Anda di halaman 1dari 52

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
SEORANG WANITA 26 TAHUN DENGAN
TUMOR MEDIASTINUM, EFUSI PLEURA DEXTRA
dan ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROM
Telah didiskusikan tanggal:
Maret 2016

Pembimbing:

dr. Supartono, Sp. PD

Pelapor

Brolie Barseba
(406148159)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

Mengetahui

dr. Amrita, Sp. PD

I.

II.

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Ny. R

Umur

: 26 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Status

: Menikah

Alamat

: Ternadi 05/02 Dawe - Kudus

Status

: JAMKESDA

Nomor CM

: 725 759

Tanggal Masuk RS

: 30 Januari 2016

Tanggal Dikasuskan : 2 Febuari 2016

Tanggal Keluar

: 9 Febuari 2016

ANAMNESIS

Cara anamnesis :
Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan suami pasien pada tanggal 2
Febuari 2016 pukul 13.00 WIB di bangsal Melati 1 kamar D5

Keluhan utama :
Sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang :


4 bulan SMRS pasien mengeluhkan batuk. Batuk tidak berdahak dan
tidak ada darah. Pasien merasakan batuk terus menerus yang dialaminya
semakin lama semakin berat, Pasien juga merasakan nyeri pada dadanya,
nyeri dirasakan pada bagian tengah dada, nyeri seperti ditusuk-tusuk dan
tidak menembus kebagian belakang dada, nyeri dirasakan semakin hebat
ketika pasien batuk. Pasien sudah minum obat batuk namun pasien lupa
nama obatnya yang didapat dari mantri tetapi keluhan belum membaik.
2 bulan SMRS pasien merasakan sesak nafas, sesak dirasakan
memberat jika pasien berbaring, dan merasakan lebih enak ketika baring
dengan tiga tumpukan bantal, dan jika pasien miring kekanan. Sesak yang
dialami terus menerus dan semakin lama semakin memberat. Pasien juga

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

merasakan mual dan terkadang muntah, muntah isi makanan dan tidak ada
darah.
3 minggu SMRS pasien mengatakan timbul benjolan didada bagian
tengah atas, benjolan awalnya kecil dan semakin lama semakin membesar
kira-kira sebesar telor ayam, benjolan dirasakan nyeri. Pasien tidak
merasakan sulit menelan, suara serak (-), muka, leher dan lengan bengkak
(-). Pasien juga mengaku berat badan pasien menjadi turun semenjak sakit,
berat badan menurun 5kg.
3 hari SMRS pasien masih merasakan batuk, sesak dan terdapat
benjolan didada pasien disaran kan oleh perawat RS untuk melakukan foto
rontgen dada, hasil menunjukkan bahwa ada terdapat tumor. Sehingga
pasien dibawa ke poliklinik dan disaran kan rawat inap melalui IGD.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat Diabetes Melitus (-)

Riwayat asma (-)

Riwayat tekanan darah tinggi (-)

Riwayat penyakit jantung, (-)

Riwayat penyakit hati (-)

Riwayat penyakit paru (-)

Riwayat tumor (-)

Riwayat Keluarga :

Tidak ada keluarga pasien mangalami keluhan yang serupa.

Riwayat Diabetes Melitus (-)

Riwayat asma (-)

Riwayat tekanan darah tinggi (-)

Riwayat penyakit jantung, (-)

Riwayat penyakit hati (-)

Riwayat penyakit paru (-)

Riwayat tumor (-)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

Riwayat Kebiasaan:

Minum jamu-jamuan

Pasien suka makanan asin, dan kemasan.

Rokok, disangkal

Konsumsi alkohol, disangkal

Riwayat Sosial dan Pekerjaan :

Pasien tidak bekerja. Suaminya bekerja sebagai buruh bangunan .


Biaya rumah sakit ditanggung oleh JAMKESDA.

Riwayat Lingkungan

Pasien tinggal serumah dengan suami, orang tua dan 1 orang anaknya.
Suami dan orang tua pasien merokok dirumah.

III.

PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 2 Febuari 2016)

Keadaan Umum

: tampak sakit ringan

Kesadaran

: compos mentis

TD

: 120/80 mmHg

Nadi

: 84 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup

Laju pernafasan

: 24 x/menit

Suhu

: 36,7 oC (aksila)

SpO2

: 97%

BB

: 48 kg

TB

: 154 cm

IMT

: 20,23 kg/m2normoweight

Kulit

Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit baik

Kepala

Normochepal, rambut hitam, terdistribusi merata

Mata

Pupil isokor, diameter pupil 3mm, refleks cahaya (+/+),


konjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), edema palpebra(-/), exopthalmus (-/-)

Telinga

Nyeri tekan tragus (-), sekret (-), edema (-), edema (-),
hiperemis (-)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

Hidung

Deviasi septum hidung (-), rhinorhea (-), epistaksis (-), nafas


cuping hidung (-/-)

Mulut

Sulcus nasolabialis simetris, sianosis (-), lidah normal, tremor


(-), deviasi lidah (-), faring hiperemis (-), uvula normal, mouth
ulcer (-)

Leher

Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, nyeri tekan (), pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-), JVP 5+2cm H20

PARU DEPAN

INSPEKSI

KANAN

KIRI

Bentuk dada bagian depan simetris


Frekuensi pernafasan 24x/menit, sifat pernafasan abdomino-torakal
Tidak terdapat retraksi suprasternal, supraklavikula dan interkostal

PALPASI

Palpasi secara umum tidak terdapat Palpasi secara umum tidak terdapat
benjolan pada dinding dada

benjolan pada dinding dada

Pergerakan dinding dada kanan sedikit Pergerakan dinding dada normal


Stem fremitus normal, lebih kuat

tertinggal

PERKUSI

Stem fremitus melemah di lapang paru

dari kanan, di lapang paru samping

samping dan bawah kanan, dan sama

dan bawah kanan, dan sama kuat di

kuat di lapang paru atas kanan dan kiri

lapang paru atas kanan dan kiri

Sonor di lapang paru atas

Sonor di lapang paru atas, bawah

Redup di lapang paru tengah, bawah,

dan samping

dan samping (inferior ICS IV)


Batas peranjakan paru-hati sulit dinilai
Terdengar
AUSKULTASI

suara

bronkial

di Terdengar

suara

bronkial

di

manubrium sterni, bronkovesikuler di

manubrium sterni,bronkovesikuler

ICS I dan II

di ICS I dan II, dan vesikuler di

Suara dasar vesikuler melemah di


lapang paru bawah dan samping

seluruh lapang paru


Wheezing (-), ronkhi (-)

Wheezing (-), ronki (-)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

Paru Belakang

INSPEKSI

KANAN

KIRI

Bentuk dada bagian belakang normal, letak dan bentuk skapula normal, letak
dan bentuk kolumna vertebralis normal.

