Anda di halaman 1dari 11

Tinjauan Pustaka

Rehabilitasi Stroke pada


Pelayanan Kesehatan Primer

Rosiana Pradanasari Wirawan


SMF Rehabilitasi Medis RS Fatmawati, Jakarta

Abstrak: Stroke menjadi masalah yang besar dan serius. Sebagai penyebab kecacatan terbanyak
kedua pada individu usia di atas 60 tahun, stroke menimbulkan beban psikososial serta biaya
yang sangat besar. Bagi pasien pasca stroke diperlukan intervensi rehabilitasi medik agar
mereka mampu mandiri untuk mengurus dirinya sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari tanpa harus terus menjadi beban bagi keluarganya. Namun tidak semua pasien
mendapat kesempatan melanjutkan program rehabilitasi stroke setelah pulang dari perawatan.
Sebagian besar disebabkan karena tidak tersedianya fasilitas rehabilitasi medik di sekitar
tempat tinggal pasien. Secara umum rehabilitasi stroke fase subakut dan kronis dapat ditangani
melalui tatalaksana rehabilitasi medis sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih.
Berfokus pada upaya untuk mencegah komplikasi immobilisasi yang dapat membawa dampak
kepada perburukan kondisi dan mengembalikan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari,
diharapkan pasien dapat mencapai hidup yang lebih berkualitas. Pelayanan Kesehatan Primer
sangat penting perannya.
Kata kunci: stroke, rehabilitasi, subakut

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

61

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Stroke Rehabilitation in Primary Health Care


Rosiana Pradanasari Wirawan
Physical Medicine and Rehabilitation, Fatmawati Hospital -Jakarta

Abstract: Stroke has become an enormous and serious health problem. Being the second most
cause of disability for individual above 60 years old, stroke is considered a psychosocial burden
and very costly. Post-stroke patient therefore need a medical rehabilitation intervention, which
enable them to take care of themselves and do their own daily activity without being a burden to
their family. Unfortunately, not all post-stroke patients have their chance to continue their rehabilitation program after discharged from the hospital. The reason behind is mostly the lack of medical
rehabilitation facility near their home. Generally, stroke rehabilitation in subacute and chronic
phase could also be managed by simple procedures without using a sophisticated apparatus.
Focusing on preventing of the complication of immobilization that could make the condition
became worse, and achievement of the independency of their daily activity, is aiming for the
patients, better quality of life. Primary Health Care has a very important role in this case.
Keywords: stroke, rehabilitation, subakute.

Pendahuluan
Baik di negara maju maupun berkembang, beban yang
ditimbulkan stroke sangat besar. Stroke merupakan penyebab
kematian kedua terbanyak di negara maju dan ketiga
terbanyak di negara berkembang. Berdasarkan data WHO
tahun 2002, lebih dari 5,47 juta orang meninggal karena stroke
di dunia.1 Dari data yang dikumpulkan oleh American Heart
Association tahun 2004 setiap 3 menit satu orang meninggal
akibat stroke.
Dengan kemajuan teknologi, stroke lebih sering
meninggalkan kecacatan dibandingkan kematian. Stroke
merupakan penyebab kecacatan kedua terbanyak di seluruh
dunia pada individual di atas 60 tahun.1 Beban biaya yang
ditimbulkan akibat stroke sangat besar, selain bagi pasien
dan keluarganya, juga bagi negara. Kondisi ini belum
memperhitungkan beban psikososial bagi keluarga yang
merawatnya.
Oleh karena itu pencegahan stroke menjadi sangat
penting. Upaya pencegahan antara lain berupa kontrol
terhadap faktor risiko stroke (Tabel 1) dan perilaku hidup
yang sehat (primary prevention). Bagi pasien yang telah
mendapat serangan stroke, intervensi rehabilitasi medis
sangat penting untuk mengembalikan pasien pada
kemandirian mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi keluarganya.
Perlu diupayakan agar pasien tetap aktif setelah stroke untuk
mencegah timbulnya komplikasi tirah baring dan stroke

62

berulang (secondary prevention). Komplikasi tirah baring


dan stroke berulang akan memperberat disabilitas dan
menimbulkan penyakit lain yang bahkan dapat membawa
kepada kematian.
Tabel 1. Faktor Risiko Stroke2
Tidak dapat
dimodifikasi

Dapat dimodifikasi

Potensial
dimodifikasi

Usia
Jenis kelamin
Ras
Hereditas

Hipertensi
Diabetes mellitus
Hiperkolesterolemia
Atrial fibrilasi
Merokok
stenosis karotis
(asimptomatik)
Penyakit sel sabit

