Anda di halaman 1dari 11

UJIAN AKHIR SEMESTER 2015/2016

BUDAYA VISUAL

KOMPONEN PENDUKUNG VISUALISASI SATIR DALAM KARYA


ANNE TAINTOR DAN MIRIAM ELIA

Nama Mahasiswa

: Dian Arumningtyas

NIM

: 17013009

Program Studi

: Seni Rupa

Word Count

: 2079

PROGRAM STUDI SENI RUPA


FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
DESEMBER 2015

Seni memiliki kapasitas untuk memenuhi beberapa kebutuhan sadar maupun tidak sadar
dalam hidup manusia. Ia bisa diterima sebagai sebuah alternatif untuk menyampaikan pesan
atau gagasan mengenai beberapa hal tertentu. Dalam bukunya yang berjudul Art as Image
and Idea, Edmund Burke Feldman mengatakan bahwa seni mampu memuaskan tiga hal besar
dalam hidup, yakni our individual needs of personal expression, our social needs for
display, celebration, and communication, our physical needs for utilitarian structures and
objects. (1967 : 2) yang dapat diterjemahkan bebas menjadi: kebutuhan individu untuk
ekspresi pribadi; kebutuhan sosial untuk mengangkat suatu isu atau topik ke permukaan,
bentuk perayaan, maupun alat berkomunikasi; dan kebutuhan fisik untuk mendukung
struktur, sistem, dan objek yang cenderung utilitarian. Pengelompokan tiga kebutuhan besar
ini mampu mendefinisikan tiga fungsi besar karya-karya seni, yaitu: fungsi personalterdiri
dari ekspresi seni dan psikologis, kisah cinta, kehidupan seksual dan pernikahan, kematian
dan rasa duka, isu-isu spiritualitas, dan ekspresi estetik; fungsi sosialterdiri dari ekspresi
politis dan ideologis, deskripsi dan penjabaran keadaan sosial, satir, dan informasi grafis; dan
fungsi fisikal. (Feldman, 1967 : 2).
Satir adalah sebuah gaya bahasa yang menghadirkan lelucon dalam sindiran-sindiran halus
dan biasanya menyinggung suatu kejadian atau fenomena tertentu dalam sebuah tatanan
masyarakat dengan harapan atau tujuan mengubah kebiasaan yang ada. Dalam definisi yang
dipaparkan di buku Art as Image and Idea, Satire: The social purpose of satire is to radicule
people and institutions so that they will change. Satire is aggresive in intent. It makes fun of
its object sometimes bitter, derisive fun. Altough laughter is involved, satire is a serious art
form, serving to puncture pretension, to cut the mighty down to size, to dramatize the gap
between official purpose or promise and actual peformance. The capacity of responsible
persons to accept satirical criticism gratefully and without efforts at suppresion is probably a
good index of their ability to exercise non-coercive leadership. (1967 : 55). Pesan-pesan
yang bernada satir banyak ditemui pada karya-karya sejak periode Seni Rupa Modern masih
berjaya, beberapa merespon sistem pemerintahan yang sedang berkuasa atau keadaan sosial
yang adamisalnya revitalisasi pasca perang, baby bloomers, dan kapitalisasi pasar. Pesanpesan atau gagasan ini muncul dalam bentuk penggunaan tulisan, permainan warna,
penggunaan subjek dalam karya tersebut, hingga bentuk-bentuk apropriasi. Sebagai contoh,
karya Andy Warhol yang mengapropriasi beberapa image dari sebuah produk massal dengan
harapan menyinggung persoalan konsumerisme yang muncul di Amerika Serikat di periode
tersebut. Lalu karya-karya Paul Kuzcynski yang tampil lebih gelap dan lebih dramatis

dengan penggunaan warna-warna yang muram, sesuai dengan gagasan yang ia ingin
sampaikan mengenai kehidupan sosial dan bermasyarakat.

Paul Kuzcynski
Setiap karya seni seharusnya memiliki fungsi sosialnya masing-masing, oleh karena itu
sebuah karya harus memiliki audiensnya sendiri. Terlepas dari berbagai intensi sosial yang
dibawa, Feldman memperjelas fungsi yang mampu dibawa oleh karya-karya seni, yakni: It
seeks or tends to influence the collective behaviour of people (karya seni berusaha atau
cenderung mempengaruhi perilaku kolektif dari masyarakat atau publiknya); It is created to
be seen or used primarily in public situations (karya seni dibuat untuk dapat dilihat atau
dipakai dalam situasi-situasi yang melibatkan publik); It expresses or describes social or
collective aspects of existence as opposed to individual and personal kind of experience
(karya seni mampu mengekspresikan atau menjelaskan aspek eksistensi sosial atau kolektif
untuk menyeimbangkan pengalaman eksistensi yang hanya dapat dirasakan oleh individu
atau perorangan), dengan begitu setiap individu yang sedang melihat atau mengapresiasi
sebuah karya mampu merujuk dirinya sendiri dalam sebuah komunitas yang lebih besar,
sebuah kolektif yang karakternya disinggung dalam karya-karya tersebut. Oleh karena itu,
banyak karya-karya yang akhirnya mengambil isu dan tema besar mengenai sistem agama,
sistem pemerintahan, ideologi politik, maupun identitas suatu bangsa atau etnis tertentu untuk
sebagai cara untuk menggabungkan pengetahuan kolektif yang mendasar untuk akhirnya
dipengaruhi oleh karya-karya itu sendiri.

Stereotype Sosok Perempuan Pasca Perang


Saat perang dunia meletus, perempuan identik dengan image ibu rumah tangga yang
mengurus dan merapikan rumah, juga membesarkan anak-anaknya karena kebanyakan lakilaki dalam rentang usia 16 s.d. 60 tahun, harus memenuhi panggilan wajib militer untuk
membela negara masing-masing. Kebiasaan ini pun terbawa hingga kehidupan sehari-hari
pasca perang, memperkuat budaya patriarkal yang menganggap laki-laki seolah-olah
memiliki kuasa yang lebih besar, lebih superior. Pembangunan dan revitalisasi negara-negara
yang sebelumnya terlibat dalam perang pun seolah dibangun oleh para laki-laki saja.
Begitupun perang-perang setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II, seperti Perang
Vietnam, juga menempatkan para perempuan untuk tinggal di rumah dan menjalankan
tugasnya selayaknya seorang perempuan. Sebagai contoh, film yang cukup menggambarkan
keadaan ini adalah Lolita (1962).
Memasuki tahun 1960-an, perubahan besar mulai terjadi pada hidup perempuan di Amerika
Serikat. Di tahun 1961, Presiden John F. Kennedy membentuk Commision on the Status of
The Women dan menunjuk Eleanor Roosevelt sebagai ketuanya. Dalam sebuah siaran di
televisi, Presiden Kennedy menyatakan We want to be sure that women are used as
effectively as they can to provide a better life for our people, in addition to meeting their
primary responsibility, which is in the home (kami ingin menjamin dan memastikan para
perempuan menggunakan potensinya secara efektif untuk mendapatkan kehidupan yang lebih
baik lagi, serta mendukung pemenuhan tanggung jawab mereka, yang mana adalah mengurus
rumah). Pernyataan ini membuat banyak gerakan-gerakan feminis lahir dan menyuarakan
pendapat serta menuntut hak-nya, karena di satu sisi, perempuan seolah diperbolehkan
mendapatkan apapun yang ia ingin kejar namun tetap harus tertahan oleh urusan rumah
tangga (yang dianggap menjadi tanggung jawab utamanya).

Ekspresi Satir Anne Taintor


Anne Taintor dilahirkan di Maine, Amerika Serikat pada tanggal 16 Agustus 1953. Anne
adalah anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai pengacara dan ibunya juga
lulusan sekolah hukum namun hanya menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Setelah
lulus SMA, Anne menuntut ilmu di Harvard University dengan mengambil peminatan Visual
and Environmental Studies. Eksplorasi kolase sudah dilakukan oleh Anne sejak ia masih
kuliah, yang pada akhirnya ia teruskan sebagai ciri khas karya-karya ilustrasinya.

Anne memulai karir sebagai ilustratornya di tahun 1980-an, setelah mencoba berbagai jenis
pekerjaan lainnya seperti pelayan restoran dan tukang jahit. Ilustrasi-ilustrasi Anne hadir dan
menggabungkan image khas majalah Ladies Home Journal dan LIFE Magazine dengan
tulisan-tulisan atau caption yang menarik dan cenderung bertolak belakang dengan tampilan
visual subjek-subjek perempuan dalam gambarnya masing-masing. Beberapa caption dalam
ilustrasi Anne Taintor biasanya menyindir stigma perempuan dalam pernikahan, hubungan
antara sesama perempuan, kebebasan hak perempuan dan kewajibannya, serta beberapa
sindiran tentang hidup bermasyarakat. Dilihat dari visualnya, penggunaan warna yang
cenderung halus dan lembut, seolah menunjukkan kenaifan dan kepolosan perempuanperempuan yang mau begitu saja menerima takdir dan nasibnya. Penggunaan warna-warna
ini pun seolah mampu menjadi referensi atau latar waktu dimana isu-isu mengenai pekerjaan
domestik perempuan mulai sering terdengar, didukung dengan atribut-atribut yang muncul
dalam ilustrasi-ilustrasi ini, seperti pakaian-pakaian khas tahun 1940-an sampai 1950-an,
pemakaian celemek, dan peralatan-peralatan rumah tangga seperti pemanggang, mesin
pencuci piring, dan kulkas untuk memperjelas konteks yang disinggungnya. Sosok pria hanya
muncul beberapa kali dalam karya Anne Taintor, biasanya dalam skena yang
menggambarkan suasana pesta atau makan malam namun tetap menyindir paradigma
perempuan dalam kehidupan sosial seperti itu. Sosok anak kecil pun jarang muncul dalam
ilustrasinya, meskipun urusan domestik perempuan biasanya menyangkut urusan mengasuh
dan membesarkan anak. Perempuan-perempuan yang muncul pun kebanyakan perempuan

berkulit putih dengan latar rumah tangga miliknya sendiri, bukan sebagai asisten rumah
tangga. Perempuan-perempuan dari ras non-Kaukasia jarang sekali muncul, mungkin
disebabkan oleh terlalu kontekstual-nya sindiran-sindiran dalam ilustasi Anne sehingga
stereotip ini lebih besar kemungkinan terjadinya dalam rumah tangga pasangan kulit puyih.
Ilustrasi-ilustrasi Anne Taintor pun biasanya lebih dekat dengan kehidupan audiens
perempuan daripada audiens laki-laki, melalui caption yang cenderung lebih mudah dipahami
oleh perempuan. Bila merujuk pada tiga hal dalam male gaze menurut pandangan kaum
feminis, ilustrasi-ilustrasi ini mampu menggambarkan dua poin, yakni: bagaimana
perempuan melihat dirinya sendiri dan bagaimana perempuan melihat perempuan lain, dan
sosok perempuan dalam ilustrasi Anne Taintor biasanya diposisikan sebagai subjek.

Setelah 25 tahun aktif bekerja sebagai ilustrator, di tahun 2010 Anne Taintor membuka
website-nya sendiri di www.annetaintor.com dengan tagline Making Smart People Smile
Since 1985.

Apropriasi dalam karya Miriam Elia


Miriam Elia (lahir 1982) lulus dari Royal College of Art di tahun 2006. Ia dikenal melalui
buku ilustrasinya yang dikenal dengan We Go to the Gallery dan We Sue an Artist.
Serupa dengan ilustrasi Anne Taintor, satir yang dapat ditangkap dalam ilustrasi Miriam Elia
juga didapat dari apropriasinya terhadap buku anak-anak Ladybird yang merupakan anak
perusahaan Penguin Books.
Buku anak-anak Ladybird difokuskan sebagai alat bantu belajar membaca dan memahami
teks, dimana melibatkan teks dan gambar dalam dua sisi halaman buku, serta menggunakan
sistem key words untuk membantu anak-anak mengerti apa yang dibahas dalam halaman
tertentu. Umumnya, anak-anak di Eropa dan di Amerika Serikat sering ditanya belajar apa
hari ini? ketika sedang makan malam bersama keluarga. Seri buku Ladybird ini berusaha
memfasilitasi hal tersebut melalui key words-nya. Nama Miriam Elia mencuat ke permukaan
ketika ilustrasinya yang mengapropriasi buku Ladybird akhirnya dituntut oleh Penguin Books
atas plagiarisme dan pelanggaran copyright atau hak cipta karena tokoh Peter dan Jane
memang hadir di buku Ladybird. Permasalahan ini selesai ketika akhirnya ilustrasi Miriam
Elia diterbitkan dengan menggunakan nama tokoh berbeda, yakni John dan Susan, serta
mengganti Ladybird menjadi Dung Beetle.

Pemilihan apropriasi Miriam Elia menjadikan isu-isu yang diusungnya menjadi lebih
menarik. Penggunaan kedua tokoh anak kecilPeter dan Jane atau John dan Susanseolah
menampilkan kenaifan, diperkuat dengan penggunaan warna yang halus dan lembut, seperti
ilustrasi-ilustrasi Anne Taintor. Karakter buku Ladybird yang diperuntukkan untuk anak-anak
kecil belajar membaca, tetap dipertahankan oleh Miriam dengan memasang target audiens

orang dewasa, seolah-olah fungsi alat bantu membaca-nya tetap relevan dengan kondisi
audiens orang dewasa dalam memahami seni. Subjek yang ditampilkan pun tetap kehilangn
sosok ayah, lebih menekankan peran ibu sebagai fasilitator dan edukator pertama bagi anakanak dalam sebuah keluarga.

Perbedaan antara ilustrasi Anne Taintor dan Miriam Elia dapat terlihat dari isu yang
disinggung oleh masing-masing ilustrator. Ketika Anne lebih menyinggung pandangan
perempuan sebagai pemegang tanggung jawab urusan rumah tangga, Miriam secara spesifik
lebih menyindir aspek-aspek yang muncul di dunia seni rupa sendiri. Beberapa fenomena
yang disinggung oleh Miriam seperti performance art Marina Abramovic dengan Ulay, karya
Jeff Koons, dan prinsip-prinsip yang diusung oleh seniman-seniman di masa Seni Rupa
Modern. Lelucon dalam karya Miriam Elia masih terikat pada konteks di suatu tempat
tertentu, problematika seni rupa yang dibahas atau disinggung masih yang berputar di dunia
Barat, belum menjamah fenomena-fenomena yang muncul diluar Barat.

Keterbatasan konteks yang tersaji dalam karya Miriam Elia sebenarnya menjadikan batasan
atau border tersendiri untuk membentuk audiens yang disinggung oleh Miriam. Merujuk
pada pernyataan Feldman mengenai bagaimana sebuah karya mampu mengaktifkan fungsi
sosialnya, dibutuhkan pengetahuan mendasar yang dipahami oleh sekelompok orang, dalam
komunitas atau kolektif tertentu, untuk membuat sindiran atau sentilannya bekerja. Miriam
Elia perlu memahami kemampuan retoris karyanya dan memanfaatkan dimensi logos dan
pathos dari karyanya melalui pembatasan wacana yang diangkat sebagai material apropriasi.
Wacana yang diangkat sebaiknya cukup banal untuk dipahami audiens namun tetap
mengangkat persoalan yang nyata dan memang terjadi di kehidupan sehingga audiens mampu
merasa terhubung atau relate dengan wacana yang diangkatnya.

Komponen Pendukung Satirical Art


Sebagai salah satu alternatif pemenuhan fungsi sosial, baik karya seni maupun ilustrasi,
wacana yang bersifat satir memang memiliki nilai tambah tersendiri dalam mengritik atau
meyinggung suatu fenomena atau situasi dimana sekelompok orang terpengaruhi. Selain
Anne Taintor dan Miriam Elia, kebutuhan konsumsi karya-karya satirical lebih mudah
didapat melalui website-website popular seperti www.9gag.com dan www.someecards.com
atau www.instagram.com/sirjoancornella dengan bahasan dan tampilan visual yang berbeda
juga.
Beberapa hal yang mampu memengaruhi efektivitas karya-karya satirical adalah penggunaan
subjek dan objek dalam tampilan visualnya, sebagai pendukung sindiran yang dilemparkan,
media penyebaran karya dan ilustrasi, penggunaan teks tertulis sebagai satu keutuhan karya,
penggunaan dan peminjaman items serta citraan dari budaya populer di periode atau masa
tertentu untuk mendukung relevansi sindirian serta singgungan, serta pembentukan atau
pemanfaatan audiens yang tersedia di lingkungan bermasyarakat yang ada. Dua hal yang
paling sering dimanfaatkan untuk melengkapi sindiran adalah citraan dari kesan vintage
seperti foto dari tahun 1940-an sampai tahun 1970-andan fenomena yang dihasilkan dari
penggunaan atau aktivitas dunia maya. Setiap seniman dan ilustrator memang memiliki
karakter, intensi, dan cara penyampaian tersendiri. Namun, karya-karya satirical tetap
bergantung pada audiens yang mengonsumsinya.
***

Daftar Pustaka
http://theglamoroushousewife.com/2010/01/spotlight-on-anne-taintor/
http://www.theguardian.com/books/2015/oct/12/ladybird-books-introduce-peter-and-jane-tohipsters-and-hangovers
http://trendbeheer.com/2014/03/27/penguin-vs-miriam-elia/
http://www.standard.co.uk/news/londoners-diary/miriam-elia-transforms-dung-into-gold9657800.html
https://remodernreview.wordpress.com/tag/peter-and-jane/
http://candlemass.tumblr.com/post/78413949016/metadatapriestess-ratak-monodosicomummy-i
http://hyperallergic.com/116879/penguin-group-targets-artist-over-satirical-art-book/
http://brownartconsulting.com/2014/03/peter-and-jane-not-their-real-names-go-to-thegallery/
http://hyperallergic.com/116879/penguin-group-targets-artist-over-satirical-artbook/?utm_medium=email&utm_campaign=Penguin+Group+Targets+Artist+Over+Sa
tirical+Art+Book+Meet+the+Afronauts&utm_content=Penguin+Group+Targets+Artist
+Over+Satirical+Art+Book+Meet+the+Afronauts+CID_2be12473c3344274800b04497
e56781f&utm_source=HyperallergicNewsletter&utm_term=Penguin%20Group%20Tar
gets%20Artist%20Over%20Satirical%20Art%20Book
http://hyperallergic.com/wp-content/uploads/2014/03/excited.jpg
http://literarydevices.net/satire/
Talcott Parsons ART AS EXPRESSIVE SYMBOLISM: ACTION THEORY AND THE
SOCIOLOGY OF ART
Feldman, Edmund Burke. ART AS IMAGE AND IDEA. The University of Georgia.
Prentice-Hall, INC. Englewood Cliffs, New Jersey. 1967
http://edition.cnn.com/2014/08/07/living/sixties-women-5-things/
http://miriamelia.co.uk/biography/
http://www.theguardian.com/books/2015/oct/14/dung-beetle-spoofs-ladybird-after-bookscopyright-row

http://www.theguardian.com/books/2015/sep/22/the-flyaway-success-of-the-ladybird-artprank
http://www.theguardian.com/books/2014/mar/02/artist-ladybird-book-penguin-copyrightmiriam-elia
http://www.usnews.com/news/articles/2010/03/12/the-1960s-a-decade-of-change-for-women
https://tavaana.org/sites/default/files/American%20Feminist%20Movement%20PDF.pdf
http://www.ladybird.co.uk/worldwide/key-words/#howitworks

Anda mungkin juga menyukai