PALPASI

Palpasi secara umum tidak terdapat Palpasi secara umum tidak terdaat
benjolan pada dinding dada

benjolan pada dinding dada

Pergerakan dinding dada kanan sedikit Pergerakan dinding dada normal


Stem fremitus normal, lebih kuat

tertinggal

PERKUSI

Stem fremitus melemah di lapang paru

dari kanan di lapang paru samping

samping dan bawah kanan, dan sama

dan bawah kanan, dan sama kuat di

kuat di lapang paru atas kanan dan kiri

lapang paru atas kanan dan kiri

Sonor di lapang paru atas


Redup di lapang paru bawah, dan
samping (inferior Th.6)
Batas paru belakang bawah setinggi

Sonor di lapang paru atas, bawah


dan samping
Batas

paru

belakang

bawah

setinggi vertebra torakal XI

vertebra torakal XI

AUSKULTASI Terdengar suara nafas vesikuler di Terdengar suara nafas vesikuler di


lapang paru atas dan melemah di

lapang paru atas, tengah, bawah

lapang paru bawah dan samping

dan samping

Wheezing (-), Ronkhi (-)

Wheezing (-), ronkhi (-)

JANTUNG
Inspeksi

Pulsasi ictus cordis tidak tampak

Palpasi

Teraba pulsasi ictus cordis di ICS V MCLS, kuat angkat, lebar + 2 cm

Perkusi

Redup

Batas atas jantung di ICS II PSLS


Batas kanan jantung di ICS III PSLD
Batas Kiri jantung di ICS III PSLS
ICS IV 2cm medial MCLS
ICS V MCLS
Kesan : Pinggang jantung dalam batas Normal

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

Auskultasi

BJ I/II reguler,

Katup aorta: A2 > P2, tidak terdengar murmur

murmur (-), gallop (-),

Katup pulmonal: P2 > A2, tidak terdengar murmur

pulsus defisit (-),

Katup trikuspid: T1 >T2, tidak terdengar murmur

HR 84 x/menit,

Katup mitral : M1 > M2, Murmur (-), Gallop (-)

regular

ABDOMEN
flat, simetris, benjolan (-),pulsasi pada epigastrium (-), bekas luka (-), striae
Inspeksi

(-), distensi vena (-)

Auskultasi

bising usus (+) normal 12x/menit

Perkusi

timpani seluruh kuadrant abdomen, nyeri ketok CVA (-/-)

Palpasi

Supel, tahanan (-), tidak teraba hepar dan lien, pulsasi aorta (-), nyeri tekan
dan nyeri lepas (-) pada 4 kuadran abdomen, ballottement ginjal (-/-)

Ektremitas

Superior

Inferior

Pembesaran kel. Limfe aksiler

Pembesaran kel. Limfe inguinal

Edema

-/-

-/-

Ikterik

-/-

-/-

Sianosis

Petechiae

Akral

hangat

hangat

Tonus

N/N

N/N

Genitalia dan anus

Pemberton maneuver test : Negatif

: tidak diperiksa

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

I.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hematologi pada tanggal 30 Januari 2016


PEMERIKSAAN

HASIL

SATUAN

Hemoglobin
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
Lekosit
Netrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
MCH
MCHC
MCV
RDW
MPV
PDW

10.9
4.88
35.5
372
7.4
77.7
10.3
9.2
0.9
0.3
22.3
30.7
72.7
16.2
9.3
10.0

g/dL
Jt/ul
%
10^3/ul
10^3/ul
%
%
%
%
%
pg
g/dL
fL
%
fL
fL

PEMERIKSAAN

HASIL

SATUAN

Ureum
Creatinin

11.7
0.6

mg/dL
mg/dL

NILAI
RUJUKAN
12.0 15.0
4.0 5.1
36 - 47
150 400
4.0 12.0
50 70
25 40
28
24
01
27.0 31.0
33.0 37.0
79.0 99. 0
10.0 15.0
6.5 11.0
10.0 18.0

Pemeriksaan kimia klinik

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

NILAI
RUJUKAN
19 44
0.6 1.3

Pemeriksaan Foto Thorax pada tanggal 28 Januari 2016

Cor : besar sulit dinilai


Pulmo : massa diparahiler kanan-kiri batas dengan mediastinum sulit dipisahkan
Diafragma sinus kanan tumpul
Kesan : Cor besar sulit dinilai
Massa mediastinum
Efusi pleura kanan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

Pemeriksaan CT SCAN THORAX pada tanggal 2 Febuari 2016

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

10

Hasil :
- Tampak massa di mediastinum superior anterior ukuran.
6,92x11,2x5,98.
- Post pemberian kontras tampak enhancement ringan pada
massa
- Efusi pleura kanan masif
- Bronkus dan trakea terdesak kekanan ringan
- Sistem pembuluh darah normal
- Tak tampak destruksi costae
Kesan: - Tampak massa di mediastinum superior anterior ukuran
6,92x11,2x5,98.
DD: Tymoma
Lymphoma
- Efusi pleura kanan masif.

II.

Problem aktif
1. TUMOR MEDIASTINUM SUPERIOR
2. EFUSI PLEURA DEXTRA
3. ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROM

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

11

III.

Rencana Pemecahan Masalah

PROBLEM 1 :
TUMOR MEDIASTINUM SUPERIOR
Initial assessment :

Mencari ada tidaknya kegawatan (kegawatan nafas/ non-nafas)

Menentukan jenis tumor (tumor ganas/jinak).

Menentukan Staging tumor

Mencari komplikasi (obstruksi trakea, sindrom VCS, rupture


esophagus)

Initial plan
plan diagnostic :
Endoskopi (brokoskopi, mediastinoskopi)
Pemeriksaan Patologi Anatomi (sitologi dan histologi )
plan terapi :
- metilprednisolone 2x 6,25
- Bedah
plan monitoring :
-

keadaan umum

TTV

Pemerikasaan fisik

plan edukasi :
- menjelaskan tentang penyakit yang diderita dan tindak lanjut yang akan
dilakukan untuk penanganan

PROBLEM 2:
EFUSI PLEURA DEXTRA
Initial assessment :
Menentukan jenis cairan efusi (Transudat/Eksudat)
Mencari etiologi
Plan diagnostic :
- pungsi cairan pleura/torakosentesis.
- biopsy pleura
Plan terapi :
-

Tirah baring posisi setengah duduk

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

12

Pungsi terapeutik

Pleurodesis paru kanan

Plan monitoring :
-

Keluhan subjektif (terutama keluhan sesak nafas), tanda-tanda


vital (TD, RR, nadi, suhu dan SPO2), pemeriksaan fisik paru

Foto thorax

Plan edukasi :
- menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit yang
diderita pasien, pemeriksaan, dan pengobatan yang harus dilakukan
PROBLEM 3 :
ANEMIA MIKROSITIK HIPOKROM
Initial assessment :

Mencari etiologi (anemia defisiensi besi, thalesemia major, anemia


akibat penyakit kronik, anemia sideroblastik)

Initial plan
plan diagnostic : Serum Fe, Feritin serum, TIBC, elektroforesis HB,
pemeriksaan sumsum tulang.
plan terapi : terapi suportif, terapi kausal.
plan monitoring :keluhan subjektif, pemeriksaan kadar Hb, hapusan darah
tepi dan indeks eritrosit.
plan edukasi :
- menjelaskan tentang penyakit yang diderita dan tindak lanjut yang akan
dilakukan untuk penanganan.
-

Makan makanan tinggi protein terutama protein hewani.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

13

IV.

CATATAN KEMAJUAN
Tanggal 3 febuari 2016

Sesak (+), batuk (+) , nyeri dada.

Keadaan umum

: lemah

Kesadaran

: compos mentis

RR

: 26 x/menit

Tensi

: 130/80 mmHg

Nadi

: 90 x/menit, isi dan tegangan cukup, regular

Suhu

: 36,6o C (Aksila)

SpO2

: 97%

A : Tumor
mediastinum
Efusi pleura
dextra

P:

M: -

RL 20 tpm
Metylprednisolone 2x62,5
Ranitidine 2x1
Pungsi pleura diagnostik
KU, TTV, Keluhan subjektif, pemeriksaan fisik
Analisis cairan pleura

Ex
: menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit yang
diderita pasien, pemeriksaan, dan pengobatan yang harus dilakukan

Tanggal 4 febuari 2016


S

Sesak (+), batuk (+), dada sedikit nyeri.

