Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Masalah pangan yang dihadapi penduduk dunia bukan hanya kelaparan,

tetapi juga kegemukan. Menurut WHO, meskipun angka kejadian malnutrisi


masih terus meningkat, obesitas atau kegemukan telah menjadi penyakit epidemi
atau wabah meluas yang mengancam dunia (Chaula, 2007). Wabah obesitas tidak
terbatas dihadapi negara-negara maju, tetapi peningkatan lebih cepat justru terjadi
di negara-negara sedang berkembang (Anna, 2010). Jika tidak segera ditangani,
jutaan orang akan mengalami gangguan kesehatan yang serius akibat komplikasi
obesitas (Chaula, 2007).
IFRC (International Federation of the Red Cross) di New Delhi, India
mencatat tahun lalu jumlah penderita kegemukan di seluruh dunia yang termasuk
dalam kategori obesitas sudah mencapai 1,5 miliar. Angka ini lebih besar
dibandingkan dengan jumlah penderita kurang gizi pada periode yang sama, yakni
925 juta (AN Uyung, 2011).
Hasil penelitian sebuah tim dari Imperial College London, Harvard, dan
WHO (World Health Organization) bahwa dalam tiga dekade terakhir terjadi
tsunami obesitas di kalangan orang dewasa di seluruh dunia. Lebih dari setengah
juta orang pria dan wanita atau satu dari sembilan orang dewasa secara klinis
mengalami obesitas (Suara Pembaruan, 2011).
Pada tahun 2008, WHO memperkirakan lebih dari 1,4 miliar orang
dewasa, usia 20 tahun dan lebih dari 20 tahun mengalami kelebihan berat
badan/overweight. Dari keseluruhan yang menderita overweight, lebih dari 200
juta pria dan hampir 300 juta wanita mengalami obesitas. Secara keseluruhan

lebih dari satu diantara sepuluh populasi orang dewasa mengalami obesitas
(WHO, 2012). Prevalensi global telah meningkat drastis di sebagian besar negara
selama 20 tahun terakhir (Mary, 2009).
Menurut WHO, kegemukan yang berlebihan ini menjadi penyebab utama
munculnya risiko penyakit kronis membuat tiga juta orang di seluruh dunia
mengalami kematian dini setiap tahun karena stroke, penyakit jantung koroner,
tekanan darah tinggi (hipertensi), kencing manis (Diabetes Melitus), fungsi paru,
kanker dan berbagai jenis penyakit lainnya pada orang dewasa dan juga dapat
menimbulkan masalah estetika.
Tantangan masa depan gizi di Indonesia sangat unik. Indonesia masih akan
menghadapi masalah-masalah gizi kurang, sementara di sisi lain Indonesia juga
harus segera memerangi masalah obesitas yang jumlahnya terus menunjukkan
peningkatan. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 mengungkapkan bahwa jumlah
balita penderita gizi buruk mencapai 17%, sedangkan jumlah balita penderita
obesitas sudah mencapai 14% (Tribun Medan, 2011). Ratio kegemukan dan
kelebihan berat badan lebih tinggi di kota-kota besar, artinya ini sangat erat
kaitannya dengan gaya hidup : orang-orang lebih sering tidak aktif, sehingga
meningkatkan jumlah kalori pada diet mereka dan kurang berolahraga (Health
Messenger, 2008).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2010), status gizi pada kelompok
dewasa di atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah
kurus juga masih cukup tinggi. Angka obesitas pada perempuan cenderung lebih
tinggi dibanding laki-laki. Berdasarkan karakteristik masalah obesitas cenderung

lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan, berpendidikan lebih tinggi
dan pada kelompok status ekonomi yang tertinggi pula. Berdasarkan Persentase
Status Gizi Penduduk Dewasa (>18 Tahun) Menurut Kategori IMT, Jenis
Kelamin, dan Provinsi, Riskesdas 2010, di Aceh pada laki-laki ada sebesar 10,0 %
yang mengalami berat badan lebih dan 7,9 % yang mengalami obesitas.
Sedangkan pada perempuan sebesar 11,8 % yang mengalami berat badan lebih
dan 18,8 % yang mengalami obesitas.
Selama tahun 1990-an, peranan lemak yang berlebihan pada paru-paru
merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan
obesitas karena keterkaitannya dengan napas yang pendek, sleep apnea (henti
napas sewaktu tidur) dan morbiditas psikososial yang terjadi bersamaan (Michael
dkk, 2009). Menurut Laksmi dan Manasye (2007), gangguan seperti ini lamalama bisa menyebabkan gagal jantung hingga berujung pada kematian.
Kelebihan lemak dapat menyebabkan tertekannya saluran pernapasan yang
bisa menyebabkan sleep apnea, yaitu terhentinya napas saat tidur. Bahkan dapat
juga menyebabkan gagal jantung dan berujung pada kematian. Sebuah studi di
Ottawa terhadap 50 perempuan penderita obesitas menunjukkan bahwa ketika
mereka mengalami penurunan berat badan sebesar 10%, fungsi paru nya akan
meningkat sebesar 5% dan ketika mereka kehilangan 25 % dari bobotnya semula,
kekuatan bernapasnya akan meningkat 10% (Priandini, 2010).
Obesitas memberikan beban tambahan pada thoraks dan abdomen berupa
peregangan berlebihan. Otot-otot pernapasan bekerja lebih keras. Beban kerja
pernapasan merupakan jumlah energi yang dibutuhkan dalam proses pernapasan.
Jumlah energi diukur dengan banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot-otot
pernapasan untuk tiap liter ventilasi. Semakin besar indeks massa tubuh, kian

berat kerja pernapasan. Beban kerja pernapasan pada obesitas meningkat 60%;
obesitas berat 250% (Timmreck, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Jaowenny (2001) terhadap 699 responden di
RSUP Dr. Kariadi menyimpulkan bahwa sebanyak 151 orang menderita obesitas,
144 orang diantaranya mempunyai nilai kapasitas vital (KV) paru yang menurun.
Sedangkan untuk nilai kapasitas vital paksa (KVP) sebanyak 171 orang yang
mengalami overweight, 153 orang diantaranya mengalami nilai KVP yang
menurun Untuk orang yang mengalami obesitas, dari 151 penderita obesitas, ada
sebanyak 144 orang yang mengalami penurunan nilai KVP.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jelas
hubungan kelebihan berat badan dengan faal paru yang meliputi nilai kapasitas
vital (KV) paru, kapasitas vital paksa (KVP) paru dan volume ekspirasi paksa 1
detik (VEP1) pada mahasiswa Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.

1.2.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti mengangkat permasalahan

sebagai berikut :
Bagaimana hubungan kelebihan berat badan dengan faal paru?
Apakah ada hubungan antara kelebihan berat badan dengan kapasitas

vital (KV)?
Apakah ada hubungan antara kelebihan berat badan dengan kapasitas

vital paksa (KVP)?


Apakah ada hubungan antara kelebihan berat badan dengan volume
ekspirasi paksa dalam detik pertama (VEP1)?

1.3.

TUJUAN PENELITIAN
Sehubungan dengan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
1.3.1. Tujuan Umum

1) Mendapatkan gambaran kelebihan berat badan dan faal paru pada


mahasiswa Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
2) Mengetahui hubungan antara kelebihan berat badan dengan faal paru.
1.3.2. Tujuan Khusus
1) Mendapatkan gambaran status gizi mahasiswa Universitas
Malikussaleh Lhokseumawe berdasarkan BMI dan lingkar pinggang.
2) Mendapatkan gambaran faal paru mahasiswa Universitas Malikussaleh
Lhokseumawe KV, KVP dan VEP1.
3) Mengetahui hubungan antara kelebihan berat badan dengan kapasitas
vital (KV).
4) Mengetahui hubungan antara kelebihan berat badan dengan kapasitas
vital paksa (KVP).
5) Mengetahui hubungan antara kelebihan berat badan dengan volume
ekspirasi dalam detik pertama (VEP1).
1.4.

MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk :
1. Pemerintah dan Praktisi Kesehatan
Sebagai sumber informasi bagi pemerintah dan praktisi kesehatan agar
lebih memperhatikan masalah kesehatan berupa kelebihan berat badan
karena mempunyai dampak yang besar, termasuk perubahan dan gangguan
pada sistem respirasi.
2. Subjek Penelitian
Mengetahui keadaan status gizi dan fungsi paru, sehingga dapat
melakukan pencegahan dan penanganan kelebihan berat badan yang
mempengaruhi fungsi paru.
3. Peneliti Lain
Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya.
4. Penulis
Untuk menambah wawasan mengenai kelebihan berat badan dan fungsi

paru dan mengaplikasikan ilmu yang telah didapat.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. OBESITAS

2.1.1. Definisi Obesitas


Overnutrisi adalah mengonsumsi terlalu banyak disertai dengan aktivitas
dan olahraga yang sangat sedikit, mengakibatkan obesitas (Elly, 2001)
Seseorang dikatakan memiliki berat badan berlebih (overweight) bila
memiliki berat badan di atas berat badan idealnya, sekitar 10%-20%. Sedangkan
lebih dari 20% orang tersebut dikatakan obesitas.5,21
Obesitas adalah keadaan dimana seseorang memiliki berat badan yang
lebih berat dibandingkan berat badan idealnya yang disebabkan terjadinya
penumpukan lemak di tubuhnya.23
2.1.2. Etiologi dan Faktor Resiko
Obesitas biasanya disebabkan oleh kelebihan masukan makanan bukannya
dari kelebihan makan yang masif. Simpanan lemak tubuh bertambah ketika
masukan energi melebihi pengeluaran dan keadaan ini biasanya terjadi bila ada
keseimbangan energi yang sedikit positif.26
Pada dasarnya obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan energi yang
timbul bila jumlah asupan kalori melebihi jumlah kalori yang digunakan untuk
menghasilkan energi. Ketidakseimbangan yang terjadi secara terus-menerus
membuat berat badan senantiasa bertambah. Ketidakseimbangan ini paling sering
disebabkan oleh perilaku makan berlebihan, kurang beraktivitas, atau keduanya.12
Di samping faktor kelebihan konsumsi energi, faktor bakat atau keturunan
masih dinilai memiliki andil terhadap timbulnya kegemukan. Akan tetapi, temuantemuan sementara hasil penelitian di Cina menunjukkan bahwa kegemukan lebih
berkaitan dengan jenis pangan yang dikonsumsi. Demikian pula suatu studi di
Brazil (Francois, 1989) menunjukkan bahwa kegemukan lebih disebabkan oleh
jumlah lemak dan makanan. Suatu penelitian yang dilakukan di Indonesia
(Hermana dan Mien Karmini, 1993) menunjukkan bahwa timbulnya obesitas tidak
dipengaruhi oleh jenis lemak yang dikonsumsi.1

