Anda di halaman 1dari 29

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Batu ginjal merupakan batu saluran kemih (urolithiasis).Batu saluran kemih dapat
diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli
dan uretra. Batu ini mungkin terbentuk di diginjal kemudian turun kesaluran kemih bagian
bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti
padabatu buli-buli karena hyperplasia prostat atau batu uretra yang terbentuk di
dalamdivertikeluretra. Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal dan kemudian
berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks
ginjal dan merupakan batu slauran kemih yang paling sering terjadi. Penyakit batu saluran kemih
menyebar di seluruhdunia dengan perbedaan di negara berkembang banyak ditemukan batu bulibuli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (gunjaldan
ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka
prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 % penduduk menderita batu saluran kemih.
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urine,
gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih
belum terungkap (idiopatik).Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
1.2 Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Apa yang dimaksud denganUrolithiasis?


Apa yang menyebabkan Urolithiasis?
Bagaimana patofisisologi dan pathogenesis Urolithiasis?
Bagaimana tanda dan gejala Urolithiasis?
Bagaimana manifestasi klinik Urolithiasis?
Bagaimana cara penatalaksanaan Urolithiasis?
Bagaimana cara pencegahan Urolithiasis?

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Untuk mengetahui pengertian Urolithiasis.


Untuk mengetahui penyebab penyakit Urolithiasis.
Untuk mengetahui pathofisiologi dan pathogenesis penyakit Urolithiasis.
Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit Urolithiasis.
Untuk mengetahui manifestasi klinik penyakit Urolithiasis.
Untuk mengetahui cara penatalaksanaan penyakit Urolithiasis,
Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit Urolithiasis.

1.3 Tujuan

1.4 Implikasi Keperawatan


Bidang keperawatan merupakan suatu bidang ilmu yang sangat berpengaruh terhadap
kondisi sehat dan sakit dari seorang individu. Dalam keilmuan keperawatan terdapat proses
keperawatan yang digunakan untuk melakukan penatalaksanaan terhadap suatu permasalahan
kesehatan, termasuk penatalaksanaan terhadap penyakit urolitthiasis. Melalui makalah ini,

mahasiswa keperawatan maupun tenaga kesehatan dapat lebih mendalami mengenai penyakit
urolithiasis dan penatalaksanaannya, akan tetapi tetap dengan diimbangi dari referensi lainnya.
Proses asuhan keperawatan yang diulas dalam makalah ini juga dapat digunakan oleh mahasiswa
keperawatan maupun tenaga profesional keperawatan dalam menghadapi pasien dengan penyakit
urolithiasis.

BAB 2. TINJAUAN TEORI


2.1 Definisi
Urolithiasis adalah kalsifikasi dengan sistem urinari kalkuli, seringkali disebut batu ginjal.
Batu dapat berpindah ke ureter dan kandung kemih (Black, Joyce). Urolithiasis adalah benda zat

padat yang dibentuk oleh presipitasi berbagai zat terlarut dalam urine pada saluran kemih. Batu
dapat berasal dari kalsium oksalat (60%), fosfat sebagai campuran kalsium, amonium, dan
magnesium fosfat (batu tripel fosfat akibat infeksi) (30%), asam urat (5%), dan sistin (1%).
(Pierce A. Grace & Neil R. Borley 2006).
Urolithiasis adalah pengkristilan mineral yang mengelilingi zat organik, misalnya nanah,
darah, atau sel yang sudah mati. Biasanya batu kalkuli terdiri atas garam kalsium (oksalat dan
fosfat) atau magnesium fosfat dan asam urat.(Mary baradero,SPC,MN & Yakobus Siswandi,
MSN, klien gangguan ginjal).
Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) di traktus urinarius. Batu terbentuk di
traktus urinarius ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosgat, dan
asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi substansi tertentu,
seperti sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urin. Kondisi lain yang
mempengaruhi laju pembentukan batu mencangkup pH urin dan statuscairan pasien (batu
cenderung terjadi pada pasien dehidrasi).(Brunner & Suddarth 2002)

2.2 Epidemiologi
Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di negara
berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai
batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan
mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 %
penduduk menderita batu saluran kemih. Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga
berhubungan dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih,
dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).
2.3 Etiologi
Sampai saat sekarang penyebab terbentuknya batu belum diketahui secara pasti. Namun
secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih
yang

dibedakan

sebagai

faktor

intrinsik

dan

faktor

Faktor intrinsik, meliputi:


1. Herediter; diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
2. Umur; paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
3. Jenis kelamin; jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dibanding pasien wanita.
Faktor ekstrinsik, meliputi:

ekstrinsik.

1. Geografi; pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi daripada
daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu).
2. Iklim dan temperatur. Individu yang menetap didaerah yang beriklim panas dengan paparan
sinar ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami dehidrasi serta peningkatan produksi
vitamin D3 (emicu peningkatan ekskresi kalsium dan oksalat), sehingga insiden batu saluran
kemih akan meningkat.
3. Asupan air; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium dapat meningkatkan
insiden batu saluran kemih.
4. Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih.
5. Pekerjaan; penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau
kurang aktivitas fisik (sedentary life).
6. Istirahat (bedrest) yang terlalu lama, misalnya karena sakit juga dapat menyebabkan
terjadinya penyakit batu saluran kemih.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya obstruksi,
infeksi dan edema.
a. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal.
1.Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang disertai menggigil, demam dan disuria) dapat terjadi
dari iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu menyebabkan sedikit gejala namun
secara perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal.
2.Nyeri yang luar biasa dan ketidak nyamanan.
b.

Batu di piala ginjal


1. Nyeri dalam dan terus-menerus di area kastovertebral.
2. Hematuri dan piuria dapat dijumpai.
3. Nyeri berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita nyeri ke bawah
mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis.
4. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan di area kostoveterbal, dan muncul
Mual dan muntah.
5. Diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi. Gejala gastrointestinal ini akibat
dari reflex renoinstistinal dan proksimitas anatomic ginjal ke lambung pancreas dan usus
besar.

c.

Batu yang terjebak di ureter


1. Menyebabkan gelombang Nyeri yang luar biasa, akut, dan kolik yang menyebar ke paha
dan genitalia.
2. Rasa ingin berkemih namun hanya sedikit urine yang keluar.
3. Hematuri akibat aksi abrasi batu.

4. Biasanya batu bisa keluar secara spontan dengan diameter batu 0,5-1 cm.
d.

Batu yang terjebak di kandung kemih


1. Biasanya menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius
2.

dan hematuri.
Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urine.

