunkan sekitar 2 lb/minggu;
penurunan 500 kalori 1 lb/minggu. Selain itu, pengurangan asupan lemak hingga
lebih kecil dari 30% kalori total lebih banyak lagi menurunkan berat badan
banyak dan membantu memperbaiki kadar lipid (Brenna dkk. 2011).
Perubahan pola makan adalah suatu cara untuk menurunkan berat badan,
tetapi tidak mampu menjaga berat badan dengan baik. Penurunan massa otot dapat
pula menurunkan metabolisme dan menurunkan pengeluaran energi, sehingga
menyebabkan kebutuhan energi yang lebih rendah. Asupan kalori minimal 1200
kkal perhari harus diterapkan pada wanita. Sangat disarankan pada pasien yang
berkurang.
Aktivitas berat juga menghasilkan peningkatan laju metabolik setelah berolahraga,
penting
untuk
meningkatkan
pengeluaran
energi,
Diet yang tepat perlu disertai dengan modifikasi perilaku. Pada dasarnya,
modifikasi perilaku adalah upaya mendisplinkan diri untuk menghindari
kebiasaan makan yang tidak seimbang. Modifikasi perilaku mengharuskan agar
makanan hanya tersedia di tempat-tempat yang terbatas dengan jumlah
secukupnya (Faisal dan Ali, 2009).
Kebiasaan menonton televisi sambil ngemil juga harus dikurangi.
Umumnya, snack menjadi makanan selingan yang sering dikonsumsi secara
berlebihan pada saat kita menonton televisi. Kegiatan menonton televisi yang
termasuk aktivitas ringan harus diimbangi dengan aktivitas fisik lain yang bersifat
lebih menghabiskan energi. Oleh karena itu, sebaiknya, kita melakukan olahraga
tiga kali seminggu, masing-masing selama 50 60 menit (Anwar dan Khomsan,
2009).
Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya,
diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi
diet dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri
terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control,
pemecahan masalah, contigency management, cognitive restructuring dan
dukungan sosial (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, 2009).
Terapi perilaku turut menunjang rencana penurunan asupan makanan dan
meningkatkan aktivitas fisik. Terapi perilaku bertujuan mengatasi hambatan untuk
mematuhi kebiasaan makan dan melakukan aktivitas. Penurunan berat badan
jangka panjang sering tidak berhasil kecuali diterapkan kebiasaan baru. Beberapa
asumsi utama yang dapat diterapkan dalam terapi perilaku adalah sebagai berikut
(Brenna, 2011) :
badan .
Perilaku makan dan aktivitas fisik dapat dipelajari dan dimodifikasi.
Lingkungan harus diubah untuk mengubah pola.
Berbagai strategi harus digunakan untuk memodifikasi perilaku karena
tidak ada satu metode yang paling baik daripada yang lain (Barasi, 2011) :
Memantau sendiri aktivitas makan dan fisik Strategi ini meliputi pencatatan
jumlah, jenis makanan, nilai kalori dan komposisi nutrien makanan yang dimakan,
serta frekuensi, intensitas, dan jenis aktivitas fisk yang dilakukan setiap hari.
meredakan stres.
Pengendalian stimulus Strategi ini melibatkan pengenalan rangsang yang
mendorong makan insidental (tidak direncanakan) dan pembatasan rangsang
tersebut.
Pemecahan masalah Strategi ini meliputi identifikasi masalah berat badan dan
akal.
Dukungan sosial Sistem dukungan yang kuat membantu memberikan dukungan
emosional yang dibutuhkan untuk menurunkan berat badan. Melibatkan teman
dan keluarga dalam aktivitas fisik, dan diet atau ikut bergabung dalam satu
kelompok pendukung dapat memberi manfaat yang besar.
4. Obat-obatan/Bedah
Selain dari gaya hidup yang sehat, obesitas bisa diantisipasi melalui diet
farmakoterapi, salah satunya dengan menggunakan diethylpropion. Dari beberapa
penelitian jangka panjang, diethylpropion bermanfaat dalam menurunkan berat
badan dan menghindari risiko dari obesitas. Hal tersebut terbukti di dalam studi
yang dilakukan Cercato C dan tim, yang dipublikasikan di International Journal
Obesity Agustus 2009. Hasilnya, setelah 6 bulan pemberian, kelompok
diethylpropion mengalami penurunan berat badan 9,8% dibandingkan placebo
yang hanya 3,2% (Ethical Digest, 2011).