Obesitas
Inaktivitas fisik
Hiperhomosisteinemia
Kondisi hiperkoagulitas
Kontrasepsi oral terapi
hormonal pengganti
Proses inflamasi
Alkohol berlebihan
Abuse obat-obatan

Sindrom Stroke
Patologi stroke dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu
hemoragik dan iskemia. (Tabel 2)
Gejala klinis stroke bervariasi tergantung pada bagian
otak yang sirkulasinya terganggu. Secara umum stroke
memberikan gambaran klinis dengan pola yang khas, dengan
variasi secara individual tergantung pada ukuran pembuluh
darah, pola aliran atau luasnya disrupsi aliran darah ke otak.
(Tabel 3 dan 4.)

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer


Tabel 2. Patomekanisme Stroke Akut 2
Patomekanisme

Persentase

Iskemik
Trombotik
Embolik
Lain-lain
Hemoragik
Intraserebral
Subarakhnoid

85%
60%
20%
5%
15%
10%
5%

dan menggunakan tangga.


World Health Organization (WHO) pada tahun 1980
memperkenalkan The International Classification of Impairments, Disabilities and Handicaps (ICIDH) sebagai model
rehabilitasi.5-8
Model ini membagi kondisi sakit dalam 4 level berbeda
yaitu:
a. Patologi (penyakit)
Patologi sinonim dengan penyakit atau diagnosis,

Tabel 3. Sindrom Stroke Iskemik 3


Sirkulasi tergganggu
Sindrom Sirkulasi anterior
A. Serebri media (total)

Sensomotorik

Gejala klinis lain

Hemiplegia kontralateral (lengan lebih berat


dari tungkai) hemihipestesia kontralateral

Afasia global (hemisfer dominan) Hemi-neglect


(hemisfer non-dominan), agnosia, defisit visuospassial apraksia, disfagia
Afasia motorik (hemisfer dominan)
Hemi-neglect (hemisfer non-dominan), hemianopsia, disfagia
Afasia sensorik (hemisfer dominan)
Agnosia afektif (hemisfer non-dominan)
Kontruksional apraksia
Afasia sensoris transkortikal (hemisfer dominan)
Visual dan sensoris neglect sementara. (hemisfer
non-dominan)
Afasia transkortikal (hemisfer dominan), Apraksia
(hemisfer non dominan) perubahan perilaku dan
personalitas Inkontinensia urin dan alvi

A. Serebri media (bagian atas)

Hemiplegia kontralateral(lengan lebih berat


dari tungkai)hemiestesia kontralateral

A. Serebri media (bagian bawah)

Tidak ada gangguan

A. Serebri media dalam

Hemiparese kontralateral
Tidak ada gangguan sensoris, atau ringan sekali

A. Serebri anterior

Hemiplegia kontralateral (tungkai lebih berat dari


lengan) hemiestesia kontralateral (umumnya ringan)

Sindrom sirkulasi posterior


A. Basilaris (total)

A. Serebri posterior

Pembuluh darah kecil


Lacunar Infark

Kuadriplegia. Sensoris umumnya normal

Hemiplegia sementara, berganti dengan pola gerak


chorea pada tangan.hipestesia atau anestesia
terutama pada tangan

Gangguan kesadaran sampai ke sindrom lock-in


Gangguan saraf kranial yang menyebabkan diplopia,
disartria, disfagia, disfonia.
Ganggguan emosi
Gangguan lapang pandang bagian sentral,
Prosopagnosia, Aleksia

Gangguan motorik murni, Gangguan sensorik murni


Hemiparesis ataksik, Sindrom Clumsy Hand

Stroke hemoragik memiliki sejumlah penyebab. Ada 4


tipe yang paling umum, yaitu perdarahan hipertensif
intrakranial, ruptur aneurisma sakular, perdarahan dari AVM
(arteriovenous malformation) dan perdarahan spontan di
daerah lobus.
Gangguan Fungsi akibat Stroke
Dalam rehaebilitasi medis, istilah fungsi merujuk pada
kemampuan/ketrampilan seseorang untuk melakukan
aktivitas sehari-hari, aktivitas hiburan atau hobi, pekerjaan,
interaksi sosial dan perilaku lain yang dibutuhkan. Aktivitas
sehari-hari seseorang tentu sangat luas, individu yang satu
berbeda dengan individu lain. Aktivitas sehari-hari yang
perlu dinilai adalah kemampuan dasar dalam melakukan
aktivitas perawatan diri sendiri yaitu makan-minum, mandi,
berpakaian, berhias, menggunakan toilet, kontrol buang air
kecil dan besar, berpindah tempat (transfer), mobilitas-jalan,
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Januari 2009

Tabel 4. Sindrom Hemoragik 4


Area yang terkena

Sensomotorik

Gejala Klinis lain

Putamen
(apsula interna, basal
ganglia)

Hemiplegia kontralateral

Stupor/Koma dengan
kompresi batang otak
krigiditas deserebrasi

Hemiplegia kontralateral
Gangguan sensoris
berat semua modalitas

Afasia (hemisfer
dominan)
Gangguan lapangan
pandang
Sindrom Horner

Kuadriparesis, kuadriplegia
Hemiparesis ringan
gangguan koordinasi,
ataksia

Sindroma lock in
Rigiditas deserebrasi
Vertigo/dizziness,
Nausea, vomiting
Nystagmus Disfagia,
disartria

Talamus
(talamus, kapsula
interna)

Pontin
(pons, batang otak,
midbrain)
Serebelum

63

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer


didefinisikan sebagai kerusakan atau proses abnormal
yang terjadi di dalam organ atau sistem organ tubuh.
Contoh patologi: stroke non-hemoragik yang disebabkan oleh trombosis, hipertensi, diabetes mellitus,
dan sebagainya.
1. Impairment (gangguan organ atau fungsi organ)
Impairments merupakan akibat langsung dari patologi,
didefinisikan sebagai hilang atau terganggunya struktur
atau fungsi anatomis, fisiologis, atau psikologis tubuh.
Contoh impairment adalah hemiparesis, afasia, disartria,
disfagia, depresi dan lain sebagainya.
2. Disability (ketidakmampuan)
Disability didefinisikan sebagai keterbatasan atau
hilangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas yang
umum dapat dilakukan oleh orang lain yang normal
karena impairment yang dideritanya. Contoh disability: adalah ketidak mampuan berjalan (akibat hemiparesis), ketidakmampuan berkomunikasi (akibat afasia,
disatria) atau ketidakmampuan melakukan perawatan diri
sendiri seperti berpakaian (akibat hemiparesis, gangguan
kognitif, gangguan sensoris dan lain-lain)
3. Handicap (keterbatasan dalam peran)
Handicap atau kecacatan merupakan suatu konsekuensi
sosial dari penyakit, didefinisikan sebagai terganggu
atau terbatasnya kemampuan aktualisasi diri dan untuk
berperan secara sosial, budaya, ekonomi dalam keluarga
dan lingkungan bagi individual tertentu akibat impairment dan disability yang dideritanya. Contoh handicap adalah ketidakmampuan berperan sebagai ayah
bermain dengan anaknya (karena hemiparesis yang
menyebabkannya sulit bergerak atau berjalan), tidak
dapat bekerja (karena kesulitan berjalan ke tempat kerja,
melakukan pekerjaan sebelumnya) dan lain sebagainya.
Pada tahun 2001 WHO mempublikasikan revisi dari
ICIDH menjadi ICF (International Classification of Functioning) dimana istilah disability dan handicap diganti
menjadi activity and participation.5-7 Revisi ini secara prinsip
tidak terlalu banyak berbeda dengan ICIDH, hanya didefinisikan lebih positif, yaitu disability (ketidakmampuan)
diganti menjadi activity (kemampuan fungsional penderita),
sedangkan handicap (kecacatan) diganti menjadi participation (peran-serta penderita dalam kehidupan sesuai
dengan ketidak-mampuan, aktivitas, kondisi kesehatan dan
faktor kontekstual lainnya ). Rehabilitasi medis tidak hanya
berfokus pada apa yang pasien tidak mampu lakukan namun
juga pada apa yang pasien masih mampu lakukan.
Proses Pemulihan setelah Stroke
Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas
pemulihan neurologis (fungsi saraf otak) dan pemulihan
fungsional (kemampuan melakukan aktivitas fungsional).
64

Health condition
(Disorder or Disease)

(Disorder or Disease)

Body functions
and structure

Activities

Participation

Environmental
factors

Personal
factors

Gambar 1. Rehabilitation Model: ICF7

Pemulihan neurologis terjadi awal setelah stroke. Mekanisme


yang mendasari adalah pulihnya fungsi sel otak pada area
penumbra yang berada di sekitar area infark yang sesungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya
kembali sirkuit saraf yang sebelumnya tertutup atau tidak
digunakan lagi. Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan
pemulihan neurologis yang terjadi.
Setelah lesi otak menetap, pemulihan fungsional masih
dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam
3-6 bulan pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi
fokus utama rehabilitasi medis, yaitu untuk mengembalikan
kemandirian pasien mencapai kemampuan fungsional yang
optimal. Proses pemulihan fungsional terjadi berdasarkan
pada proses reorganisasi atau plastisitas otak melalui:
1.

Proses Substitusi
Proses ini sangat tergantung pada stimuli eksternal yang
diberikan melalui terapi latihan menggunakan berbagai
metode terapi. Pencapaian hasilnya sangat tergantung
pada intaknya jaringan kognitif, visual dan proprioseptif,
yang membantu terbentuknya proses belajar dan
plastisitas otak.

b. Proses Kompensasi
Proses ini membantu menyeimbangkan keinginan
aktivitas fungsional pasien dan kemampuan fungsi
pasien yang masih ada. Hasil dicapai melalui latihan
berulang-ulang untuk suatu fungsi tertentu, pemberian
alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku, atau
perubahan lingkungan.
Pemilihan jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada
pertimbangan beratnya gejala-sisa stroke, fase stroke saat
terapi, penyakit penyerta dan atau komplikasi medis, serta
berbagai faktor terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi,
serta dukungan dan ekonomi keluarga. Sebagai contoh pasien
usia lanjut, penderita PPOK yang mendapat stroke akibat
oklusi total a.cerebri media tentu tidak mungkin diberikan
program rehabilitasi substitusi agar ia dapat berjalan dan
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer


mandiri penuh dalam aktivitas sehari-harinya, rehabilitasi
kompensasi tentu lebih tepat untuknya.
Intervensi Rehabilitasi Medis pada Stroke
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam
beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai
sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis
intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:
1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan
stroke
2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca
stroke
3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
Rehabilitasi Stroke Fase Akut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil,
umumnya dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat
biasa ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan
perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di rawat di unit
stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi
lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya
di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.9
Rehabilitasi pada fase itu tidak akan di bahas lebih lanjut
dalam makalah ini, karena memerlukan penanganan
spesialistik di rumah sakit.
Rehabilitasi Stroke Fase Subakut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya
sudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali
bagi pasien yang memerlukan penanganan rehabilitasi yang
intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien pulang dengan
gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya
(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat
berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya.
Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang
bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi
rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang
optimal.
Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis
mungkin dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer.
Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci terutama
mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan
peralatan canggih.
Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali
untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan
berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak
akan melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi
otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang paling sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui
rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar
mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai
oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang
lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan


yang terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta
mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak.
Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:
1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila
anggota gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk
mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/
beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun
sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit.
Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah,
mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan
sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak
kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila
ada kebutuhan akan gerak tersebut. Bila ekstremitas
yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali,
presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.
2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah
gerak fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan
tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan meraih,
memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak
fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian
bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal
lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan.
Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksiekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi
saja. Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak
begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional,
namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk
sirkuit yang baru.
3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk
melakukan gerak fungsional yang normal, jangan biarkan
menggunakan gerak abnormal. Gerak normal artinya sama
dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih
terlalu lemah, berikan bantuan tenaga secukupnya
dimana pasien masih menggunakan ototnya secara
aktif. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak
menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak
pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien
mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan
ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada
dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan tenaga
yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan
pemulihan pasien.
4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang
tubuh sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan
berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk
statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila
pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak
bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu
tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas
duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat
mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh
65

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Gambar 2. Latihan dengan Bantuan


Bantuan terapis disesuaikan dengan kemampuan pasien. Terapis dapat melakukan kontrol tenaga pasien dalam bergerak,
dengan meniadakan gerak ikutan ataupun gerak sinergis.

5.

6.

66

doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan


dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu
sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping
untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh
selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik.
Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan
aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional
optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan
aktivitas sambil berjalan.
Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan
terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan
memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara
fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan
kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian
tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada
pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi
dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai
dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga
menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan
denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu
dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien.
Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak
sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya
sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan
sesering mungkin.
Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila
ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan
semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik
dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisahpisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang
harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi
pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar
untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas

fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.


Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan
untuk:
1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan fungsional yang paling optimal
3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas
sehari-hari
4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental
Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring
Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai
kemampuan duduk stabil serta mulai belajar berdiri dan jalan,
cenderung akan lebih lama masa tirah baringnya di rumah.
Keluarga seringkali memanjakan pasien dengan membantu
secara berlebihan dan menjadikan pasien terbaring pasif
menunggu kondisi menjadi lebih baik, dan gerak menjadi
lebih mudah. Akan tetapi tirah baring lama menyebabkan
pasien bertambah lemah, lebih cepat lelah karena stamina
makin rendah, gerak semakin bertambah berat karena semua
anggota gerak menjadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi
lain. Keluarga dan pasien harus disadarkan bahwa tirah baring berkelanjutan akan lebih banyak membawa dampak buruk
dari pada baik. (Tabel 5).
Selain itu pemulihan fungsional mempunyai periode
emas yang terbatas waktunya; stimulasi yang diberikan pada
3 bulan pertama akan lebih memberikan hasil dibandingkan
fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-siakan. Pasien harus
diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas
sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan diprogramkan dengan durasi dan frekuensi latihan secara
bertahap ditingkatkan.

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer


Tabel 5. Komplikasi Tirah Baring10
Sistem tubuh

tidak berlebihan dan mengganggu gerak fungsional yang


akan dilatih. Pemberian posisi yang tepat sebagai
antisipasi sudah harus dimulai sejak awal dan diterapkan
dalam seluruh aktivitas.

Efek terhadap sistem tubuh

Sistem Kardiovaskuler Denyut nadi meningkat ketuk/menit


setiap hari selama 3-4 minggu
Ortostatik hipotensi
Risiko terjadinya Deep Vein Trombosis
dan emboli pulmonal
Viskositas darah meningkat
Sistem Respirasi
Retensi sputum dan menurunnya
oksigenasi
Kecepatan pernafasan meningkat
Risiko terjadinya pneumonia
Sistem Muskuloske Kekuatan dan massa otot menurun
letal
Perubahan histologi otot
Perubahan kelenturan sendi
(kontraktur)
Osteoporosis
Sistem Metabolik
Persentase lemak tubuh meningkat
dan Endokrin
Hipercalcaemia
Toleransi glukose menurun dalam 3 hari
tirah baring
Sistem Integumen
Decubitus ulcers
Sistem Gastrointes Konstipasi
tinal
Refluks Gastroesofageal
Sistem Urogenital
Awal volume urin meningkat, kemudian
menurun /stasis
Inkontinensia urine
Sistem Saraf Pusat
Perubahan pada afeksi
Penurunan kognitif dan persepsi

Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan fungsional yang paling optimal


Berbagai komplikasi dapat timbul setelah stroke yang
dapat membatasi pemulihan kemampuan fungsional yang
seharusnya dapat dicapai. Karena kondisi tersebut sebagian
besar dapat dicegah, maka meningkatkan pemahaman
keluarga dan pasien sangat penting dan krusial.
1. Mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi
Fungsi otot bergerak (berkontraksi) memendek dan
memanjang. Bila otot diam pada satu posisi tertentu dalam
waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan kaku
pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih
besar untuk kontraksi memendek ataupun memanjang.
Demikian pula berlaku pada sendi, yang akan menjadi
kering dan kaku. Kedua kondisi ini membuat pasien yang
karena kelumpuhannya sudah sulit bergerak menjadi
tambah tidak mungkin bergerak. Latihan mencapai
lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai
latihan regangan otot sedikitnya 2 kali per hari
diperlukan.
2. Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan
Setelah stroke akan terbentuk spastisitas dan pola gerak
khas yaitu pola sinergis fleksor atau ekstensor (Tabel 6).
Pada umumnya, akan terbentuk pola sinergis fleksor pada
ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas bawah pola
sinergis ekstensor. Spastisitas dan pola gerak sinergis
tidak dapat dihilangkan akan tetapi perlu dikontrol agar
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Tabel 6. Pola Sinergistik 11


Bagian tubuh Pola sinergis fleksor

Pola sinergis
ekstensor

Ekstremitas atas Retraksi bahu


Abduksi bahu
Rotasi eksternal lengan
Fleksi siku
Supinasi tangan
Fleksi pergelangan
tangan
Fleksi jari-jari tangan
Ekstremitas
Fleksi panggul
bawah
Abduksi panggul
Rotasi eksternal
panggul
Fleksi lutut
Dorsifleksi pergelangan
kaki
Eversi pergelangan kaki
Ekstensi jari-jari kaki

Protraksi bahu
Adduksi bahu
Rotasi internal lengan
Ekstensi siku
Pronasi tangan
Ekstensi pergelangan
tangan
Fleksi jari-jari tangan
Ekstensi panggul
Adduksi panggul
Rotasi internal paha

3.

Ekstensi lutut
Plantar fleksi pergelangan kaki
Inversi pergelangan kaki
Fleksi jari-jari kaki

Posisi antisipasi adalah posisi sebaliknya dari pola gerak


yang akan timbul. Pada ekstremitas atas misalnya,
cenderung timbul spastisitas fleksor, maka lengan
diupayakan selalu dalam posisi ekstensi apabila tidak
sedang latihan. Pasien diberikan motivasi secara sadar
menggunakan posisi antisipasi pada saat tidur, duduk
serta berdiri dan bergerak. Pasien seringkali lebih memilih
posisi yang menyenangkan baginya. Posisi yang
menyenangkan dan terasa nyaman belum tentu
merupakan posisi yang baik untuknya.
Mencegah timbulnya nyeri.
Nyeri sering terjadi setelah stroke dan sangat
mengganggu terapi latihan. Nyeri dapat merupakan akibat
atau komplikasi dari stroke. Lesi yang mengenai area
talamus seringkali menimbulkan nyeri yang disebut
sebagai thalamic pain syndrome. Nyeri jenis itu
disebabkan oleh gangguan sensorik sentral dimana
interpretasi stimulus yang datang dari luar diterima
sebagai rasa nyeri di otak. Sayangnya nyeri tersebut
tidak selalu mudah diatasi, namun dapat dicoba dengan
pemberian trisiklik antidepresan atau antikonvulsan.
Sebagian besar nyeri pasca stroke merupakan nyeri
muskuloskeletal, terutama pada bahu sisi yang terkena.
Penyebab utamanya seringkali adalah penanganan bahu
yang salah atau kurang tepat, seperti dalam penempatan
bahu saat tidur miring ke sisi sakit sehingga bahu tertindih
tubuh, atau saat duduk bahu tidak tersanggah dengan
baik. Saat membantu pasien pindah tempat (transfer) dan
saat membantu dalam aktivitas sehari-hari, misalnya
67

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer

Gambar 3. Membantu Berpakaian.


Memegang lengan di bagian distal saat membantu berpakaian (A) dapat menimbulkan tarikan pada bahu yang dapat menimbulkan
nyeri. Lengan harus ditunjang dengan baik sampai proksimal (B).

berpakaian (Gambar 3), ataupun cara melatih yang salah


pada bahu sisi yang lumpuh, menyebabkan terjadinya
tendinitis, kapsulitis, cedera otot-otot gelang bahu, nyeri
miofascial, dan atau nyeri neuropatik.
Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan
nyeri saat otot digerakkan. Pencegahan merupakan upaya
utama daripada mengobati yang telah terjadi. Edukasi
untuk mencapai pemahaman mengenai pemberian posisi
yang tepat, cara membantu pasien dalam transfer atau
aktivitas sehari-hari serta cara berlatihan oleh karena itu
sangat penting diberikan pada pasien dan keluarganya.
Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan
Aktivitas Sehari-hari
Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas
sehari-hari setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi
stroke fase subakut. Terapi latihan dan remediasi yang
diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan latihan
spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode
pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi
yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi medis pasien.
Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif apabila
terpenuhi beberapa kondisi yaitu:
1. Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau
pemendekan otot. Apabila ada, maka kondisi tersebut
perlu diatasi terlebih dahulu.
2. Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai
melalui latihan yang diberikan. Kesulitan pemahaman
68

terjadi pada pasien afasia sensorik dan gangguan


kognitif. Pemberian stimulasi untuk kemampuan
pemahamanan bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan
ke dalam terapi latihan.
Gangguan Komunikasi
Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain
melibatkan bermacam-macam fungsi, yang utama adalah
kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan fungsi
bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi
bicara disebut disartria.
1.

Afasia
Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk memformulasikan dan menginterpretasikan simbol bahasa.
Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada mekanisme
bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer
dominan.
Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:
a. kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara
spontan)
b. kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman
auditori)
c. kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan
(bahasa simbol)
d. kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca
(pemahamanan visual)
e. menamakan
f. meniru
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer


Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu
beberapa atau bahkan semua kemampuan berbahaya (afasia
global). Secara umum afasia dibedakan menjadi afasia motorik,
afasia sensorik, afasia transkortikal sensorik, afasia
transkortikal motorik, afasia anomik dan afasia global.
Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting
untuk kemandirian aktivitas fungsional, artinya semakin berat
gangguan afasia sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai
kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa
afasia bukan gangguan pendengaran, jadi tidak perlu
berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan
kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam
setiap kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi
auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan
dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar).
Pasien afasia jangan diajarkan mengeja huruf, karena akan
membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan fungsi
hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu,
menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah
pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.
2.

Disartria
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam
mengekspresikan bahasa verbal, akibat kelemahan,
spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ
bicara dan artikulasi.
Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain
respirasi, fonasi/suara, artikulasi, resonansi dan prosodi.
Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria
flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik.
Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria,
antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan,
meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara
dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot
pernapasan.

Gangguan Fungsi Luhur


Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling
luhur pada manusia, yang membedakan manusia dengan
mahkluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini melibatkan jaringan
yang rumit dan kompleks serta sulit untuk dipisahkan karena
saling terkait satu sama lain. Untuk memudahkan pemahaman,
fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa,
fungsi memori, fungsi visuospasial, fungsi emosi dan fungsi
kognisi. Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya
fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi kognisi antara lain
kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi, kategorial,
kalkulasi, persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan serta
pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan baik buruk,
bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain sebagainya. Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur
memerlukan rehabilitasi spesifik. Rehabilitasi untuk mengembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguan
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2008

fungsi kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu


lebih lama. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah
hemi-neglect. Pasien dengan gangguan hemi-neglect
umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan dan mengabaikan
semua yang berada di sisi kirinya. Pasien tersebut seringkali
berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh
tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak
menyadari ada makanan atau minuman yang diletakkan di
sisi kirinya. Gangguan hemi-neglect paling parah adalah ia
tidak mengenali tangan kirinya sebagai bagian dari tubuhnya.
Gangguan ini tidak sama dengan hemianopsia, dimana lapang
pandang pasien menjadi terbatas.
Gangguan Menelan
Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden
gangguan menelan akibat stroke cukup banyak berkisar
antara 30-65%.2,11,12 Sekitar 30% akan pulih dalam 2 minggu,
sisanya akan pulih dalam bulan-bulan berikutnya. Disfagia
merupakan gejala klinis penting karena menempatkan pasien
pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain dehidrasi dan
malnutrisi.
Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya
gangguan menelan. Mendeteksi adanya disfagia dapat
dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai berikut:
1. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.
2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada
keseimbangan duduk, perlu diberikan tunjangan bantalan
agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.
3. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien
untuk menelan dengan kepala sedikit menunduk.
4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat
mencoba menelan.
5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada
laring, rasakan apakah terjadi elevasi laring yang
menunjukan terjadinya proses menelan. Monitor apakah
ada keterlambatan atau terjadi proses menelan yang
inkomplit.
6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf aaaa..... Monitor suara yang terdengar kering atau basah/serak.
7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi
menyuarakan huruf aaa.... Monitor kembali bagaimana
suara yang terdengar.
Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara
menjadi basah, maka makan dan minum per oral harus
dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi menelan
lebih lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow
study) atau FEES (fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing).5,11,12
Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi
Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya
adalah uninhibited bladder yang menimbulkan inkontinensia
urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi, namun
69

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer


harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya
residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari
50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan menyebabkan
timbulnya infeksi kandung kemih.
Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat
diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta
jumlah minum dan urine pada voiding diary selama minimal
3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary tersebut
dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih
dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi
miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik dapat
membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio
urin.12
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada
umumnya adalah konstipasi akibat immobilisasi. Perlu diingat
bahwa diare yang timbul kemudian selain gastroenteritis juga
bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului
oleh obstipasi lama sebelumnya.
Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan
cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan
bila tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan berserat
tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan.
Gangguan Berjalan
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang
memerlukan tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah
saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi, keseimbangan
dan koordinasi.
Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan
bertahap, dimulai dari kemampuan mempertahankan posisi
duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan

dinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu


selalu diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi
00, lutut mengunci pada posisi ekstensi 00 sedangkan
pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat
badan tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar
yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang dipasang sejajar
merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan
kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat
melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan
koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam
paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan
memakai tripod, yaitu tongkat yang ujung bawahnya
bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak
jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot orthosis) atau sepatu khusus.
Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari
Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di
motivasi untuk mengerjakan semampunya aktivitas
perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena,
pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya
untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikutsertakan dalam semua kegiatan (Gambar 4). Semakin cepat
dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien
menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan
risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu
ditolong oleh keluarga.
Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental
Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu
berupaya untuk sedikit bergerak dan lebih banyak istirahat.

Gambar 4. Aktivitas Perawatan Diri


Pasien diberikan motivasi untuk mandiri melakukan aktivitas perawatan diri menggunakan tangan sisi sehat (A) atau mengikutsertakan tangan sisi yang sakit disanggah oleh tangan sisi yang sehat (B). Aktivitas sehari-hari seperti ini dapat dipakai juga sebagai terapi latihan.
70

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer


Keluarga seringkali membenarkan perilaku seperti itu,
menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan
mengharapkan kondisi seperti ini akan bertambah baik.
Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan untuk
aktivitas yang kecil sekalipun, seperti misalnya duduk
beberapa menit di kursi roda. Hal tersebut disebabkan oleh
endurans pasien menjadi rendah karena immobilisasi lama.
Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga yang
diperlukan untuk bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua
kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi cepat lelah.
Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal
aktif semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat
berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan
duduk di tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar
tidur. Waktu aktif dan istirahat dijadwalkan secara
proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi
untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan
dibiarkan untuk mengambil makananan pilihannya sendiri.
Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan bagi
pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang
bertargetkan hasil misalnya melempar bola masuk ke
keranjang, bowling kecil, main catur atau halma.
Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya sebentar,
namun bila dilakukan sesering mungkin akan memperbaiki/
meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans dengan
beban ringan selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan
latihan mengayuh sepeda statik atau menggunakan theraband atau karet ban dalam bekas.
Suasana hati yang murung juga membuat pasien merasa
cepat lelah dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan
tanggung jawab serta ungkapkan selalu bahwa peran serta
pasien sangat dibutuhkan oleh keluarga. Dengan demikian
pasien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna
bagi orang lain.
Rehabilitasi Stroke Fase Kronis
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak
berbeda dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini
sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk, membuat
pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil
latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk
memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya,
membuat gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga
semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot secara
bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai
aktivitas aktif yang optimal.
Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran
rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a)
Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum
sakit, (b) Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan
yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri penuh namun
tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal
dari orang lain atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar
atau sepenuhnya dibantu orang lain.
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2009

Kesimpulan
Dampak gejala sisa akibat stroke sangat bervariasi dan
kompleks. Rehabilitasi stroke memerlukan keterlibatan tenaga
profesional dalam bentuk tim yang membahas secara
berkesinambungan perkembangan hasil dan secara dinamis
menetapkan intervensi yang tepat dan sesuai. Namun tidak
semua pasien mudah mendapatkan pelayanan rehabilitasi
spesialistik. Walaupun demikian banyak hal yang masih dapat
dilakukan untuk membantu pasien dan keluarganya.
Mencegah komplikasi sekunder dan mengembalikan
kemandirian pasien dapat sekaligus meringankan beban
psikososial dan ekonomi keluarga. Profesi dokter di
pelayanan kesehatan primer yang menjadi ujung tombak di
masyarakat memiliki peran yang sangat penting.
Daftar Pustaka
De Freitas GR, Bezerra DC, Maulaz AB, Bogousslavsky J. Stroke:
background, epidemiology, etiology and avoiding recurrence. In:
Barnes M, Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after
Stroke. Cambridge, Cambridge University Press, 2005:1-46.
2. Brammer CM, Herring GM. Stroke Rehabilitation. In: Brammer
CM, Spires MC. (ed). Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:139-66.
3. Bronstein SC, Popovich JM, Stewart-Amidei C. Promoting Stroke
Recovery. A Research-Based Approach for Nurses. St.Louis,
Mosby-Year Book, Inc., 1991:13-24.
4. Bartels MN. Pathophysiology and Medical Management of Stroke.
In: Gillen G, Burkhardt A.(ed). Stroke Rehabilitation. A Functional-Based Approach. St. Louis, Mosby-Year Book, Inc., 1998:130.
5. Graham A. Measurement in stroke: activity and quality of life.
In: Barnes M, Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery
after Stroke. Cambridge, Cambridge University Press, 2005:13560.
6. ODell MW, Lin CD, Panagos A and Fung NQ. The Physiatric
History and Physical Examination. In: Braddom RL (ed). Physical Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders
Company, 2007:1-36.
7. Granger CV, Black T and Braun SL. Quality and Outcome Measures for Medical Rehabilitation. In: Braddom RL (ed). Physical
Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders
Company, 2007:151-64.
8. Wade DT. Measurement in Neurological Rehabilitation. Oxford,
Oxford University Press, 1994:3-14,26-34.
9. Wood-Dauphinee S, Kwakkel G. The impact of rehabilitation on
stroke outcomes: what is the evidence? In: Barnes M, Dobkin B
and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after Stroke. Cambridge,
Cambridge University Press, 2005:161-88.
10. Tong HC, Brammer CM. Deconditioning and Bed Rest. In:
Brammer CM, Spires MC.(ed). Manual of Physical Medicine and
Rehabilitation. Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:2219.
11. Harvey RL, Roth EJ, Yu D. Rehabilitation in Stroke Syndromes.
In: Braddom RL (ed). Physical Medicine & Rehabilitation. 3rd.
Edition. Elsevier, WB Saunders Company, 2007:1175-212.
12. Harwood R. Huwez F, Good D. Stroke Care. A Practical Manual.
Oxford, Oxford University Press, 2005.
1.

MS

71

Anda mungkin juga menyukai