Dianggap bahwa obesitas terjadi bila mendapat kalori lebih banyak


daripada yang dimetabolisme. Anggapan lain mengatakan bahwa ada orang yang
hanya memerlukan metabolisme yang sangat sedikit dan hanya memerlukan
metabolisme yang sangat sedikit dan dapat menjadi gemuk meskipun mendapat
diit berkalori rendah.28
Besarnya kalori yang dibutuhkan tergantung dari jenis kelamin, usia, dan
aktivitasnya. Perempuan aktif membutuhkan 1500 1800 kalori per hari dan pria
aktif membutuhkan 2000 2500 kalori per hari. Akan berbahaya jika yang
dikonsumsi melebihi dari jumlah itu, sementara aktivitasnya hanya sedikit
(Oetoro, 2012).
Biasanya remaja yang mengalami obesitas akan berperawakan lebih
pendek. Kebanyakan remaja yang mengalami obesitas dipicu oleh makan yang
terlalu banyak dan sedikit berolahraga (Sriwijaya post 2012). Penderita
kegemukan adalah selalu duduk diam dan mempunyai pengalaman yang buruk
dengan latihan pada masa lampau.29 Sebagian besar ahli setuju bahwa epidemi
obesitas didorong oleh kurangnya aktivitas fisik dan asupan kalori yang
berlebihan. Yang menarik perhatian para peneliti kesehatan adalah meningkatnya
obesitas ternyata karena remaja asyik main video game. Namun, korelasi tidak
selalu bersifat sebab-akibat.30
Etiologi obesitas sesungguhnya dapat dibagi dua, yaitu (Andry, 2006) :
1) Penyebab internal yang bisa berupa permasalahan metabolisme
(hormonal) atau pencernaan (enzimatik).
2) Permasalahan eksternal yang berupa ketidakseimbangan antara diet dan
exercise sebagai akibat dari perubahan gaya hidup serta modernisasi,
termasuk pelbagai problem psikologis dan aktualisasi diri.
Penyebab obesitas menurut Soetjiningsih (1995) adalah :
1) Masukan energi yang melebihi dari kebutuhan tubuh.

a) Gangguan Emosional : makanan merupakan pengganti untuk


mencapai kepuasan dalam memperoleh kasih sayang.
b) Gaya hidup masa kini : Kecenderungan anak-anak sekarang
suka makanan fast food yang berkalori tinggi seperti
hamburger, pizza, ayam goreng dengan kentang goreng, es krim,
aneka macam mie, dll.
2) Penggunaan kalori yang kurang : berkurangnya pemakaian energi dapat
terjadi pada anak yang kurang aktivitas fisiknya, seharian nonton TV,
dll. Lebih-lebih kalau nonton sambil tidak berhenti makan, maka
kecenderungan menjadi obesitas akan lebih besar.
3) Hormonal : penyebab yang jarang dari obesitas adalah fungsi
hipotalamus yang abnormal. Sehingga terjadi hiperfagia (nafsu makan
berlebihan) karena gangguan pada pusat kenyang di otak.
Faktor resiko yang berperan terjadinya obesitas antara lain adalah sebagai
berikut (Atikah, 2010):
1. Faktor genetik, obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga
memiliki penyebab genetik. Orang tua yang gemuk cenderung
mempunyai anak-anak yang gemuk pula karena terdapat faktor genetik
yang berperan. Anak yang gemuk cenderung menjadi orang dewasa
yang gemuk, meskipun tidak selalu demikian (David dan Derek, 2008)
Jika kedua orang tua gemuk, risiko kegemukan pada anak-anaknya
mencapai 80%. Namun, jika hanya satu orangtua yang gemuk, peluang
anak-anaknya menjadi gemuk adalah sebesar 40%.8
2. Faktor lingkungan, yang termasuk lingkungan dalam hal ini adalah
perilaku atau pola gaya hidup, misalnya apa yang dimakan dan berapa
kali seseorang makan, serta bagaimana aktivitasnya setiap hari.

3. Faktor psikososial, pada setiap individu, asupan makanan dapat


dipengaruhi oleh kondisi mood dan mental, kepribadian, citra diri dan
persepsi bentuk tubuh yang dipengaruhi oleh budaya, sikap terhadap
makanan dalam konteks sosial dan faktor eksternal, seperti pengaruh
sesama anggota kelompok, iklan dan media.9 Salah satu bentuk
gangguan emosi adalah persepsi diri yang negative. Gangguan emosi
ini merupakan masalah serius pada wanita muda pada penderita
obesitas, dan dapat menimbulkan kesadaran berlebih tentang
kegemukannya serta rasa tidak nyaman dalam pergaulan bersosial.
4. Faktor kesehatan, ada beberapa penyakit yang dapat mengakibatkan
terjadinya obesitas antara lain :
a. Hipotiroidisme
b. Sindrome Cushing
c. Sindrome Prader-Willi, dan
d. Beberapa kelainan saraf yang dapat menyebabkan seseorang
menjadi banyak makan.
5. Faktor perkembangan, pertambahan ukuran dan atau jumlah sel-sel
lemak menyebabkan bertambahnya jumlah lemak yang disimpan
dalam tubuh.
6. Aktivitas fisik, seseorang yang hidupnya kurang aktif (sedentary life)
atau

tidak

melakukan

aktivitas

fisik

yang

seimbang

dan

mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak, akan cenderung


mengalami obesitas.
7. Mengudap (mengonsumsi kudapan) dan mengemil, terjadi perubahan
kebiasaan dari makan secara teratur menjadi pola makan yang kurang
terstruktur, yang lebih menyukai konsumsi kudapan, produk makanan
siap saji atau cepat saji, dan minuman ringan, ketimbang makan

sampai kenyang sampai dengan selang waktu yang lebih panjang


(Mary, 2007)
8. Peningkatan pendapatan, menyebabkan perubahan dalam gaya hidup,
terutama dalam pola makan. Pola makan tradisional yang tadinya
tinggi karbohidrat, tinggi serat kasar, dan rendah lemak berubah ke
pola makan baru yang rendah karbohidrat, rendah serat kasar, dan
tinggi lemak sehingga menggeser mutu makanan ke arah tidak
seimbang. Perubahan pola makan ini dipercepat oleh makin kuatnya
arus budaya asing yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi
dan globalisasi ekonomi. Di samping itu perbaikan ekonomi
menyebabkan berkurangnya aktifitas fisik masyarakat tertentu (Sunita,
2004).
9. Jenis kelamin, kaum perempuan mempunyai kecenderungan obesitas
lebih tinggi dibandingkan pria. Ini karena masa otot pria lebih besar
daripada masa otot perempuan. Akibatnya ruang untuk tumbuhnya
lemak pada perempuan pun lebih besar. Selain itu aktifitas fisik lakilaki jauh lebih banyak dan berat. Perempuan menjadi lebih cepat
gemuk, karena dalam setiap fase kehidupan mereka selalu berisiko
untuk gemuk. Ketika seorang remaja wanita mendapatkan menstruasi
pada usia dini, maka ia rentan obesitas. Lalu, ketika mengandung, jika
berat badan seorang calon ibu naik berlebih, tubuh akan menjadi
gemuk setelah melahirkan. Kemudian, pada saat menopause, ketika
tubuh tidak lagi kuat melakukan kegiatan fisik, perempuan
menghadapi risiko obesitas lagi (Ethical Digest, Juni 2005).

2.1.3. Patogenesis Obesitas


Lemak akan terdeposit di dalam tubuh, jika total energi yang masuk
melalui makanan dan minuman jauh lebih besar daripada energi yang digunakan
tubuh. Ketidakseimbangan energi tersebut disebabkan pemasukan energi yang
sangat berlebihan atau penurunan penggunaan energi tubuh untuk metabolisme,
termoregulasi, dan aktivitas fisik. Peningkatan pemasukan energi yang berlebihan
dapat ditemukan pada beberapa kelainan genetik seperti sindrom Prader-Willi,
sindrom Cushing dan beberapa mutasi gen yang mengontrol napsu makan.
Penurunan pemakaian energi dapat disebabkan oleh defisiensi hormon seperti
hipotiroidisme dan defisiensi growth hormone.3
Terjadinya obesitas menurut jumlah sel lemak, adalah sebagai berikut :
1. Jumlah sel lemak normal, tetapi terjadi hipertrofi/pembesaran.
2. Jumlah sel lemak meningkat/hiperplasi dan juga terjadi hipertrofi.
Penambahan dan pembesaran jumlah sel lemak paling cepat pada masa
anak-anak dan mencapai puncaknya pada masa meningkat dewasa. Setelah masa
dewasa tidak akan terjadi penambahan jumlah sel, tetapi hanya terjadi pembesaran
sel. Obesitas yang terjadi pada masa anak selain hiperplasi juga dapat terjadi
hipertrofi. Sedangkan obesitas yang terjadi setelah masa dewasa pada umumnya
hanya terjadi terjadi hipertrofi sel lemak. Disamping itu, pada penderita obesitas
juga menjadi resisten terhadap hormon insulin, sehingga kadar insulin di dalam