Keadaan umum

: lemah

Kesadaran

: compos mentis

RR

: 25 x/menit

Tensi

: 130/80 mmHg

Nadi

: 90 x/menit, isi dan tegangan cukup, regular

Suhu

: 36,6o C (Aksila)

SpO2

: 97%

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

14

A:
- Tumor
mediastinum
- Efusi pleura
dextra

P : RL 20 tpm
Metylprednisolone 2x62,5
Ranitidine 2x1
Kolaborasi Sp.P
M: - KU, TTV, Keluhan subjektif
Ex

rencana pungsi pleura


: menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai kondisi

pasien, perjalanan penyakit, komplikasi, cara mencegah perburukan

Pemeriksaan Sitologi (Cairan pleura) pada tanggal 4 Febuari 2016


PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
NILAI
RUJUKAN
BTA Cairan
Negatif
Negatif
JUMLAH SEL
Eritrosit
200
/mm3
Lekosit
/mm3
H 200
HITUNG JENIS SEL
PMN
%
H3
MN
%
H 97
Protein
g/dL
H 4.3
Gula cairan
g/dL
H 135
RIVALTA
Positif
MAKROSKOPIS :
Warna :kuning
Kejernihan : agak keruh
Bekuan : positif / (+) ada jendalan merah sedikit ( bekas tusukan?)
Kesimpulan : cairan pleura eksudat.

Tanggal 5 febuari 2016


S

Sesak (<), batuk (+),

Keadaan umum

: lemah

Kesadaran

: compos mentis

RR

: 22 x/menit

Tensi

: 120/100 mmHg

Nadi

: 88 x/menit, isi dan tegangan cukup, regular

Suhu

: 36,8o C (Aksila)

SpO2

: 99%

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

15

Paru Depan
Inspeksi

Bentuk dada bagian depan simetris.

Paru Belakang
Bentuk dada bagian belakang

Pergerakan dinding dada simetris normal, letak dan bentuk skapula


kanan dan kiri

normal, letak dan bentuk kolumna

Tidak terdapat retraksi suprasternal, vertebralis normal


supraklavikula dan interkostal
Pergerakan dinding dada simetris
kanan dan kiri
Palpasi

Stem fremitus sama kuat di lapang

Pergerakan dinding dada simetris

paru atas, samping dan bawah

kanan dan kiri. Stem fremitus sama

kanan dan kiri

kuat di lapang paru atas, tengah,


samping dan bawah kanan dan kiri

Perkusi

Sonor di kedua lapang paru

Sonor di kedua lapang paru. Batas paru


belakang bawah setinggi vertebra
torakal XI

Auskultasi Suara dasar vesikuler di seluruh


lapang paru. Wheezing (-), ronki (-)
A : Tumor
mediastinum
Efusi pleura
dextra

Suara dasar vesikuler di seluruh lapang


paru. Wheezing (-), ronki (-)

P:

RL 20tpm
Metylprednisolone 2x62,5
Ranitidine 2x1
Pungsi pleura 500 ml.

M: KU, TTV, Keluhan subjektif, Pemeriksaan Fisik


Ex

: menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai kondisi pasien,

perjalanan penyakit, komplikasi, cara mencegah perburukan

Tanggal 6 febuari 2016


S

Sesak (-), batuk (+), dada nyeri (-)

Keadaan umum

: lemah

Kesadaran

: compos mentis

RR

: 22 x/menit

Tensi

: 130/90 mmHg

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

16

Nadi

: 90 x/menit, isi dan tegangan cukup, regular

Suhu

: 36,6o C (Aksila)

SpO2

: 98%

A : Tumor
mediastinum
Efusi pleura
dextra

P:

RL 20tpm
Metylprednisolone 1x62,5
Ranitidine 2x1

M: KU, TTV, Keluhan subjektif, pemeriksaan fisik


Ex

: menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai kondisi pasien,

perjalanan penyakit, komplikasi, cara mencegah perburukan

Tanggal 7 febuari 2016


S

Sesak(-), batuk (+), dada nyeri (-)

Keadaan umum

: lemah

Kesadaran

: compos mentis

RR

: 20 x/menit

Tensi

: 120/80 mmHg

Nadi

: 84 x/menit, isi dan tegangan cukup, regular

Suhu

: 36,7o C (Aksila)

SpO2

: 98%

A : Tumor
mediastinum
Efusi pleura
dextra

P:

RL 20 tpm
Metylprednisolone 1x62,5
Ranitidine 2x1

M: KU, TTV, Keluhan subjektif, pemeriksaan fisik


Ex

: menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai kondisi pasien,

perjalanan penyakit, komplikasi, cara mencegah perburukan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

17

Tanggal 8 febuari 2016


S

Sesak (-), batuk(+) kadang, dada nyeri (-)

Keadaan umum

: lemah

Kesadaran

: compos mentis

RR

: 22 x/menit

Tensi

: 100/70 mmHg

Nadi

: 86 x/menit, isi dan tegangan cukup, regular

Suhu

: 36,8o C (Aksila)

SpO2

: 98%

A : Tumor
mediastinum
Efusi pleura
dextra

P:

RL 20 tpm
Metylprednisolone 1x62,5
Ranitidine 2x1

M: KU, TTV, Keluhan subjektif, pemeriksaan fisik


Ex

: menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai kondisi pasien,

perjalanan penyakit, komplikasi, cara mencegah perburukan

Tanggal 9 febuari 2016


HASIL PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMI
Makroskopis : Diterima cairan coklat sebanyak 20cc
Mikroskopis : Ditemukan 1,2 mesotel dengan sedikit limfosit merata dengan
didapat beberapa lekosit yang degeneratif. Latar belakang masa amorf homogen
kebiruan.
Sel ganas tidak didapat
Kesimpulan: Cairan Pleura Dextra = Tidak ditemukan sel ganas.

*Tanggal 9 Febuari 2016 pasien dipulangkan,


rencana dirujuk ke RSUP KARIADI

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

18

TINJAUAN PUSTAKA
I.

TUMOR MEDIASTINUM

1.1. DEFINISI
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu
rongga yang berada diantara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung,
pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena,trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan
ikat, kelenjar getah bening dan salurannya. Rongga mediastinum ini sempit dan tidak
dapat diperluas, maka pembesaran tumor dapat menekan organ di dekatnya dan dapat
menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa. Kebanyakan tumor mediastinum
tumbuh lambat sehingga pasien sering datang setelah tumor cukup besar, disertai
keluhan dan tanda akibat penekanan tumor terhadap organ sekitarnya1.
Secara garis besar mediastinum dibagi atas 4 bagian penting1 :
1. Mediastinum superior, mulai pintu atas rongga dada sampai ke vertebra torakal
ke-5 dan bagian bawah sternum.
2. Mediastinum anterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafargma di
depan jantung.
3. Mediastinum posterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafragma di
belakang jantung.
4. Mediastinum medial (tengah), dari garis batas mediastinum superior ke
diafragma di antara mediastinum anterior dan posterior.
Pembagian mediastinum ke dalam rongga-rongga yang berbeda dapat
membantu secara praktis proses-proses penegakan diagnosis sedangkan pendekatan
dengan orientasi sistem mempermudah pemahaman petogenesis proses patologi di
mediastinum.2
Jenis tumor di rongga mediastinum dapat berupa tumor jinak atau tumor ganas
dengan penatalaksanaandan prognosis yang berbeda, karenanya ketrampilan dalam
prosedur diagnostik memegang peranan sangat penting. Keterampilan yang memadai
dan kerjasama antar disiplin ilmu yang baik dituntut agar diagnosis dapat cepat dan
akurat. Masalah lain yang didapat di lapangan adalah banyak kasus datang dengan
kegawatan napas atau kegawatan kardiovaskular, kondisi itu menyebabkan prosedur
diagnosis terpaksa ditunda untuk mengatasi masalah kegawatannya terlebih dahulu.1

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

19

Gambar 1. Pembagian mediastinum3


1.2. ETIOLOGI 2

Secara umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab tumor adalah2 :

Penyebab kimiawi

Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekerja pembersih


cerobong asap. Zat yang mengandung karbon dianggap sebagai
penyebabnya.

