Isi Urolithiasis
Isi Urolithiasis
PENDAHULUAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.3 Tujuan
mahasiswa keperawatan maupun tenaga kesehatan dapat lebih mendalami mengenai penyakit
urolithiasis dan penatalaksanaannya, akan tetapi tetap dengan diimbangi dari referensi lainnya.
Proses asuhan keperawatan yang diulas dalam makalah ini juga dapat digunakan oleh mahasiswa
keperawatan maupun tenaga profesional keperawatan dalam menghadapi pasien dengan penyakit
urolithiasis.
padat yang dibentuk oleh presipitasi berbagai zat terlarut dalam urine pada saluran kemih. Batu
dapat berasal dari kalsium oksalat (60%), fosfat sebagai campuran kalsium, amonium, dan
magnesium fosfat (batu tripel fosfat akibat infeksi) (30%), asam urat (5%), dan sistin (1%).
(Pierce A. Grace & Neil R. Borley 2006).
Urolithiasis adalah pengkristilan mineral yang mengelilingi zat organik, misalnya nanah,
darah, atau sel yang sudah mati. Biasanya batu kalkuli terdiri atas garam kalsium (oksalat dan
fosfat) atau magnesium fosfat dan asam urat.(Mary baradero,SPC,MN & Yakobus Siswandi,
MSN, klien gangguan ginjal).
Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) di traktus urinarius. Batu terbentuk di
traktus urinarius ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosgat, dan
asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi substansi tertentu,
seperti sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urin. Kondisi lain yang
mempengaruhi laju pembentukan batu mencangkup pH urin dan statuscairan pasien (batu
cenderung terjadi pada pasien dehidrasi).(Brunner & Suddarth 2002)
2.2 Epidemiologi
Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di negara
berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai
batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan
mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 %
penduduk menderita batu saluran kemih. Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga
berhubungan dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih,
dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).
2.3 Etiologi
Sampai saat sekarang penyebab terbentuknya batu belum diketahui secara pasti. Namun
secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih
yang
dibedakan
sebagai
faktor
intrinsik
dan
faktor
ekstrinsik.
1. Geografi; pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi daripada
daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu).
2. Iklim dan temperatur. Individu yang menetap didaerah yang beriklim panas dengan paparan
sinar ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami dehidrasi serta peningkatan produksi
vitamin D3 (emicu peningkatan ekskresi kalsium dan oksalat), sehingga insiden batu saluran
kemih akan meningkat.
3. Asupan air; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium dapat meningkatkan
insiden batu saluran kemih.
4. Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih.
5. Pekerjaan; penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau
kurang aktivitas fisik (sedentary life).
6. Istirahat (bedrest) yang terlalu lama, misalnya karena sakit juga dapat menyebabkan
terjadinya penyakit batu saluran kemih.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya obstruksi,
infeksi dan edema.
a. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal.
1.Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang disertai menggigil, demam dan disuria) dapat terjadi
dari iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu menyebabkan sedikit gejala namun
secara perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal.
2.Nyeri yang luar biasa dan ketidak nyamanan.
b.
c.
4. Biasanya batu bisa keluar secara spontan dengan diameter batu 0,5-1 cm.
d.
dan hematuri.
Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urine.
2.5 Patofisiologi
Mekanisme terbentuknya batu pada saluran kemih atau dikenal dengan urolitiasis belum
diketahui secara pasti. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya batu antara lain :
Peningkatan konsentrasi larutan urin akibat dari intake cairan yang kurang dan juga peningkatan
bahan-bahan organik akibat infeksi saluran kemih atau stasis urin menyajikan sarang untuk
pembentukan batu.
Supersaturasi elemen urin seperti kalsium, fosfat, oxalat, dan faktor lain mendukung
pembentukan batu meliputi : pH urin yang berubah menjadi asam, jumlah solute dalam urin dan
jumlah cairan urin. Masalah-masalah dengan metabolisme purin mempengaruhi pembentukan
batu asam urat. pH urin juga mendukung pembentukan batu. Batu asam urat dan batu cystine
dapat mengendap dalam urin yang asam. Batu kalsium fosfat dan batu struvite biasa terdapat
dalam urin yang alkalin. Batu oxalat tidak dipengaruhi oleh pH urin.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan pergerakan kalsium menuju tulang akan terhambat.
Peningkatan serum kalsium akan menambah cairan yang akan diekskresikan. Jika cairan masuk
tidak adekuat maka penumpukan atau pengendapan semakin bertambah dan pengendapan ini
semakin kompleks sehingga terjadi batu.
Batu yang terbentuk dalam saluran kemih sangat bervariasi, ada batu yang kecil dan batu
yang besar. Batu yang kecil dapat keluar lewat urin dan akan menimbulkan rasa nyeri, trauma
pada saluran kemih dan akan tampak darah dalam urin. Sedangkan batu yang besar dapat
menyebabkan obstruksi saluran kemih yang menimbulkan dilatasi struktur, akibat dari dilatasi
akan terjadi refluks urin dan akibat yang fatal dapat timbul hidronefrosis karena dilatasi ginjal.
Kerusakan pada struktur ginjal yang lama akan mengakibatkan kerusakan pada organ-organ
dalam ginjal sehingga terjadi gagal ginjal kronis karena ginjal tidak mampu melakukan
fungsinya secara normal.
2.6 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang di timbulkan dari urolithiasis adalah:
1. Sumbatan (obstruksi) : akibat pecahan batu.
2. Infeksi : akibat desiminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi.
3. Kerusakan fungsi ginjal : akibat sumbatan yang lama sebelum pengobatan dan
pengangkatan batu ginjal.
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu, menentukan jenis batu,
mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi dan mengurangi obstruksi yang terjadi.
Indikasi pengeluaran batu saluran kemih yaitu;
a. Obstruksi jalan kemih
b. Infeksi
c. Nyeri menetap atau nyeri berulang-ulang
a.
Pengurangan nyeri
Tujuan segera dari penanganan kolik renal atau ureteral adalah untuk mengurangi nyeri
sampai penyebabnya dapat dihilangkan; morfin atau meperidin diberikan untuk mencegah
syok dan sinkop akibat nyeri yang luar biasa. Mandi air hangat diarea panggul dapat
bermanfaat. Cairan diberikan, kecuali pasien mengalami muntah atau menderita gagal
jantung kongestif atau kondisi lain yang memerlukan pembatasan cairan. Ini meningkatkan
tekanan hidrostatik pada ruang di belakang batu sehingga mendorong pasase batu tersebut ke
bawah. Masukan cairan sepanjang hari mengurangi konsentrasi kristaloid urin,
b.
c.
dan menolak metode lain, atau mereka yang memiliki batu yang mudah larut (struvit).
Pengangkatan batu
Jika batu terletak didalam ginjal, pembedahan dilakukan dengan nefrolitotomi (insisi pada
ginjal untuk mengangkat batu) atau nefrektomi, jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau
hidronefrosis. Batu dalam piala ginjal diangkat dengan pielolitotomi, sedangkan batu pada
ureter diangkat dengan ureterolitotomi dan sistotomi jika batu berada dikandung kemih. Jika
batu berada dikandung kemih; suatu alat dapat dimasukkan ke uretra ke dalam kandung
kemih; batu kemudian dihancurkan oleh penjepit pada alat ini. prosedur ini disebut
sistolitolapaksi.
2.7 Pencegahan
Batu ginjal terutama mengandung kalsium, fosfor dan atau oksalat. Pencegahan batu ginjal
makanan dan minuman yang harus dibatasi:
a. Makanan kaya vitamin D harus dihindari (vitamin D meningkatkan reabsorpsi kalsium).
b. Garam meja dan makanan tinggi natrium harus dikurangi (Na bersaing dengan Ca dalam
reabsorpsinya diginjal).
Daftar makanan berikut harus dihindari :
1. Produk susu: semua keju (kecuali keju yang lembut dan keju batangan); susu dan produk
2.
3.
4.
5.
dengan 7 % diekskresikan melalui proses metabolisme. Atazanavir menjadi kurang larut dalam
urin alkali, pada pasien diketahui pH urin 6,0 yang diduga telah berkontribusi terhadap
pembentukan batu, mengingat bahwa atazanavir yang maksimal larut pada pH urin 1,9. Pada
penelitian jurnal diketahui bahwa dari 30 kasus Urolithiasis diketahui bahwa 14 diantara pasien
ini, rata-rata memiliki riwayat terapi atazanavir.
3.2 Isi Jurnal
3.2.1 Pendahuluan
Di Amerika Utara, resiko urolithiasis diperkirakan 10%- 15%, dengan tingkat
kekambuhan lebih dari 10 tahun. Biaya pengobatan urolithiasis akut di Amerika Serikat
diperkirakan mencapai 1.830.000.000 $. Lebih dari 80% kasus diantaranya melibatkan
urolithiasis berbasis kalsium, tingkat kejadian batu kalsium oksalat lebih umum daripada batu
kalsium fosfat. Batu asam terjadi pada 5% - 10% dari kasus, diikuti kejadian yang lebih rendah
yaitu batu sistin dan batu struvite, dan batu yang terdiri dari magnesium-amonium-fosfat.
3.2.2 Menentukan Penyebab
Semua pasien urolithiasis menunjukkan bbeberapa penyebab diantaranya factor asupan
makanan, riwayat keluarga, dan kondisi yang berhubungan dengan pengobatan lengkap. Analisa
komposisi batu disarankan untuk semua kasus urolithiasis. Evaluasi tambahan untuk pasien
urolithiasis berulang atau factor resiko yang berkelanjutan harus mencakup pengukuran hormone
dan vitamin D, kadar serum paratiroid pada pasien dengan hiperkalsemia dan sampel urin 24 jam
untuk volume, kreatinin, elektrolit, kalsium, magnesium, fosfat, oksalata, asam urat, dan
kuantisasi sitrat. Pasien dengan urolithiasis berulang mungkin mengalami paparan radiasi
substansi yang berulang dalam episode akut. Masalah ini harus dipertimbangkan dalam
presentasi pasien gawat darurat.
3.2.3 Urolithiasis Berbasis Obat
Basis obat urolithiasis mengacu pada batu yang dibentuk oleh kristalisasi langsung dari
larutan, diekskresikan melalui ginjal atau metabolitnya, batu terbentuk ketika obat mengkristal di
sekitar batu kemih yang terbentuk sebelumnya. Urolithiasis Basis Obat tidak dimaksud untuk
mendeskripsikan batu yang berkembang dalam kaitannya dengan efek metabolic terapi obat,
seperti batu kalsium fosfat yang dihasilkan dari administrasi eksogen vitamin D atau kalsium.
Urolithiasis berbasis obat mungkin tidak berbeda dengan penampilan dari tipe batu lain, ha ini
dapai dikonfirmasi hanya dengan analisis batu.
Gambar 1: bate urin melewati seorang pria 57-tahun yang telah di terapi antiretroviral selama 11
bulan.
Silfonamid adalah obat pertama terkait urolithiasis. Mereka telah bergabung dengan
berbagai antibiotik lain, antihipertinsi, antisida dan obat lain termasuk HIV-1 protease inhibitor
indinavir dan nelfinair. Pada tahun 2006, atazanavir telah menjadi antiverol terbaru. Atazanavir
adalah inhibitor azapeptide untuk pengobatan HIV-1 protease, sejak 2008 pedoman untuk
pengobatan HIV telah dimasukkan sebagai pilihan lini pertama PI. Antiverol atazanavir
dimetabolisme oleh sitokorm P450 3A4 isoenzim dalam hati, dan sekitar 13% diekskresikan
elalui urin, dengan 7% diekskresikan unmetabolized. Atazanavir menjadi kurang larut dalam urin
alkali, namun mekanisme yang tepat dari pembentukan batu saat ini tidak diketahui. Ph urin
pasien adalah 6,0 yang mungkin telah memberi kontribusi pada pembentukan batu, mengingat
bahwa atazanavir maksimal larut pada pH urin 1,9. Sejak tahun 2002, Sistem Pelaporan AS
Adverse Event telah mengumpulkan rincian tentang 30 kasus urolitiasis pada pasien yang diobati
dengan atazanavir.14 antara pasien ini, rata-rata memiliki riwayat terapi dengan atazanavir
dengan batu ginjal pertama kali didokumentasikan dalam 1,7 tahun. Pasien kami menderita
urolitiasis setelah 11 bulan memulai terapi dengan atazanavir. 14 melaporkan kasus yang analisis
komposisi batu dilakukan, 12 pasien memiliki batu yang positif untuk atazanavir, bervariasi
antara 40% dan 100% komposisi berat.
3.2.4 Pencegahan
Pencegaham harus disesuaikan dengan penyebab kasus yang dideteksi. Secara umum,
asupan cairan harus ditingkaykan minimal 2 L air per hari pada pasien tanpa kontraindikasi
seperti gagal jantung kongestif atau serosis, pembatasan garam, dan obat-obatan harus diganti
dengan pasien urolithiasi berbasis obat. Strategi ini telah digunakan dalam pengelolaan batu
berbasis indinavir dengan sukses. 11 variabel PI pasien kami diubah dari atazanavir lopinavir.
Dia juga diperintahkan untuk meningkatkan asupan cairan harian untuk minimal 2 L per hari.
Perjalanannya batu segera berhenti. Pencitraan perut dilakukan sembilan bulan kemudian
menunjukkan ukuran normal ginjal dan tidak ada hidronefrosis.
3.3 Peran Perawat
Peran perawat dalam hal ini adalah memberikan penyuluhan tentang pencegahan terjadinya
batu, seperti mengkonsumsi cairan dalam jumlah banyak (3 4 liter/hari), diit yang
seimbang/sesuai dengan jenis batu yang ditemukan, aktivitas yang cukup serta segera
memeriksakan diri bila timbul keluhan pada saluran kemih agar dapat segera ditangani. Bagi
penderita yang mengalami batu pada saluran kemih agar selalu menjaga kesehatannya agar tidak
terjadinya pembentukan batu yang baru. Hal yang harus diperhatikan oleh penderita adalah diet
makanan dan pemeliharaan kesehatan seperti berobat ke dokter, minum obat secara teratur dan
menghindari penyakit infeksi yang menjadi salah satu penyebab timbulnya urolithiasis.
3.4 Kelebihan dan Kekurangan Jurnal
Jurnal ini memberikan pemaparan lebih luas menegnai kekurangan pengobatan HIV
dengan atazanavir yang dapat menyebabkan timbulnya urolithiasis pada pasien HIV. Jurnal ini
dilengkapi dengan presentasi jumlah penderita HIV dengan urolithiasis yang melakukan terpai
atazanavir. Namun jurnal ini terlalu singkat sehingga tidak memebrikan penelitian lebih lanjut
mengenai obat pengganti atazanavir untuk pasien HIV.
4.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
a. Nama: Berisi nama lengkap klien yang mengalami urolithiasis.
b. Jenis Kelamin: Urolithiasis kali terjadi tiga kali lebih sering pada pria dibandingkan pada
perempuan.
c. Usia: Urolithiasis dapat terjadi pada semua usia. Namun, paling sering terjadi pada usia
30-50 tahun
d. Alamat: Urolithiasis banyak terjadi pada orang yang tinggal di daerah panas
e. Pekerjaan: Urolithiasis biasanya terjadi pada orang-orang yang bekerja berat dengan
konsumsi cairan yang tidak adekuat dan konsumsi kalsium tinggi, misal: olahragawan.
f. Agama: Agama tidak mempengaruhi seseorang untuk terkena penyakit urolithiasis.
2. Status Kesehatan
a. Keluhan Utama
Klien dengan penyakit urolithiasis biasanya mengeluhkan nyeri yang luar biasa,
akut/kronik. Biasanya berupa nyeri kolik yang menyebar ke paha dan genetelia.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dengan penyakit urolithiasis mengalami nyeri, mual muntah, hematuria, diare,
oliguri. Selain itu pasien juga mengalami hipertermi dan sakit saat berkemih (disuria).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu yang mungkin pernah dialami klien seperti pernah menderita
infeksi saluran kemih, osteoporosis akibat konsumsi kalsium berlebih. Selaian itu gaya
hidup klien biasanya sering mengkonsumsi susu berkalsium tinggi dengan bekerja di
lingkungan panas.
d. Riwayat kesehatan Keluarga
Beberapa penyakit keluarga yang dipercaya dapat menjadi faktor predisosisi urolithiasis
antara lain: Urolitiasis, ISK, dan hipertensi.
4. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien lemah dengan tingkat kesadaran biasanya compos mentis. Pada TTV
sering tidak didapatkan adanya perubahan.
1. B1 (Breating): Klien dengan urolithiasis akan mengalami peningkatan frekuensi nafas
akibat kecemasan atau dampak lanjut dari kerusakan sistem RAA. Pada fase lanjut sering
didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons
terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
2. B2 (Blood). Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari
peningkatan beban volume.
3. B3 (Brain): Status neurologis klien pada umunya tidak mengalami perubahan. Namun,
jika azotemia yang parah dapat mempengaruhi fungsi kerja sistem saraf pusat sehingga
klien dapat mengalami penurunan kesadaran.
4. B4 (Bowel): Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering didapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.
5. B5 (Bladder): Klien biasanya merasa penuh pada kandung kemih, keinginan untuk
berkemih (frekuensi) dengan jumlah urin yang dikeluarkan sedikit (poliuri) akibat adanya
obstruksi pada saluran kemih.
6. B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema
tungkai dari keletihan fisik secara umum.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisa : urine berwarna kuning, coklat atau merah, secara mikroskopis terdapat sel
darah merah, sel darah putih, kristal, mineral, bakteri, PH urine dapat asam (untuk jenis
batu cystine atau asam urat) dan basa (batu jenis magnesium, amonium fosfat atau
kalsium fosfat).
b. Urine 24 jam : ditemukan peningkatan kreatinin, asam urat, kalsium, fosfor, oksalat, atau
cystin.
c. Urine kultur : mungkin ditemukan adanya kuman penyebab infeksi saluran kemih
d. Biokimia darah : ditemukan peningkatan magnesium, kalsium, asam urat, fosfat, protein
e.
dan elektrolit.
Ureum, creatinin serum dan urin : Terjadi peningkatan akibat terjadi iskemik pada ginjal
karena batu.
f. Natrium klorida dan bikarbonat serum: Peningkatan klorida dan penurunan bikarbonat
diduga akibat telah terjadinya asidosis tubulus renal.
g. Leukosit : biasanya meningkat, menandakan adanya infeksi
h. Sel darah merah : biasanya normal
i. Hb/Ht : Abnormal jika pasien telah mengalami dehidrasi atau polycitemia atau anemia
(perdarahan, gagal ginjal /disfungsi ginjal).
j. Hormon Parathyroid : dapat meningkat jika telah terjadi kegagalan ginjal.
k. BNO : memperlihatkan adanya batu atau perubahan anatomi pada ginjal dan ureter.
l. IVP : memperlihatkan abnormalnya struktur anatomis ginjal (distensi ureter) dan
bayangan batu
m. Cystoscopy dan ureteroscopy : secara visual dapat memperlihatkan batu dan obstrksi
pada bladder, ureter dan ginjal.
n. CT Scan dan MRI : Dapat mengindentifikasi batu, massa pada ginjal. Ureter dan distensi
bladder.
o. Ultrasound Ginjal : melihat perubahan obstruksi, lokasi batu.
No
Etiologi
Masalah
1.
DO:
Nyeri akut
Endapan mengeras
(menjadi batu)
DS:
a. Pasien mengatakan
Sus, perut saya terasa
sangat sakit. Apalagi
kalau buat berkemih
Nyeri akut
2. DO:
a. Outpun urin <1500
ml/hari
b. Pasien terlihat
menyeringai saat buang
air kecil
DS:
a. Pasien mengatakan
Sus, akhir-akhir ini
kencing saya sedikit
sekali
b. Pasien mengatakan
Sus, saya sakit saat
kencing
Gangguan
urin
eliminasi
4.4 Intervensi
No.
1.
Diagnosa
Nyeri akut
berhubungan dengan
trauma jaringan
sekunder terhadap
batu ginjal.
Intervensi
Keperawatan
NIC :
1. Lakukan pengkajian nyeri dengan
1. Pain level
2. Pain control
3. Comfort control
PQRST
2. Observasi reaksi nonverbal dari
nyeri berkurang
3. Mampu
mengenali 5.
6.
nyeri
4. Menyatakan
rasa 7.
8.
nyaman setelah nyeri
berkurang
2.
Gangguan eliminasi
urin berhubungan
dengan obstruksi
mekanik dan iritasi
ginjal/eretral.
NOC:
1. Urinary Elimination
2. Urinary Cintinuence
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
diharapkan gangguan
eliminasi urin teratasi
dengan kriteria hasil:
kebisingan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Ajarkan teknik nonfarmakologis
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter jika
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
NIC:
1. Lakukan pengkajian kemih secara
komprehensif
2. Control input dan output cairan
3. Pantau tingkat distensi kandung
kemih dengan palpasi dan perkusi
4. Pasang kateter urin jika diperlukan
5. Monitor efek-efek dari pengobatan
yang diresepkan
6. Lakukan pemeriksaan urin pasien
rentang normal
2. Kandung kemih
dilaboratorium (urinalisis)
7. Awasi pemeriksaan laboratorium,
kosong secara
keseluruhan
bladder
5. Tidak ada residu urine
> 100-200 cc
3.
Kelebihan volume
cairan berhubungan
dengan peningkatan
permeabilitas saluran
kemih.
NOC:
NIC:
1. Keseimbangan
Elektrolit/Asam Basa
2. Keseimbangan Cairan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan
keseimbangan volume
cairan tercapai dengan
kriteria hasil :
1. Tidak ada edema
2. Berat badan stabil
3. Intake sama dengan
output
4. Berat jenis urin atau
penurunan
hematokrit,
jika
hasil laboratorium
mendekati normal
Fluid monitoring
1. Pantau hasil laboratorium berat
jenis urin.
2. Monitor serum albumin dan total
protein dalam urin.
3. Tentukan kemungkinan faktor
resiko dari ketidakseimbangan
cairan
4. Monitor membran mukosa, turgor
4.
Ketidakefektifan
perfusi jaringan akibat
edema pulmonal
NOC:
1. Circulation status
2. Tissue perfusion:
cerebral
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
diharapkan perfusi
jaringan efektif dengan
kriteria hasil:
1. Mendemonstrasikan
status sirkulasi yang
ditandai dengan:
Tekanan systole
dan diastole dalam
dan punggung
4. Monitor adanya paretese
5. Kolaborasikan dengan tim medis
untuk pemberian obat-obatan
sesuai indikasi
rentang normal
Tidak ada tandatanda peningkatan
tekanan
intracranial
2. Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif
yang ditandai dengan:
Berkomunikasi
dengan jelas
Menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
Memproses
informasi dan
membuat
keputusan dengan
benar
3. Menunjukkan fungsi
sensori motorik
cranial yang utuh:
tingkat kesadaran
membaik, tidak ada
gerakan-gerakan
involunter
5.
NIC:
1. Kaji status nutrisi, adanya alergi
makanan
2. Berikan nutrisi yang adekuat
secara kualitas maupun kuantitas.
3. Monitor nutrisi dan kandungan
kalori
4. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
5. Monitor mual dan muntah
6. Monitor turgor kulit
7. Monitor berat badan pasien
4. Berat
badan
ideal
6.
Intoleransi Aktivitas
berhubungan dengan
penurunan suplai
oksigen
NOC:
NIC
Energy conservation
Activity tolerance
Self care: ADLs
7.
NOC:
NIC:
1. Immune status
2. Knowledge: Infection
control
3. Risk control
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam resiko infeksi teratasi
dengan kriteria hasil:
1. Klien bebas dari tanda
sistemik local
2. Bersihkan lingkungan setelah
dipakai pasien lain
3. Pertahankan teknik isolasi
4. Pertahankan lingkungan aseptic
selama pemasangan alat
5. Tingkatkan intake nutrisi
6. Instruksikan pada pengunjung
untuk mencuci tangan saat
4.5 Implementasi
No.
Diagnosa
Dx. 1
Hari/Tanggal
Sabtu,
13 Desember
2014
Waktu
08.00
Implementasi
1. Melakukan pengkajian nyeri
dengan PQRST
2. Mengobservasi reaksi nonverbal
08.45
dari ketidaknyamanan
3. Menggunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
Minggu,
08.05
14 desember
2014
10.00
Guided imagery
11.15
Dx.2
Sabtu,
13 desember
2014
14.00
14.45
cairan
3. Memantau tingkat distensi
Paraf
Minggu,
14 desember
2014
dan perkusi
4. Memasang kateter urin jika
diperlukan
5. Melakukan urinalisis
09.38
10.00
Dx.3
Sabtu,
17.00
13 desember
2014
18.00
seperti
penurunan
cairan.
5. Memonitor status nutrisi
6. Mengkaji lokasi dan luas edema
07.00
14 desember
2014
07.10
08.00
Dx.4
Sabtu,
16.00
13 desember
2014
terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
2. Menginstruksikan pada keluarga
16.30
16.46
Dx.5
Sabtu,
13 desember
2014
07.00
07.15
Minggu,
14 desember
2014
08.00
5.
6.
7.
8.
kebutuhan nutrisi
Monitor mual dan muntah
Monitor turgor kulit
Monitor berat badan pasien
Berikan makanan dalam porsi
09.10
12.00
12.00
13.00
Dx.6
Sabtu,
10.00
13 desember
2014
11.00
12.00
Dx.7
Minggu,
13 desember
2014
07.30
yang tepat
1. Memonitor tanda dan gejala
infeksi sistemik local
2. Membersihkan lingkungan
08.10
08.15
08.20
09.00
15 desember
2014
07.00
pasien
7. Mencuci tangan setiap sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan
8. Memonitor tanda dan gejala
infeksi local maupun sistemik
9. Mengajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
10. Mengajarkan pasien dan keluarga
07.00
08.00
08.15
08.20
09.00
4.6 Evaluasi
No.
Evaluasi
Keperawatan
1.
3.
4.
Ketidakefektifan perfusi
jaringan akibat edema
pulmonal
5.
Nutrisi Kurang dari KebutuhanS: Pasien mengatakan Sus, makanan saya habis
Tubuh berhubungan dengan
O: pasien tampak mulai segar tidak lemas lagi
mual muntah.
A: masalah teratasi
P: hentikan intervensi keperawatan
6.
Intoleransi Aktivitas
berhubungan dengan
penurunan suplai oksigen
7.
BAB 5. PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Pada Dosen
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Syamsir dan Iwan Hadibroto, 2007, Gagal Ginjal, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Baradero, Mary, dkk, 2008, Klien Gangguan Ginjal, Jakarta: EGC
Bilotta, 2012, Kapita Selekta Penyakit dengan Implikasi Keperawatan Edisi 2,
Jakarta: EGC
Brunner and Suddarths (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. (Edisi 8
volume 2). Jakarta : EGC.
Herdman, T, Heater, 2012, Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2012-2014,Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif, 2010, Pengkajian
Klinik, Jakarta: Salemba Medika
Keperawatan
Aplikasi
pada
Praktek
Dasar
Manusia dan
Proses
Wijaya, Andra Saferi & Yessie Mariza Putri, 2013, Keperawatan Medikal Bedah
1 Keperawatan Dewasa, Yogyakarta: Nuha Medika
Wilkinson, Judith M, 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan
Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC, Jakarta: EGC