Antrean tak tertib seperti ini sering terlihat. Kebiasaan tidak tertib, ingin cepat, sering dilakukan tanpa memperhatikan kepentingan dan
perasaan orang lain yang diselak.
BANJARMASIN POST/KASPUL ANWAR
Meminjam komentar seorang teman, hidup itu cuma sekali, jadi harus dinikmati. Saya
memaksa diri setuju, padahal komentar itu keluar dari mulut yang ginjalnya walafiat, yang
tak pernah mengenyam rasa hidup dan mati di ruang operasi, sementara ginjal saya sudah
awut-awutan.
Yaa saya tetap menyetujui pendapat itu. Namanya juga manusia dan ada istilah
manusiawi yang diciptakan manusia untuk mengesahkan yang tidak sah itu. Sama seperti
kalimat nobody is perfect yang diciptakan manusia untuk mengamini pembenaran dari
kesalahan.
Padahal, manusia itu sendiri yang juga menciptakan kata perfeksionis, atau seorang
desainer yang mengatakan kepada saya kalau ia bekerja semuanya harus sempurna. Jadi,
saya semakin bingung bagaimana bisa membuat yang sempurna dari manusia yang tidak
sempurna. Ono-ono wae.
Maka, saya melangkah ke meja dengan tulisan besar bebek panggang. Makanan yang
diharamkan untuk jenis golongan darah saya, tetapi nikmat buat lidah. Yaa saya juga
heran mengapa yang nikmat-nikmat itu umumnya selalu menyerempet yang haram-haram.
Tiba di area bebek panggang itu, antrean juga tak kalah panjangnya seperti tembok China.
Yaa namanya juga sudah kebelet dengan yang haram, saya mengantre dengan sabar dan
perut keroncongan serta air liur mengalir makin deras.
Sekitar 10 menit mengantre, tiba-tiba seorang wanita berbaju merah berdiri di samping saya
di luar jalur yang semestinya. Semua orang tertib mengantre, ia dengan tenang berdiri di
samping dan bergerak maju bersama saya.
Kali ini, saya tak mau mengalah, jadi saya menghalanginya dengan memasang badan
kerempeng ini. Ternyata berhasil. Saya puas, setelah diselak, giliran saya menyelak dan
makan bebek panggang.
Sambil makan bebek, saya berpikir, mengapa orang mau menyelak? Mengapa susah
mengantre? Mengapa kok enggak bisa berpikir kalau saya yang diselak, mau enggak?
Senang enggak? Mengapa kok sengaja membuat orang lain marah dan menjadi kesal?
Dan mengapa dilakukan di sebuah acara yang harusnya membahagiakan, bukan membuat
orang kesal. Tentu saya tak bisa menjawab. Lha wong di tengah saya berpikir mulut dan
gigi saya bergerak mengunyah daging bebek yang alot-alot enak itu.
Selak 3
Saya terbang ke Kota Buaya tiga hari setelah penyelakan di ruang mewah di hotel
berbintang itu. Saya duduk bersebelahan dengan mas-mas, berewok, besar dan ndut. Saya
membuka net book mungil untuk menyelesaikan tulisan ini. Setelah nyaris setengah jam,
lengan saya mulai membutuhkan waktu istirahat dan otomatis saya menyenderkan lengan
ke lengan kursi.
Sayangnya, lengan kursi itu sudah terlebih dahulu diisi lengan besar mas-mas tadi. Saya
mau menumpukkan di atas lengannya tentu tak mungkin. Sandwhich, kale, nurani saya
ternyata bisa berteriak sesubuh itu dan di ketinggian tiga 36.000 kaki.
Ingin berbicara dengan dia untuk gantian menikmati senderan lengan itu, saya tak berani.
Jadi yaa ngalah sambil berpikir apa mungkin yaa... lengan kursi itu digilir saja. Sekian
menit buat yang duduk di tengah, sekian menit untuk yang duduk di tepi lorong. Kan kita
sama-sama bayar, sama-sama duduk di kelas ekonomi, ya... sama-sama punya hak
menikmati.
Kejadian semacam itu sudah saya rasakan di ruang perkawinan lain, di lapangan terbang, di
ATM, di mana saja, kapan saja. Pertanyaan terakhir muncul lagi. Mengapa tak ada yang
membuat antrean panjang dan menyelak di rumah yatim piatu? Di rumah jompo?Di rumah
ibadah pada hari-hari biasa, bukan hari istimewa?
Mengapa kok enggak ada yang menyelak waktu mengantre membayar pajak? Saya
menanyai nurani saya. Eh dia diam saja. Mungkin masih tertidur sesubuh itu. Wueee
bangun. Tak ada suara juga.