Faktor genetik (biomolekuler)

Perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen normal dan
pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.

Faktor fisik

Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik


trauma fisik maupun penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet
yang berasal ari sinar matahari maupun sinar lain seperti sinar X (rontgen)
dan radiasi bom atom.

Faktor nutrisi

Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan oleh
jamur pada kacang dan padi-padian sebagai pencetus timbulnya tumor.

Faktor hormone

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

20

Pengaruh hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan kepastian


peranannya belum jelas. Pengaruh hormone dalam pertumbuhan tumor bisa
dilihat pada organ yang banyak dipengaruhi oleh hormon tersebut.
1.3. PATOFISIOLOGI2
Sebagaimana bentuk kanker/karsinoma lain, penyebab dari timbulnya
karsinoma jaringan mediastinum belum diketahui secara pasti; namun diduga
berbagai faktor predisposisi yang kompleks berperan dalam menimbulkan
manifestasi tumbuhnya jaringan/sel-sel kanker pada jaringan mediastinum.
Adanya pertumbuhan sel-sel karsinoma dapat terjadi dalam waktu yang
relatif singkat maupun timbul dalam suatu proses yang memakan waku bertahuntahun untuk menimbulkan manifestasi klinik.
Dengan semakin meningkatnya volume massa sel-sel yang berproliferasi
maka secara mekanik menimbulkan desakan pada jaringan sekitarnya; pelepasan
berbagai substansia pada jaringan normal seperti prostalandin, radikal bebas dan
protein-protein reaktif secara berlebihan sebagai ikutan dari timbulnya
karsinoma meningkatkan daya rusak sel-sel kanker terhadap jaringan sekitarnya;
terutama jaringan yang memiliki ikatan yang relatif lemah.
Kanker sebagai bentuk jaringan progresif yang memiliki ikatan yang
longgar mengakibatkan sel-sel yang dihasilkan dari jaringan kanker lebih mudah
untuk pecah dan menyebar ke berbagai organ tubuh lainnya (metastase) melalui
kelenjar, pembuluh darah maupun melalui peristiwa mekanis dalam tubuh.
Adanya pertumbuhan sel-sel progresif pada mediastinum secara mekanik
menyebabkan penekanan (direct pressure/indirect pressure) serta dapat
menimbulkan destruksi jaringan sekitar; yang menimbulkan manifestasi seperti
penyakit infeksi pernafasan lain seperti sesak nafas, nyeri inspirasi, peningkatan
produksi sputum, bahkan batuk darah atau lendir berwarna merah (hemaptoe)
manakala telah melibatkan banyak kerusakan pembuluh darah. Kondisi kanker
juga meningkatkan resiko timbulnya infeksi sekunder; sehingga kadangkala
manifestasi klinik yang lebih menonjol mengarah pada infeksi saluran nafas
seperti pneumonia, tuberkulosis walaupun mungkin secara klinik pada kanker
ini kurang dijumpai gejala demam yang menonjol.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

21

1.4. MANIFESTASI KLINIS1


Gejala yang dialami penderita yang mengalami tumor mediastinum adalah ;
Batuk, sesak atau stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi pada trakea
dan/atau bronkus utama,
Disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke esofagus
Sindrom vena kava superior (svks) lebih sering terjadi pada tumor
mediastinum yang ganas dibandingkan dengan tumor jinak,
Suara serak dan batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat, paralisis
diafragma timbul apabila penekanan nervus frenikus
Nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenik atau pada penekanan
sistem syaraf.
Dinding dada (tumor neurogenic dan penekanan system saraf)

1.5. KLASIFIKASI
Klasifikasi tumor mediastinum didasarkan atas organ/jaringan asal tumor atau
jenis histologisnya, seperti dikemukakan oleh Rosenberg
Tabel 1. Klasifikasi tumor mediastinum 4

Klasifikasi tumor mediastinum berdasarkan lokasi anatomi3,4;


-

Mediastinum superior : struma, adenoma paratiroid dan limfoma.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

22

Mediastinum anterior

: struma, timoma, teratoma, adenoma paratiroid,

limfoma, fibroma, limfagioma hemangioma, dan hernia morgagni.


-

Mediastinum medius

: kista bronkogenik, limfoma, kista pericardium,

aneurisma, dan hernia.


-

Mediastinum posterior: tumor neurogenik, fibrosarkoma, limfoma, aneurisma,


kondroma, hernia bochdalek.

Table 1a. Differential diagnosis of a mediastinal mass by anatomic location4

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

23

A. Timoma
Timoma adalah tumor epitel yang bersifat jinak atau tumor dengan derajat
keganasan yang rendah dan ditemukan pada mediastinum anterior. Timoma termasuk
jenis tumor yang tumbuh lambat. Sering terjadi invasi lokal ke jaringan sekitar tetapi
jarang bermetastasis ke luar toraks. Kebanyakan terjadi setelah usia lebih dari 40 tahun
dan jarang dijumpai pada anak dan dewasa muda. Jika pasien datang dengan keluhan
maka keluhan yang sering ditemukan adalah nyeri dada, batuk, sesak atau gejala lain
yang berhubungan dengan invasi atau penekanan tumor ke jaringan sekitarnya. Satu
atau lebih tanda dari sindrom paratimik sering ditemukan pada pasien timoma, misalnya
miastenia gravis, hipogamaglobulinemi dan aplasia sel darah merah5.
Mujiantoro S dkk pada tahun 1996 melakukan penelitian retrospektif terhadap
penderita timoma invasif menunjukkan hasil yang sama, nyeri dada, sesak napas dan
batuk adalah 3 keluhan utama penderita, sedangkan miastenia gravis ditemukan pada 1
dari 15 penderita(8) sedangkan Marshal tahun 2002 mendapatkan 2 dari 24 kasus
prabedah menunjukkan gejala miastenia gravis1,5.
Dari gambaran patologi anatomi sulit dibedakan timoma jinak atau
ganas.Definisi timoma ganas ( invasif ) adalah jika tumor secara mikroskopik
(histopatologik) dan makroskopik telah invasif ke luar kapsul atau jaringan sekitarnya.
Klasifikasi histologis untuk timoma dapat dilihat pada tabel 2 yaitu klasifikasi menurut
Muller-Hermelink sedangkan sistem staging dan dapat dilihat pada tabel 3 menurut
sistem Masaoka5.
Tabel 2. Klasifikasi histologis timoma5