2.5 Patofisiologi
Mekanisme terbentuknya batu pada saluran kemih atau dikenal dengan urolitiasis belum
diketahui secara pasti. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya batu antara lain :
Peningkatan konsentrasi larutan urin akibat dari intake cairan yang kurang dan juga peningkatan
bahan-bahan organik akibat infeksi saluran kemih atau stasis urin menyajikan sarang untuk
pembentukan batu.
Supersaturasi elemen urin seperti kalsium, fosfat, oxalat, dan faktor lain mendukung
pembentukan batu meliputi : pH urin yang berubah menjadi asam, jumlah solute dalam urin dan
jumlah cairan urin. Masalah-masalah dengan metabolisme purin mempengaruhi pembentukan
batu asam urat. pH urin juga mendukung pembentukan batu. Batu asam urat dan batu cystine
dapat mengendap dalam urin yang asam. Batu kalsium fosfat dan batu struvite biasa terdapat
dalam urin yang alkalin. Batu oxalat tidak dipengaruhi oleh pH urin.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan pergerakan kalsium menuju tulang akan terhambat.
Peningkatan serum kalsium akan menambah cairan yang akan diekskresikan. Jika cairan masuk
tidak adekuat maka penumpukan atau pengendapan semakin bertambah dan pengendapan ini
semakin kompleks sehingga terjadi batu.
Batu yang terbentuk dalam saluran kemih sangat bervariasi, ada batu yang kecil dan batu
yang besar. Batu yang kecil dapat keluar lewat urin dan akan menimbulkan rasa nyeri, trauma
pada saluran kemih dan akan tampak darah dalam urin. Sedangkan batu yang besar dapat
menyebabkan obstruksi saluran kemih yang menimbulkan dilatasi struktur, akibat dari dilatasi
akan terjadi refluks urin dan akibat yang fatal dapat timbul hidronefrosis karena dilatasi ginjal.
Kerusakan pada struktur ginjal yang lama akan mengakibatkan kerusakan pada organ-organ
dalam ginjal sehingga terjadi gagal ginjal kronis karena ginjal tidak mampu melakukan
fungsinya secara normal.
2.6 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang di timbulkan dari urolithiasis adalah:
1. Sumbatan (obstruksi) : akibat pecahan batu.
2. Infeksi : akibat desiminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi.
3. Kerusakan fungsi ginjal : akibat sumbatan yang lama sebelum pengobatan dan
pengangkatan batu ginjal.
2.7 Penatalaksanaan

Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu, menentukan jenis batu,
mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi dan mengurangi obstruksi yang terjadi.
Indikasi pengeluaran batu saluran kemih yaitu;
a. Obstruksi jalan kemih
b. Infeksi
c. Nyeri menetap atau nyeri berulang-ulang
a.

Pengurangan nyeri
Tujuan segera dari penanganan kolik renal atau ureteral adalah untuk mengurangi nyeri
sampai penyebabnya dapat dihilangkan; morfin atau meperidin diberikan untuk mencegah
syok dan sinkop akibat nyeri yang luar biasa. Mandi air hangat diarea panggul dapat
bermanfaat. Cairan diberikan, kecuali pasien mengalami muntah atau menderita gagal
jantung kongestif atau kondisi lain yang memerlukan pembatasan cairan. Ini meningkatkan
tekanan hidrostatik pada ruang di belakang batu sehingga mendorong pasase batu tersebut ke
bawah. Masukan cairan sepanjang hari mengurangi konsentrasi kristaloid urin,

b.

mengencerkan urin dan menjamin haluaran urin yang besar.


Pengangkatan batu
Pemeriksaan sitoskopik dan pasase kateter ureteral kecil untuk menghilangkan batu yang
menyebabkan obstruksi (jika mungkin), akan segera mengurangi tekanan-belakang pada

c.

ginjal dan mengurangi nyeri.


Lithotripsi Gelombang Kejut Ekstrakorporeal (ESWL)
Adalah prosedur noninvasive yang digunakan untuk menghancurkan batu di kaliks ginjal.
Setelah batu tersebut pecah menjadi bagian yang kecil seperti pasir, sisa batu-batu tersebut

dikeluarkan secara spontan.


d.
Metode Endourologi Pengangkatan Batu.
Mengangkat batu renal tanpa pembedahan mayor. Nefrostomi perkutan (atau nefrolitotomi
perkutan) dilakukan dan nefroskop dimasukkan ke traktus perkutan yang sudah dilebarkan
ke dalam parenkim ginjal.
e.
Ureteroskopi
Mencakup visualisasi dan aksis ureter dengan memasukkan suatu alat ureteroskop melalui
sistoskop. Batu dapat dihancurkan dengan menggunakan laser, lithotripsy elektrohidraulik
atau ultrasound kemudian diangkat.
f.
Pelarutan batu
Infus cairan kemolitik (misal: agen pembuat asam dan basa) untuk melarutkan batu dapat
dilakukan sebagai alternative penanganan untuk pasien kurang beresiko terhadap terapi lain
g.

dan menolak metode lain, atau mereka yang memiliki batu yang mudah larut (struvit).
Pengangkatan batu
Jika batu terletak didalam ginjal, pembedahan dilakukan dengan nefrolitotomi (insisi pada
ginjal untuk mengangkat batu) atau nefrektomi, jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau
hidronefrosis. Batu dalam piala ginjal diangkat dengan pielolitotomi, sedangkan batu pada
ureter diangkat dengan ureterolitotomi dan sistotomi jika batu berada dikandung kemih. Jika
batu berada dikandung kemih; suatu alat dapat dimasukkan ke uretra ke dalam kandung

kemih; batu kemudian dihancurkan oleh penjepit pada alat ini. prosedur ini disebut
sistolitolapaksi.

2.7 Pencegahan
Batu ginjal terutama mengandung kalsium, fosfor dan atau oksalat. Pencegahan batu ginjal
makanan dan minuman yang harus dibatasi:
a. Makanan kaya vitamin D harus dihindari (vitamin D meningkatkan reabsorpsi kalsium).
b. Garam meja dan makanan tinggi natrium harus dikurangi (Na bersaing dengan Ca dalam
reabsorpsinya diginjal).
Daftar makanan berikut harus dihindari :
1. Produk susu: semua keju (kecuali keju yang lembut dan keju batangan); susu dan produk
2.
3.
4.
5.

susu (lebih dari cangkir per hari); krim asam (yoghurt).