Terapi obat harus dipertimbangkan sebagai tambahan dalam terapi nutrisi,
peningkatan aktivitas, dan terapi perilaku jika setelah enam bulan pasien tidak
menunjukkan penurunan berat badan yang dianjurkan, 1 lb per minggu. Obatobatan menghasilkan penurunan berat badan yang sedang yaitu 4,4 sampai 22 lb
dalam 6 bulan pertama dan membantu mempertahankan penurunan berat badan.
Namun, kebanyakan penelitian menunjukkan adanya peningkatan berat badan
yang cepat setelah obat dihentikan. Jika terapi obat terbukti efektif dan efek
sampingnya dapat diatasi, terapi dapat diteruskan untuk jangka waktu lama;
namun, tidak ada yang tahu berapa lama terapi obat dapat dipertahankan secara
aman. Karena hanya ada sedikit penelitian jangka panjang mengenai keamanan
dan efektivitas penurunan berat badan dengan obat, terapi ini hanya boleh
digunakan pada pasien yang berisiko tinggi menderita penyakit akibat kelebihan
berat badannya (Brenna dkk, 2011).
Obat penekan nafsu makan atau anorektik, dibagi dua yaitu :
1. Stimulan sentral (misalnya amfetamin) yang bekerja pada jalur katekolamin. Obat
ini menyebabkan pasien makan lebih sedikit dan membantu menjadi lebih aktif
melalui stimulasi sentral.
2. Stimulan lain seperti diethylpropion (amfepramone), mazidol, phentermine dan
phenylpropanolamine. Obat generasi yang lebih baru, misalnya orlistat dan
sibutramine. Orlistat, suatu penghambat lipase, bekerja dengan membatasi
penyerapan lemak dalam tubuh. Harus disertai dengan diet, untuk memperoleh
efek terbaik. Sirbutramine bekerja secara sistemik dengan dua cara, yaitu : 1)
mempengaruhi selera makan yang menyebabkan bertahannya sensasi rasa
kenyang. Sensasi kenyang akan membatasi asupan makanan. 2) mendorong
pengeluaran energi dan membatasi tingkat metabolisme yang menurun, seiring
dengan penurunan berat badan. Kerja utama sirbutramin adalah menghambat reuptake monoamine, memblok re-uptake dari norephineprin serta serotonin. Obat
anti obesitas seperti fentermin digunakan terutama untuk efek anorektik yang
dimilikinya. Obat ini membuat pasien makan lebih sedikit dan membantu untuk
lebih aktif melalui stimulasi sentral. Penggunaan obat harus hati-hati, karena dapat
menyebabkan hipertensi pulmonal atau defek katup jantung. Terutama bila
diberikan bersama fenfluramin atau deksenfluramin (Ethical Digest, 2008).
Sibutramine dan orlistat merupakan obat-obatan penurun berat badan yang
telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat, untuk penggunaan jangka panjang.
Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat berguna.
Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif
menurunkan
berat
badan
dan
mempertahankannya.
Dengan
pemberian
kantong bagian atas menjadi sekitar 1 cm, yang menunda pengosongan lambung.
Setelah beberapa waktu, kantong dapat diregangkan untuk menahan makanan
lebih banyak. Dalam proses adjustable gastric banding, pembalut dari silikon karet
ditempatkan di sekeliling bagian atas lambung, membentuk kantong kecil dengan
lubang sempit ke dalam bagian lambung yang lebih besar. Pembalut tersebut dapat
dikembangkan atau dikempiskan menggunakan larutan salin lewat slang yang
terhubung dengan akses di bawah kulit sehingga ukuran lubang lambung dapat
bedah dan dianjurkan untuk penurunan berat badan dan jangka panjang.
Pengalihan biliopankreatik Prosedur ini merupakan operasi yang lebih sulit;
bagian bawah lambung dibuang dan kantong yang tersisa dihubungkan dengan
segmen terminal usus halus sehingga memintas duodenum dan yeyunum. Operasi
jenis ini jarang digunakan karena menyebabkan defisiensi nutrisi. Pasien yang
menjalani pengalihan biliopankreatik harus mendapat suplemen vitamin larut
lemak (A,D,E, dan K). Pada versi modifikasinya, bagian lambung yang lebih
besar dan katup pilorus tetap ada sehingga pergerakan isi lambung ke dalam
duodenum dapat dikendalikan. Dengan variasi ini, pasien dapat lebih banyak
makanan daripada mengikuti prosedur lain.
2.1.6. Komplikasi Obesitas
arterosklerosis. Arterosklerosis
akan
memperkecil
diameter
1.2.1.2.
kemudian melintasi plasma darah, selanjutnya menembus dinding sel darah merah
dan akhirnya masuk ke interior sel darah merah sampai berikatan dengan
hemoglobin (Djojodibroto, 2009).
