Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN NEFROTIK SYNDROM
Disusun Sebagai Penugasan dari Mata Kuliah
KEPERAWATAN ANAK

Oleh :
1.
2.
3.
4.

Moh. Arif Ikhwan


Mualim
Riyan Z.
Noveny Ratnasari

1320025B
1320026B
1320027B
1320028B

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2013 -2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya makalah asuhan keperawatan ini dapat diselesaikan.
Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing Ns.
Samariah Yani, S. Kep. Yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini, temanteman yang telah memberikan suport dan menyumbangkan ide-idenya, serta pegawai
perpustakaan yang telah membantu dalam penyediaan bahan literature dan media PC dan
internet yang telah disediakan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu penulis ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan kita tentang asuhan keperawatan pada klien Nefrotik
Syndrom.
Surabaya, 11-05-2015

Penulis

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.

Anatomi Fisiologi
Pengertian
Etiologi
Manifestasi Klinis
7
Patofisiologi
7
Pemeriksaan Diagnostik
Penatalaksanaan
12
Komplikasi
13

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
14
B. Diagnosa Keperawatan
C. Rencana Keperawatan
D. Tindakan Keperawatan
E. Evaluasi
20
DAFTAR FUSTAKA

3
5

12

14
14
20

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan
berbentuk pelayanan bio, psiko, sosial dan spiritual yang sehat maupun yang sakit
dan mencakup proses kehidupan manusia.
Paradigma sehat yang merupakan cara pandang, pola pikir atau modal
pembangunan kesehatan yang bersifat holistik dalam melihat masalah kesehatan dan
upaya kesehatan yang dilakukan. Seiring dengan perkembangan ilmu keperawatan,
maka berkembang pulalah berbagai macam jenis penyakit yang ada dalam kehidupan
masyarakat, salah satu jenis penyakit yang mempunyai prognosis buruk adalah
penyakit dalam.
Faktor-faktor penyebab pada penyakit dalam diantaranya adalah faktor genetik,
faktor fisik dan faktor parasit. Faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh pada
kekebalan tubuh manusia terhadap serangan penyakit Penyakit dalam yang sering
terjadi dewasa ini adalah penyakit ginjal. Diantaranya dapat timbul sindrom nefrotik
seperti yang akan dibahas di dalam makalah ini. Mengingat tanda dan gejala utama
dari sindrom ini yaitu edema yang berhubungan dengan konsep cairan dalam tubuh,
maka perku perhatian dan penatalaksanaan yang cermat, tentunya dengan
pengetahuan tentang konsep penyakit. Karena sangat fatal akibatnya apabila masalah
tersebut diatasi dengan sembrono dan tidak teliti.
Pemahaman ini perlu dibiasakan bagi mahasiswa keperawatan yang nantinya
menjadi penerus perawat senior, apa lagi mengingat pengetahuan seorang perawat
harus dapat berkembang sesuai perkembangan dari penyakit yang terus berubah-ubah
sesuai keadaan atau kondisi zaman.

B. Tujuan
1. Umum
Agar mahasiswa memiliki gambaran dan pengetahuan dalam melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan sindrom nefrotik.
2. Khusus
Agar mahasiswa dapat:
a. Menjelaskan konsep penyakit dan teori tentang sindrom nefrotik
b. Melakukan pengkajian pada klien dengan Nefrotik Sindrom secara benar dan
sesuai dengan teori yang didapat.
c. Merumuskan diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada klien dengan
Sindrom Nefrotik
d. Merumuskan perencanaan keperawatan pada klien Sindrom Nefrotik.
e. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan Sindrom Nefrotik
f. Membuat evaluasi dan tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien
dengan Sindrom Nefrotik
g. Membuat pendokumentasian semua tindakan keperawatan.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitoneal
dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan vertebra.
Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar
dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra
thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi batas bawah vertebra lumbalis III.

Pada fetus dan infan, ginjal berlobulasi. Makin bertambah umur, lobulasi makin
kurang sehingga waktu dewasa menghilang.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid
yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh
kolumna bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla
marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi
kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu
menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan pada medula hanya
terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron
terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang
dimasukkan pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta
nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
2. Fisiologi
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat
penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat
ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh
cardiac output.
a. Faal glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk
ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan
hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per
luas permukaan tubuh disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120
cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90
cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
b. Faal Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat
yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus.
6

c. Faal Tubulus Proksimal


Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan
reabsorbsi yaitu h60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang
direabsorbsi adalah protein, asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna.
Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat,
malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.