peredaran darah akan meningkat. Insulin berfungsi menurunkan lipolisis dan


meningkatkan pembentukan jaringan lemak (Soetjiningsih, 1995)
Obesitas merupakan gangguan pada keseimbangan energi. Kalau energi
yang berasal dari makanan melampaui pengeluaran energi, kalori yang berlebihan
akan disimpan dalam bentuk trigliserida di dalam jaringan adiposa. Keseimbangan
antara asupan dan pengeluaran energi dikendalikan lewat mekanisme neural dan
hormonal. Adiposit berkomunikasi dengan pusat-pusat hipotalamus yang
mengontrol selera makan dan pengeluaran energi lewat sekresi

hormon

polipeptida yang disebut leptin. Leptin bekerja sebagai faktor antiobesitas dengan
berikatan

dengan

reseptor

leptin

di

hipotalamus

untuk

kemudian

menggantikannya. Reseptor ini mensupresi selera makan dan meningkatkan


pengeluaran energi, aktivitas fisik, serta produksi panas. Leptin menurunkan
seksresi neuropeptida Y yang merupakan neurotransmiter perangsang selera
makan. Di samping itu, lewat lintasan neuronal, aktivasi reseptor leptin dalam
dalam hipotalamus akan meningkatkan pelepasan norepinefrin dari ujung ke
ujung terminal saraf simpatis yang mempersarafi jaringan adiposa. Norepinefrin
akan berikatan dengan reseptor adrenergik-2 pada sel-sel lemak dan
menyebabkan peningkatan metabolisme asam lemak dengan penghamburan
energi sebagai panas. Disfungsi sistem leptin mungkin memainkan peranan dalam
obesitas manusia. Mayoritas pasien obesitas memiliki kadar leptin plasma yang
tinggi dan keadaan ini menunjukkan adanya bentuk tertentu resistensi insulin
(Mitchell dkk, 2009).
Pada obesitas, lemak berlebihan ditimbun pada jaringan subcutis, jaringan
retroperitoneum dan peritoneum serta omentum. Jaringan lemak juga terdapat

dalam jumlah berlebihan, berupa fatty in growth pada jaringan subepicard dan
pankreas. Juga hati menunjukkan penimbunan lemak, tetapi bukan perlemakan
seperti gizi buruk.28
2.1.4. Penegakan Diagnosa pada Pasien dengan Obesitas
Menurut Hidajat dkk (2006), cara pemeriksaan pasien pada orang obesitas
adalah:
1) Anamnesis:
a) Saat mulainya timbul obesitas: prenatal, early adiposity rebound,
remaja.
b) Riwayat tumbuh kembang (mendukung obesitas endogenous).
c) Adanya keluhan: ngorok (snoring), restless sleep, nyeri pinggul.
d) Riwayat gaya hidup:
Pola makan/kebiasaan makan
Pola aktifitas fisik: sering menonton televisi
e) Riwayat keluarga dengan obesitas (faktor genetik), yang disertai
dengan resiko seperti penyakit kardiovaskuler di usia muda,
hiperkolesterolemia, hipertensi dan diabetes melitus tipe II.
2) Pemeriksaan fisik: Adanya gejala klinis obesitas seperti diatas.
3) Pemeriksaan penunjang: analisis diet, laboratoris, radiologis,
ekokardiografi dan tes fungsi paru (jika ada tanda-tanda kelainan).
4) Pemeriksaan antropometri:
a) Pengukuran berat badan (BB) dibandingkan berat badan ideal (BBI). BBI
adalah berat badan menurut tinggi badan ideal. Disebut obesitas bila BB >
b)

120% BB Ideal.
Pengukuran indeks massa tubuh (IMT). Obesitas bila IMT P > 95 kurva

c)

IMT berdasarkan umur dan jenis kelamin dari CDC-WHO.


Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal

d)

lipatan kulit/TLK). Obesitas bila TLK Triceps P > 85.


Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometri.

Obesitas dapat dinilai secara layak hanya dengan melihat postur tubuh.
Jika diperlukan analisis yang lebih akurat, dapat dihitung rasio tinggi badan
terhadap berat badan dan mengukur ketebalan lipatan kulit (David dan Derek,
2008). The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) menerbitkan
panduan federal pertama mengenai identifikasi, evaluasi, dan terapi overweight,
serta obesitas pada orang dewasa pada tahun 1998. Menurut panduan ini,
penilaian overweight melibatkan evaluasi tiga ukuran penting yaitu (Brenna dkk,
2011) :
1. Indeks Massa Tubuh : suatu cara penilaian terhadap berat badan.
Semua pasien obesitas harus dihitung IMT-nya. Pehitungan IMT untuk
memperkirakan total lemak tubuh lebih baik daripada mengukur berat
badannya saja (Chaula, 2007). Persoalan keterbatasan IMT sebagai
ukuran kegemukan menjadi masalah yang semakin penting pada usia
lanjut. Untuk nilai IMT tertentu, wanita berusia lanjut cenderung
memiliki massa lemak yang lebih banyak dengan jumlah otot dan lean
body mass yang berkurang jika dibandingkan dengan wanita muda
(Michael dkk, 2009). IMT diperoleh dari perbandingan antara berat
badan

dan

tinggi

badan

atau

dirumuskan

Berat Badan( kg)


2
Tinggi badan kuadrat (m )

Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa


berdasarkan IMT menurut WHO adalah :

Klasifikasi
Berat Badan Kurang
Kisaran Normal
Berat Badan Lebih

IMT(kg/m2)
< 18,5
18,5 24,9
> 25

Pra-Obes

25,0 29,9

Obes Tingkat I

30,0 34,9

Obes Tingkat II

35,0 39,9

Obes Tingkat III

> 40

Tabel 2.1 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas


2. Lingkar pinggang : salah satu ukuran antropometrik lainnya yang lebih
merupakan indikator distribusi lemak ketimbang jumlah total lemak
tubuh (Michael, 2009). WHO menganjurkan agar lingkar perut
sebaiknya diukur pada pertengahan antara batas bawah iga dan krista
iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horisontal pada saat
akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20-30 cm. Subyek
diminta untuk tidak menahan perutnya dan diukur memakai pita
dengan tegangan pegas yang konstan (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid III, 2009). Sebelum membaca pita pengukur, pastikan bahwa pita
pengukur pas, tidak menekan kulit, dan sejajar dengan lantai (Brenna,
2011). Penilaian terhadap lemak di perut melalui pengukuran lingkar
pinggang sangat penting karena berhubungan dengan faktor risiko.
Pengukuran lingkar pinggang terutama berguna untuk pasien dengan
kategori overweight. Laki-laki dengan lingkar pinggang lebih dari 40

inci dan perempuan dengan lingkar pinggang lebih dari 35 inci,


memiliki risiko tinggi menderita diabetes melitus, hipertensi,
dislipidemia dan penyakit kardiovaskular (Chaula, 2007). Bagi orang
Asia, lingkaran perut pada laki-laki harus kurang dari 90cm sementara
pada wanita kurang dari 80cm (Andry, 2006).
3. Menilai faktor risiko : menentukan seberapa banyak faktor risiko
kesehatan yang dimiliki pasien untuk mengendalikan berat badan.
Semakin banyak faktor risiko yang ada, semakin banyak manfaat yang
didapat pasien dari menurunkan berat badannya. Faktor risiko ini
meliputi :
Riwayat penyakit jantung pada seseorang atau keluarga
Laki-laki berusia lebih dari 45 tahun
Perempuan pascamenopause
Merokok
Gaya hidup santai
Hipertensi
Tingginya nilai kolesterol lipoprotein densitas rendah (LDL)

atau rendahnya kolesterol lipoprotein densitas tinggi (HDL)


Trigliserida yang tinggi
Diabetes atau gangguan pada glukosa puasa.
Penyakit dengan risiko kematian tinggi di antaranya penyakit
jantung koroner, diabetes melitus tipe 2 dan sleep apnea dan
penyakit yang tidak mengancam nyawa diantaranya adalah
osteoartritis, kolelitiasis, penyakit ginekologi seperti amenore

dan menometroragi (Chaula, 2007)


Berdasarkan analisis distribusi penyimpanan lemak tubuh, seseorang yang
dikatakan obesitas dapat dikategorikan ke dalam dua tipe, yaitu (Sarwono, 2010):
1. Obesitas Android
Merupakan karakteristik obesitas pada laki-laki dengan ciri abdomen
(perut) besar, namun bagian paha dan pantat relatif kecil (berbentuk seperti apel)