Gas berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler paru atau sebaliknya
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis yang dibentuk oleh epitel pulmonal
endotel kapiler serta membrana basalis masing-masing yang berfusi. Tercapai atau
tidaknya keseimbangan senyawa yang melintas dari alveoli ke dalam darah
kapiler dalam waktu 0,75 detik yang diperlukan darah untuk melewati kapiler
paru pada saat istirahat bergantung pada reaksinya dengan senyawa dalam darah
(Ganong, 2006). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih antara
tekanan parsial antara darah dan fase gas.
Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada permukaan laut besarnya
sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Pada waktu O2 sampai di trakea,
tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai 149 mmHg karena
dihangatkan dan dilembabkan di jalan napas. Tekanan parsial O 2 yang diinspirasi
akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat mencapai alveoli karena tercampur
dengan udara dalam ruang mati (dead space) anatomik pada saluran napas. Hanya
udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif. Tekanan
parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler paru kira-kira sebesar 40
mmHg. PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2=103
mmHg) sehingga O2 mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan
antara darah dan PaCO2 yang jauh lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan CO2
berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer, yang
konsentrasinya pada hakekatnya nol. Kendati selisih CO2 antara darah dan
alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena dapat berdifusi melintasi
membrana alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih cepat dibandingkan dengan O 2
karena daya larutnya lebih besar (Price dan Wilson, 2006).
Faktor
Pengaruh
Pertukaran
pada
Kecepatan Komentar
Gas
Melintasi
Membran Alveolus
Gradien
tekanan Kecepatan
gradien pertukaran.
membran alveolus
meningkat
jika
permukaan meningkat.
pada
keadaan
patologis
Ketebalan
sawar Kecepatan
pertukaran Normal
jika
->
membran alveolus
patologis.
(daya
larut
difusi Kecepatan
gas meningkat
dalam membran)
ketebalan
Koefisien
->
pada
keadaan
difusi meningkat.
koefisien dari
O2
mengimbangi
1.2.1.3.
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran darah)
dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit pulmonar harus
sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam keadaan istirahat,
ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru. Sirkulasi
pulmonar dengan tekanan dan resistensi mengakibatkan aliran darah di basis paru
lebih besar daripada di bagian apeks paru, disebabkan pengaruh gaya tarik bumi.
Namun, ventilasinya cukup merata (Price dan Wilson, 2006).
Walaupun secara normal beberapa alveolus tetap terisi, dan terutama pada
banyak penyakit paru, sebagian daerah paru terventilasi secara baik tetapi hampir
tidak mempunyai aliran darah, sedangkan daerah yang lain mungkin mempunyai
aliran darah yang sangat baik tapi ventilasinya sedikit atau tidak ada. Pada
kondisi-kondisi ini, pertukaran gas melalui membran pernapasan sangat
terganggu, dan seseorang dapat menderita distres pernapasan yang berat walaupun
ventilasi total dan aliran darah paru totalnya normal, tetapi dengan ventilasi dan
aliran darah yang mengalir ke bagian paru yang lain. Oleh karena itu, konsep yang
sangat kuantitatif telah dikembangkan untuk membantu memahami mengenai
pertukaran pernapasan bila terdapat ketidakseimbangan antara ventilasi alveolus
dan aliran darah alveolus. Konsep ini disebut rasio ventilasi-perfusi.
Secara kuantitatif, rasio ventilasi-perfusi dinyatakan sebagai VA/Q. Bila VA
(Ventilasi Alveolus) adalah normal untuk alveolus tertentu dan Q (aliran darah)
juga normal pada alveolus yang sama, maka rasio ventilasi-perfusi (VA/Q) juga
dikatakan normal (Guyton dan Hall, 2008).
Pada orang normal, ventilasi istirahat biasanya sekitar 6 L/mnt. Sekitar
sepertiga dari jumlah ini mengisi saluran napas penghubung dan membentuk
ruang mati (dead space) atau wasted ventilation. Karena itu, ventilasi alveolus
pada keadaan istirahat menjadi sekitar 4 L/mnt, sementara aliran darah paru
adalah sekitar 5 L/mnt. Hal ini menghasilkan rasio keseluruhan ventilasi terhadap
perfusi sebesar 0,8 (Mcphee dan Ganong, 2011).
Kalau rasio VA/Q cocok, darah kotor dari sistem vena akan kembali ke
ventrikel kanan dan kemudian melalui arteri pulmonalis memasuki paru-paru
dengan membawa karbondioksida. Pembuluh arteri bercabang menjadi kapiler
alveolar tempat pertukaran gas terjadi (Kowalak dkk, 2012).
Perubahan distribusi rasio ventilasi terhadap perfusi merupakan hal yang
sangat penting dan menjadi gangguan fungsional yang mendasari banyak penyakit
(Mcphee dan Ganong, 2011). Menurut Price dan Wilson (2006), terdapat tiga unit
pernapasan abnormal secara teoretis, yaitu:
a) Unit ruang mati (dead space unit) bila terdapat ventilasi yang adekuat (V A) tapi
perfusinya nol (Q), maka rasionya (VA/Q) adalah tak terhingga, tidak terjadi
pertukaran gas melalui membran pernapasan pada alveoli yang terkena (Guyton
dan Hall, 2008). Kalau rasio VA/Q tinggi, ventilasi berjalan normal tetapi, perfusi
alveoli menurun. Keadaan ini terjadi karena defek perfusi, seperti emboli paru
atau gangguan yang menurunkan curah jantung (Kowalak, 2012).
b) Unit pirau (shunt unit) bila ventilasi (VA) nol namun masih ada perfusi (Q) pada
alveolus, maka rasio ventilasi-perfusinya adalah nol (Guyton dan Hall, 2008).
Kalau rasio VA/Q rendah, sirkulasi pulmoner adekuat, tetapi tidak terdapat cukup
oksigen untuk difusi yang normal. Bagian darah yang mengalir melalui pembuluh
darah paru tidak mengalami oksigenasi (Kowalak dkk, 2012).
c) Unit diam (silent unit) saat tidak terdapat ventilasi maupun perfusi. Bagian darah
yang mengalir melalui pembuluh darah paru tidak mengalami oksigenasi
(Kowalak, 2012).
Transportasi Gas
Transportasi adalah proses perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari
1.2.1.4.
Gas
Persentase
yang
Diangkut
CO2
1,5
Terikat ke Hemoglobin
98,5
10
Terikat ke hemoglobin
30
60
dikeluarkan seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara
maksimum dan kemudian mengeluarkan sebanyak-banyaknya (kira-kira 4600 ml).
d) Kapasitas paru total adalah volume maksimum yang dapat mengembangkan paru
sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat mungkin (kira-kira 5800 ml); jumlah ini
sama dengan kapasitas vital ditambah volume residu.
Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25
persen lebih kecil daripada pria, dan lebih besar lagi pada orang yang atletis dan
bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis.
1.3. UJI FAAL PARU
Uji fungsi paru yang paling sederhana adalah ekspirasi paksa. Uji fungsi
tersebut juga merupakan salah satu uji yang paling informatif dan hanya
membutuhkan sedikit peralatan serta mudah dihitung (West, 2010). Alat yang
dipakai adalah spirometri. Spirometri adalah alat untuk mengukur volume udara
yang dihirup dan dihembuskan; alat ini terdiri dari sebuah tong berisi udara yang
terapung pada sebuah wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan
menghembuskan udara keluar-masuk tong melalui sebuah selang penghubung,
tong akan naik atau turun yang kemudian dicatat sebagai suatu spirogram.
Pencatatan tersebut dikalibrasi ke besarnya perubahan volume (Sherwood, 2001).
1.4. FAAL PARU PADA KELEBIHAN BERAT BADAN
Kelainan faal paru yang dijumpai pada penderita obesitas menggambarkan
perubahan fisiologis pada mekanika pernafasan dan resistensi aliran udara.
Derajat beratnya kelainan faal paru tergantung pada beratnya obesitas, dan
distribusi lemak tubuh. Abnormalitas faal paru yang paling sering dijumpai pada
obesitas adalah penurunan volume cadangan ekspirasi. Hal ini disebabkan oleh
beban massa dan pemindahan beban dari dinding thorax bagian bawah dan
abdomen ke paru-paru, serta naiknya posisi diafragma. Didapatkan pula
penurunan kapasitas vital paksa, dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
(Wulandari dan Edo, 2007).
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. KERANGKA KONSEP
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian Cross Sectional dengan statistik
deskriptif dan analitik (korelasi regresi).
4.2. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Universitas Malikussaleh dan RSUD Cut Meutia
Lhokseumawe pada bulan September 2012.
4.3. POPULASI DAN SAMPEL
4.3.1. Populasi
Menurut Sugiono (2005) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri
atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
4.4.2.2.
4.4.2.3.