Daging, ikan, unggas: otak, jantung, hati, ginjal, sardine, sweetbread, telur, ikan.
Sayuran: bit hijau, lobak, mustard hijau, bayam, lobak cina, buncis kering, kedelai, seledri.
Buah: kelembak, semua jenis beri, kismis, buah ara, anggur.
Roti, sereal, pasta: roti murni, sereal, keripik, roti gandum, semua roti yang dicampur
pengembang roti, oatmeal, beras merah, sekam, benih gandum, jagung giling, seluruh sereal

kering (kecuali keripik nasi, com flakes).


6. Minuman: teh, coklat, minuman berkarbonat, bir, semua minuman yang dibuat dari susu
atau produk susu.
7. Lain-lain: kacang, mentega kacang, coklat, sup yang dicampur susu, semua krim, makanan
pencuci mulut yang dicampur susu atau produk susu (kue basah, kue kering, pie).
2.8 Pencegahan Kekambuhan
Setelah batu dikelurkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalahupaya
mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7%/tahun
atau kambuh lebih dari 50% dalam 10 tahun. Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan
unsur penyusun batu yang telah diangkat. Secara umum, tindakan pencegahan yang perlu
dilakukan adalah:
1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup, upayakan produksi urine 2-3 liter per hari
2. Diet rendah zat/komponen pembentuk batu
3. Aktivitas harian yang cukup
4. Medikamentosa
Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan adalah:
1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan menyebabkan
suasana urine menjadi lebih asam.
2. Rendah oksalat

3. Rendah garam karena natiuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuria


4. Rendah purin
5. Rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif type II
2.9Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum menunjukkan adanya sel
darah merah, sel darah putih dan kristal(sistin,asam urat, kalsium oksalat), serta serpihan,
mineral, bakteri, pus, pH urine asam(meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin
meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat.
b. Urine (24 jam) : kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin meningkat.
c. Kultur urine : menunjukkan adanya infeksi saluran kemih (stapilococus aureus,
proteus,klebsiela,pseudomonas).
d. Survei biokimia : peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat, protein dan
elektrolit.
e. BUN/kreatinin serum dan urine : Abnormal ( tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder
terhadap tingginya batu okkstuktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
f. Kadar klorida dan bikarbonat serum : peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar
bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
g. Hitung Darah lengkap : sel darah putih mungkin meningkat menunjukan infeksi/septicemia.
h. Sel darah merah : biasanya normal.
i. Hb, Ht: abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia terjadi (mendorong presipitas
pemadatan) atau anemia(pendarahan, disfungsi ginjal).
j. Hormon paratiroid : mungkin meningkat bila ada gagal ginjal. (PTH merangsang reabsorbsi
kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine).
k. Foto rontgen : menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada area ginjal dan
sepanjang ureter.
l. IVP : memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri abdominal atau
panggul. Menunjukan abdomen pada struktur anatomik (distensi ureter) dan garis bentuk
kalkuli.
m. Sistoureterokopi : visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukan batu dan
efek obstruksi.
n. Stan CT : mengidentifikasi/ menggambarkan kalkuli dan massa lain, ginjal, ureter, dan
distensi kandung kemih.
o. USG Ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.

BAB 3. ANALISA JURNAL


3.1 Gambaran Umum Jurnal
Urolitiasis atau batu ginjal merupakan batu pada saluran kemih. Batu saluran kemih dapat
diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari system kaliks ginjal kemudian turun ke saluran
kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya
stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hyperplasia prostat atau batu uretra yang terbentuk
di dalam divertikel uretra. Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian
berada di kaliks, infundibulum, pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks
ginjal dan merupakan batu saluran kemih yang paling sering terjadi.
Penyakit Urolithiasis di masyarakat luas pada umumnya dikenal dengan batu ginjal.
Penyakit ini akan menjadi kronik bila tidak mendapat pengobatan secara dini yaitu terjadinya
kerusakan ginjal yang akut ditandai dengan tidak berfungsinya ginjal. Urolithiasis ini dapat
muncul akibat gaya hidup yang kurang sehat, misalnya individu jarang mengkonsumsi air putih
dalam kehidupan sehari-harinya. Penyakit ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi apabila
tidak diatasi. Oleh karena itu dalam hal ini kita sebagai perawat dapat berperan dalam
memberikan penyuluhan pada pasien dan keluarga untuk meningkatkan pengetahuan tentang
urolithiasis dan vesikolithiasis atau batu buli-buli serta cara pencegahannya.
Didalam jurnal telah dijelaskan bahwa pemberian obat Atazanavir pada pengobatan HIV
memiliki potensi yang besar terhadap munculnya Urolithiasis pada pasien. Atazanavir
merupakan inhibitor azapeptide dari HIV-1 protease, obat ini diberikan sebagai pilihan lini
pertama protease inhibitor dalam terapi antiretroviral. Atazanavir dimetabolisme oleh sitokrom
p$%) isoenzim dalam hati, dan sekitar 13 % masing-masing dosis diekskresikan dalam urin