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

24

Tabel 3. Staging berdasarkan sistem Masaoka5

Masaoka membagi staging berdasarkan penampakan mikroskopis dan


makroskopis. Tumor timoma noninvasif masih terbatas pada kelenjar timus dantidak
menyebar ke organ lain. Semua sel tumor terdapat atau terbungkus oleh kapsul dan
secara mikroskopis tidak terlihat invasi ke kapsul. Jika sel tumor invasi telah mencapai
kapsul maka dikategorikan timoma invasif (timoma ganas).
Data di RS Persahabatan dari 31 kasus bedah tahun 1992 sampai dengan tahun
1999 kasus yang masuk kategori invasive adalah sebesar 90,3 % dan hanya 9,7% kasus
yang didiagnosis noninvasif atau stage I. Data tahun 2000-2001 dari 12 pasien timoma
yang dibedah tidak satupun kasus noninvasive.5

B. Tumor Sel Germinal


Tumor sel germinal terdiri dari tumor seminoma, teratoma dan nonseminoma.
Tumor sel germinal di mediastinum lebih jarang ditemukan daripada timoma, lebih
sering pada laki-laki dan usia dewasa muda. Kasus terbanyak adalah merupakan tumor
primer di testis sehingga bila diagnosis adalah tumor sel germinal mediastinum, harus
dipastikan bahwa primer di testis telah disingkirkan. Lokasi terbanyak di anterior
(superoanterior) mediastinum. Secara histologi tumor di mediastinum sama dengan
tumor sel germinal di testis dan ovarium.5
Teratoma adalah tumor sel germinal yang paling sering ditemukan diikuti
seminoma Tumor ini dapat berbentuk kista atau padat atau campuran keduanya yang
terdiri dari lapisan sel germinal vaitu ektoderm. mesoderm atau endoderm. Teratoma
matur merupakan tumor sel germinal mediastinum tersering dan biasanya jinak.Tumor

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

25

tersebut tidak berpotensial metastasis seperti teratoma testis dan dapat di operasi
reseksi. Oleh karena lokasi anatomisnva maka komplikasi intraoperatif dan
pascaoperaif dapat mempengaruhi morbiditi karena struktur intratoraks biasanya sudah
terlibat5,6.
Teratoma intratoraks biasanya muncul dalam rongga mediastinum dan sangat
jarang di paru. Sebagian besar tumor tersebut bersifat jinak walaupun ada juga yang
bersfat ganas. Biasanya tumor tersebut ditemukan pada garis pertengahan tubuh.
Gejalanya dapat muncul apabila terjadi efek mekanik seperti nyeri dada (52%),
hemoptisis (42%), batuk (39%), sesak napas atau gejala yang berhubungan dengan
pneumonitis berulang. Gejala respiratorik lainnya adalah trikoptisis (trichoptysis)
(13%) yaitu batuk produktif yang dalam sputumnya mengandung rambut atau sekret
kelenjar sebasea. Hal ini timbul apabila terjadi hubungan antara massa tumor dengan
trakeobronkial. Gejala lainnya yaitu sindrom vena kava superior atau lipoid pneumonia.
Teratoma mediastinurn biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada foto torak.6
Secara radiologi teratoma tampak bulat dan sering lobulated dan mengandung jaringan
lunak dengan elemen cairan dan lemak, kalsifikasi terlihat pada 20-43% kasus5,6.
Seminoma tampak sebagai massa besar

yang homogen sedangkan

nonseminoma adalah massa heterogen dengan pinggir ireguler yang disebabkan invasi
ke jaringan sekitarnya. Untuk membedakan seminoma dengan nonseminoma
digunakan serum marker beta-HCG dan alfa-fetoprotein. meskipun pada seminoma
yang murni konsentrasi beta-HCG terkadang tinggi tetapi alfafetoprotein tidak tinggi.
Sedangkan pada nonseminoma konsentrasi kedua marker itu selalu tinggi. Konsentrasi
beta-HCG dan alfa-fetoprotein lebih dari 500 mg/ml adalah diagnosis pasti untuk
nonseminoma5. Dibawah ini dapat dilihat klasifikasi histologi tumor sel germinal5.
Tabel 4. Klasifikasi histologi tumor sel germinal1

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

26

C. Tumor Syaraf
Tumor saraf dapat tumbuh dari sel saraf disebarang tempat, lebih sering di
mediastinum posterior. Tumor itu dapat bersifat jinak atau ganas dan biasanya
diklasifikasi berdasarkan jaringan yang membentuknya. Tumor yang bersifat jinak
sangat jarang menjadi ganas. Meskipun dikatakansering pada anak tetapi juga dapat
ditemukan pada orang dewasa. Topcu dariTurki menganalisis 60 pasien tumor saraf
dan mendapatkan 13 penderita bayidan anak-anak usia (< 15 tahun), 47 orang dewasa
(usia >15 tahun), lebihbanyak perempuan (39 orang) dibandingkan laki-laki (21 orang).
Hanya 20% (12dari 60) bersifat ganas. Pada tabel 5 dapat dilihat kalasifikasi tumor
syaraf.1,5
Tabel 5. Klasifikasi histologis tumor syaraf 1

1.6. DIAGNOSIS
Kebanyakan tumor mediastinum tanpa gejala dan ditemukan pada saat
dilakukan foto toraks untuk berbagai alasan. Keluhan penderita biasanya berkaitan
dengan ukuran dan invasi atau kompresi terhadap organ sekitar, misalnya sesak napas
berat, sindrom vena kava superior (SVKS) dan gangguan menelan. Tidak jarang pasien
datang dengan kegawatan napas, kardiovaskuler atau saluran cerna. Bila pasien datang
dengan kegawatan yang mengancam jiwa, maka prosedur diagnostik dapat ditunda.
Sementara itu diberikan terapi dan tindakan untuk mengatasi kegawatan, bila telah
memungkinkan prosedur diagnostik dilakukan. Hal penting yang harus diingat adalah
jangan sampai tindakan emergensi tersebut menghilangkan kesempatan untuk
mendapatkan jenis sel tumor yang dibutuhkan untuk memutuskan terapi yang tepat.1
Secara umum diagnosis tumor mediastinum ditegakkan sebagai berikut:

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

27

A. Gambaran Klinis
Anamnesis
Tumor mediastinum sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada saat
dilakukan foto toraks. Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai timbul bila terjadi
peningkatan ukuran tumor yang menyebabkan terjadinya penekanan struktur
mediastinum, sedangkan tumor ganas dapat menimbulkan gejala akibat penekanan atau
invasi ke struktur mediastinum.
Gejala dan tanda yang timbul tergantung pada organ yang terlibat1,5 :
1. Batuk, sesak atau stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi pada trakea
dan/atau bronkus utama,
2. Disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke esofagus
3. Sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor
mediastinum yang ganas dibandingkan dengan tumor jinak,
4. Suara serak dan batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat, paralisis
diafragma timbul apabila penekanan nervus frenikus
5. Nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenik atau pada penekanan sistem
syaraf.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi, ukuran dan
keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ sekitarnya.
Kemungkinan tumor mediastinum dapat dipikirkan atau dikaitkan dengan beberapa
keadaan klinis lain, misalnya1 :
1. miastenia gravis mungkin menandakan timoma
2. limfadenopati mungkin menandakan limfoma
B. Prosedur Radiologi1,5
1. Foto toraks
Dari foto toraks PA/ lateral sudah dapat ditentukan lokasi tumor, anterior,
medial atau posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran tumor yang besar sulit
ditentukan lokasi yang pasti.
2. Tomografi

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

28

Selain dapat menentukan lokasi tumor, juga dapat mendeteksi klasifikasi pada
lesi, yang sering ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid dan kadang-kadang
timoma. Tehnik ini semakin jarang digunakan.
3. CT-Scan toraks dengan kontras
Selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi kelainan tumor secara
lebih baik dan dengan kemungkinan untuk menentukan perkiraan jenis tumor,
misalnya teratoma dan timoma. CT-Scan juga dapat menentukan stage pada
kasus timoma dengan cara mencari apakah telah terjadi invasi atau belum.
Perkembangan alat bantu ini mempermudah pelaksanaan pengambilan bahan
untuk pemeriksaan sitologi. Untuk menentukan luas radiasi beberapa jenis
tumor mediastinum sebaiknya dilakukan CT-Scan toraks dan CTScan abdomen.
4. Flouroskopi
Prosedur ini dilakukan untuk melihat kemungkinan aneurisma aorta.
5. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga
aneurisma.
6. Angiografi
Teknik ini lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma dibandingkan flouroskopi
dan ekokardiogram.
7. Esofagografi
Pemeriksaan ini dianjurkan bila ada dugaan invasi atau penekanan ke esofagus.
8. USG, MRI dan Kedokteran Nuklir
Meski jarang dilakukan, pemeriksaan-pemeriksaan terkadang harus dilakukan
untuk beberapa kasus tumor mediastinum.
C. Prosedur Endoskopi1,5
1. Bronkoskopi harus dilakukan bila ada indikasi operasi.
Tindakan bronkoskopi dapat memberikan informasi tentang pendorongan atau
penekanan tumor terhadap saluran napas dan lokasinya. Di samping itu melalui
bronkoskopi juga dapat dilihat apakah telah terjadi invasi tumor ke saluran
napas. Bronkoskopi sering dapat membedakan tumor mediastinum dari kanker
paru primer.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

29

2. Mediastinokopi. Tindakan ini lebih dipilih untuk tumor yang berlokasi di


mediastinum anterior.
3. Esofagoskopi
4. Torakoskopi diagnostic
5. Electromagnetic navigation diagnostic bronchoscopy.
Tindakan ini merupakan metode yang aman untuk mengambil sampel lesi-lesi
yang terletak agak ke periper dimana bronchoscopy biasa tidak bisa
mencapainya dan metode ini juga dapat mengambil sampel lesi tumor
mediastinum dengan cara Transbronchial Needle Aspiration (TNBA). Metode
ini memberikan hasil diagnostik yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh besar
kecilnya serta lokasi dari tumor.

D. Prosedur Patologi Anatomik1,5


Beberapa tindakan dari yang sederhana sampai yang kompleks perlu dilakukan
untuk mendapatkan jenis tumor.
1. Pemeriksaan sitologi
Prosedur diagnostik untuk memperoleh bahan pemeriksaan untuk pemeriksaan
sitologi ialah:
a. biopsi, jarum halus (BJH atau fine needle aspiration biopsy, FNAB),
dilakukan bila ditemukan pembesaran KGB atau tumor supervisial.
b. punksi pleura bila ada efusi pleura
c. bilasan atau sikatan bronkus pada saat bronkoskopi
d. biopsi aspirasi jarum, yaitu pengambilan bahan dengan jarum yang
dilakukan bila terlihat masa intrabronkial pada saat prosedur
bronkoskopi yang amat mudah berdarah, sehingga biopsi amat
berbahaya
e. biopsi transtorakal atau transthoracal biopsy (TTB) dilakukan bila
massa dapat dicapai dengan jarum yang ditusukkan di dinding dada dan
lokasi tumor tidak dekat pembuluh darah atau tidak ada kecurigaan
aneurisma. Untuk tumor yang kecil (<3cm>, memiliki banyak pembuluh
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

30

darah dan dekat organ yang berisiko dapat dilakukan TTB dengan
tuntunan flouroskopi atau USG atau CT Scan.
2. Pemeriksaan histologi1,5
Bila BJH tidak berhasil menetapkan jenis histologis, perlu dilakukan prosedur
di bawah ini:
a. biopsi KGB yang teraba di leher atau supraklavikula. Bila tidak ada
KGB yang teraba, dapat dilakukan pengangkatan jaringan KGB yang
mungkin ada di sana. Prosedur ini disebut biopsi Daniels.
b. biopsi mediastinal, dilakukan bila dengan tindakan di atas hasil belum
didapat. Tao FW dkk pada tahin 2007 melaporkan bahwa tumor
mediastinum daerah anterior untuk diagnostik histologinya dapat
dilakukan mini mediastinotomi yaitu melakukan pengambilan sayatan
kecil kurang lebih 3 cm didaerah garis parasternalis ruang interkostal 2
atau 3. Mini mediastinotomi ini adalah metode yang aman, minimally
invasive, cukup murah dan memberikan hasil yang cukup memuaskan.
c. biopsi eksisional pada massa tumor yang besar
d. torakoskopi diagnostik
e. Video-assisted thoracic surgery (VATS), dilakukan untuk tumor di
semua lokasi, terutama tumor di bagian posterior.
E. Pemeriksaan Laboratorium1
1. Hasil pemeriksaan laboratorium rutin sering tidak memberikan informasi yang
berkaitan dengan tumor. LED kadang meningkatkan pada limfoma dan TB
mediastinum.
2. Uji tuberkulin dibutuhkan bila ada kecurigaan limfadenitis TB
3. Pemeriksaan kadar T3 dan T4 dibutuhkan untuk tumor tiroid.
4. Pemeriksaan a-fetoprotein dan b-HCG dilakukan untuk tumor mediastinum
yang termasuk kelompok tumor sel germinal, yakni jika ada keraguan antara
seminoma atau nonseminoma. Kadar a-fetoprotein dan b-HCG tinggi pada
golongan nonseminoma.
F. Tindakan Bedah1
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

31

Torakotomi eksplorasi untuk diagnostik bila semua upaya diagnostik tidak berhasil
memberikan diagnosis histologis.
G. Pemeriksaan Lain1
EMG adalah pemeriksaan penunjang untuk tumor mediastinum jenis timoma atau
tumor tumorvlainnya. Kegunaan pemeriksaan ini adalah mencari kemungkinan
miestenia gravisvatau myesthenic reaction.

Pada gambar dibawah ini dapat dilihat alur diagnostik dari tumor mediastinum dengan
atau tanpa kegawatan. 1

Gambar 2. Alur prosedur diagnostik tumor mediastinum tanpa kegawatan 1


Keterangan : PA = posteroanterior, BJH = biopsi jarum halus, KGB = kelenjar getah bening,
USG = ultrasonografi, MRI = magnetic resonance imaging, TTB = transtorakal biopsi,
VATS = Video assisted thoracoscopy system

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

32

Gambar 3. Alur prosedur diagnostik tumor mediastinum dengan kegawatan 1


Keterangan : SVKS = Sindrom vena kava superior
ECC = Extra cardiac circulation (sirkulasi luar jantung)

1.7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor mediastinum sangat bergantung pada sifat tumor, jinak
atau ganas. Tindakan untuk tumor mediastinum yang bersifat jinak adalah bedah,
sedangkan untuk tumor ganas berdasarkan jenisnya. Jenis tumor mediastinum ganas
yang paling sering ditemukan adalah timoma (bagian dari tumor kelenjar timus), sel
germinal dan tumor syaraf.
Secara umum terapi untuk tumor mediastinum ganas adalah multimodaliti yaitu
bedah, kemoterapi dan radiasi. Beberapa jenis tumor resisten terhadap radiasi dan/atau
kemoterapi sehingga bedah menjadi pengobatan pilihan, tetapi banyak jenis lainnya
harus mendapatkan tindakan multimodaliti. Kemoradioterapi dapat diberikan sebelum
bedah (neoadjuvan) atau sesudah bedah (adjuvan). Pilihan terapi untuk timoma
ditentukan oleh staging penyakit saat diagnosis. Untuk tumor sel germinal sangat
bergantung pada subtipe tumor sedangkan tumor saraf berdasarkan jaringan yang
dominan pada tumor1,5.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

33

Gambar 4. Penatalaksanaan tumor mediastinum1

A. Timoma
Penatalaksanaan timoma sangat bergantung pada invasif atau tidaknya tumor,
staging dan klinis penderita.Terapi untuk timoma adalah bedah, tetapi sangat jarang
kasus datang pada stage I atau noninvasif maka multimodaliti terapi (bedah, radiasi dan
kemoterapi) memberikan hasil lebih baik. Jenis tindakan bedah untuk timoma adalah
Extended Thymo Thymectomy (ETT) atau reseksi komplet yaitu mengangkat kelenjar
timus beserta jaringan lemak sekitarnya. ETT + ( Extended Resection) ER yaitu
tindakan reseksi komplet, sampai dengan jaringan perikard dan debulking reseksi
sebagian yaitu pengangkatan massa tumor sebanyak mungkin. Jenis operasi ini sangat
bergantung pada staging dan klinis penderita. Reseksi komplet diyakini dapat
mengurangi risiko invasi dan meningkatkan umur harapan hidup.5
Radioterapi tidak direkomendasikan untuk timoma yang telah menjalani reseksi
komplet tetapi harus diberikan pada timoma invasif atau reseksi sebagian untuk kontrol
lokal, seperti yang dilaporkan oleh Mujiantoro dkk. Dosis radiasi 3500-5000 cGy.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

34

Untuk mencegah terjadi radiation-induced injury pemberian radiasi lebih dari 6000 cGy
harus dihindarkan. 7
Kemoterapi diberikan dengan berbagai rejimen tetapi hasil terbaik adalah
cisplatin based rejimen. Rejimen yang sering digunakan adalah kombinasi cisplatin,
doksorubisin dan siklofosfamid (CAP). Rejimen lain adalah doksorubisin, cisplatin,
vinkristin dan siklofosfamid (ADOC). Rejimen yang lebih sederhana yaitu sisplatin dan
etoposid (PE) juga memberikan hasil yang tidak terlalu berbeda5.
Kasus kambuh (recurrence) juga dapat terjadi dan jarang pada stage I yang telah
direseksi komplet. Relaps yang biasa terjadi adalah di pleura (pleural dissemination)
dari sisi yang sama dengan tumor primer, relaps di mediastinum meski lebih sedikit
tetapi juga terjadi. 5
Sedangkan untuk menentukan prognosis penderita timoma bantak faktor yang
menentukan. Masaoka menghitung umur tahan hidup 5 tahun berdasarkan staging
penyakit, 92,6% untuk stage I, 85,7% untuk stage II, 69,6% untuk stage III dan 50%
untuk stageIV. 1,5
Tabel 6. Penatalaksanaan timoma1

B. Tumor Sel Germinal


Terapi tumor sel germinal bergantung pada subtipe sel tumor dan staging
penyakit. Bedah adalah terapi pilihan untuk teratoma jinak, teratoma ganas diterapi
dengan kemoterapi dan kalau perlu dilakukan reseksi setelah kemoterapi. Terapi untuk
seminoma tergantung pada apakah masih resectable atau tidak, sedangkan yang
nonseminoma diberikan kemoterapi5
Seminoma
Untuk seminoma yang resectable terapi multimodaliti yaitu bedah, radiasi dan
kemoterapi memberikan umur tahan hidup 5 tahun lebih dari 90%. Kriteria resectable

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

35

adalah tanpa gejala (asymptomatic), massa masih terbatas di mediastinum anterior dan
tidak ada metastasis lokal (intratoraks) atau metastasis jauh. Sedangkan untuk kasus
yang bermetastasis diberikan kemoterapi. Terapi radiasi atau kemoterapi sebagai
pilihan terbaik untuk seminoma masih diperdebatkan. Seminoma sangat radiosensitif,
dosis radiasi adalah 4500-5000 cGy. Kemoterapi yang diberikan adalah cisplatin based,
rejimen yang sering digunakan mengandung vinblastin, bleomisin dan sisplatin.5
Nonseminoma
Tumor jenis ini jarang ditemukan, bila ditemukan lebih sering pada laki-laki
dewasa muda. Cisplatin based kemoterapi adalah terapi untuk golongan ini dan kadang
dilakukan operasi pasca kemoterapi (postchemoterapy adjuctive surgery). Rejimen
yang digunakan sisplatin, bleomisin dan etoposid. Tetapi ada rejimen yang terdiri dari
sisplatin dan bleomisin yang diberikan 4 siklus. Untuk menilai manfaat bedah pasca
kemoterapi Vuky dkk tahun 2001 melakukan penelitian terhadap 32 pasien, reseksi
komplet dapat dilakukan pada 27 pasien, analisis histopatologik mendapatkan bahwa
tumor masih mengandung jaringan nonseminoma (viable tumors) pada 66%, teratoma
pada 22% dan jaringan nekrotik pada 12% kasus8

Gambar 5. Alur penatalaksanaan tumor sel germinal nonseminoma1

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

36

Teratoma ganas
Rejimen kemoterapi untuk teratoma ganas antara lain sisplatin, vinkristin,
bleomisin dan methotrexate, etoposid, daktinomisin dan siklofosfamid.1,5
Tabel 7. Penatalaksanaan tumor sel germinal1

C. Tumor Syaraf
Penatalaksanaan untuk semua tumor neurogenik adalah pembedahan, kecualii
neuroblastoma.Tumor ini radisensitif sehingga pemberian kombinasi radio kemoterapi
akan memberikan hasil yang baik. Pada neurilemona (Schwannoma), mungkin perlu
diberikan kemoterapi adjuvan, untuk mencegah rekurensi5.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

37

II.

EFUSI PLEURA

2.1. Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa
cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya
mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama dengan
cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah
yaitu < 1,5 gr/dl.9
2.2. Etiologi
Berdasarkan Jenis Cairan 9,10
Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan
dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura. Efusi
pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini,
sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga criteria ini:

Protein cairan pleura / protein serum > 0,5

LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal
didalam serum.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

38

Efusi pleura berupa9,10 :


1. Eksudat, disebabkan oleh :
a)

Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, Rickettsia,


Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 1006000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam,
malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat
dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan
efusi.

b)

Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh


bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun
anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,
Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lainlain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin
dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari
rongga pleura.

c)

Pleuritis

karena

fungi

penyebabnya:

Aktinomikosis,

Aspergillus,

Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat


terhadap organisme fungi.
d)

Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi


melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

39

juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya


cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan
nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk
ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi
yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan
jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala
febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
e)

Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,
mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral
dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi terjadinya efusi
ini diduga karena :

Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi


kebocoran kapiler.

Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,


bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan
aliran balik sirkulasi.

Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif


intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang
ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura
tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup
tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura
dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).

f)

Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri,


abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai
predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna
purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik
ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan
pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4
indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi
parapneumonik:

Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura

Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

40

Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl

Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri.

Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik


yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam
saja.
g)

Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,


Skleroderma.

h)

Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi


parapneumonik.

2. Transudat, disebabkan oleh9,10:


a)

Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab
lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior.
Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik
dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada
pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan
menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran
getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke
rongg pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga
menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan
adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi
dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera
menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita
amat sesak.

b)

Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura
dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

41

bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah dengan


memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi pengobatan yang
terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
c)

Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui
lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi
biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk menimbulkan
dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol
asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang
dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal
venous shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui
bedah, atau torakotomi pipa dengan suntikan agen yang menyebakan
skelorasis.

d)

Meigs Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita
dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan
sindrom serupa : tumor ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor
ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites
timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi
pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus
di diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.

e)

Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi
unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga
peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti
dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan dialisat.

3. Darah9,10
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak
yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena
faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

42

pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal
dari trauma dinding dada.
2.3. Patofisiologis9
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga
pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi
filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan
diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang
seimbang dengan kecepatan pembentukannya.
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan
proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara
patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan
terjadinya efusi pleura yaitu;
1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi
kapiler
2). Penurunan tekanan kavum pleura
3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

43

Gambar 6. Patofisiologi efusi pleura9


Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena
pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga
pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah
tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain
bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,
dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis
konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

44

berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa
(Halim et al., 2006). Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai
transudatif atau eksudatif.11
3.

Diagnosis11
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik
yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan
analisa cairan pleura.

4.

Manifestasi Klinis11
a) Gejala Utama.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru
terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh
dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang, berupa nyeri
dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab
seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi
(kokus), subfebril (tuberkulosis), banyak keringat, batuk.
Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.11
b) Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung
Palpasi. Penurunan fremitus vocal atau taktil
Perkusi. Pekak pada perkusi,
Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas
bronkus 11
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena
cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam
pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah
pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu).

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

45

Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah
pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi
daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.11
c) Pemeriksaan Penunjang.
Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam
rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan
daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut
kostrofrenikus menumpul. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral
dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi.11
Torakosentesis. 9
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun
terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi
dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan
jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak
melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk diagnosis cairan pleura
dilakukan pemeriksaan:
a. Warna cairan.
Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).
b.

Biokimia.

Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat dilihat
pada tabel dibawah:
Tabel 8. Perbedaan biokimia efusi pleura9

c.

Sitologi.11

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

46

Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel


patologis atau dominasi sel-sel tertentu.
- Sel neutrofil: pada infeksi akut
- Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma
maligna).
- Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
- Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
- Sel giant: pada arthritis rheumatoid
- Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
- Sel maligna: pada paru/metastase.
d.

Bakteriologi.

Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung


mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering
pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.11
Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan
tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,
penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.11
5.

Penatalaksanaan9,10
Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).
Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).
Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi
juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat
dilakukan sebagai berikut:
1. penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau
diletakkan diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat
dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang.
2. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di
daerah sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di
bawah batas suara sonor dan redup.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

47

3. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan


jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya
disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai
diahfrahma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum
tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura
parietalis tebal.

Gambar 7. Metode torakosentesis9


4. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada
setiap aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat
pengembangan paru secara mendadak. Selain itu pengambilan cairan
dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa
batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.
Pemasangan WSD. 9
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara
lambat dan aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:
1. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea
aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
2. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar
kurang lebih 2 cm sampai subkutis.
3. Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

48

4. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai


mendapatkan pleura parietalis.
5. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian
trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi
selang toraks.
6. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat
dengan kasa dan plester.
7. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung
selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung
selang diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar
udara dari luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.

Gambar 8. Pemasangan jarum WSD9


8. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada
selang, kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang.
Untuk memastikan dilakukan foto toraks.
9. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan
paru telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.
Pleurodesis.9
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan
penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan
adalah sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

49

dikeluarkan sbanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg)


diberikan selang waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan
WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang
menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kembali
cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin.
Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru dalam keadaan
mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garram
faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks,
ditambah dengan larutan garam faal 1030 ml larutan garam faal untuk
membilas selang serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri yang
ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum
pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang
toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar
penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila
dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak keluar, selang toreaks dapat
dicabut.
6.

Diagnosa Banding9
o Konsolidasi paru akibat pneumoni
o Keganasan paru dengan disertai kolaps paru
o Pneumotoraks
o Fibrosis paru

7. Prognosa10
Tergantung penyakit yang mendasari, pada kasus tertentu, dapat sembuh sendiri
setelah diberi pengobatan adekuat terhadap penyakit dasarnya.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

50

ALUR PIKIR

Keluhan : sesak naafas, batuk kering,


benjolan didada bagian tengah atas,
dada nyeri, BB menurun.
Riwayat minum jamu-jamuan
Pasien suka makanan asin, dan kemasan.

Foto Thorax : Massa mediastinal, Efusi


pleuraa dextra
CT-scan Thorax: massa mediastinal, efusi
pleura dextra masif
Cairan pleura eksudat.
Hb 10,9g/dL, MCV 72,7 fl, MCH 22,3pg

Peningkatan permeabilitas
pembuluh darah (gangguan
fungsi sitokin TNF-a, TGF-B,
VEGF)
Gangguan penyerapan cairan oleh
pembuluh limfe akibat deposit sel
Ca

TUMOR
MEDIASTINUM
SUPERIOR

ANEMIA
MIKROSITIK
HIPOKROM

EFUSI PLEURA DEXTRA

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

51

DAFTAR PUSTAKA
1. Tim kelompok kerja PDPI. Tumor mediastinum. Pedoman diagnosis &
penatalaksanaan di Indonesia,2003.
2. Amin Z. Penyakit mediastinum. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor
Sudoyo AW dkk. Jilid II edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta.2006: 1011-4.
3. Bennisler L. Respiratory system. In: Grays anatomy. Williams PL, Bennister
L, Berry LH,Collins P, Dyson M, Dussek JE, et al. Editors. 38 th ed, Churchill
Livingstone, Edinburgh,1999.p. 1627-76.
4. Rosenberg JC. Neoplasms of the mediastinum. In: DeVita VT, Hellman S,
Rosenberg JC. Editors.Cancer: principles and practice of oncology. J.B. 4th
edition. Lippincortt. Philadelphia 1993.p.759-74.
5. Syahruddin E, Hudoyo A, Jusuf A. penatalaksanaan tumor mediastinum ganas.
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia RS Persahabatan, Jakarta
6. Wiyono WH dkk. Hemoptisis massif pada teratoma kistik paru. J Respir Indo
2007; Vol 27(4): 214-8.
7. Mujiantoro S, Soewondo W, Busroh IDI, Yunus F, Endardjo S. Penilaian
restrospektif pengelolaan timoma invasif di RS. Persahabatan Jakarta Timur. J
Respir Indo 1996; 16:104-8.
8. Vuky J, Bains M, Bacik J, Higgins G, Bajorin DF, Mazumdar M. Role of
postchemotherapy adjuctive surgery in the management of patients with nonseminoma arising from the mediastinum. J Clin Oncol 2001; 19(3): 682-8.
9. Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua. EMS.
Jakarta : 2008.
10. Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. 2007. Balai Penerbit FK UI Jakarta.
11. Maryani.

2008.

Efusi

Pleura.

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf

Diakses
pada

tanggal

dari
21

Febuari 2016.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Kudus
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 18 Januari-26 Maret 2016

52

Anda mungkin juga menyukai