d. Faal loop of henle


Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick
limb itu berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.
e. Faal tubulus distalis dan duktus koligentes
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara
reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen. (Rauf, 2002 :
4-5).
Proses Pembentukan Urine
1) Filtrasi (penyaringan)
Filtrasi merupakan proses penyaringan darah yang berlangsung di badan Malpighi yaitu
dari glomerulus ke kapsula bowman. Hasil filtrasi ini sisebut urine primer. Dalam urine
primer ini masih terdapat zat berguna yaitu air, glukosa, garam dan mineral seperti ion
Na+ dan Ca+.
2) Reabsorpsi (Penyerapan kembali)
Reabsorpsi merupakan penyerapan kembali Zt dLm urine primer yang masih berguna.
Hasil reabsorpsi ini desebut urine sekunder. Ada 2 macam reabsorpsi, yaitu reabsorpsi
Obligat dan Fakultatif. Reabsorpsi Obligat terjadi pada tubulus kontortus hingga tubulus
distal, reabsorpsi Obligat selalu terjadi pada setiap keadaan dengan volume urine yang
sama. Reabsorpsi Fakultatif berlangsung di tubulus distal dan tubulus kolektivus.vpada
kondisi tertentu reabsorpsi Fakultatif dibantu oleh hormone, misalnya reabsorbsi air
dibantu oleh hormone anti diuretika (ADH) dan reabsorsi kalsium dibantu oleh hormone

paratiroid (PTH). Hasil reabsorbsi ini merupakan urine sekunder yang komposisinya
menggandung air, garam, urea, dan pigmen empedu yang memberi warna dan bau pada
urine.
3) Augmentasi (pengeluaran zat yang tak berguna)
Augmentasi merupakan pengeluaran zat yang tidak berguna misalnya sekresi ion H+ dan
ion K+. augmentasi terjadi di tubulus distal. Filtrasi hasil augmentasi merupakan urine
yang sesungguhnya. Urin yang sesungguhnya masih dapat direabsorpsi bahkan sampai
urine berada di dalam tubulus kolektivus
B. Pengertian
1. Sindrom nefrotik merupakan kumpulan manifestasi klinis (ditandai dengan proteinuria
lebih dari 3,5 gr/1,7m2 dan hiperalbuminemia kurang dari 3gr/ml) dan berhubungan
dengan kelainan glomerulus akibat penyakit-penyakit tertentu atau tidak diketahui
(idioptik). (ilmu penyakit dalam. Jilid II, hal 282).
2. Sindrom Nefrotik adalah hilangnya sejumblah besar protein plasma ke dalam urine.
(Guyton dan Hall, Fisiologi kedokteran, hal 518)
3. Sindrom Nefrotik merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan peningkatan
albumin dalam urin secara bermakna (proteinuria), penurunan albumin dalam darah
(hipoalbuminemia), edema, serum kolesterol yang tinggi serta lipoprotein densitas yang
rendah (hiperlipidemia). (Brunner dan suddarth, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8,
Vol. 2 Hal 1441).
4. Sindrom Nefrotik merupakan keadaan klinis dengan adanya proteinuria masif (> 3, 5/
hari), hipoalbuminemia, edema, dan hyperlipidemia, dan disertai beberapa penyakit
glomerulus (idiopatik) primer, atau mungkin berhubungan dengan gangguan sistemik
dengan ginjal yang terserang secara sekunder. (Sylvia, A. Price, Patofisiologi Edisi 6, hal
929).

Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa


Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala klinis yang terjadi dengan karakteristik
proteinuria massif hipoalbuminemia, hiperlipidemia yang disertai atau tidak disertai
edema dan hiperkolestrolemia.
C.
1.
a.
b.
2.
a.

Etiologi
Penyakit parenkim ginjal primer
Glomerulonephiritis akut pasca streptokok
Glomerulonephiritis idiopatik
Penyakit metabolic dan jaringan kolagen (sistemik)
DM (Diabetes Melitus)
Hampir 30% pasien diabetes mellitus yang tidak terkontrol memperlihatkan
kelainan ginjal ringan sampai berat dengan azotemia. Gejala klinis kelainan ginjal
tersebut dapat berupa: LFG supra normal, proteinuria asimtomatik, proteinuria masif
dengan nefrotik syndrome, serta azotemia. Kelainan ginjal yang khas pada diabetes

melitus ini disebut nefropati diabetik.


b. Amiloidosis
Amilidosis primer atau sekunder mempunyai hubungan penyakit kronik seperti
tuberculosis, osteomyelitis kronik, abses paru, aktinomikosis, reumatioid, koiltis
ulseratif, dan neoplasma. Kejadian kelainan ginjal hanya 10% pada amyloidosis primer
dan 50% amyloidosis sekunder.
3. Gangguan sirkulasi sistemik
Gangguan sirkulasi mekanik, Ringht heart syndrom (RHS) = kelainan katup
trikuspidalis, Perikarditis dan tamponade jantung, penyakit kongestif refrakter dan
Trombosis vena renalis.
4. Penyakit keganasan
Sindrm nefrotik dapat menjadi suatu gambaran klinis pertama dari neoplasma ekstra
renal dan tergolong sebagai sindrom paraneoplastik. Jaringan ginjal atau metabolitmetabolit lainnya mungkin membetuk suatu reaksi autoimun. Beberapa jenis tumor
seperti karsinoma gaster, bronkus, kanker payudara, dan limfoma malignum

menyebabkan kelainan ginjal dengan berbagai variasi seperti: nefropati hiperkalsemia,


chronic urate nephropathy, obstruksi intra-tubular, pielonefritis, dan sindrom nefrotik.
5. Penyakit infeksi
a. Virus
Infeksi virus seperti virus hepatitis B, virus onkoma yang berhubungan dengan
leukemia, virus Epstein-barr yang berhubungan dengan limfoma burkit, dan adenovirus
penyebab parotitis, dapat menyebabkan kelainan ginjal dengan gambaran klinis sindrom
nefrotik.
b. Bakteri
Infeksi bakteri yang menyebabkan glomerulonephritis dapat menyebabkan
peningkatan permeabelitas kapiler glomerulus.
c. Parasit
Parasite plasmodium vivaks dapat menyebabkan glomerulopati termasuk sindrom
nefrotik.
6. Toksin spesifik
Obat-obatan seperti trimetadion, penisilinamin, fenidion, tolbutamid, dan probenesid
diduga dapat menimbulkan efek samping sindrom nefrotik. Diduga hal ini terjadi karena
proses imunologik. Preparat yang mengandung emas, merkuri, dan bismuth
dapatmenyebabkan kerusakan pada tubulus ginjal.
7. Kelainan congenital
Syndrom nefrotik herediter. Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena
Reaksi petomaternal. Umumnya penderita meninggal akibat azotemia.
8. Sirosis hepatis, kehamilan, obesitas, transplantasi ginjal.
Peningkatan tekanan dan kerja dari ginjal dapat merusak kerja dari nefron yang
mengakibatkan disfungsi ginjal dalam filtrasi.
D. Tanda dan Gejala
1. Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari
bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan
(pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen
daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
2. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa
3. Proteinuria lebih dari 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 gr/Kg BB/hari pada anak-anak.
Karena permeabelitas dindind glomerulus meningkat.
10

4. Peningkatan berat badan karena edema


5. Hipoalbuminemia < 30g/dl akibat banyak protein (albumin) yang keluar melalui urine.
6. Hyperlipidemia dan lipiduria, terjadi peningkatan sintesis lemak dan protein yang
menyebabkan kadar lemak atau kolesterol darah meningkat. filtrat lipoprotein melalui
membran basal glomerulus yang permeable. Sebagian dari lemak ini mengalami
degradasi pada sel-sel tubulus ginjal dan keluar melalui urin sebagai benda lemak yang
berbentuk oval. Lemak dalam urin tidak mempunyai arti diagnostik dan progresif.
7. Hipertensi ringan dan sedang sebagai tanda peningkatan volume cairan tubuh
8. Anoreksia dan diare karena edema pada mukosa usus.
9. atrofi (muscle wasting) karena keseimbangan negatif hitrogen atau efek samping obat
kortikosteriod.
10. Sesak napas karena terjadi efusi pleura.
E. Patofisiologi
proteinuria
Nefrotik sindrom baik itu dari berbagai penyebab memiliki gejala utama berupa
proteinuria. Proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram per 1,73 m 2 permukaan luas tubuh per
hari) merupakan kelainan dasar dari sindrom nefrotik. Albumin merupakan serum
protein yang memiliki berat molekul kecil dan jumlah yang banyak data keluar melalui
ginjal apabila terdapat kerusakan ginjal basalis, karena itu srtuktur dan faal intergritas
membran basalis ginjal juga menentukan derajat proteinuria.
Muatan moekul protein, membrane basalis, dan lapisan sel efitel berperan dalam
genesis proteinuria. Dekstran yang bermolekul positif lebih cepat melalui fitrat
glomerulus dari pada yang memiliki besar molekul sama namun tak bermuatan. Pada
sindrom nefrotik ditemukan obilterasi atau pedikel sehingga terjadi kerusakan polianion
yang bermuatan negatif yang pada keadaan normal menjadi filter serum albumin yang
bermuatan negatif. Perubahan-perubahan ini yang dapat menyebabkan peningkatan
permeabelita kapiler glomerulus terhadap serum protein.

11

Factor hemodinamik ikut berperan dalam pengaturan atau regulasi laju filtrasi
glomerulus (GFR/LFG). Angiotensin II menyebabkan kontraksi pembuluh darah efferent
maupun afferent. Sel messangium mengandung reseptor angiotensin II dan kotraksi sel
ini dapat menyebabkan penurunan glomerular cavilary coefficient-kf. Penurunan factor
kf merupakan akibat hasil dari produksi renin-angiotensin. Singkatnya factor
hemodinamik itu dpat menyebabkan kenaikan filtration frakstion, penurunan glomerular
plasma flow, dan kenaikan tekanan hidrolik transkapiler glomerulus sehingga
menyebabkan proteinuria.
Perubahan serum protein
Hipoproteinuria bisa terjadi bila proteinuria lebih dari 3-5 gram/hari; katabilisme
albumin meningkat; asupan protein berkurang akibat anoreksia; bertambahnya
pemakaian asam amino; kehilangan protein melalui usus. Namun kehilangan protein
melalui urin atau proteinuria merupakan peyebab utama hipoproteinuria. Plasma
mengandung berbagai macam protein dan sebagian besar akan mengisi ruang ekstra
vascular (EV). Plasma atau serum protein terutama terdiri dari albumin yang memiliki
BM kecil (69.000). oleh karena itu istilah proteinuria berhubungan dengan
hipoalbuminemia.
Perubahan serum protein non-albumin juga terjadi akibat proteinuria, seperti
kenaikan alfa-2-globulin, fibrinogen (BM 341.000), alfa-2-akroglobulin (BM 840.000),
dan beta-lipoprotein (BM 5 juta 20 juta) yang bermolekul besar. Hal ini timbul sebagai
kenaikan semua fraksi protein akibat hipoalbuminemia.
Hyperlipidemia & lipiduria
hati memegang peranan penting untuk sintesis protein apabila tubuh kehilangan
sejumlah protein, baik itu secara renal atau ekstrarenal. Ini merupakan bentuk
kompensasi dari hati untuk mempertahankan komposisi protein (albumin) dalam ruang
ekksta dan intra vaskuler (EV & IV) dengan mensintesis atau membentuk lipoprotein
lipid atau lipogenesis. Akibatnya kadar lemak/lipid hasil sintesis meningkat dalam darah
12

(hiperlipiduria). Selanjutnya kelebihan kadar lipid dalam darah ini dibuang melalui
proses filtrate lipoprotein melalui membrane basal glomerulus. Sebagian dari hasil
filtrate ini mengalami degradasi pada sel-sel tubulus ginjal dan dikeluarkan bersama urin
(lipiduria)
sembab atau edema.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik/osmotik vaskuler.
Penurunan tekanan osmotic membuat cairan untuk cenderung masuk kedalam ruang
interstisial yang mengakibatkan sembab/edema. Pada penderita sindrom nefrotik tidak
ditemukan kerusakan permukaan kapiler, jadi kecendrungan cairan memasuki ruang
interstisial murni karenapenurunan tekanan osmotik. Masuknya cairan dari intravascular
ke dalam ruang interstisial menyebabkan volume cairan dalam rongga vaskuler
berkurang (hipovolumia). Penurunan volume darah dapat diikuti denga reaksi reninangiotensin-aldosteron yang dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan darah sampai
terjadinya hipertensi. Udema yang terjadi bias mengakibatkan ganguan fungsi organ,
seperti gangguan pola napas (efusi fleura) bila terjadi di paru-paru dan menyebabkan
diare bila terjadi di mukosa usus.
Penurunan sistem imun
Pengeluaran globulin melalui urin yang berperan dalam system imun tubuh
mengakibatkan imunodefisiensi. Hal ini akan bertambah berat dengan pemberian terapi
kortikostereoid yang bersifat imunosupresan sehingga klien sangat rentan dengan
infeksi.
Gangguan koagulasi
Peningkatan faktor pembekuan seperti faktor V dan VII, fibrinogen dan trombosit
yang meningkatkan koagulasi darah atau hiperkoagulasi darah. Peningkatan factor
pembekuan tersebut dapat dikaitkan dengan keadaan hipoalbuminemia.
Skema 1.1.

Penyakit
sistemik; DM

Gangguan
sirkulasi
13
mekanis

maligni
tas

Obatobatan
non

Kelainan
Kongeital

Pembentukan
nefron tidak
sempurna

Penumpukan gula
Reaksi
Thrombosis
pada nefron,
autoimu
vena renalis
penyumbatan
n
aliran darah renal
Tekanan membrane basal glomerulus
HUMP sepanjang
Suplai nutrisi
, kerapuhan; kebocoran nefron
membrane basalis
glomerulrus
Pembentukan
noduler/glanu
lar
Peningkatan
permeabilitas
Penyakit parenkim ginjal primer;glume
membrane basal
proteinu
ria

F.
1.
a.
b.
c.
d.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
3.

Pemeriksaan Diagnostik
Uji urine
Protein urin meningkat
Urinalisis cast hialin dan granular, hematuria
Dipstick urin positif untuk protein dan darah
Berat jenis urin meningkat
Uji darah
Albumin serum menurun (kurang lebih 29/dl)
Kolesterol serum meningkat (450-1500 mg/dl)
Hemoglobin dan hematokrit meningkat (hemokonsetrasi)
Laju endap darah (LED) meningkat
Elektrolit serum bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.
Konsentrasi serum sodium menurun (kurang lebih 130-135 meq/L)
Uji diagnostik
Biopsi renal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan secara rutin. Menunjukan
informasi tentang status glomerulus.

G.
1.
a.
b.

Penyakit infeksi

Penatalaksanaan
Medis
Terapi steroid biasanya diberikan. Misalnya Prednisok
Pemberian diuretic

14

2. Keperawatan
a. Pencegahan infeksi
Hilangnya banyak protein melalui urine dapat mengurangi daya tahan tubuh,
apalagi bila mengingat klien mendapatkan terapi steroid yang bersifat imunosupresan.
Perhatihan tehnik aseptik dan beri klien antibiotik yang sesuai.
b. Perawatan integritas kulit
Edema pada klien dapat merusak integritas kulit. Infeksi dapat masuk melalui luka
yang terdapat pada kulit. Ubah posisi klien tiap dua jam. Pada klien pria dapat terjadi
edema skrotum. Berikan alat bantu yang dapat menyokong skrotum agar dapat memberi
rasa nyaman dan mengurangi edema skrotum.
c. Peningkatan nutrisi
Klien mengalami anoreksia, ada pembatasan natrium pada makanan klien. Berikan
makanan sedikit-sedikit namun sering. Lakukan hygiene oral secara teratur, terutama
sebelum makan. Hal ini dapat mengurangi bau napas yang dapat mempeberat anoreksia.

Klien dapat diberikan diit dengan tujuan dan syarat-syarat sebagai berikut:
Tujuan Diit :
Mengganti kehilangan protein.
Mengurangi edema dan menjaga keseimbangan cairan
Syrarat-syarat diet sindrom neprotik :

d.

Energi cukup yaitu 35 kkal/kg BB / hari


Protein sedang yaitu 1,o g/kg. Terutama protein Nabati (Tahu, tempe).
Natrium di batasi
Tirah baring pada pasien selama terjadi edema berat. Kurangi aktivitas fisik.

H. Komplikasi
1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia.
2. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang
menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen plasma.

15

4. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama
:
Usia
: Semua umur namun lebih biasa dijumpai pada anak
Jenis kelamin :
Pekerjaan
:
Pendidikan
:
Alamat
:
2. Keluhan Utama:

16

Anasarka (edema seluruh tubuh)


3.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Riwayat penyakit dahulu, klien pernah menderita :


Alergi (gigitan serangga, tepung sari makanan, glomerulus nefritis akut)
Berbagai penyakit sistemik (DM, Amiloidosis)
Penyakit parenkim ginjal primer (glomerulonefritis idiopatik)
Penyakit gangguan sirkulasi mekanik (RHS, Trombosis vena renalis, dll)
Penyakit infeksi (malaria, sifilis, dll)
Toksin spesifik (logam berat, obat-obatan, dll)
Kelainan congenital (sindrom nefrotik herediter)
Lain-lain seperti : sirosis hepatis, kehamilan, dll)

4. Riwayat penyakit sekarang


a

Sesak nafas (hidrothoraks, asites)

Kaki terasa sangat berat dan dingin

Diare

Mual dan muntah

Dinding perut tegang

5.

Riwayat penyakit keluarga


Keluarga ada yang menderita nefrotik sydrom
6. Data Dasar Pengkajian
a. Pola aktivitas/istirahat
Gejala: keletihan, kelemahan, malaise
Tanda: Kelemahan otot
b. Pola sirkulasi/Kardiovaskuler
Gejala: Hipotensi/hipertensi
Tanda: Edema jaringan umum
c. Pola eliminasi
Gejala: Proteinuria, lipiduria, diare
Tanda:Perubahaan warna urine, konsistensi feces lembek-cair.
d. Pola makan/ cairan
Gejala: Peningkatan berat badan (edema), mual muntah, penggunaan
Diuretic.
Tanda: Perubahan turgor kulit/kelembaban, edema sebagian/anasark
Intervensi
Rasional
1. Kaji tanda-tanda kelebihan cairan (hipertensi, 1. pada
nefrotik
peningkatan

BB,

edema,

hipertensi,

gangguan pengelihatan)

hipoalbuminuria

sydrom

terjadi

sehingga

tekanan

osmotic serum berkuran dan tekanan

17

hidrostatik kapiler meningkat sehingga


menyebabkan edema.
2. Mengubah posisi dapat meningkatkan

2. Ubah posisi ekstermitas setiap 4 jam

kenyamanan

di

samping

menjaga

keutuhan kulit.
3. Catat intake dan output cairan pada waktu dan 3. Pemantauan intake dan output yang
skala yang sama (setiap 6 jam sampai stabil)

cermat dapat mengendalikan edema di


samping

mengetahui

jumlah

dan

komposisi zat gizi yang masuk ke tubuh.


4. Kolaborasi pemeriksaan laboratorim untuk 4. Mengetahui jummlah kehilangan protein
memeriksa jumblah protein darah sewaktu-

yang terjadi.

waktu
5. Batasi kosumsi garam dan cairan sesuai 5. Sodium dapat mengikat cairan sehingga
anjuran
dapat memperberat edema.
6. Ukur lingkar abdomen dan BB setiap hari 6. Menentukan keseimbangan cairan dan
pada waktu yang yang sama.
7. Kolaborasi

pemberian

Diuretik

elektrolit dan mengetahui jumlah cairan


yang harus di berikan.
bila 7. Mengurangi edema

diindkasikan
8. Kolaborasi pemberian kortikosteroid sesuai 8. Mengurangi ekskresi protein dalam urine
kebutuhan
B. Diagnosa Keperawatan
1.

Gangguan volume cairan lebih dari dari

2.

kebutuhan tubuh berhubungan dengan akumulasi cairan pada tubuh.


Resiko deficit cairan (intravaskular)

berhubungan dengan kehilangan cairan ,protein dan oedema.


3.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan mual, muntah

18

4.
5.

Resiko infeksi berhubungan dengan


pertahanan tubuh yang menurun, cairan overload
Intoleransi

aktivitas

berhubungan

dengan kelemahan umum, penurunan kekuatan (ketahanan).


6. Ketidakefektifan pala nafas berhubungan dengan ketidakadekuatan ekspansi dada
(penumpukan/akumulasi cairan)
7. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan
pertahanan tubuh.
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa I
Gangguan volume cairan lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan akumulasi
cairan pada jaringan tubuh.
Diagnosa II
Resiko deficit cairan (intravaskular) berhubungan dengan kehilangan cairan, protein,
dan edema.
Tujuan : klien akan menunjukan tidak adanya kehilangan intravaskuler atau syok
Hipovolemik.
Intervensi
1. Monitor tanda-tanda vital.

Rasional
1. Mendeteksi

2. Kaji frekuensi dan kualitas nadi


2.
3.
4.
5.

3. Ukur tekanan darah.


4. Laporkan

kejadian-kejadian

yang

tidak normal.
5. Berikan salt-poor albumin

Diagnosa III
19

tanda-tanda

fisik

dari

penurunan cairan
Mengetahui tanda syok hipovolemik .
Mengetahui tanda syok hipovolemik
Mempercepat tindakan keperawatan.
Sebagai plasma expander

perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual dan
muntah.
Intervensi
Rasional
1.
Kaji status nutrisi klien sebelum 1. Status nutrisi ditegakkan sesuai
masuk RS

perbandingan dalam menentukan


perubahan nutrisi klien selama
sakit.

2.

Berikan

diet

yang

terbatas 2. Penggunaan sodium yang tidak

sodiumnya selama fase edema.


3.

Rencanakan
dengan

tim

yang

sesuai akan memperberat edema

pemberian

makan

karena sodium kerjanya mengikat

terlibat

seperti

cairan.

perawat, ahli gizi, orang tua atau 3. Pemberian


keluarga.

kolaborasi
dalam

Berikan diet tinggi protein sesuai


program

5.

akan

dengan

memudahkan

menyesuaikan

keinginan
4.

makanan

klien

dengan

dengan
tidak

bertentangan dalam program diet


yang telah ditentukan.

Berikan makan dalam porsi kecil 4. Makanan


tapi sering

yang

menarik

dapat

menimbulkan nafsu makan klien


5. Perasaan
dengan

mual
gangguan

berhubungan
metabolisme

protein dalam usus, bertambah


banyak

makanan

yang

masuk

maka gangguan metabolisme akan

20

bertambah

sehingga

perasaan

mual pun akan bertambah pula.


Dengan porsi makan yang kecil
tapi sering akan membantu klien
untuk

dapat

status
6.

Catat intake makanan setiap waktu

nutrusinya

perasaan

makan.

mempertahankan

tetapi

mual

meskipun

kadang-kadang

tidak terlalu berat

jika

dibandingkan dengan porsi yang


7. Kolaborasi

pemberian

obat-obatan

antiemetic

besar.
6. Catatan masukan makanan setiap
waktu makan untuk mengevaluasi
jumlah kalori yang masuk
7. Mengurangi mual dan muntah

Diagnosa IV
Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang menurun, cairan
overload.
Tujuan: infeksi tidak terjadi
Intervensi
1. Kaji tanda-tanda infeksi

Rasional
1. Menentukan adanya infeksi
dan menentukan tindakan

2. Kaji temperature

selanjutnya.
2. Deteksi awal dari infeksi.

3. Batasi pengunjung, terutama yang terkena infeksi.


4. Panatau jumlah leukosit
5. Anjurkan nurtisi yang adekuat bagi klien
6. Anjurkan klien ambulasi dini
21

3. Untuk

meminimalkan

masuknya organisme.

4. Indikasi adanya infeksi


5. Mengoftimalkan proteksi
alami dari tubuh klien.
7. Tempatkan klien di ruang noninfeksi/isolasi dan ajarkan 6. Mencegah klien dari atrofi
pengunjung untuk mencegah infeksi seperti: mencuci
tangan.
8. Gunakan tehnik aseptic dalam setiap tindakan.
9. Pertahankan klien dengan keadaan yang kering dan

otot, penekanan yang lama


dapat

mengganggu

sirkulasi.
7. Untuk

meminimalkan

hangat.
masuknya organisme.

8. Untuk mencegah terjadinya


kontaminasi.
9. Mencegah

terjadinya

penyakit kulit.

Diagnose V
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan kekuatan
(ketahanan).
Tujuan: Klien dapat melakukan aktivitas secara mandiri.
Intervensi
rasional
1.
Kaji tingkat respon terhadap aktivitas 1.
Peningkatan
terhadap
menunjukkan

toleransi
aktivitas

ketergantungan

klien sehingga perawat mampu


2.

Pantau nadi dan pernapasan selama

22

merencanakan

intervensi

dan sesudah aktivitas


3.

Rencanakan

berikutnya.
perawatan

untuk 2.

memberikan istirahat yang optimal.

Vital sign dapat berubah


apabila

beraktivitas

berlebihan
4.

Instruksikan klien untuk melakukan


tindakan yang menghemat energy

yang
sehingga

menimbulkan keletihan.
3.

Klien

harus

optimal

istirahat

sehingga

tidak

melakukan aktivitas berat yang


5.

Berikan

dorongan

dan

ajarkan

memerlukan

pernapasan bibir selama aktivitas.

energi

lebih

yang

berat

energi

lebih

banyak.
4.

Aktivitas

6.

Berikan terapi O 2 sesuai kebutuhan

memerlukan

7.

Pantau

keletihan

banyak sehingga klien akan

ekstrem, nyeri dada, atau diaforesis selama

mudah lelah apabila aktivitas

dan sesudah aktivitas.

tidak seimbang dengan energi

terhadap

tanda

yang ada.
5.

Pernapasan

bibir

mempertahankan jalan napas


yang terbuka lebih lama selama
exhalasi

dan

pengeluaran

udara.
6.

Memenuhi kebutuhan O2
terutama

saat

setelah

beraktivitas
7.
23

Keletihan

ekstrem

menandakan
penuh

ketergantungan

terhadap

sehingga
menentukan

perawat

perawan
mampu
intervensi

selanjutnya.

Diagnose VI
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ketidakadekuatan ekspansi dada
(penumpukan/akumulasi cairan)
Tujuan: Pola napas klien menjadi efektif

Intervensi

rasional

24

1.

Kaji kualitas, frekuensi, irama, dan 1.


kedalaman pernapasan.

Pernapasan normal dapat


dilihat sebagai berikut :

Penampilan
terlihat
dan

umum

relax,

tenang,

mudah

tanpa

terlihat bekerja keras


Pola pernapasan : pola
diafragma-torakal halus

dan teratur
Frekuensi napas

20x /menit
Apabila pola napas klien

16-

mengalami gangguan (tidak


sesuai

dengan

keadaan

perlu

dilakukan

normal),
2.

intervensi selanjutnya.

Perhatikan gerakan dinding dada


2.

Gerakan
yang

3.

dinding

tidak

perkembangan

Auskultasi bunyi napas tiap 2-4 jam

dada
simetris

otot

tidak

bilateral menandakan semakin


4.

Atur

klien

dalam

posisi

berat akumulasi cairan.

untuk

mendapatkan pernapasan yang optimal ;

3.

terdengar

dalam posisi duduk, dengan tempat tidur

bunyi

napas

abnormal

maka

terjadi peningkatan akumulasi

ditinggikan 60-90 derajat.


5.

Apabila

cairan di paru.

Berikan terapi O2 2-4 1/menit bila


4.

perlu
25

Dalam posisi duduk kerja

6.

Pantau vital sign dan nadi apical tiap

otot diafragma menjadi optimal

2-4 jam

sehingga memperbesar rongga


dada

menyebabkan

expansi

dada adekuat.
5.
7.

Bantu dan berikan dorongan pada

Untuk

memenuhi

kebutuhan O 2 tubuh

klien untuk berbalik napas dalam setiap 2- 6.


4 jam.

Tanda-tanda
mengalami

vital

yang

perubahan

yaitu

peningkatan
adanya

menandakan

perubahan

secara

fisiologi.
8.

Hindari peregagangan atau gerakan 7.


yang mendadak.

Pernafasan
menghemat
diafragma

diafragma

energi

karena

menggunakan

O2

lebih efisien dibanding dengan


otot-otot aksesori dan berguna
9.

Berikan
tetaplah

dukungan
bersama

emosional
klien

dan

dalam

episode

selama

sesak

napas

periodeanxietas meningkat.

penghentian
yang

harus

dipadukan dalam latihan otot


pernapasan.
8.

Gerakan yang mendadak


akan

membutuhkan

secara
kebutuhan

spontan
O2

energi
sehingga
untuk

pembakaran dan energi tidak


26

seimbang.
9.

Dukungan

emosional

memberikan dukungan secara


psikologis

sehingga

klien

merasa aman dan termotivasi


untuk menghadapi keadaannya
sekarang.

Diagnosa VII
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan
pertahanan tubuh.
Tujuan: Kulit klien tetap utuh.
Intervensi

rasional

27

1.

kaji warna dan tekstur kulit

serta 1. Indikasi adanya resiko kerusakan

piting edema.

kulit dan menentukan tindakan


selanjutnya.
2. menurunkan edema periolbital.

2.

Tingikan kepala dengan bantal pada


tempat-tempat yang tertekan

3.

Jaga kulit tetap hangat dan kering


3. Mencegah kerusakan pada kulit

4.

Ubah posisi klien tiap 2 jam.


4. Mencegah penekanan yang kontinu
pada daerah yang sama serta

5.

Beri perawatan kulit pada tempatmeningkatkan kenyamanan.


5. Tempat-tempat yang sering tertekan

tempat yang tertekan 1 2 jam.

beresiko lebih besar mengalami


6.

Tempatkan

bantal

dibawah

dan

kerusakan kulit.
6. Mencegah penekanan berlebih pada

diantara kaki untuk menghindari penekanan.


daerah penekanan.

D. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan sesuai intervensi
E. Evaluasi
Evaluasi sesuai dengan tujuan

28

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom nefrotik merupakan manifestasi klinis, bukan digolongkan sebagai
sebuah penyakit. Dapat ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, lipiduria,
kadar kolesterol tinggi dalam darah, dan yang paling mudah dilihat adalah adanya
pembengkakan karena akumulasi cairan. Secara umum penatalaksanaan pada
sindrom nefrotik adalah mengawasi status cairan klien jangan sampai berlebihan
mengingat adanya edema, di samping itu juga menjaga status cairan sesuai

29

kebutuhan, menganjurkan diit tinggi protein dan rendah natrium serta asupan nutrient
lain yang adekuat. Pembatasan aktivitas juga dianjurkan.
B. Saran
Diharapkan setelah membaca makalah ini mahasiswa dapat:
a. Menjelaskan konsep penyakit dan teori tentang sindrom nefrotik
b. Melakukan pengkajian pada klien dengan Nefrotik Sindrom secara benar dan
sesuai dengan teori yang didapat.
c. Merumuskan diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada klien dengan
Sindrom Nefrotik
d. Merumuskan perencanaan keperawatan pada klien Sindrom Nefrotik.
e. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan Sindrom Nefrotik
f. Membuat evaluasi dan tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien
dengan Sindrom Nefrotik

30

DAFTAR FUSTAKA

Baradero, Mary, dkk. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Ginjal. EGC.
Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall (1999), Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.
EGC,
Jakarta.
Donges Marilyn E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi ketiga.
Nurusalam, M. Nurs. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan
Sistem

Pekemihan. Salemba Medika. Jakarta.

Pearce, Evelyn C (1991), Anatomi dan Fisiologi Untuk Para Medis, Terjemahan Sri
Yuliani
Handoyo. PT. Gramedia, Jakarta.
Syaifudin (1992), Anatomi Fisiologi. EGC, Jakarta
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. EGC. Jakarta
Waspadji, Sarwono, dkk.1998. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta.

Wilson, Lorraine Mc Carty (1991), Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-proses


Penyakit,
Edisi Kedua. EGC, Jakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai