Anda di halaman 1dari 3

Parodi: "Nyelak"

Minggu, 11 Oktober 2009 | 07:11 WIB

Antrean tak tertib seperti ini sering terlihat. Kebiasaan tidak tertib, ingin cepat, sering dilakukan tanpa memperhatikan kepentingan dan
perasaan orang lain yang diselak.
BANJARMASIN POST/KASPUL ANWAR

Oleh: Samuel Mulia


KOMPAS.com- Malam minggu lalu saya menghadiri acara pernikahan seorang teman di
sebuah hotel berbintang. Seperti biasa, menghadiri acara semacam ini menuntut banyak
kesabaran, terutama soal mau mengalah menunggu dalam antrean, tanpa berniat menyelak
alias nyeruduk sak enak udele dewek. Antreannya hanya dua. Untuk bersalaman dan untuk
acara mengisi perut.
Selak 1
Nah, saya diselak di kedua antrean itu. Yang pertama, saat sedang berdiri dalam antrean
menuju ke pelaminan untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Seorang
wanita dan temannya berdiri di samping saya. Antrean itu mirip dua jalur jalan raya, dan
semakin mendekati pelaminan dua jalur itu mengerucut dan berakhir dengan satu jalur.
Dua wanita yang berdiri di samping saya dengan busana terusan itu mulai mendekati
tempat saya berdiri, kami bergerak sedikit demi sedikit. Tanpa saya sadari keduanya sudah
ada di depan saya.... Jadi, mirip mobil mau menyelak dari kiri ke kanan tanpa ba, bi, bu.
Entah mengapa, setelah penyelakan terjadi antrean tak bergerak, cukup lama. MC
mengusulkan, daripada menunggu lama dalam antrean para tamu dipersilakan mencicipi
makanan yang tersedia. Ide yang dilemparkan si MC tampaknya diaminkan salah satu
wanita penyelak tadi. Maka, ia keluar dari jalur yang macet total itu, sementara temannya
tetap berdiri dalam jalur secara tertib.
Tak lama kemudian si wanita penyelak itu masuk lagi dalam antrean yang sudah mulai
bergerak dan ia langsung berdiri di depan saya tanpa mengatakan apa pun. Saya jadi
bingung, kok keluar-masuk jalur seperti di rumah sendiri.
Saya membayangkan wanita ini seperti Kopaja di jalan raya. Berhenti kapan saja, di mana
saja. Mau diklakson juga pura-pura budek.
Selak 2
Setelah mengantre menyalami kedua mempelai, tiba giliran saya mengantre untuk mengisi
perut. Sudah lama saya ini mendisiplinkan diri untuk tidak makan ini dan itu mengingat
penyakit yang tak memungkinkan buat makan ini dan itu. Tetapi, malam itu saya berpikir,
sekali ini saya mau melanggar aturan. Bukankah aturan itu dibuat umumnya untuk
dilanggar dan keberadaan dokter di dunia ini adalah untuk menolong manusia macam saya?

Meminjam komentar seorang teman, hidup itu cuma sekali, jadi harus dinikmati. Saya
memaksa diri setuju, padahal komentar itu keluar dari mulut yang ginjalnya walafiat, yang
tak pernah mengenyam rasa hidup dan mati di ruang operasi, sementara ginjal saya sudah
awut-awutan.
Yaa saya tetap menyetujui pendapat itu. Namanya juga manusia dan ada istilah
manusiawi yang diciptakan manusia untuk mengesahkan yang tidak sah itu. Sama seperti
kalimat nobody is perfect yang diciptakan manusia untuk mengamini pembenaran dari
kesalahan.
Padahal, manusia itu sendiri yang juga menciptakan kata perfeksionis, atau seorang
desainer yang mengatakan kepada saya kalau ia bekerja semuanya harus sempurna. Jadi,
saya semakin bingung bagaimana bisa membuat yang sempurna dari manusia yang tidak
sempurna. Ono-ono wae.
Maka, saya melangkah ke meja dengan tulisan besar bebek panggang. Makanan yang
diharamkan untuk jenis golongan darah saya, tetapi nikmat buat lidah. Yaa saya juga
heran mengapa yang nikmat-nikmat itu umumnya selalu menyerempet yang haram-haram.
Tiba di area bebek panggang itu, antrean juga tak kalah panjangnya seperti tembok China.
Yaa namanya juga sudah kebelet dengan yang haram, saya mengantre dengan sabar dan
perut keroncongan serta air liur mengalir makin deras.
Sekitar 10 menit mengantre, tiba-tiba seorang wanita berbaju merah berdiri di samping saya
di luar jalur yang semestinya. Semua orang tertib mengantre, ia dengan tenang berdiri di
samping dan bergerak maju bersama saya.
Kali ini, saya tak mau mengalah, jadi saya menghalanginya dengan memasang badan
kerempeng ini. Ternyata berhasil. Saya puas, setelah diselak, giliran saya menyelak dan
makan bebek panggang.
Sambil makan bebek, saya berpikir, mengapa orang mau menyelak? Mengapa susah
mengantre? Mengapa kok enggak bisa berpikir kalau saya yang diselak, mau enggak?
Senang enggak? Mengapa kok sengaja membuat orang lain marah dan menjadi kesal?
Dan mengapa dilakukan di sebuah acara yang harusnya membahagiakan, bukan membuat
orang kesal. Tentu saya tak bisa menjawab. Lha wong di tengah saya berpikir mulut dan
gigi saya bergerak mengunyah daging bebek yang alot-alot enak itu.
Selak 3
Saya terbang ke Kota Buaya tiga hari setelah penyelakan di ruang mewah di hotel
berbintang itu. Saya duduk bersebelahan dengan mas-mas, berewok, besar dan ndut. Saya
membuka net book mungil untuk menyelesaikan tulisan ini. Setelah nyaris setengah jam,
lengan saya mulai membutuhkan waktu istirahat dan otomatis saya menyenderkan lengan
ke lengan kursi.

Sayangnya, lengan kursi itu sudah terlebih dahulu diisi lengan besar mas-mas tadi. Saya
mau menumpukkan di atas lengannya tentu tak mungkin. Sandwhich, kale, nurani saya
ternyata bisa berteriak sesubuh itu dan di ketinggian tiga 36.000 kaki.
Ingin berbicara dengan dia untuk gantian menikmati senderan lengan itu, saya tak berani.
Jadi yaa ngalah sambil berpikir apa mungkin yaa... lengan kursi itu digilir saja. Sekian
menit buat yang duduk di tengah, sekian menit untuk yang duduk di tepi lorong. Kan kita
sama-sama bayar, sama-sama duduk di kelas ekonomi, ya... sama-sama punya hak
menikmati.
Kejadian semacam itu sudah saya rasakan di ruang perkawinan lain, di lapangan terbang, di
ATM, di mana saja, kapan saja. Pertanyaan terakhir muncul lagi. Mengapa tak ada yang
membuat antrean panjang dan menyelak di rumah yatim piatu? Di rumah jompo?Di rumah
ibadah pada hari-hari biasa, bukan hari istimewa?
Mengapa kok enggak ada yang menyelak waktu mengantre membayar pajak? Saya
menanyai nurani saya. Eh dia diam saja. Mungkin masih tertidur sesubuh itu. Wueee
bangun. Tak ada suara juga.

Anda mungkin juga menyukai