dengan 7 % diekskresikan melalui proses metabolisme. Atazanavir menjadi kurang larut dalam
urin alkali, pada pasien diketahui pH urin 6,0 yang diduga telah berkontribusi terhadap
pembentukan batu, mengingat bahwa atazanavir yang maksimal larut pada pH urin 1,9. Pada
penelitian jurnal diketahui bahwa dari 30 kasus Urolithiasis diketahui bahwa 14 diantara pasien
ini, rata-rata memiliki riwayat terapi atazanavir.
3.2 Isi Jurnal
3.2.1 Pendahuluan
Di Amerika Utara, resiko urolithiasis diperkirakan 10%- 15%, dengan tingkat
kekambuhan lebih dari 10 tahun. Biaya pengobatan urolithiasis akut di Amerika Serikat
diperkirakan mencapai 1.830.000.000 $. Lebih dari 80% kasus diantaranya melibatkan
urolithiasis berbasis kalsium, tingkat kejadian batu kalsium oksalat lebih umum daripada batu
kalsium fosfat. Batu asam terjadi pada 5% - 10% dari kasus, diikuti kejadian yang lebih rendah
yaitu batu sistin dan batu struvite, dan batu yang terdiri dari magnesium-amonium-fosfat.
3.2.2 Menentukan Penyebab
Semua pasien urolithiasis menunjukkan bbeberapa penyebab diantaranya factor asupan
makanan, riwayat keluarga, dan kondisi yang berhubungan dengan pengobatan lengkap. Analisa
komposisi batu disarankan untuk semua kasus urolithiasis. Evaluasi tambahan untuk pasien
urolithiasis berulang atau factor resiko yang berkelanjutan harus mencakup pengukuran hormone
dan vitamin D, kadar serum paratiroid pada pasien dengan hiperkalsemia dan sampel urin 24 jam
untuk volume, kreatinin, elektrolit, kalsium, magnesium, fosfat, oksalata, asam urat, dan
kuantisasi sitrat. Pasien dengan urolithiasis berulang mungkin mengalami paparan radiasi
substansi yang berulang dalam episode akut. Masalah ini harus dipertimbangkan dalam
presentasi pasien gawat darurat.
3.2.3 Urolithiasis Berbasis Obat
Basis obat urolithiasis mengacu pada batu yang dibentuk oleh kristalisasi langsung dari
larutan, diekskresikan melalui ginjal atau metabolitnya, batu terbentuk ketika obat mengkristal di
sekitar batu kemih yang terbentuk sebelumnya. Urolithiasis Basis Obat tidak dimaksud untuk
mendeskripsikan batu yang berkembang dalam kaitannya dengan efek metabolic terapi obat,
seperti batu kalsium fosfat yang dihasilkan dari administrasi eksogen vitamin D atau kalsium.
Urolithiasis berbasis obat mungkin tidak berbeda dengan penampilan dari tipe batu lain, ha ini
dapai dikonfirmasi hanya dengan analisis batu.

Gambar 1: bate urin melewati seorang pria 57-tahun yang telah di terapi antiretroviral selama 11
bulan.
Silfonamid adalah obat pertama terkait urolithiasis. Mereka telah bergabung dengan
berbagai antibiotik lain, antihipertinsi, antisida dan obat lain termasuk HIV-1 protease inhibitor
indinavir dan nelfinair. Pada tahun 2006, atazanavir telah menjadi antiverol terbaru. Atazanavir
adalah inhibitor azapeptide untuk pengobatan HIV-1 protease, sejak 2008 pedoman untuk
pengobatan HIV telah dimasukkan sebagai pilihan lini pertama PI. Antiverol atazanavir
dimetabolisme oleh sitokorm P450 3A4 isoenzim dalam hati, dan sekitar 13% diekskresikan
elalui urin, dengan 7% diekskresikan unmetabolized. Atazanavir menjadi kurang larut dalam urin
alkali, namun mekanisme yang tepat dari pembentukan batu saat ini tidak diketahui. Ph urin
pasien adalah 6,0 yang mungkin telah memberi kontribusi pada pembentukan batu, mengingat
bahwa atazanavir maksimal larut pada pH urin 1,9. Sejak tahun 2002, Sistem Pelaporan AS
Adverse Event telah mengumpulkan rincian tentang 30 kasus urolitiasis pada pasien yang diobati
dengan atazanavir.14 antara pasien ini, rata-rata memiliki riwayat terapi dengan atazanavir
dengan batu ginjal pertama kali didokumentasikan dalam 1,7 tahun. Pasien kami menderita
urolitiasis setelah 11 bulan memulai terapi dengan atazanavir. 14 melaporkan kasus yang analisis
komposisi batu dilakukan, 12 pasien memiliki batu yang positif untuk atazanavir, bervariasi
antara 40% dan 100% komposisi berat.
3.2.4 Pencegahan
Pencegaham harus disesuaikan dengan penyebab kasus yang dideteksi. Secara umum,
asupan cairan harus ditingkaykan minimal 2 L air per hari pada pasien tanpa kontraindikasi
seperti gagal jantung kongestif atau serosis, pembatasan garam, dan obat-obatan harus diganti
dengan pasien urolithiasi berbasis obat. Strategi ini telah digunakan dalam pengelolaan batu

berbasis indinavir dengan sukses. 11 variabel PI pasien kami diubah dari atazanavir lopinavir.
Dia juga diperintahkan untuk meningkatkan asupan cairan harian untuk minimal 2 L per hari.
Perjalanannya batu segera berhenti. Pencitraan perut dilakukan sembilan bulan kemudian
menunjukkan ukuran normal ginjal dan tidak ada hidronefrosis.
3.3 Peran Perawat
Peran perawat dalam hal ini adalah memberikan penyuluhan tentang pencegahan terjadinya
batu, seperti mengkonsumsi cairan dalam jumlah banyak (3 4 liter/hari), diit yang
seimbang/sesuai dengan jenis batu yang ditemukan, aktivitas yang cukup serta segera
memeriksakan diri bila timbul keluhan pada saluran kemih agar dapat segera ditangani. Bagi
penderita yang mengalami batu pada saluran kemih agar selalu menjaga kesehatannya agar tidak
terjadinya pembentukan batu yang baru. Hal yang harus diperhatikan oleh penderita adalah diet
makanan dan pemeliharaan kesehatan seperti berobat ke dokter, minum obat secara teratur dan
menghindari penyakit infeksi yang menjadi salah satu penyebab timbulnya urolithiasis.
3.4 Kelebihan dan Kekurangan Jurnal
Jurnal ini memberikan pemaparan lebih luas menegnai kekurangan pengobatan HIV
dengan atazanavir yang dapat menyebabkan timbulnya urolithiasis pada pasien HIV. Jurnal ini
dilengkapi dengan presentasi jumlah penderita HIV dengan urolithiasis yang melakukan terpai
atazanavir. Namun jurnal ini terlalu singkat sehingga tidak memebrikan penelitian lebih lanjut
mengenai obat pengganti atazanavir untuk pasien HIV.

BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
a. Nama: Berisi nama lengkap klien yang mengalami urolithiasis.
b. Jenis Kelamin: Urolithiasis kali terjadi tiga kali lebih sering pada pria dibandingkan pada
perempuan.
c. Usia: Urolithiasis dapat terjadi pada semua usia. Namun, paling sering terjadi pada usia
30-50 tahun
d. Alamat: Urolithiasis banyak terjadi pada orang yang tinggal di daerah panas
e. Pekerjaan: Urolithiasis biasanya terjadi pada orang-orang yang bekerja berat dengan
konsumsi cairan yang tidak adekuat dan konsumsi kalsium tinggi, misal: olahragawan.
f. Agama: Agama tidak mempengaruhi seseorang untuk terkena penyakit urolithiasis.
2. Status Kesehatan
a. Keluhan Utama
Klien dengan penyakit urolithiasis biasanya mengeluhkan nyeri yang luar biasa,
akut/kronik. Biasanya berupa nyeri kolik yang menyebar ke paha dan genetelia.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dengan penyakit urolithiasis mengalami nyeri, mual muntah, hematuria, diare,
oliguri. Selain itu pasien juga mengalami hipertermi dan sakit saat berkemih (disuria).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu yang mungkin pernah dialami klien seperti pernah menderita
infeksi saluran kemih, osteoporosis akibat konsumsi kalsium berlebih. Selaian itu gaya
hidup klien biasanya sering mengkonsumsi susu berkalsium tinggi dengan bekerja di
lingkungan panas.
d. Riwayat kesehatan Keluarga
Beberapa penyakit keluarga yang dipercaya dapat menjadi faktor predisosisi urolithiasis
antara lain: Urolitiasis, ISK, dan hipertensi.

3. Pengkajian Pola Fungsi Kesehatan


a. Pola Persepsi terhadap Kesehatan dan Penyakit
Klien dengan urolitiasis biasanya menganggap minum air mineral kurang penting. Selain
itu, mereka juga sering mengkonsumsi makanan mengandung purin dan kalsium oksalat.
Sehingga, perlu diajarkan pembiasaan untuk mengkonsumsi air mineral minimal 8 gelas
per hari untuk menetralisir purin dan asam oksalat yang dikonsumsi.
b. Pola Nutrisi-Metabolisme
Pada umumnya klien dengan urolithiasis memiliki riwayat ketidakcukupan pemasukan
cairan (tidak minum air dengan cukup). Hal ini menyebabkan pasien sakit dan
mengalami penurunan nafsu makan, mual dan muntah akibat nyeri tekan pada abdomen.
c. Pola Eliminasi
Urine/24 jam 600-700 ml (mengalami penurunan; normal: 1500ml/hari), hematuria,
piuri, dan rasa terbakar saat berkemih. Pasien juga mengalami perubahan pola berkemih.
d. Pola Istirahat dan Tidur
Klien dengan urolithiasis biasanya mengalami kesulitan untuk tertidur karena mungkin
terdapat nyeri dan cemas akan hospitalisasi.
e. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Klien dengan urolithiasis akan mengalami kecemasan atau kekhawatiran karena
kurangnya pengetahuan terhadap penyakit yang dialami.
f. Pola Aktivitas dan Latihan
Klien dengan urolithiasis akan mudah letih dalam beraktivitas. Hal ini diakibatkan
edema pada area ektrimitas atas dan bawah (tangan dan kaki).
g. Pola Hubungan dan Peran
Klien dengan urolithiasis biasanya merasa dirinya tidak berguna dan tidak dapat
menjalankan peran sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan adanya berbagai gejala
yang dirasakan saat sakit.
h. Pola Reproduksi/ Seksual
Klien dengan urolithiasis biasanya mengalami gangguan dalam pola seksualnya. Hal ini
diakibatkan adanya retensi urin pada kandung kemih yang mnyebabkan rasa nyeri.
Dengan demikian klien biasanya akan mengalami penurunan libido.
i. Pola Koping dan Toleransi Stres
Dukungan keluarga sangat berpengaruh dalam memotivasi klien untuk mengurangi
tingkat kecemasan yang dirasakan.
j. Pola Keyakinan dan Nilai
Klien biasanya meyakini bahwa penyakit yang diderita merupakan takdir dan kehendak
Tuhan. Klien tetap bisa menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang diyakininya, dan
keluarga dapat mendukung klien.

4. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien lemah dengan tingkat kesadaran biasanya compos mentis. Pada TTV
sering tidak didapatkan adanya perubahan.
1. B1 (Breating): Klien dengan urolithiasis akan mengalami peningkatan frekuensi nafas
akibat kecemasan atau dampak lanjut dari kerusakan sistem RAA. Pada fase lanjut sering

didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons
terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
2. B2 (Blood). Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari
peningkatan beban volume.
3. B3 (Brain): Status neurologis klien pada umunya tidak mengalami perubahan. Namun,
jika azotemia yang parah dapat mempengaruhi fungsi kerja sistem saraf pusat sehingga
klien dapat mengalami penurunan kesadaran.
4. B4 (Bowel): Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering didapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.
5. B5 (Bladder): Klien biasanya merasa penuh pada kandung kemih, keinginan untuk
berkemih (frekuensi) dengan jumlah urin yang dikeluarkan sedikit (poliuri) akibat adanya
obstruksi pada saluran kemih.
6. B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema
tungkai dari keletihan fisik secara umum.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisa : urine berwarna kuning, coklat atau merah, secara mikroskopis terdapat sel
darah merah, sel darah putih, kristal, mineral, bakteri, PH urine dapat asam (untuk jenis
batu cystine atau asam urat) dan basa (batu jenis magnesium, amonium fosfat atau
kalsium fosfat).
b. Urine 24 jam : ditemukan peningkatan kreatinin, asam urat, kalsium, fosfor, oksalat, atau
cystin.
c. Urine kultur : mungkin ditemukan adanya kuman penyebab infeksi saluran kemih
d. Biokimia darah : ditemukan peningkatan magnesium, kalsium, asam urat, fosfat, protein
e.

dan elektrolit.
Ureum, creatinin serum dan urin : Terjadi peningkatan akibat terjadi iskemik pada ginjal

karena batu.
f. Natrium klorida dan bikarbonat serum: Peningkatan klorida dan penurunan bikarbonat
diduga akibat telah terjadinya asidosis tubulus renal.
g. Leukosit : biasanya meningkat, menandakan adanya infeksi
h. Sel darah merah : biasanya normal
i. Hb/Ht : Abnormal jika pasien telah mengalami dehidrasi atau polycitemia atau anemia
(perdarahan, gagal ginjal /disfungsi ginjal).
j. Hormon Parathyroid : dapat meningkat jika telah terjadi kegagalan ginjal.
k. BNO : memperlihatkan adanya batu atau perubahan anatomi pada ginjal dan ureter.
l. IVP : memperlihatkan abnormalnya struktur anatomis ginjal (distensi ureter) dan
bayangan batu
m. Cystoscopy dan ureteroscopy : secara visual dapat memperlihatkan batu dan obstrksi
pada bladder, ureter dan ginjal.
n. CT Scan dan MRI : Dapat mengindentifikasi batu, massa pada ginjal. Ureter dan distensi
bladder.
o. Ultrasound Ginjal : melihat perubahan obstruksi, lokasi batu.

4.2 Analisa Data

No

Tanda dan Gejala

Etiologi

Masalah

1.

DO:

Endapan kalsium, oksalat

Nyeri akut

a. Pasien terlihat meringis


dan sering memegang
perut bagian bawah
b. RR > 20x/ menit.

Endapan mengeras
(menjadi batu)

DS:
a. Pasien mengatakan
Sus, perut saya terasa
sangat sakit. Apalagi
kalau buat berkemih

Penekanan pada dinding


saluran kemih

Trauma saluran kemih

Nyeri akut

2. DO:
a. Outpun urin <1500
ml/hari
b. Pasien terlihat
menyeringai saat buang
air kecil

Batu di saluran kemih

Obstruksi saluran kemih

DS:
a. Pasien mengatakan
Sus, akhir-akhir ini
kencing saya sedikit
sekali
b. Pasien mengatakan
Sus, saya sakit saat
kencing

Retensi urin di saluran


kemih

Urin yang keluar sedikit


(poliuria)

Gangguan
urin

eliminasi

4.3 Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan sekunder terhadap batu ginjal.
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik dan iritasi ginjal/eretral.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas saluran kemih.
4. Ketidakefektifan perfuasi jaringan akibat edema pulmonal.
5. Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan mual muntah.
6. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen.
7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan akumulasi urin dalam kandung kemih

4.4 Intervensi
No.
1.

Diagnosa
Nyeri akut
berhubungan dengan
trauma jaringan
sekunder terhadap
batu ginjal.

Tujuan dan Kriteria


Hasil
NOC:

Intervensi
Keperawatan
NIC :
1. Lakukan pengkajian nyeri dengan

1. Pain level
2. Pain control
3. Comfort control

PQRST
2. Observasi reaksi nonverbal dari

Setelah dilakukan tindakan


ketidaknyamanan
3.
Gunakan teknik komunikasi
keperawatan Selama (3x24
jam) diharapkan nyeri
terapeutik untuk mengetahui
teratasi dengan indikator:
pengalaman nyeri pasien
4.
Kontrol lingkungan yang dapat
1. Mampu mengontrol
nyeri
2. Melaporkan

mempengaruhi nyeri seperti suhu


bahwa

ruangan, pencahayaan dan

nyeri berkurang
3. Mampu
mengenali 5.
6.
nyeri
4. Menyatakan
rasa 7.
8.
nyaman setelah nyeri
berkurang
2.

Gangguan eliminasi
urin berhubungan
dengan obstruksi
mekanik dan iritasi
ginjal/eretral.

NOC:
1. Urinary Elimination
2. Urinary Cintinuence
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
diharapkan gangguan
eliminasi urin teratasi
dengan kriteria hasil:

kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Ajarkan teknik nonfarmakologis
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter jika
keluhan dan tindakan nyeri tidak

berhasil
NIC:
1. Lakukan pengkajian kemih secara
komprehensif
2. Control input dan output cairan
3. Pantau tingkat distensi kandung
kemih dengan palpasi dan perkusi
4. Pasang kateter urin jika diperlukan
5. Monitor efek-efek dari pengobatan

1. Intake cairan dalam

yang diresepkan
6. Lakukan pemeriksaan urin pasien

rentang normal
2. Kandung kemih

dilaboratorium (urinalisis)
7. Awasi pemeriksaan laboratorium,

kosong secara
keseluruhan

seperti elektrolit, BUN, dan


kreatinin.
8. Kolaborasikan dengan tim medis

3. Bebas dari ISK


4. Tidak ada spasme

terkait pemberian obat untuk


menangani gangguan eliminasi urin

bladder
5. Tidak ada residu urine
> 100-200 cc
3.

Kelebihan volume
cairan berhubungan
dengan peningkatan
permeabilitas saluran
kemih.

NOC:

NIC:

1. Keseimbangan

Fluid and Electrolyte Management

Elektrolit/Asam Basa

2. Keseimbangan Cairan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan
keseimbangan volume
cairan tercapai dengan
kriteria hasil :
1. Tidak ada edema
2. Berat badan stabil
3. Intake sama dengan
output
4. Berat jenis urin atau

1. Monitor tanda vital.


2. Monitor hasil laboratorium terkait
keseimbangan cairan dan elektrolit
seperti

penurunan

hematokrit,

peningkatan BUN, kadar natrium


serum dan kalium.
3. Pertahankan terapi intravena pada
flow rate yang konstan.
4. Monitor intake dan output cairan.
5. Monitor kuantitas dan warna
haluaran urin
6. Monitor status nutrisi
7. Kaji lokasi dan luas edema
8. Kolaborasi dengan dokter

jika

hasil laboratorium

tanda dan gejala kelebihan cairan

mendekati normal

tetap atau semakin memburuk

5. TTV dalam batas


normal

Fluid monitoring
1. Pantau hasil laboratorium berat
jenis urin.
2. Monitor serum albumin dan total
protein dalam urin.
3. Tentukan kemungkinan faktor
resiko dari ketidakseimbangan
cairan
4. Monitor membran mukosa, turgor

4.

Ketidakefektifan
perfusi jaringan akibat
edema pulmonal

NOC:
1. Circulation status
2. Tissue perfusion:
cerebral
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
diharapkan perfusi
jaringan efektif dengan
kriteria hasil:

kulit, dan rasa haus.


5. Monitor tanda dan gejala asites.
6. Timbang berat badan setiap hari
7. Monitor tanda dan gejala edema
NIC:
1. Monitor adanya daerah tertentu
yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
2. Instruksikan pada keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada lesi
atau laserasi
3. Batasi gerakan pada kepala, leher,

1. Mendemonstrasikan
status sirkulasi yang
ditandai dengan:
Tekanan systole
dan diastole dalam

dan punggung
4. Monitor adanya paretese
5. Kolaborasikan dengan tim medis
untuk pemberian obat-obatan
sesuai indikasi

rentang normal
Tidak ada tandatanda peningkatan
tekanan
intracranial
2. Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif
yang ditandai dengan:
Berkomunikasi
dengan jelas
Menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
Memproses
informasi dan
membuat
keputusan dengan
benar
3. Menunjukkan fungsi
sensori motorik
cranial yang utuh:
tingkat kesadaran
membaik, tidak ada
gerakan-gerakan
involunter

5.

Nutrisi Kurang dari NOC:


Kebutuhan
Tubuh
berhubungan dengan 1. Nutritional status
2. Weight control
mual muntah.
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 4x24
jam diharapkan klien
dapat
menyeimbangkan
nutrisi
yang
adekuat
dengan kriteria hasil:
1. Peningkatan BB
2. Tidak ada anoreksia
3. Tampak segar

NIC:
1. Kaji status nutrisi, adanya alergi
makanan
2. Berikan nutrisi yang adekuat
secara kualitas maupun kuantitas.
3. Monitor nutrisi dan kandungan
kalori
4. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
5. Monitor mual dan muntah
6. Monitor turgor kulit
7. Monitor berat badan pasien

4. Berat

badan

ideal

sesuai dengan tinggi


badan
5. Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi

8. Berikan makanan dalam porsi


kecil tapi sering.
9. Pantau pemasukan makanan dan
timbang berat badan setiap hari.
10. Lakukan konsultasi dengan ahli
gizi
11. Libatkan keluarga klien dalam
perencanaan makan sesuai dengan
indikasi.

6.

Intoleransi Aktivitas
berhubungan dengan
penurunan suplai
oksigen

NOC:

NIC

Energy conservation
Activity tolerance
Self care: ADLs

1. Bantu klien untuk

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama 4 x 24
jam masalah intoleransi
aktivitas dapat teratasi
dengan kriteria hasil:
Dapat beraktivitas fisik
tanpa disertai
peningkatan tekanan
darah, nadi, dan RR
Mampu melakukan
ADLs secara mandiri
Tanda-tanda vital
normal
Sirkulasi baik
Mampu berpindah:

mengidentifikasikan aktivitas yang


mampu dilakukan
2. Bantu klien untuk memilih
aktivitas yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi, dan
sosial
3. Sediakan alat bantu aktivitas
seperti kursi roda dan krek
4. Kolaborasikan dengan tenaga
rehabilitasi medic dalam
merencanakan program terapi
yang tepat
5. Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan diwaktu luang
6. Berikan motivasi
7. Monitor respon fisik, emosi,
sosial, dan spiritual.

dengan atau tanpa alat


Status respirasi:
pertukaran gas dan
ventilasi adekuat

7.

Resiko tinggi infeksi


berhubungan dengan
akumulasi urin dalam
kandung kemih

NOC:

NIC:

1. Immune status
2. Knowledge: Infection

1. Monitor tanda dan gejala infeksi

control
3. Risk control
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam resiko infeksi teratasi
dengan kriteria hasil:
1. Klien bebas dari tanda

sistemik local
2. Bersihkan lingkungan setelah
dipakai pasien lain
3. Pertahankan teknik isolasi
4. Pertahankan lingkungan aseptic
selama pemasangan alat
5. Tingkatkan intake nutrisi
6. Instruksikan pada pengunjung
untuk mencuci tangan saat

dan gejala infeksi


2. Mendeskripsikan
proses penularan
penyakit, faktor yang
mempengaruhi
penularan serta
penatalaksanaannya
3. Menunjukkan
kemampuan untuk
mencegah timbulnya
infeksi
4. Menunjukkan
perilaku hidup sehat

berkunjung dan setelah


berkunjung meninggalkan pasien
7. Cuci tangan setiap sebelum dan
sesudah tindakan keperawatan
8. Monitor tanda dan gejala infeksi
local maupun sistemik
9. Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
10. Ajarkan pasien dan keluarga cara
mencegah infeksi.
11. Kolaborasikan pemberian
antibiotic

4.5 Implementasi
No.
Diagnosa
Dx. 1

Hari/Tanggal
Sabtu,
13 Desember
2014

Waktu
08.00

Implementasi
1. Melakukan pengkajian nyeri
dengan PQRST
2. Mengobservasi reaksi nonverbal

08.45

dari ketidaknyamanan
3. Menggunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui

Minggu,

08.05

14 desember
2014

pengalaman nyeri pasien


4. Mengontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
5. Mengajarkan pasien teknik
pereda nyeri non farmakologis:

10.00

Guided imagery

11.15
Dx.2

Sabtu,
13 desember
2014

14.00

1. Melakukan pengkajian kemih


secara komprehensif
2. Mengontrol input dan output

14.45

cairan
3. Memantau tingkat distensi

Paraf

Minggu,
14 desember
2014

kandung kemih dengan palpasi


09.00

dan perkusi
4. Memasang kateter urin jika
diperlukan
5. Melakukan urinalisis

09.38

10.00
Dx.3

Sabtu,

17.00

13 desember
2014

18.00

1. Memonitor tanda vital.


2. Memonitor hasil laboratorium
terkait keseimbangan cairan dan
elektrolit

seperti

penurunan

hematokrit, peningkatan BUN,


kadar natrium serum dan kalium.
3. Mempertahankan terapi intravena
pada flow rate yang konstan.
4. Memonitor intake dan output
19.25
Minggu,

cairan.
5. Memonitor status nutrisi
6. Mengkaji lokasi dan luas edema

07.00

14 desember
2014
07.10
08.00
Dx.4

Sabtu,

16.00

1. Memonitor adanya daerah


tertentu yang hanya peka

13 desember
2014

terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
2. Menginstruksikan pada keluarga
16.30

untuk mengobservasi kulit jika


ada lesi atau laserasi
3. Berkolaborasikan dengan tim
medis untuk pemberian obatobatan sesuai indikasi

16.46

Dx.5

Sabtu,
13 desember
2014

07.00

1. Kaji status nutrisi, adanya alergi


makanan
2. Berikan nutrisi yang adekuat

07.15

secara kualitas maupun kuantitas.

3. Monitor nutrisi dan kandungan


kalori
4. Berikan informasi tentang
09.00

Minggu,
14 desember
2014

08.00

5.
6.
7.
8.

kebutuhan nutrisi
Monitor mual dan muntah
Monitor turgor kulit
Monitor berat badan pasien
Berikan makanan dalam porsi

kecil tapi sering.


9. Pantau pemasukan makanan dan
08.20
09.00

timbang berat badan setiap hari.


10. Lakukan konsultasi dengan ahli
gizi

09.10
12.00

12.00

13.00
Dx.6

Sabtu,

10.00

1. Membantu klien untuk


mengidentifikasikan aktivitas

13 desember
2014

yang mampu dilakukan


2. Membantu klien untuk memilih
10.25

aktivitas yang sesuai dengan


kemampuan fisik, psikologi, dan
sosial
3. Menyediakan alat bantu aktivitas
seperti kursi roda dan krek
4. Berkolaborasikan dengan tenaga

11.00

rehabilitasi medic dalam


merencanakan program terapi

12.00
Dx.7

Minggu,
13 desember
2014

07.30

yang tepat
1. Memonitor tanda dan gejala
infeksi sistemik local
2. Membersihkan lingkungan

08.10

setelah dipakai pasien lain


3. Mempertahankan teknik isolasi
4. Mempertahankan lingkungan

08.15

aseptic selama pemasangan alat


5. Meningkatkan intake nutrisi
6. Menginstruksikan pada

08.20

pengunjung untuk mencuci

tangan saat berkunjung dan


setelah berkunjung meninggalkan
Senin,

09.00

15 desember
2014

07.00

pasien
7. Mencuci tangan setiap sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan
8. Memonitor tanda dan gejala
infeksi local maupun sistemik
9. Mengajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
10. Mengajarkan pasien dan keluarga

07.00

cara mencegah infeksi.


11. Berkolaborasikan dengan tim
medis untuk pemberian antibiotic

08.00

08.15

08.20

09.00

4.6 Evaluasi

No.

Evaluasi
Keperawatan

1.

Nyeri akut berhubungan


S: Pasien mengatakan Sus, sakit di perut perut saya mulai
dengan trauma jaringan
berkurang saat saya berkemih
sekunder terhadap batu ginjal.
O: pasien mulai mengurangi meringis dan
memgang area perut
A: masalah teratasi sebagian
P: ulangi intervensi keperawatan

Gangguan eliminasi urin


S: Pasien mengatakan Sus, sekarang kencing saya sudah mulai
berhubungan dengan obstruksi banyak dan tidak terlalu sakit
mekanik dan iritasi
O: pasien terlihat sering ke kamar mandi dan tidak menyeringai
ginjal/eretral.
kesakitan lagi
A: masalah teratasi sebagian
P: ulangi intervensi keperawatan

3.

Kelebihan volume cairan


berhubungan dengan
peningkatan permeabilitas
saluran kemih.

S: pasien mengatakan,Sus, bengkak di kaki saya mulai mengecil


O: edema di daerah ekstrimitas pasien mulai berkurang, asites tetap
dan BB mulai menurun
A: masalah belum teratasi
P: ulangi intervensi keperawatan

4.

Ketidakefektifan perfusi
jaringan akibat edema
pulmonal

S: Pasien mengatakan Sus, mengatakan sudah tidak pusing sus


O: TD dan RR normal
A: masalah teratasi
P: hentikan intervensi keperawatan

5.

Nutrisi Kurang dari KebutuhanS: Pasien mengatakan Sus, makanan saya habis
Tubuh berhubungan dengan
O: pasien tampak mulai segar tidak lemas lagi
mual muntah.
A: masalah teratasi
P: hentikan intervensi keperawatan

6.

Intoleransi Aktivitas
berhubungan dengan
penurunan suplai oksigen

S: Pasien mengatakan Sus, saya sudah bisa dan kuat berjalan


sendiri, badan saya mulai segar kembali
O: RR normal dan pasien tampak segar
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi keperawatan

7.

Resiko tinggi infeksi


S: Pasien mengatakan Sus, perut bawah saya sudah enakan, tidak
berhubungan dengan
terlalu sakit lagi
akumulasi urin dalam kandung
O: Suhu tubuh normal, suhu suprapubis mulai normal
kemih
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi keperawatan

BAB 5. PENUTUP
5.1

Kesimpulan

Urolithiasis adalah adanya batu (kalkuli) di traktus urinarius. Urolithiasis


merupakan penyakit yang salah satu tanda gejalanya adalah pembentukan batu di
dalam saluran kemih.
Factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan batu:
Idiopatik,gangguan saluran, kemih, gangguan metabolism ,Infeksi saluran kemih
oleh mikroorganisme berdaya membuat urease (Proteus mirabilis) ,dehidrasi
,benda asin ,multifaktor, jaringan mati (nekrosis papil).
Tanda dan gejala penyakit batu saluran kemih ditentukan oleh letaknya,
besarnya dan morfologinya. Manifestasi klinik adanya batu dalam traktus
urinarius bergantung pada adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Ketika batu
menghambat aliran urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi (pielonefritis
dan sistitis yang disertai demam, menggigil dan disuria) dapat terjadi dari iritasi
batu yang terus menerus.
5.1 Saran
a. Pada mahasiswa
Diharapkan kepada mahasiswa khususnya mahasiswa keperawatan agar dapat
mengerti, memahami dan dapat menjelaskan tentang Urolithiasis baik mengenai
pengertian, patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis maupun pencegahan serta
penerapan asuhan keperawatannya.
b.

Pada Dosen

Dosen diharapkan dapat memfasilitasi mahasiswa apabila terdapat mahasiswa


yang kurang paham tentang Urolithiasis dan memberikan tambahan materi atau
penjelaskan apabila materi yang diberikan kurang lengkap atau kurang jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, Syamsir dan Iwan Hadibroto, 2007, Gagal Ginjal, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Baradero, Mary, dkk, 2008, Klien Gangguan Ginjal, Jakarta: EGC
Bilotta, 2012, Kapita Selekta Penyakit dengan Implikasi Keperawatan Edisi 2,
Jakarta: EGC
Brunner and Suddarths (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. (Edisi 8
volume 2). Jakarta : EGC.
Herdman, T, Heater, 2012, Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2012-2014,Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif, 2010, Pengkajian
Klinik, Jakarta: Salemba Medika

Keperawatan

Aplikasi

pada

Praktek

NANDA Internasional. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi.


Jakarta: EGC
Nursalam, 2006, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan, Jakarta: Salemba Medika
Price, S. A & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC
Purnomo, Basuki B, 2003, Dasar-dasar Urologi Edisi Kedua, Jakarta: Sagung
Seto
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC
Suddart, Brunner. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H.
Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Jakarta: EGC
Suharyanto, Toto & Abdul Madjid, 2009, Asuhan Keperawatan pada Klien
Gangguan Sistem Perkemihan, Jakarta: Trans Info Medika
Tamsuri, Anas, 2006, Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri, Jakarta: EGC
Tarwoto dan Wartonah, 2004, Kebutuhan
Keperawatan, Jakarta: Salemba medika

Dasar

Manusia dan

Proses

Wijaya, Andra Saferi & Yessie Mariza Putri, 2013, Keperawatan Medikal Bedah
1 Keperawatan Dewasa, Yogyakarta: Nuha Medika
Wilkinson, Judith M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan
Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai