a. Pengertian
Dalam bahasa Indonesia, informed consent seharusnya diterjemahkan
dengan istilah Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) dan bukan Persetujuan
Tindakan Kedokteran (Permenkes no. 290 tahun 2009 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran). Dengan mengatakan Persetujuan Tindakan
Kedokteran, maka unsur informasi (penjelasan) hilang dan tidak dianggap
sebagai sesuatu yang penting. Padahal unsur informasi ini menjadi unsur
yang sangat penting dari proses itu.
Informed Consent ialah otorisasi (pemberian wewenang) yang
diberikan secara otonom oleh pasien atau subjek penelitian kepada pelayan
kesehatan atau kepada peneliti untuk dapat dilaksanakan intervensi medis
atau untuk ikutserta dalam sebuah riset setelah mendapatkan keterangan yg
baik, benar dan lengkap dengan demikian dapat dimengerti dengan baik:
Diberi informasi mengerti informasi menyetujui (consent).
Unsur informasi itu ada tiga yakni:
- Baik adalah unsur penyampaiannya.
- Benar menyangkut isi informasinya.
- Lengkap menyangkut kandungan kelengkapan informasi
Informasi yang diberikan seperti di atas ini sangat diperlukan agar
orang bisa mengambil keputusan secara baik dan benar (bisa
dipertanggungjawabkan). Oleh karena itu, informasi yang diberikan harus
baik, benar dan komplit (lengkap). Bukan hanya bahwa informasi itu benar,
tetapi perlu bahwa informasi itu lengkap. Walaupun informasi itu benar,
tetapi kalau tidak lengkap, maka kerimpulan yang akan dibuat bisa salah.
Seseorang hanya bisa memberikan consent (persetujuan) bila dia
mengerti dan bebas dari tekanan orang lain dan secara sadar memberikan
wewenang kepada tenaga medis untuk melakukan intervensi medis atau ikut
serta sebagai subjek penelitian. Kalau orang tersebut mengerti, bebas dan
sadar tetapi menolak untuk memberikan otorisasi (persetujuan) itu, maka dia
memberikan Informed refusal. Singkat kata, tidak boleh ada intervensi
medis apapun bagi pasien yang kompeten tanpa adanya persetujuan dari
pasien sesudah dia mendapatkan informasi yang diperlukan1.
Prinsip informed consent dibuat untuk menghormati martabat
manusia yang bebas dan otonom dimana setiap manusia berhak untuk
menentukan sendiri apa yang akan dibuat ataupun yang tidak akan dibuat.
Prinsip ini dirancang untuk melindungi otonomi dan integritas seorang
individu2 dimana subjek sendiri berhak untuk menentukan pilihannya sendiri
bagi dirinya sendiri secara bebas berdasarkan pemahaman yang memadai
1
Julian Savulescu and Richard w. Momeyer, Informed consent Should informed consent be
based on rational beliefs? dalam Michael Boylan, Medical Ethics, John Wiley & Sons, Inc,
Oxford, 2014, Hlm. 105
2
Orville N. Griese, Catholic Identity in Health Care: Principles and Practice, The Pope John
Center, Braintree, 1987, hlm. 154
untuk membuat pilihan itu. Kebebasan memilih dalam hal intervensi medis
ataupun keiikutsertaan dalam penelitian medis ini menjadi penting sebab
tubuh yang akan dikenai intervensi medis adalah tubuh pasien dan bukan
tubuh si dokter sehingga dokter tidak boleh seenaknya membuat sesuatu
terhadap tubuh yang bukan kepunyaannya sendiri. Oleh karena itu perlu
bahwa baik dokter maupun peneliti menghormati masing-masing pribadi
manusia (respect for person) yang akan dikenai tindakannya.
Informed consent menjadi sangat penting sesudah peristiwa Nazi
Jerman di mana para dokter Nazi mengadakan percobaan riset biomedis
dengan menyertakan manusia sebagai subjek penelitian yang melanggar
harkat dan martabat manusia. Para dokter Nazi melakukan serangkaian
percobaan Kedokteran dalam bidang High-altitude experiments, Freezing
experiment, Malaria experiments, Lost (mustard) gas experiments,
Sulfanilamide experiments, Bone, muscle, and nerve regeneration and bone,
transplantation experiments, Seawater experiments, Epidemic jaundice
experiments, Sterilization experiments, Spotted fever (typhus) experiments,
Experiments with poison, Incendiary bomb experiments3.
Dalam pengadilan yang diadakan di Nrnberg terhadap 23 dokter Nazi
(The Doctors Trial) pada tahun 1945-1946 terungkap bahwa di sekiar
Perang Dunia II, para dokter Nazi itu melakukan experimen biomedis dengan
mempergunakan tawanan yang berada dalam kamp konsentrasi tanpa
persetujuan para tawanan itu4. Para tawanan yang dipakai untuk percobaan
itu mengalami kesakitan yang luar biasa, cacat dan bahkan banyak yang
mati. Pengadilan itu menyatakan bahwa percobaan itu adalah crime against
humanity kejahatan melawan kemanusiaan. Alasan bahwa mereka hanya
menjalankan perintah atasan, tidak bisa diterima. Mereka semua dijatuhi
hukuman. Dari pengadilan itu keluarlah apa yang kita kenal sebagai The
Nrnberg Code (1947) yang langsung dalam no 1 dikatakan, The voluntary
consent of the human subject is absolutely essential.5
The Nrnberg Code menjadi etik riset biomedis pertama dalam jaman
modern yang berbicara mengenai subjek penelitian manusia. The Nrnberg
Code ini kemudian menjadi model dari pelbagai macam etika penelitian yang
langsung menyangkut manusia. Sejak saat itu etika riset biomedis dengan
mempergunakan subjek manusia menjadi kajian yang sangat penting dan
semakin dirasakan pentingnya membuat kode etik yang mengatur riset yang
memakai manusia sebagai sobjek penelitian6. Di sini bisa kita lihat, bahwa
informed consent pertama-tama muncul bukan sebagai masalah pelayanan
kesehatan, tetapi sebagai masalah penelitian kesehatan yang sebenarnya
merupakan keputusan pengadilan.
Walaupun sebagai istilah informed cosent itu masih baru, tetapi ideidenya sudah ada sebelumnya walaupun bukan dalam sebuah rangkaian
informasi dan persetujuan. Sejak jaman Hippokrates sampai pertengahan
abad yang lalu, etika medis dikuasai oleh etika medis paternalisme. Dalam
hal ini, seorang tenaga medis berlaku sebagai seorang bapak yang baik yang
3
Horst H. Freyhofer, The Nuremberg Medical Trial: The Holocaust and the Origin of the
Nuremberg Medical Code, Peter Lang, Oxford, 2004, hlm. 58
4
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai proses pengadilan itu, lihat Alice Ricciardi von
Platen, Il Nazismo e lEutanasia dei Malati di Mente, Le Lettere, Firenze, 2000
5
Horst H. Freyhofer, The Nuremberg Medical Trial, hlm. 103
6
Baruch A. Brody, The Ethics of Biomedical Research: An International Pespective, Oxford
University Press, Oxford, 1998, hlm. 31 33.
Jay Katz dan Alexander Morgan Capron, Catastrophic Diseases: Who Decides What? A
Psychosocial and Legal Analysis of the Problems Posed by Hemodialysis and Organ
Transplantation, Russell Sage Foundation, New York, 1975
tujuan akhir ialah persetujuan dan otorisasi. Supaya persetujuan itu bisa
valid secara hukum dan moral, diperlukan suatu proses yang benar untuk
memperolehnya.
Elemen-elemen penting untuk informed consent:8
I. Unsur permulaan
1. Kompetensi untuk mengerti dan memutuskan
2. Kesediaan di dalam membuat keputusan
II. Unsur informasi
3. Pemberian informasi
4. Rekomendasi sebuah perencanaan
5. Pemahaman atas informasi dan rencana (no. 3 - 4)
III.Unsur persetujuan
6. Keputusan atas rencana itu
7. Otorisasi (pemberian wewenang) untuk melakukan rencana itu.
Masing-masing elemen ini sangat penting untuk diperhatikan dengan
seksama supaya validitas informed consent secara moral dan hukumnya bisa
terjaga.
1. Kompetensi. Orang dikatakan mempunyai kompetensi untuk
memberikan informed consent adalah orang yang punya hak untuk
memberikannya, bisa mengerti dan sadar serta mampu memutuskan.
Pertama-tama yang punya kompetensi adalah pasien sendiri (dan bukan
keluarganya) sebab intervensi medis itu akan dikenakan kepada tubuhnya.
Akan tetapi dalam keadaan tertentu dimana pasien tidak kompeten
(misalnya karena tidak sadar atau belum umur/anak-anak) maka kompetensi
itu jatuh pada walinya yang secara hukum berhak untuk mewakilinya: dalam
hal anak-anak dibawah umur, maka yang menjadi walinya adalah orang
tuanya; kalau suami, maka walinya adalah istrinya dan sebaliknya. Anak
yang dibawah umur, orang gila, tidak (kurang) sadar, kemampuan psikisnya
terganggu dll dipandang tidak kompeten untuk memberikan informed
consent.
2. Kesediaan. Di sini unsur kebebasan dari subjek pemberi informed
consent memegang peranan penting. Orang yang akan dimintai consent
tidak boleh dipaksa baik langsung maupun tidak langsung. Kesediaan untuk
memberikan persetujuan itu haruslah menjadi expresi kehendak diri yang
bebas.
3. Pemberian Informasi. Pasien atau walinya berhak untuk
mendapatkan informasi yang benar dan menyeluruh mengenai penyakitnya
atau proses research. Informasi haruslah diberikan dalam bahasa yang bisa
dimengerti oleh pasien dan/atau walinya dengan tetap memperhitungkan
keadaan psikologis/mentalnya. Dalam memberikan informasi ini dibutuhkan
cara-cara yang baik dan skill yang memadai agar tidak merusak seluruh
proses therapi9. Informasi ini menyangkut beberapa hal, misalnya jenis
penyakit, penyebab penyakit, akibat penyakit, situasi penyakit itu
(gawat/tidak), model (jenis) penyembuhan/perawatan yang tersedia beserta
8
Tom L. Beauchamp dan Ruth R. Faden, Informed Consent dalam Stephen G. Post (ed.),
Encyclopedia of Bioethics (3rd edition), Macmillan, New York, 2004, hlm 1278
9
Amedeo Santuosso, Il Consenso Informato: Tra Giustificazione per il Malato e Diritto del
Paziente, Reffaello Cortina Editore, Milano, 1996, hlm. 64 66
untung dan ruginya. Informasi yang diberikan haruslah jujur dan lengkap
serta jangan memberikan harapan palsu kepada pasien atau keluarganya.
4. Rekomendasi. Setelah memberikan informasi yang adekuat
mengenai penyakitnya lalu dokter menawarkan sebuah rencana intervensi
medis/perawatan sesuai apa yang dipandang paling baik (feasible) oleh
dokter demi pasien. Dalam rekomendasi ini juga dibicarakan mengenai
alternatif pengobatan yang ada, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
dan prognosis keberhasilan atas tindakan medis yang dilakukan itu. Perlu
diingat bahwa dalam tahap ini tetap merupakan rekomendasi yang
dianjurkan oleh dokter atau teamnya.
5. Pemahaman atas informasi. Tahap ini paling krusial. Dalam
tahap ini pasien atau walinya harus mengerti apa yang diterangkan dan
rekomendasi (tahap nomor 3 4) di atas. Bila belum paham, maka tahap itu
bisa diulang kembali.
6. Keputusan atas rencana. Tawaran atas rencana intervensi medis
itu harus diputuskan oleh pasien sendiri dan/atau walinya. Kalau keputusan
itu tidak seperti yang diharapkan oleh dokter, maka dokter harus
menghormatinya. Tentu saja demi kebaikan kedua belah pihak, pasien juga
harus membuat pernyataan mengenai pilihannya itu.
7. Otorisasi. Kalau tahap-tahap itu (dari no. 1 6) sudah dilalui
dengan baik, maka sekarang pasien atau walinya bisa memberikan otorisasi
kepada dokter untuk melakukan intervensi medis. Otorisasi dari pasien
diwujudkan dalam bentuk menandatangai blangko informed consent.
Otorisasi dari pasien inilah yang memberikan hak kepada dokter untuk
melakukan intervensi medis kepada pasien. Tanpa otorisasi ini, seorang
dokter tidak boleh melakukan intervensi medis kepada pasien.
Informed consent yang dulunya diadakan di lingkungan medis
(penelitian dan intervensi medis) ini sekarang ini bukan hanya diadakan
berhubungan dengan medis (baik pengobatan maupun penelitian) tetapi
meluas ke banyak hal yang menyangkut manusia. Setiap penelitian yang
menyangkut manusia, apalagi yang mengandung unsur membahayakan
manusia (baik fisik, psikis, mental dll) harus ada informed consent untuk
melindungi baik peneliti maupun subjek penelitian kalau sampai terjadi hal
yang tidak diinginkan.
b. Penerapan
Informed consent ini diterapkan dalam semua kasus-kasus yang
menyangkut manusia baik dalam hal intervensi medis maupun dalam
keikutsertaan dalam sebuah penelitian/ research. Informed consent bisa
diberikan secara lisan maupun tertulis. Dalam kasus-kasus berat yang
membahayakan manusia apa lagi menyangkut nyawa dan badan manusia,
informed consent harus diberikan secara tertulis sedangkan dalam kasuskasus ringan bisa diberikan secara lisan. Demikian juga dalam kasus ringan,
informed consent tidak perlu melalui prosedur seperti di atas. Walaupun
demikian, informasi yang baik dan lengkap selalu diharuskan dari dokter dan
peneliti agar dengan demikian setiap pasien/peserta riset yang datang
kepadanya bisa mengambil keputusan yang sesuai dengan prinsip hidupnya.
10
Stephen Wear, Il Consenso Informato: Un Nuovo Raporto fra Medico e Paziente, Apiron
Editoria e Communicazione, Bologna, 1999, hlm. 32
Peter Kemp, Four Ethical Principles in Biolaw, Rhodos Internasional Science and Art
Publishers, Copenhagen, 2000, hlm. 13 - 22
Unesco, On the Principle of Respect for Human Vulnerability and Personal Integrity, 2011,
no 9
13
Robert E. Goodin, Protecting the Vulnerable: A Reanalysis of Our Social Responsibilities,
University Chicago Press, Chicago, 1985
manusia itu sudah ada sejak pembuahan, maka dia adalah manusia yang
vulnerable yang harus dilindungi oleh orang yang kuat. Orang yang paling
lemah dari antara yang lemah adalah janin yang ada dalam kandungan
sebab dia tidak bisa mempertahankan diri sama sekali, bahkan dia tidak bisa
mempertahankan diri dengan cara yang paling sederhana yakni tangisan
dan air mata. Menangis adalah cara mempertahankan diri yang paling
alamiah, primitif dan sederhana karena bayi yang baru lahir tidak usah
diajari bagaimana menangis tetapi mereka sudah bisa menangis. Jadi, lepas
dari masalah apakah janin itu adalah persona atau tidak, tetapi kalau diakui
bahwa janin itu adalah makhluk hidup manusia, maka ia mempunyai hak
untuk hidup yang harus dihormati dan dilindungi. Kita yang kuat harus
melindungi janin yang lemah. Selain itu, misalnya dalam kasus embryonic
stem cell (sel punca embrionik), meskipun manfaat sel punca itu amat
sangat baik untuk menyembuhkan tetapi kalau hal itu ditempuh dengan cara
membunuh embrio maka dia telah melanggar prinsip medis dimana orang
tidak boleh menyembuhkan orang dengan cara membunuh orang lain.
Demikian pula orang yang berada di ambang batas ketidak
berdayaannya yang mengalami sakit parah dan terminal, yang seringkali
tidak mampu lagi mengerti diri dan lingkungannya serta tidak bisa
mempertahankan diri. Orang-orang macam ini pun harus mendapatkan
perlindungan extra dibanding dengan orang sehat. Oleh karena itu, orang
yang lemah dan tidak berdaya tidak bisa dibunuh ataupun dieuthanasia
karena justru orang yang sehat harus menjaga dan melindungi integritas diri
dan hidupnya.
Hubungan antara pasien dan dokter juga adalah hubungan dengan
orang yang vulnerable. Dari pihak pasien: Kebanyakan pasien tidak tahu
apa-apa mengenai penyakitnya dan sakit pula apalagi kalau sudah semakin
parah maka dia tidak bisa buat apa-apa. Dia berada dalam posisi yang
lemah. Sebaliknya dokter mempunyai mempunyai kemampuan, kemauan,
pengetahuan, alat untuk menyembuhkan penyakitnya. Dia dalam posisi kuat
dan sehat. Dalam posisi ini seorang dokter harus membela pasien yang
vulnerable itu dan tidak boleh justru memanfaatkan vulnerability pasien
untuk mengeruk keuntungan dirinya.
Dalam hal informed consent ini perlu diperhitungkan aspek
kebudayaan, khususnya di konteks asia dan Indonesi akhususnya. Dalam
beberapa kebudayaan, otonomi ini bukanlah otonomi personal
tetapi
diberikan oleh beberapa orang ataupun kepala kelompok. Oleh karena itu,
kita memperkenalkan dan memperjuangkan apa yang disebut otonomi
kekerabatan dimana consent itu bukan diberikan oleh seseorang tetapi
oleh kelompok ataupun kepala suku atau oleh beberapapihak sekaligus
dalamkeluarga (dari suami/istri, mertua dan paman dsb). Dalam konteks
dimana orang cara hidup orang bukanlah personalistik tetapi kekerabatan
maka seharusnya bisa dimengerti/diterima bahwa informed consent ini
diberikan oleh kelompok tertentu. Dalam kerangka internasional, otonomi
kekerabatan ini belum semua bisa menerimanya.