Walau hubungannnya belum begitu jelas, tapi rendahnya kadar testosteron


menyebabkan obesitas dan lingkar perut yang besar (Em Yunir, 2012). Adanya
hormon testosteron yang rendah pada laki-laki mendorong penumpukan lemak
pada bagian atas tubuh (mulai dari perut ke atas atau daerah pinggul luar).
Penyimpanan lemak pada daerah perut dapat lebih mudah hilang dibandingkan
pada daerah paha.
2. Obesitas Ginekoid
Merupakan karakteristik obesitas pada perempuan dengan ciri abdomen
kecil, namun bagian panggul atau pantat dan paha relatif besar (berbentuk seperti
pir). Hal ini dapat terjadi karena sel-sel yang ada pada paha dan daerah tersebut
lebih banyak terdiri dari lipoprotein lipase. Enzim tersebut akan mendorong lemak
dari aliran darah ke dalam sel-sel lemak. Lebih dari pada itu, progesteron, hormon
seks yang ada pada wanita meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase di daerah
tulang belakang lebih ke bawah tubuh dan dapat memengaruhi profil kadar lemak
darah. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya obesitas ginekoid pada
perempuan.
Gemuk yang berbentuk seperti apel (android) lebih berbahaya
dibandingkan gemuk yang berbentuk seperti pir. Yang berbahaya adalah timbunan
lemak di dalam rongga perut, yang kemudian disebut sebagai obesitas sentral.
Obesitas sentral sering dikaitkan dengan komplikasi metabolik dan pembuluh
darah (kardiovaskuler) (Atikah, 2010). Lemak daerah abdomen terdiri dari lemak
subkutan dan lemak intra-abdominal yang dapat dinilai dengan cara CT-Scan dan
MRI. Jaringan lemak intra-abdominal terdiri dari lemak viseral atau
intraperitoneal yang terutama terdiri dari lemak omental dan mesenterial serta
massa lemak retroperitoneal (sepanjang perbatasan dorsal usus dan bagian

permukaan ventral ginjal). Pada laki-laki, massa retroperitoneal hanya merupakan


sebagian kecil dari lemak intra abdominal. Kira-kira seperempatnya terdiri dari
lemak viseral. Lemak subkutan daerah abdomen sebagai komponen obesitas
sentral mempunyai korelasi yang kuat dengan resistensi insulin seperti lemak
viseral. Keadaan ini tetap berbeda bermakna setelah disesuaikan dengan lemak
viseralnya (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, 2009).
2.1.5. Penatalaksanaan Obesitas
Ada 5 hal yang perlu diperhatikan sebelum terapi obesitas dilakukan, yaitu
(Andry, 2006) :
1. Motivasi yang kuat dari pasien sendiri untuk mengatasi permasalahan
obesitasnya.
2. Dukungan dari keluarga atau orang yang dicintainya.
3. Informasi yang benar tentang diet dan exercise.
4. Diet rendah kalori gizi seimbang.
5. Olahraga aerobik menurut kondisi pasien dan penyakitnya.
Penurunan berat badan harus SMART : Specific, Measurable, Achievable,
Realistic and Time limited. Tujuan awal dari terapi adalah untuk mengurangi berat
badan sebesar sekitar 10 persen dari berat badan awal (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid III, 2009).
Penanganan lini pertama harus berupa program pengaturan berat badan,
dengan tujuan sebagai berikut (Mary, 2007):
Membantu individu dengan berat badan berlebih untuk menurunkan

berat badannya.
Mempertahankan penurunan berat badan yang telah dicapai, dengan

mengubah gaya hidup dan perilaku.


Mengurangi faktor perilaku.
Batas waktu yang masuk akal untuk penurunan berat badan sebesar 10
persen adalah 6 bulan terapi. Setelah 6 bulan, kecepatan penurunan berat badan
lazimnya akan melambat dan berat badan menetap karena seiring dengan berat
badan yang berkurang terjadi penurunan energi ekspenditure. Untuk pasien yang

tidak mampu untuk mencapai penurunan berat badan yang signifikan, pencegahan
kenaikan berat badan lebih lanjut merupakan tujuan yang paling penting. Pasien
seperti ini tetap diikutsertakan dalam program manajemen berat badan (Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid III, 2009).
Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu
diet rendah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah.
1. Terapi diet
Terapi diet atau terapi nutrisi meliputi penyuluhan kepada pasien mengenai
cara memodifikasi makanan untuk mengurangi asupan kalori. Elemen penting
yang dianjurkan saat ini adalah penurunan kalori secara bertahap untuk mencapai
penurunan berat badan secara perlahan dan progresif sebesar 1 sampai 2 pon per
minggu. Kalori hanya boleh diturunkan hingga ke tingkat yang dibutuhkan untuk
mencapai berat badan yang diidamkan. Ukuran rata-rata makanan untuk
perempuan adalah 1200kal/hari; untuk perempuan yang lebih besar dan laki-laki,
sekitar 1400 sampai 1600 kal/hari. Rencana makanan kurang dari 1200/kal
mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan nutrisi. Umumnya, dibutuhkan
penurunan sebesar 1000 kal/hari untuk menurunkan sekitar 2 lb/minggu;
penurunan 500 kalori 1 lb/minggu. Selain itu, pengurangan asupan lemak hingga
lebih kecil dari 30% kalori total lebih banyak lagi menurunkan berat badan
banyak dan membantu memperbaiki kadar lipid (Brenna dkk. 2011).
Perubahan pola makan adalah suatu cara untuk menurunkan berat badan,
tetapi tidak mampu menjaga berat badan dengan baik. Penurunan massa otot dapat
pula menurunkan metabolisme dan menurunkan pengeluaran energi, sehingga
menyebabkan kebutuhan energi yang lebih rendah. Asupan kalori minimal 1200
kkal perhari harus diterapkan pada wanita. Sangat disarankan pada pasien yang

melakukan diet lebih dari beberapa bulan untuk menggunakan multivitamin


dengan kalsium ekstra (Ethical Digest, 2005)
Untuk menjadi pilihan diet terbaik, berbagai aspek yang dipertimbangkan
meliputi : mudah diikuti, bernutrisi, aman, memiliki efek protektif terhadap
diabetes dan penyakit kardiovaskular, dan efektif untuk menurunkan berat badan.
Secara keseluruhan, diet yang paling baik adalah diet Dietary Approaches to Stop
Hypertension (DASH). Diet DASH adalah pola diet yang kaya buah, sayur,
penggunaan susu bebas-lemak, pemakaian produk-gandum, penggunaan ikan
sebagai ganti daging merah, dan kacang-kacangan. Selain itu diet ini juga minimal
dalam hal kandungan garam, lemak jenuh, gula, minuman manis dan daging
merah. Diet DASH terbukti efektif menurunkan berat badan dan tekanan darah,
menurunkan kolesterol LDL dan trigliserida, meningkatkan HDL dan tentunya
bersifat kardioprotektif dalam jangka panjang. Beberapa prinsip umum yang dapat
diikuti adalah, konsumsi sayuran dan buah yang tinggi, penyajian makanan yang
direbus atau dipanggang daripada digoreng, suplementasi minyak ikan dan
restriksi garam (Ethical Digest, 2012).
Dalam menerapkan diet rendah kalori, harus diingat bahwa penurunan
jumlah kalori dalam makanan tidak selalu identik dengan pengurangan jumlah
makanan tetapi lebih banyak berhubungan dengan manipulasi jenis-jenis
makanannya sementara proporsi nutrien penting lainnya seperti protein, lemak
esensial, vitamin-mineral, dan air harus tetap seimbang (sesuai dengan
kebutuhan). Makanan, khususnya camilan, yang tepat bagi penyandang obesitas
harus memiliki kalori yang rendah dengan indeks kekenyangan yang tinggi seperti
havermut, kentang, ikan dan jeruk (Andry, 2006).

Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan


sama dengan 30 persen dari total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam
menu sehari-hari saja tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan, kecuali
total kalori juga berkurang. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas harus
diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk
menurunkan konsentrasi kolesterol-LDL (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 3,
2009).
Pada pasien obesitas dapat yang dapat dilakukan adalah (Herbold dan
Edelstein, 2012):
1) Ajarkan ukuran porsi makanan yang adekuat, termasuk gandum,
protein, sayuran, produk susu dan buah.
2) Anjurkan tiga makanan seimbang dalam sehari dan tetap sediakan
kudapan yang sehat.
3) Izinkan pilihan makanan yang sehat dan mudah disajikan.
4) Anjurkan untuk makan di satu tempat tanpa distraksi.
5) Berikan rujukan kepada masyarakat dan program pemerintah untuk
membantu akses makanan jika berada dalam kesulitan finansial.
Untuk mencapai perilaku gizi yang baik dan benar, sesuai dengan Repelita
VI tentang Pangan dan Perbaikan Gizi, Departemen Kesehatan RI (1995) telah
menyusun Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yang berisi 13 Pesan Dasar
Seimbang yang isinya sebagai berikut : 1) makanlah aneka ragam makanan, 2)
makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi, 3) makanlah makanan
sumber karbohidrat, setengah dari kebutuhan energi, 4) batasi konsumsi lemak
dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi, 5) gunakan garam
beryodium, 6) makanlah sumber energi zat besi, 7) berikan ASI saja kepada bayi
sampai umur 4 bulan, 8) biasakanlah makan pagi, 9) minumlah air bersih, aman
yang cukup jumlahnya, 10) lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara teratur, 11)

hindarilah minuman beralkohol, 12) makanlah makanan yang aman bagi


kesehatan, 13) bacalah label pada makanan yang dikemas (Muchtadi, 2001).
2. Aktivitas fisik
Lemak tubuh berkurang jika terdapat keseimbangan kalori negatif yang
kronis. Untuk mencapai tujuan tersebut, dianjurkan untuk meningkatkan
pengeluaran kalori melalui latihan dan mengurangi masukan kalori. Latihan akan
meningkatkan pengeluaran energi dan memperlambat kecepatan kehilangan
jaringan bebas lemak yang terjadi jika seseorang itu kehilangan berat badan
dengan pembatasan kalori yang ketat. Latihan juga membantu mempertahankan
kecepatan metabolisme saat istirahat dan kecepatan penurunan berat badan
(ACSM, 2004).
Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program
penurunan berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi
pengurangan risiko kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan
dengan pengurangan berat badan tanpa aktivitas fisik saja. Untuk pasien obese,
terapi harus dimulai secara perlahan, dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara
bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau bertahap
sepanjang hari. Pasien harus dimotivasi untuk meningkatkan aktivitas fisik seharihari, seperti naik tangga dari pada naik lift. Seiring waktu, pasien dapat
melakukan aktivitas yang lebih berat. Strategi lain untuk meningkatkan aktivitas
fisik adalah mengurangi waktu santai (sedentary) dengan cara melakukan aktivitas
fisik rutin lain dengan risiko cedera rendah (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid
III, 2009).
Aktivitas memberikan sarana tambahan untuk mencapai keseimbangan
energi negatif (Barasi, 2007).

Bersama dengan ukuran-ukuran diet, aktivitas berkontribusi terhadap penurunan


berat badan, dan melindungi massa tubuh bebas-lemak. Hal ini membantu untuk
mempertahankan laju metabolik yang ikut menurun ketika asupan energi

berkurang.
Aktivitas berat juga menghasilkan peningkatan laju metabolik setelah berolahraga,

sehingga meningkatkan pengeluaran energi.


Aktivitas dapat meingkatkan penggunaan lemak dan sensitivitas terhadap insulin

serta memperbaiki profil lipid darah.


Aktivitas menimbulkan perasaan sehat, bugar, dan senang, sehingga dapat
memperbaiki mood dan citra diri individu yang sedang menjalani program

penurunan berat badan.


Peningkatan mobilitas dan fungsi paru-paru dapat memberikan manfaat tambahan.
Anjuran dokter untuk berolahraga, serta rujukan ke program penurunan berat
badan dan klub pelangsing semakin dianggap lazim di kalangan layanan
kesehatan primer.
Aktivitas sehari-hari memberikan kontribusi bermakna terhadap keluaran
energi total. Oleh karena itu, cara termudah untuk meningkatkan aktivitas adalah
dengan menjadwalkan lebih banyak aktivitas ke dalam rutinitas normal seharihari. Cara ini lebih mungkin tetap dilakukan daripada dengan sengaja meluangkan
waktu untuk melakukan latihan di pusat kebugaran (gym) (Mary, 2007)
Berolahraga sangat penting untuk menurunkan dan mengatur berat badan.
Meski banyak manfaat yang bisa didapat dari olahraga, kurang dari setengah
wanita berumur 50-64 tahun melakukan olahraga dengan teratur, dan hanya
seperempatnya yang melakukan olahraga dengan intensitas tinggi (Ethical Digest,
2005).
Olahraga

penting

untuk

meningkatkan

pengeluaran

energi,

mempertahankan atau meningkatkan massa tubuh yang tidak berlemak, dan

meningkatkan hilangnya lemak. Perubahan-perubahan komposisi tubuh ini


menghasilkan peningkatan lemak tubuh dan kemungkinan meningkatkan
kecepatan metabolik (Susan dkk, 2011).
Upaya menurunkan berat badan melalui aktivitas fisik sendiri umumnya
hanya menurunkan berat badan sebesar 2% sampai 3%. Olahraga memengaruhi
kecepatan penurunan berat badan menurut frekuensi dan durasinya. Aktivitas fisik
yang tetap membantu mempertahankan penurunan berat badan dan mengurangi
risiko kardiovaskular dan diabetes, serta mungkin membantu dalam menghambat
asupan makanan. Bahkan tanpa penurunan berat badan, peningkatan aktivitas fisik
membuat tekanan darah menjadi lebih rendah, kadar kolesterol HDL meningkat,
toleransi glukosa meningkat, merasa lebih sehat, mengurangi ketegangan dan
meningkatkan kewaspadaan (Libby dkk, 2011)
Aktivitas awal yang dapat dilakukan berupa peningkatan aktivitas
kehidupan sehari-hari, seperti menggunakan tangga atau berjalan pelan. Seiring
waktu, bergantung pada kemajuan, jumlah penurunan berat badan dan kapasitas
fungsional, pasien dapat melakukan aktivitas yang lebih berat. Aktivitas sedang
selama 30 sampai 45 menit, tiga sampai lima kali per minggu harus digiatkan.
Tujuan jangka panjangnya harus mencapai akumulasi waktu setidaknya 60 menit
olahraga dengan intensitas sedang setiap hari (Brenna dkk, 2011).
3. Perubahan Perilaku
Diet rendah kalori yang ketat mungkin sulit diikuti di samping tidak begitu
berhasil dalam menimbulkan perubahan berat yang permanen. Perubahan gaya
hidup seperti mengubah komposisi lemak dalam makanan dan meningkatkan
aktivitas sehari-hari memperlihatkan kemungkinan yang lebih besar bagi pasien
untuk dapat mengubah simpanan lemak tubuhnya secara permanen (Andry, 2006).

Diet yang tepat perlu disertai dengan modifikasi perilaku. Pada dasarnya,
modifikasi perilaku adalah upaya mendisplinkan diri untuk menghindari
kebiasaan makan yang tidak seimbang. Modifikasi perilaku mengharuskan agar
makanan hanya tersedia di tempat-tempat yang terbatas dengan jumlah
secukupnya (Faisal dan Ali, 2009).
Kebiasaan menonton televisi sambil ngemil juga harus dikurangi.
Umumnya, snack menjadi makanan selingan yang sering dikonsumsi secara
berlebihan pada saat kita menonton televisi. Kegiatan menonton televisi yang
termasuk aktivitas ringan harus diimbangi dengan aktivitas fisik lain yang bersifat
lebih menghabiskan energi. Oleh karena itu, sebaiknya, kita melakukan olahraga
tiga kali seminggu, masing-masing selama 50 60 menit (Anwar dan Khomsan,
2009).
Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya,
diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi
diet dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri
terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control,
pemecahan masalah, contigency management, cognitive restructuring dan
dukungan sosial (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, 2009).
Terapi perilaku turut menunjang rencana penurunan asupan makanan dan
meningkatkan aktivitas fisik. Terapi perilaku bertujuan mengatasi hambatan untuk
mematuhi kebiasaan makan dan melakukan aktivitas. Penurunan berat badan
jangka panjang sering tidak berhasil kecuali diterapkan kebiasaan baru. Beberapa
asumsi utama yang dapat diterapkan dalam terapi perilaku adalah sebagai berikut
(Brenna, 2011) :

Mengubah kebiasaan makan dan aktivitas fisik dapat mengubah berat

badan .
Perilaku makan dan aktivitas fisik dapat dipelajari dan dimodifikasi.
Lingkungan harus diubah untuk mengubah pola.
Berbagai strategi harus digunakan untuk memodifikasi perilaku karena

tidak ada satu metode yang paling baik daripada yang lain (Barasi, 2011) :
Memantau sendiri aktivitas makan dan fisik Strategi ini meliputi pencatatan
jumlah, jenis makanan, nilai kalori dan komposisi nutrien makanan yang dimakan,
serta frekuensi, intensitas, dan jenis aktivitas fisk yang dilakukan setiap hari.

Pencatatan informasi ini membuat pasien melihat sendiri perilaku mereka.


Manajemen stres Stres memicu timbulnya gangguan makan. Penggunaan
strategi coping, meditasi, teknik relaksasi, dan olahraga dapat membantu

meredakan stres.
Pengendalian stimulus Strategi ini melibatkan pengenalan rangsang yang
mendorong makan insidental (tidak direncanakan) dan pembatasan rangsang

tersebut.
Pemecahan masalah Strategi ini meliputi identifikasi masalah berat badan dan

perencanaan, serta pelaksanaan perilaku alternatif.


Manajemen penghargaan Teknik ini melibatkan penghargaan terhadap
perubahan perilaku yang positif, seperti meningkatkan olahraga atau mengurangi

konsumsi makanan tertentu.


Restrukurisasi kognitif Teknik ini melibatkan pengubahan pikiran-pikiran yang
merugikan diri sendiri dengan pikiran positif dan penetapan tujuan yang masuk

akal.
Dukungan sosial Sistem dukungan yang kuat membantu memberikan dukungan
emosional yang dibutuhkan untuk menurunkan berat badan. Melibatkan teman
dan keluarga dalam aktivitas fisik, dan diet atau ikut bergabung dalam satu
kelompok pendukung dapat memberi manfaat yang besar.

4. Obat-obatan/Bedah
Selain dari gaya hidup yang sehat, obesitas bisa diantisipasi melalui diet
farmakoterapi, salah satunya dengan menggunakan diethylpropion. Dari beberapa
penelitian jangka panjang, diethylpropion bermanfaat dalam menurunkan berat
badan dan menghindari risiko dari obesitas. Hal tersebut terbukti di dalam studi
yang dilakukan Cercato C dan tim, yang dipublikasikan di International Journal
Obesity Agustus 2009. Hasilnya, setelah 6 bulan pemberian, kelompok
diethylpropion mengalami penurunan berat badan 9,8% dibandingkan placebo
yang hanya 3,2% (Ethical Digest, 2011).
Terapi obat harus dipertimbangkan sebagai tambahan dalam terapi nutrisi,
peningkatan aktivitas, dan terapi perilaku jika setelah enam bulan pasien tidak
menunjukkan penurunan berat badan yang dianjurkan, 1 lb per minggu. Obatobatan menghasilkan penurunan berat badan yang sedang yaitu 4,4 sampai 22 lb
dalam 6 bulan pertama dan membantu mempertahankan penurunan berat badan.
Namun, kebanyakan penelitian menunjukkan adanya peningkatan berat badan
yang cepat setelah obat dihentikan. Jika terapi obat terbukti efektif dan efek
sampingnya dapat diatasi, terapi dapat diteruskan untuk jangka waktu lama;
namun, tidak ada yang tahu berapa lama terapi obat dapat dipertahankan secara
aman. Karena hanya ada sedikit penelitian jangka panjang mengenai keamanan
dan efektivitas penurunan berat badan dengan obat, terapi ini hanya boleh
digunakan pada pasien yang berisiko tinggi menderita penyakit akibat kelebihan
berat badannya (Brenna dkk, 2011).
Obat penekan nafsu makan atau anorektik, dibagi dua yaitu :

1. Stimulan sentral (misalnya amfetamin) yang bekerja pada jalur katekolamin. Obat
ini menyebabkan pasien makan lebih sedikit dan membantu menjadi lebih aktif
melalui stimulasi sentral.
2. Stimulan lain seperti diethylpropion (amfepramone), mazidol, phentermine dan
phenylpropanolamine. Obat generasi yang lebih baru, misalnya orlistat dan
sibutramine. Orlistat, suatu penghambat lipase, bekerja dengan membatasi
penyerapan lemak dalam tubuh. Harus disertai dengan diet, untuk memperoleh
efek terbaik. Sirbutramine bekerja secara sistemik dengan dua cara, yaitu : 1)
mempengaruhi selera makan yang menyebabkan bertahannya sensasi rasa
kenyang. Sensasi kenyang akan membatasi asupan makanan. 2) mendorong
pengeluaran energi dan membatasi tingkat metabolisme yang menurun, seiring
dengan penurunan berat badan. Kerja utama sirbutramin adalah menghambat reuptake monoamine, memblok re-uptake dari norephineprin serta serotonin. Obat
anti obesitas seperti fentermin digunakan terutama untuk efek anorektik yang
dimilikinya. Obat ini membuat pasien makan lebih sedikit dan membantu untuk
lebih aktif melalui stimulasi sentral. Penggunaan obat harus hati-hati, karena dapat
menyebabkan hipertensi pulmonal atau defek katup jantung. Terutama bila
diberikan bersama fenfluramin atau deksenfluramin (Ethical Digest, 2008).
Sibutramine dan orlistat merupakan obat-obatan penurun berat badan yang
telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat, untuk penggunaan jangka panjang.
Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat berguna.
Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif
menurunkan

berat

badan

dan

mempertahankannya.

Dengan

pemberian

sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.

Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat hipertensi,


penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, aritmia atau riwayat strok
Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan
pemberian orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi
malabsorpsi parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang
timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter dibutuhkan untuk
mengawasi tingkat efikasi dan keamanan (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
Terapi pembedahan hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara
klinis dengan BMI 40 atau 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini
harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan
farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrem.
Digunakan dua jenis tindakan pembedahan yaitu malabsorptif dan
restriktif. Perencanaan tindak lanjut yang sesuai harus dilakukan bersama pasien
untuk mengatasi komplikasi. Kondisi malabsorpsi yang timbul dari operasi pintas
(bypass) terkait dengan defisiensi gizi dan memerlukan suplementasi (Mary,
2006).
Pembedahan harus dipertimbangkan jika risiko yang ada akibat obesitas
lebih besar dibandingkan dengan risiko pembedahan. Keberhasilan pembedahan
jangka panjang bergantung pada kemampuan pasien untuk mengubah perilakunya
dan setia menindaklanjutinya secara jangka panjang. Sekitar 70% pasien
mempertahankan penurunan berat badan sebesar 50% untuk 5 tahun.
Pada restriksi lambung, yang juga dikenal sebagai vertical banded
gastroplasty dan stomach stapling, ukuran lambung dikurangi dengan
pembedahan sehingga pasien merasa penuh setelah makan dalam jumlah sedikit.
Jajaran staple dalam bentuk vertikal dimasukkan melalui lambung pasien,
mengurangi ukuran lambung antara 15 dan 30 ml. Pita mengurangi lubang dari

kantong bagian atas menjadi sekitar 1 cm, yang menunda pengosongan lambung.
Setelah beberapa waktu, kantong dapat diregangkan untuk menahan makanan
lebih banyak. Dalam proses adjustable gastric banding, pembalut dari silikon karet
ditempatkan di sekeliling bagian atas lambung, membentuk kantong kecil dengan
lubang sempit ke dalam bagian lambung yang lebih besar. Pembalut tersebut dapat
dikembangkan atau dikempiskan menggunakan larutan salin lewat slang yang
terhubung dengan akses di bawah kulit sehingga ukuran lubang lambung dapat

disesuaikan. Prosedur itu dapat dilakukan laparoskopi.


Prosedur malabsorptif/restriktif antara lain (Brenna, 2011):
Pintas lambung dikenal juga sebagai Roux-en-Y gastric bypass, prosedur ini
menggabungkan restriksi lambung dengan pintas duodenum, serta bagian pertama
yeyunum. Prosedur paling sering dilakukan pada penurunan berat badan secara

bedah dan dianjurkan untuk penurunan berat badan dan jangka panjang.
Pengalihan biliopankreatik Prosedur ini merupakan operasi yang lebih sulit;
bagian bawah lambung dibuang dan kantong yang tersisa dihubungkan dengan
segmen terminal usus halus sehingga memintas duodenum dan yeyunum. Operasi
jenis ini jarang digunakan karena menyebabkan defisiensi nutrisi. Pasien yang
menjalani pengalihan biliopankreatik harus mendapat suplemen vitamin larut
lemak (A,D,E, dan K). Pada versi modifikasinya, bagian lambung yang lebih
besar dan katup pilorus tetap ada sehingga pergerakan isi lambung ke dalam
duodenum dapat dikendalikan. Dengan variasi ini, pasien dapat lebih banyak
makanan daripada mengikuti prosedur lain.
2.1.6. Komplikasi Obesitas

Pasien obesitas biasanya mengalami risiko terserang berbagai penyakit dan


gangguan kesehatan. Beberapa di antaranya yang paling sering menjadi ancaman
akibat komplikasi dari obesitas adalah (Kompas, 2009):
1. Gangguan Jantung dan Pembuluh Darah
Obesitas merupakan penyebab utama terjadinya penyakit jantung dan
pembuluh darah (kardiovaskuler). Pasalnya, obesitas menyebabkan peningkatan
beban kerja jantung, karena dengan bertambah besar tubuh seseorang maka
jantung harus bekerja lebih keras memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh.
Bila kemampuan kerja jantung sudah terlampaui, terjadilah yang disebut gagal
jantung. Tanda-tandanya, napas sesak dan timbulnya bengkak pada tungkai.
Pengidap obesitas juga sering mengalami hipertensi karena pembuluh darah
menyempit akibat jepitan timbunan lemak. Kombinasi obesitas dan hipertensi ini
tentu saja memperberat kerja jantung. Akibatnya, timbul penebalan pada dinding
bilik jantung disertai kekurangan oksigen. Keadaan ini akan mempercepat
timbulnya gagal jantung.
2. Gangguan fungsi paru-paru
Lagi-lagi timbunan lemak menjadi pemicu masalah. Pada pengidap
obesitas, timbunan ini dapat menekan saluran pernapasan. Ini bisa menyebabkan
terjadinya henti napas saat tidur (sleep apnea). Gangguan seperti ini lama-lama
dapat menyebabkan gagal jantung juga dan berujung dengan kematian.
3. Diabetes dan peningkatan kolesterol
Obesitas dapat menyebabkan terjadinya penyakit Diabetes Melitus. Ini
disebabkan timbulnya gangguan fungsi insulin pada pengidapnya.
Gangguan fungsi insulin ternyata juga mengakibatkan gangguan
metabolisme lemak (dislipidemia). Ini dapat dilihat dari terjadinya peningkatan
kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, namun disertai penurunan
kolesterol HDL.

Peningkatan kadar LDL disertai penurunan kadar kolesterol HDL berujung


terbentuknya

arterosklerosis. Arterosklerosis

akan

memperkecil

diameter

pembuluh darah, sehingga menyebabkan penyakit jantung koroner dan serangan


stroke.
4. Gangguan Persendian
Obesitas akan menyebabkan peningkatan beban pada persendian
penyangga berat. Misalnya persendian lutut sehingga lama-lama dapat
menimbulkan peradangan persendian (osteoartritis). Komplikasi lebih lanjutnya
adalah penderita tidak sanggup berjalan lagi.
5. Gangguan Sistem Hormonal
Obesitas ternyata juga mempengaruhi sistem hormonal dalam tubuh. Pada
perempuan, obesitas menyebabkan haid pertama (menarkhe) datang lebih awal.
Pada wanita dewasa, obesitas dapat menyebabkan gangguan keseimbangan
hormonal (hiperandrogenisme, hirsutisme), dan gangguan siklus menstruasi.
Hiperandrogenisme berarti jumlah hormon androgen meningkat.
Akibatnya terjadi hirsutisme (tanda maskulinisasi). Misalnya jerawatan, distribusi
bulu-bulu di wajah dan badan, bahkan mungkin perubahan suara menjadi berat
seperti suara lelaki.
Pada wanita, obesitas juga peningkatan risiko timbulnya batu empedu. Ini
terjadi karena cairan empedu menjadi lebih kental.
6. Risiko penyakit keganasan (kanker)
Hasil penelitian menunjukkan, pada wanita yang sudah mengalami
menopause, obesitas meningkatkan risiko timbulnya kanker rahim (endometrium)
dan kanker payudara. Sedangkan pada pria, kegemukan dapat meningkatkan
risiko terserang kanker prostat dan kanker usus besar (kolorektal).
7. Gangguan Psikologis
Orang dengan obesitas juga sering kali mengalami gangguan psikologis
berupa rasa rendah diri, keadaan depresi, bahkan bisa terkucil dari pergaulan

sosial. Terlebih lagi bila lingkungan di sekitarnya tidak memberi dukungan,


melainkan lebih banyak memperolok-olok kegemukannya.
2.2. FUNGSI PARU
Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan
dan membuang karbon dioksida. Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan dapat
dibagi menjadi empat fungsi utama: 1) ventilasi paru, yang berarti masuk dan
keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli paru; 2) difusi oksigen dan karbon
dioksida antara alveoli dan darah; 3) pengangkutan oksigen dan karbondioksida
dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel jaringan tubuh dan 4) pengaturan
ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan.
Paru-paru dapat dikembangkempiskan melalui dua cara yaitu: 1) dengan
gerakan naik turunnya diafragma untuk memperbesar atau memperkecil rongga
dada, dan 2) dengan depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau
memperkecil diameter anteroposterior rongga dada (Guyton dan Hall, 2008).
Situasi faal paru seseorang dikatakan normal jika hasil kerja proses
ventilasi, distribusi, perfusi, difusi serta hubungan antara ventilasi dengan perfusi
pada orang tersebut dalam keadaan santai menghasilkan tekanan parsial gas darah
arteri (PaO2 dan PaCO2) yang normal. Yang dimaksud dengan keadaan santai
adalah keadaan ketika jantung dan paru tanpa beban-kerja yang berat
(Djojodibroto, 2009).
Saat istirahat, paru menyerap 4 L/mnt udara dan 5 L/mnt darah,
mengalirkan keduanya dalam jarak 0,2 m satu sama lain, dan kemudian
mengembalikan keduanya ke tempat masing-masing. Pada olahraga maksimal,
aliran dapat meningkat hingga 100 L/mnt ventilasi dan 25 L/mnt curah jantung.
Karena itu, paru menjalankan fisiologis utamanya menyediakan oksigen bagi

jaringan untuk metabolisme dan membuang produk sampingan utama dari


metabolisme tersebut: karbon dioksida (Mcphee dan Ganong, 2011).
1.2.1. Proses Pernapasan
1.2.1.1.
Ventilasi
Istilah ventilasi menyangkut volume udara yang bergerak masuk dan
keluar dari hidung atau mulut pada proses bernapas (Djojodibroto, 2009).
Ventilasi terdiri dari dua tahap, yaitu:
a) Inspirasi
Inspirasi merupakan proses aktif. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot-otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan
otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Kontraksi
otot-otot antariga eksternal mengangkat iga-iga untuk memperbesar rongga toraks
dari depan ke belakang dan sisi ke sisi (Sherwood, 2001). Toraks membesar ke
tiga arah: anteroposterior, lateral dan vertikal. Peningkatan volume ini
menyebabkan penurunan tekanan intrapleura dari sekitar -4 mmHg (relatif
terhadap tekanan atmosfer) menjadi -8 mmHg bila paru mengembang pada waktu
inspirasi. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan napas
menurun sampai sekitar -2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0
mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan napas dan
atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan napas
pada akhir inspirasi (Price dan Wilson, 2006). Pada akhir inspirasi, daya rekoil
paru mulai menarik dinding dada kembali ke kedudukan ekspirasi, sampai
tercapai keseimbangan kembali antara daya rekoil jaringan paru dan dinding dada.
Pada inspirasi kuat, tekanan intrapleura turun mencapai -30 mmHg,
menimbulkan pengembangan jaringan paru yang lebih besar. Apabila ventilasi

meningkat, derajat pengempisan jaringan paru juga ditingkatkan melalui kontraksi


aktif otot-otot ekspirasi yang menurunkan volume intratorakal (Ganong, 2006).
b) Ekspirasi
Dalam keadaan normal, ekspirasi adalah suatu proses pasif karena terjadi
akibat penciutan elastik paru saat otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan
kontraksi otot atau pengeluaran energi (Sherwood, 2001). Pada waktu otot
interkostalis eksternus relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke
atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot
interkostalis internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu
ekspirasi kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu otot-otot
abdomen dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdominal membesar dan
menekan diafragma ke atas. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan
tekanan intrapleura maupun intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang
meningkat dan mencapai sekitar 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer.
Selisih tekanan antara jalan napas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara
mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan napas dan tekanan atmosfer
menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada di
bawah tekanan atmosfer selama siklus pernapasan. Perubahan ventilasi dapat
dinilai dengan uji fungsional paru (Price dan Wilson, 2006).
Difusi
Secara umum difusi diartikan sebagai peristiwa perpindahan molekul dari

1.2.1.2.

suatu daerah yang konsentrasi molekulnya tinggi ke daerah yang konsentrasinya


lebih rendah. Peristiwa difusi merupakan peristiwa pasif yang tidak memerlukan
energi ekstra. Peristiwa difusi yang terjadi di dalam paru adalah perpindahan
molekul oksigen dari rongga alveoli melintasi membrana kapiler alveolar,

kemudian melintasi plasma darah, selanjutnya menembus dinding sel darah merah
dan akhirnya masuk ke interior sel darah merah sampai berikatan dengan
hemoglobin (Djojodibroto, 2009).
Gas berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler paru atau sebaliknya
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis yang dibentuk oleh epitel pulmonal
endotel kapiler serta membrana basalis masing-masing yang berfusi. Tercapai atau
tidaknya keseimbangan senyawa yang melintas dari alveoli ke dalam darah
kapiler dalam waktu 0,75 detik yang diperlukan darah untuk melewati kapiler
paru pada saat istirahat bergantung pada reaksinya dengan senyawa dalam darah
(Ganong, 2006). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih antara
tekanan parsial antara darah dan fase gas.
Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada permukaan laut besarnya
sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Pada waktu O2 sampai di trakea,
tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai 149 mmHg karena
dihangatkan dan dilembabkan di jalan napas. Tekanan parsial O 2 yang diinspirasi
akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat mencapai alveoli karena tercampur
dengan udara dalam ruang mati (dead space) anatomik pada saluran napas. Hanya
udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif. Tekanan
parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler paru kira-kira sebesar 40
mmHg. PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2=103
mmHg) sehingga O2 mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan
antara darah dan PaCO2 yang jauh lebih rendah (6 mmHg) menyebabkan CO2
berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer, yang
konsentrasinya pada hakekatnya nol. Kendati selisih CO2 antara darah dan

alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena dapat berdifusi melintasi
membrana alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih cepat dibandingkan dengan O 2
karena daya larutnya lebih besar (Price dan Wilson, 2006).

Faktor

Pengaruh
Pertukaran

pada

Kecepatan Komentar

Gas

Melintasi

Membran Alveolus
Gradien

tekanan Kecepatan

parsial antara O2 meningkat


dan CO2
Luas

pertukaran Penentu utama kecepatan


jika

gradien pertukaran.

tekanan parsial meningkat.


permukaan Kecepatan

membran alveolus

pertukaran Bersifat tetap -> pada

meningkat

jika

luas istirahat, meningkat ->

permukaan meningkat.

saat olahraga, menurun


->

pada

keadaan

patologis
Ketebalan

sawar Kecepatan

memisahkan udara menurun

pertukaran Normal
jika

->

membran alveolus

patologis.

(daya

larut

difusi Kecepatan
gas meningkat

dalam membran)

ketebalan

ketebalan tidak berubah. Meningkat

& darah melintasi meningkat.

Koefisien

->

pada

keadaan

pertukaran CO2 20 kali lebih besar


jika

difusi meningkat.

koefisien dari

O2

mengimbangi

gradien tekanan parsial


CO2.

Tabel 2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Pertukaran Gas Melintasi


Membran Alveolus (Sherwood, 2001).
Ventilasi-Perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru

1.2.1.3.

membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran darah)
dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit pulmonar harus
sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam keadaan istirahat,
ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru. Sirkulasi
pulmonar dengan tekanan dan resistensi mengakibatkan aliran darah di basis paru
lebih besar daripada di bagian apeks paru, disebabkan pengaruh gaya tarik bumi.
Namun, ventilasinya cukup merata (Price dan Wilson, 2006).
Walaupun secara normal beberapa alveolus tetap terisi, dan terutama pada
banyak penyakit paru, sebagian daerah paru terventilasi secara baik tetapi hampir
tidak mempunyai aliran darah, sedangkan daerah yang lain mungkin mempunyai
aliran darah yang sangat baik tapi ventilasinya sedikit atau tidak ada. Pada
kondisi-kondisi ini, pertukaran gas melalui membran pernapasan sangat
terganggu, dan seseorang dapat menderita distres pernapasan yang berat walaupun
ventilasi total dan aliran darah paru totalnya normal, tetapi dengan ventilasi dan
aliran darah yang mengalir ke bagian paru yang lain. Oleh karena itu, konsep yang
sangat kuantitatif telah dikembangkan untuk membantu memahami mengenai
pertukaran pernapasan bila terdapat ketidakseimbangan antara ventilasi alveolus
dan aliran darah alveolus. Konsep ini disebut rasio ventilasi-perfusi.
Secara kuantitatif, rasio ventilasi-perfusi dinyatakan sebagai VA/Q. Bila VA
(Ventilasi Alveolus) adalah normal untuk alveolus tertentu dan Q (aliran darah)

juga normal pada alveolus yang sama, maka rasio ventilasi-perfusi (VA/Q) juga
dikatakan normal (Guyton dan Hall, 2008).
Pada orang normal, ventilasi istirahat biasanya sekitar 6 L/mnt. Sekitar
sepertiga dari jumlah ini mengisi saluran napas penghubung dan membentuk
ruang mati (dead space) atau wasted ventilation. Karena itu, ventilasi alveolus
pada keadaan istirahat menjadi sekitar 4 L/mnt, sementara aliran darah paru
adalah sekitar 5 L/mnt. Hal ini menghasilkan rasio keseluruhan ventilasi terhadap
perfusi sebesar 0,8 (Mcphee dan Ganong, 2011).
Kalau rasio VA/Q cocok, darah kotor dari sistem vena akan kembali ke
ventrikel kanan dan kemudian melalui arteri pulmonalis memasuki paru-paru
dengan membawa karbondioksida. Pembuluh arteri bercabang menjadi kapiler
alveolar tempat pertukaran gas terjadi (Kowalak dkk, 2012).
Perubahan distribusi rasio ventilasi terhadap perfusi merupakan hal yang
sangat penting dan menjadi gangguan fungsional yang mendasari banyak penyakit
(Mcphee dan Ganong, 2011). Menurut Price dan Wilson (2006), terdapat tiga unit
pernapasan abnormal secara teoretis, yaitu:
a) Unit ruang mati (dead space unit) bila terdapat ventilasi yang adekuat (V A) tapi
perfusinya nol (Q), maka rasionya (VA/Q) adalah tak terhingga, tidak terjadi
pertukaran gas melalui membran pernapasan pada alveoli yang terkena (Guyton
dan Hall, 2008). Kalau rasio VA/Q tinggi, ventilasi berjalan normal tetapi, perfusi
alveoli menurun. Keadaan ini terjadi karena defek perfusi, seperti emboli paru
atau gangguan yang menurunkan curah jantung (Kowalak, 2012).
b) Unit pirau (shunt unit) bila ventilasi (VA) nol namun masih ada perfusi (Q) pada
alveolus, maka rasio ventilasi-perfusinya adalah nol (Guyton dan Hall, 2008).
Kalau rasio VA/Q rendah, sirkulasi pulmoner adekuat, tetapi tidak terdapat cukup

oksigen untuk difusi yang normal. Bagian darah yang mengalir melalui pembuluh
darah paru tidak mengalami oksigenasi (Kowalak dkk, 2012).
c) Unit diam (silent unit) saat tidak terdapat ventilasi maupun perfusi. Bagian darah
yang mengalir melalui pembuluh darah paru tidak mengalami oksigenasi
(Kowalak, 2012).
Transportasi Gas
Transportasi adalah proses perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari

1.2.1.4.

jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah.

Gas

Metode Transportasi dalam Darah

Persentase

yang

Diangkut

Dalam Bentuk ini


O2

CO2

Larut secara Fisik

1,5

Terikat ke Hemoglobin

98,5

Larut secara fisik

10

Terikat ke hemoglobin

30

Sebagai bikarbonat (HCO3-)

60

Tabel 2.3 Metode Transportasi Gas dalam Darah


1.2.2. Volume dan Kapasitas Paru
1.2.2.1.
Volume Paru
Arti dari masing-masing volume paru adalah (Guyton dan Hall, 2008):
a) Volume Tidal (VT) adalah volume udara yang diinspirasikan atau diekspirasi
setiap kali bernapas normal. Volume tidal besarnya sekitar 500 ml pada lelaki
dewasa dalam keadaan istirahat tetapi dapat meningkat sampai 3000 ml pada
waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bernapas dalam (Price dan Wilson, 2006).
b) Volume Cadangan Inspirasi (inspiratory reserve volume, VCI) adalah volume
udara yang ekstra yang dapat diinspirasi setelah dan di atas volume tidal normal
bila dilakukan inspirasi kuat. Volume cadangan inspirasi dihasilkan oleh kontraksi

maksimum diafragma, otot antariga eksternal, dan otot inspirasi tambahan


(Sherwood, 2001); biasanya mencapai 3000 ml.
c) Volume Cadangan Ekspirasi (expiratory reserve volume, VCE) adalah volume
udara ekstra maksimal yang dapat diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir
ekspirasi tidal normal; jumlah normalnya adalah sekitar 1100 ml.
d) Volume Residu (VR) yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru
setelah ekspirasi paling kuat; volume ini besarnya kira-kira 1200 ml.
e) Volume Ekspirasi Paksa (forced expiratory volume, FEV1). Volume udara yang
dapat diekspirasi selama detik pertama ekspirasi selama detik pertama ekspirasi.
Biasanya FEV1 adalah sekitar 80%; yaitu, dalam keadaan normal 80% udara yang
dapat dipaksa keluar dari paru yang mengembang maksimum dapat dikeluarkan
dalam 1 detik pertama.
1.2.2.2.
Kapasitas Paru
Untuk menguraikan peristiwa-peristiwa dalam siklus paru, kadang-kadang
perlu menyatukan dua atau lebih volume di atas. Kombinasi seperti itu disebut
sebagai kapasitas paru, yang dapat diuraikan sebagai berikut (Guyton dan Hall,
2008):
a) Kapasitas Inspirasi sama dengan volume tidal ditambah volume cadangan
inspirasi. Ini adalah jumlah udara (kira-kira 3500 ml) yang dapat dihirup
seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai
maksimum.
b) Kapasitas Residu Fungsional sama dengan volume cadangan ekspirasi ditambah
volume residu. Ini adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada akhir
ekspirasi normal (kira-kira 2300 ml).
c) Kapasitas Vital sama dengan volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal
dan volume cadangan ekspirasi. Ini adalah jumlah udara maksimum yang dapat

dikeluarkan seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara
maksimum dan kemudian mengeluarkan sebanyak-banyaknya (kira-kira 4600 ml).
d) Kapasitas paru total adalah volume maksimum yang dapat mengembangkan paru
sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat mungkin (kira-kira 5800 ml); jumlah ini
sama dengan kapasitas vital ditambah volume residu.
Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25
persen lebih kecil daripada pria, dan lebih besar lagi pada orang yang atletis dan
bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis.
1.3. UJI FAAL PARU
Uji fungsi paru yang paling sederhana adalah ekspirasi paksa. Uji fungsi
tersebut juga merupakan salah satu uji yang paling informatif dan hanya
membutuhkan sedikit peralatan serta mudah dihitung (West, 2010). Alat yang
dipakai adalah spirometri. Spirometri adalah alat untuk mengukur volume udara
yang dihirup dan dihembuskan; alat ini terdiri dari sebuah tong berisi udara yang
terapung pada sebuah wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan
menghembuskan udara keluar-masuk tong melalui sebuah selang penghubung,
tong akan naik atau turun yang kemudian dicatat sebagai suatu spirogram.
Pencatatan tersebut dikalibrasi ke besarnya perubahan volume (Sherwood, 2001).
1.4. FAAL PARU PADA KELEBIHAN BERAT BADAN
Kelainan faal paru yang dijumpai pada penderita obesitas menggambarkan
perubahan fisiologis pada mekanika pernafasan dan resistensi aliran udara.
Derajat beratnya kelainan faal paru tergantung pada beratnya obesitas, dan
distribusi lemak tubuh. Abnormalitas faal paru yang paling sering dijumpai pada
obesitas adalah penurunan volume cadangan ekspirasi. Hal ini disebabkan oleh
beban massa dan pemindahan beban dari dinding thorax bagian bawah dan
abdomen ke paru-paru, serta naiknya posisi diafragma. Didapatkan pula

penurunan kapasitas vital paksa, dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
(Wulandari dan Edo, 2007).
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. KERANGKA KONSEP

Nilai Faal Paru


3.2. HIPOTESIS
PENELITIAN
Obesitas
Peneliti mempunyai hipotesis dalam
ini, yaitu :
1. penelitian
KV
Kenaikan berat badan berkolerasi positif
dengan
penurunan nilai :
2. KVP
Kapasitas vital (KV) 3. VEP1
Kapasitas vital paksa (KVP)
Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik pertama (VEP1)

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian Cross Sectional dengan statistik
deskriptif dan analitik (korelasi regresi).
4.2. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Universitas Malikussaleh dan RSUD Cut Meutia
Lhokseumawe pada bulan September 2012.
4.3. POPULASI DAN SAMPEL
4.3.1. Populasi
Menurut Sugiono (2005) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri
atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

4.3.2. Sampel Penelitian


Sampel adalah sebagian populasi yang dijadikan sebagai objek dan sumber
data dan informasi dalam penelitian yang dianggap mewakili dari suatu penelitian.
Dalam menentukan sampel dari objek penelitian ini ditetapkan dengan
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel yang
ditetapkan secara sengaja oleh peneliti. Sampel dalam penelitian ini adalah
responden yang dianggap berkaitan dengan seluruh mahasiswa-mahasiswi
Universitas Malikussaleh Lhokseumawe yang mempunyai berat badan berlebih
dan obesitas. Menurut Arikunto (2006) jika jumlah populasi kurang dari 100 maka
untuk dijadikan sampel diambil seluruhnya.
Persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subyek agar dapat
diikutsertakan ke dalam penelitian ini adalah :
a) Pada saat penelitian pemeriksaan fungsi paru tidak dalam kondisi sakit,
seperti : bronkitis, radang paru, asma dan alergi.
b) Tidak menderita penyakit diabetes melitus, gagal jantung dan penyakit
yang mempengaruhi fungsi pernapasan (misal miastenia gravis, dll).
c) Tidak cuti saat penelitian berlangsung (pemeriksaan fungsi paru)
d) Bersedia ikut partisipasi dalam penelitian
4.4. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL
4.4.1. Variabel
1. Variabel Umum Penderita
- Umur
- Jenis Kelamin
- Kebiasaan Merokok
- Berat badan (dalam kilogram)
- Tinggi Badan (dalam centimeter)
2. Faal Paru
- Kapasitas Vital (KV)
- Kapasitas Vital Paksa (KVP)
- Volume Ekspirasi Paksa (FEV1)
4.4.2. Definisi Operasional
4.4.2.1.
Kriteria Diagnosis Berat Badan

Pada penelitian ini digunakan kriteria kelebihan berat badan berdasarkan :


- Indeks Massa Tubuh (IMT)
BB
Rumus : IMT= (TB)2
Keterangan : BB = Berat badan (kg)
2
TB = Tinggi Badan ( m )

4.4.2.2.

Underweight= 20,0 kg/m2


Normal
= 20,1 25,0 kg/m2
Overweight = 25,1 30,0 kg/m2
Obesitas
= 30,1 40,0 kg/m2
Parameter Faal Paru
Kapasitas vital (KV) adalah jumlah maksimal udara yang bisa dikeluarkan

setelah inspirasi maksimal. Nilai normal KV adalah 80%.


Kapasitas vital paksa (KVP) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan
selama ekspirasi dengan paksa kuat dan cepat setelah melakukan inspirasi
maksimal. Besarnya hanya berbeda sedikit, kadang-kadang sama dengan
KV yang diperoleh dengan ekspirasi penuh biasa setelah inspirasi

maksimal. Orang normal mempunyai nilai KVP sebesar 80%.


Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik pertama (VEP1) adalah volume
udara yang dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik pertama dengan
ekspirasi paksa kuat dan cepat setelah inspirasi maksimal. Pada orang

4.4.2.3.

normal, udara yang dikeluarkan dalam 1 detik pertama mencapai 75%.


Kriteria Evaluasi Faal Paru
Grafik yang terdapat dalam pada spirogram diperiksa sebanyak 3 kali dan
dipilih yang terbaik dan terbesar nilainya. Harga yang didapat dibandingkan
dengan nilai normal secara individual berdasarkan umur dan jenis kelamin.
Responden yang mempunyai faal paru normal adalah apabila KV dan KVP
80% dan nilai FEV1 75%.
Disebut retriksi bila nilai KV dan KVP < 80% sedangkan FEV1 75%.

Anda mungkin juga menyukai