Pada saat anggota organisasi menggerutu tentang sikap-polah-keputusan pemimpin, mereka menikmati keuntungan
dengan tanpa adanya tanggung jawab untuk membuat keputusan itu: para pengikut tidak ikut merasa bertanggung
jawab. Mereka tidak harus berkutat dengan berbagai macam isu. Mereka tidak harus menimbang keuntungan dan
kerugian dari setiap alternatif. Mereka tidak merasa perlu waktu untuk belajar. Mereka hanya bersorak-sorai saja dari
pinggir lapangan sambil memanas-manaskan situasi pertandingan, tanpa memberikan jalan keluar situasi yang
semakin ruwet dan panas itu.
Sementara itu sang pemimpin asyik dengan ketidakinginannya berbagi kekuasaan dan otoritas. Para pemimpin
merasa tidak perlu memperlihatkan kebutuhan mereka akan metode pemecahan suatu masalah. Tidak perlu
menunjukkan sisi kelemahan mereka dan rasa takut terhadap pihak lain. Mereka merasa tidak harus menerangkan
apa yang mereka mau - para pengikut diharapkan mengerti sendiri.
Mereka merasa tidak harus membangun konsensus atau meningkatkan partisipasi anggota organisasi. Mereka merasa
tidak harus mengubah cara mereka memimpin. Mereka meminta anggota menerima apa adanya. Sebagai akibatnya,
setiap orang dalam bangunan organisasi itu menjadi pihak yang kalah.
Pola kepemimpinan alami seperti tersebut di atas hendaknya kita perbaiki dengan pola kepemimpinan yang efektif.
Dalam pola kepemimpinan yang efektif, pemimpin harus memiliki kepercayaan diri, memiliki kejujuran,
berpengetahuan dan dapat menentukan. Namun para pemimpin tersebut juga perlu untuk belajar dan
mempraktekkan karakteristik-karakteristik baru, di antaranya (George, 1997):
Keingintahuan (curiosity)
Pemimpin selalu bertanya, selalu penasaran, terbuka terhadap persoalan-persoalan baru,
pendekatan-pendekatan baru, pikiran-pikiran baru, dan ide-ide baru. Mereka secara konstan
peduli terhadap performansi organisasi yang dipimpinnya dan performansi dirinya sendiri.
Mereka tidak selayaknya berpedoman: "Begitu saja kok dipikirkan" atau "Begitu saja kok
repot!" Pemimpin dipilih memang untuk berpikir dan repot.
mereka untuk memahami kompleksitas, mempertajam visi dan memperbaiki model mental
organisasi (Senge, 1990).
Oleh karena itu, kepeloporan terhadap perubahan ke arah positif adalah mutlak bagi seorang pemimpin. Pemimpin
yang bersih, tidak selalu sukses membersihkan lingkungannya. Tetapi pemimpin yang kurang bersih, walaupun sedikit
saja, akan membuat lingkungannya lebih kotor dari semula. ***
Dermawan Wibisono adalah dosen di Jurusan Teknik Industri ITB, program S2 TMI-ITB dan program MM-ITB. Saat ini sedang
mengambil S3 di University of Bradford, Inggris. Tanggapan untuk tulisan-tulisannya bisa dikirimkan ke D.Wibisono@Bradford.ac.uk.