Anda di halaman 1dari 34

A.

LATAR BELAKANG
Manusia sebagai subjek hukum merupakan bagian penting dalam
suatu negara yang dikenal sebagai subjek hukum internasional. Meskipun
begitu dibutuhkan perlindungan yang tertulis untuk melindungi manusia
yaitu dengan adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Hak Asasi
Manusia adalah hak yang melekat pada semua manusia, apapun
kebangsaan kita, tempat tinggal, jenis kelamin, asal kebangsaan atau etnis,
warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Kita semua sama-sama
berhak untuk hak asasi manusia tanpa diskriminasi. Hak-hak ini semua
saling terkait, saling tergantung dan tak terpisahkan.1
Setelah Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
membuat definisi tentang kejahatan baru yaitu kejahatan terhadap
kemanusiaan untuk menghukum tindakan pemerintah Jerman yang tidak
berkeperimanusiaan terhadap masyarakatnya sendiri dan warga negara lain
dengan alasan politik dan etnis. Pada Agustus 1945, komunitas
internasional mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi dan kejahatan tidak
berkeperimanusiaan lainnya yang bertentangan dengan penduduk sipil,
sebelum dan/atau saat berlangsungnya perang. Menurut Pasal 6 Piagam
Pengadilan Militer Internasional Nuremberg Charter yang dilampirkan
pada Persetujuan untuk Penuntutan dan Penghukuman Perang Mayor
Penjahat dari Axis Eropa London Agreement definisi kejahatan terhadap
1 United Nations of Human Right,
http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHuman Rights.aspx
diakses tanggal 20 September 2015 Pukul 19:05 WIB

kemanusiaan ini juga memasuki beberapa hal lain seperti penganiayaan


atas dasar politik, ras atau agama yang berhubungan dengan kejahatan
dalam yurisdiksi pengadilan, terlepas dari tindakan yang melanggar hukum
dalam negeri dari negara di mana kejahatan itu dilakukan.
Pada Desember 1946, Majelis Umum PBB sepakat untuk memakai
kejahatan terhadap kemanusiaan bersama dengan kejahatan terhadap
perdamaian

untuk

menegaskan

bahwa

masyarakat

internasional

bertanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan tersebut seperti yang


dicantumkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 95 (1946). Majelis
Umum PBB akhirnya mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi ini dikeluarkan
setelah Perang Dunia II dan menimbulkan akibat terhadap hak asasi
manusia yang memprihatinkan. Dengan berakhirnya Perang Dunia II serta
adanya Deklarasi ini masyarakat internasional bersumpah tidak akan
membiarkan kekejaman terhadap kemanusiaan terjadi lagi. Selain itu
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dianggap sebagai usaha yang
paling universal untuk menghargai hidup manusia.
Meskipun perkembangan normatif mengenai hak asasi manusia telah
muncul, namun masih banyak aspek perjanjian yang belum di
implementasikan secara konsisten dalam komunitas internasional karena
dalam kenyataannya

komunitas

internasional masih

diam dalam

menanggapi kejahatan terhadap hak asasi manusia. Sampai terjadinya


Konflik Balkan muncul pada tahun 1990 yang menimbulkan kejahatan
terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang. Akhirnya Dewan

Keamanan PBB mendirikan International Criminal Tribunal for the


former Yugoslavia (ICTY) berdasarkan Pasal 7 dalam Piagam PBB pada
bulan Mei 1993.2 Pada bulan November 1994, diadakan pula International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)3 sebagai hukuman terhadap
pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan saat Perang Sipil di Rwanda.
Setelah itu didirikan pula International Criminal Court (ICC) atau biasa
disebut Mahkamah Pidana Internasional pada bulan Juli tahun 1998, ICC
mulai berlaku pada bulan Juli tahun 2002 setelah diratifikasi oleh 60
negara. Kajian mengenai Hak Asasi Manusia dalam Pasal 7 Piagam PBB
diperluas oleh Statuta Roma.
Perjuangan untuk memuliakan dan menghargai hak hidup manusia,
sejak saat itu terus berlangsung, seiring dengan perang, penindasan serta
pengingkaran akan hak-hak asasi manusia yang juga tidak surut. Bahkan,
hal itu semakin meningkat dalam kualitas dan kuantitasnya. Mekanisme
Mahkamah Pidana Internasional dalam menjamin hak asasi manusia
adalah apabila dalam suatu negara terjadi ketidak mauan atau unwilling
serta ketidak mampuan atau unable dalam memberikan hak asasi manusia
terhadap warga negaranya. Apabila terjadi kejahatan terhadap hak asasi
manusia berat di dalam suatu negara namun negara itu sendiri tidak mau
dan tidak mampu dalam mengatasinya maka Mahkamah Pidana
2 Dokumen Resolusi Dewan Keamanan PBB 827 (1993)
http://www.un.org/icty diakses tanggal 20 September 2015 Pukul 21:30
WIB
3 Dokumen Resolusi Dewan Keamanan PBB 955 (1994) S/RES/955,
http://www.un.org/ictr Diakses tanggal 20 September 2015 Pukul 21:45
WIB

Internasional akan mengambil alih mekanisme pemidanaan terhadap


pelaku kejahatan tersebut.
Hadirnya Mahkamah Pidana Internasional sangat membantu
permasalahan kasus kejahatan hak asasi manusia yang serius. Berbagai
kasus-kasus kejahatan hak asasi manusia yang serius telah diadili oleh
Mahkamah Pidana Internasional, yang menegaskan bahwa para pelaku
kejahatan hak asasi manusia yang serius tidak mendapatkan lagi
perlindungan dari tanggung jawab dan sanksi kejahatan yg telah
dilakukannya atau impunitas dan mewujudkan keadilan bagi korban.
Kasus kasus yang ditangani oleh Mahkamah Pidana Internasional
memberikan keyakinan pada masyarakat internasional bahwa para pelaku
kejahatan tidak lagi mendapatkan hak impunitasnya. Sejumlah kasus yang
ditangani oleh Mahkamah Pidana Internasional diantaranya kasus
kejahatan perang di Republik Demokratik Kongo, kasus kejahatan
kemanusiaan di Pantai Gading dan kasus-kasus di Kenya, Uganda, dan
Libya. Sehingga Mahkamah Pidana Internasional dipercaya oleh
masyarakat internasional untuk menangani kasus kejahatan terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM) berat yang didalamnya termasuk kejahatan
kemanusiaan.
Salah satu kasus kejahatan kemanusiaan yang sekarang masih terjadi
adalah kejahatan kemanusiaan yang muncul di Korea Utara. Masyarakat
memberikan label kejahatan manusia terburuk terhadap Korea Utara
karena banyaknya batasan yang kuat terhadap warga negara Korea Utara
dalam kebebasan berpolitik dan kebebasan hidup mereka. Bukti bahwa

Korea Utara tidak mau dan tidak mampu dalam memberikan perlindungan
kepada warga negaranya adalah ketika Korea Utara menghadapi situasi
bencana kemanusiaan dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam sistem
kamp tahanan politik negara yang semakin memburuk.
Kejahatan terhadap kemanusiaan di Korea Utara di lakukan terhadap
warga negaranya sendiri secara khusus adalah dengan adanya laporan
pembunuhan di luar hukum, penghilangan, penahanan sewenang-wenang,
penahanan tahanan politik, kondisi penjara yang keras, dan penyiksaan
terus bermunculan. Selain itu, sistem peradilan negara yang lemah
terhadap otonominya sendiri dan sering kali gagal dalam prosesnya. 4 Bisa
dikatakan kejahatan kemanusiaan di Korea Utara sangatlah banyak dan
berbeda beda. Seharusnya pemerintah Korea Utara bertanggung jawab atas
kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi karena hal ini sangat
mengerikan dan bahkan menjadi endemik.
Komite untuk Hak Asasi Manusia di Korea Utara atau Human Rights
in North Korea (HRNK) dalam laporannya pada tanggal 30 Oktober 2006,
menyatakan bahwa pemerintah Korea Utara telah gagal dalam tanggung
jawabnya untuk melindungi warga negaranya sendiri dari pelanggaran
yang paling parah dalam hukum internasional dan mendesak respons
internasional yang kuat agar mengadili serta meminta pertanggung

4 Departemen Luar Negeri AS, Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Tenaga Kerja, "Manusia 2009 Hak Laporan : DPRK "
http://www.state.gov/g/drl/rls/hrrpt/2009/eap/135995.htm diakses tanggal 20 September
2015

jawaban tentang Pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara melalui


Dewan Keamanan PBB.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
ditarik perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Internasional?
2. Bagaimanakah implementasi Pengaturan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia dalam Hukum Internasional?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui bagaimana perlindungan yang diberikan oleh
Instrumen Hukum Hak Asasi Internasional terhadap korban kejahatan
kemanusiaan di Korea Utara.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1.

Kegunaan Teoritis
a. Memberikan khasanah perkembangan ilmu hukum khususnya
hukum Internasional, sehingga pengetahuan hukum dapat selaras
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Menambah wawasan pengetahuan bagi penulis dan pembaca di


bidang hukum Internasional khususnya tentang Instrumen Hukum

a.

Hak Asasi Manusia Internasional


2.
Kegunaan Praktis
Bagi para inisiator, pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan dalam
kaitannya dengan kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia serta Instrumen

b.

Hukum Hak Asasi Manusia Internasional


Secara subjektif bagi peneliti, penelitian yang akan dilakukan dengan topik
seperti yang telah ditetapkan sebagai syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana pada Program Sarjana pada Fakultas Hukum Universitan Jenderal

c.

Soedirman;
Bagi peneliti lain diharapkan dapat sebagai acuan untuk melakukan
penelitian dengan topik yang sama dengan kajian yang berbeda.
E. TINJAUAN UMUM
1. Tinjauan umum mengenai Pengaturan Hak Asasi Manusia
Dalam Hukum Internasional
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada semua manusia,
apapun kebangsaan kita, tempat tinggal, jenis kelamin, asal kebangsaan
atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Kita semua
sama-sama berhak untuk hak asasi manusia tanpa diskriminasi. Hak-hak
ini semua saling terkait, saling tergantung dan tak terpisahkan. 5 Menurut
Deklarasi Universal PBB aspirasi terpenting manusia itu menjelma
menjadi hak-hak asasi. HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap
manusia sehingga mereka diakui kemanusiaannya tanpa membedakan

5 situs United Nations Of Human Right,


http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx diakses
tanggal 20 September 2015 Pukul 19:05 WIB

jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, bangsa, status
sosial, kekayaan, dan kelahirannya.
Masalah HAM ditinjau dari Hukum Internasional menyangkut dua
aspek :
Pelaksanaan atau perlindungan HAM dimasa damai dan dimasa
sengketa bersenjata (perang). (Yasin Tasrif, 1999, 1)
1. Pelaksanaan HAM dimasa sengketa bersenjata diatur dalam
Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa
2. HAM dimasa damai diatur dalam International Bill of Human
Rights dan beberapa pengaturan hukum lainnya : (Yasin Tasrif, 1999,
6- 8)
a. The International Bills of Human Right yang terdiri dari 3
instrumen:
I. Universal Declaration of Human Rights 1948 (Deklarasi Universal
Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1948)
PBB melalui organisasi-organisasi independen seringkali masih
memaksakan definisi HAM berlaku bagi semua bangsa. Sementara itu,
setiap bangsa terbentuk dan dibentuk dari situasi dan sejarah masa lalu
yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya. Jika saja pemaksaan
kehendak dianggap melanggar HAM, maka pelaksanaan konsep HAM itu
sendiri tidak boleh dipaksakan begitu saja.

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal


Declaration of Human Rights/UDHR) yaitu hak asasi manusia sebagai
suatu baku pelaksanaan umum bagi semua bangsa dan semua negara,
dengan bahwa setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat senantiasa
mengingat pernyataan ini, akan berusaha, dengan cara mengajar dan
mendidik untuk mempertinggi penghargaan terhadap hak-hak dan
kebebasan-kebebasan ini dan dengan cara tindakan-tindakan progresif
secara nasional dan internasional, menjamin pengakuan dan pelaksanaan
yang umum dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara-negara
anggota sendiri maupun dari daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan
hukum mereka.6
Sementara itu Universal Declaration of Human Rights mempunyai
lima prinsip :
i. Prinsip tidak dapat diganggu gugat, bahwa setiap individu
mempunyai hak untuk dihormati kehidupannya, integritasnya baik
fisik maupun moral, dan atributatribut yang tidak dapat dipisahkan
dari personalitasnya (ada tujuh prinsip penerapan).
ii. Prinsip Non Discrimination, bahwa setiap individu harus
diperlukan sama tanpa membedakan ras, jenis kelamin, kedudukan
sosial, kekayaan, polotik, agama atau yang lainnya.
iii. Prinsip keamanan, bahwa setiap orang berhak terjamin keamanan
pribadinya.
6 Deklarasi HAM PBB 1948

iv. Prinsip kemerdekaan, bahwa setiap orang mempunyai hak untuk


dinikmati kebebasan individualismenya.
v. Prinsip kesejahteraan sosial, bahwa setiap orang mempunyai hak
untuk menikmati kondisi kehidupan yang menyenangkan.
II. The International Covenant on Economic, Social and Cultural
Right 1966 (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya Tahun 1966)
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan bagian tak
terpisahkan dari hak asasi manusia. Hak ekonomi, sosial dan budaya
mempunyai nilai intrinsik. Hak Ekosob menciptakan kondisi bagi
peningkatan kapabilitas dengan menghapuskan deprivasi. Hak-hak ini
memungkinkan kebebasan untuk menentukan cara hidup yang kita hargai. 7
Potensi manusia bisa diekspresikan melalui hak-hak sipil dan politik
namun pengembangan potensi tersebut membutuhkan keadaan-keadaan
sosial dan ekonomi yang memadai.8
Pendekatan HAM ini pada akhirnya menyadarkan masyarakat
internasional untuk membuat sebuah konvensi internasional tentang hak
ekonomi, sosial dan budaya. Kovenan internasional tentang hak asasi
manusia dalam bidang ekonomi terlaksana pada tahun 1966 dengan
menghasilkan International Covenant on Economic, Social and Cultural
7 Koordinator Nasional: Indonesia ESC Rights Action Network
8 Amartya Sen, Beyond Liberalization: Social Opportunity and Human
Capability, Institute of Social Sciences, New Delhi, 1994.

Rights (ICESCR). Kovenan tersebut merupakan derivasi dari deklarasi


universal HAM 1948.9 Pentingnya kesetaraan hak politik dan hak ekonomi
bagi suatu negara tercermin dalam pelaksanaan kerjasama antar negara
yang dilaksanakan atas dasar sama derajat tanpa terkait syarat-syarat
tertentu (conditionality).10
Negara-negara yang memiliki latar belakang ideologi liberalis
kapitalis tidak mendukung dilahirkannya ICESCR dengan alasan bahwa
negara tidak boleh intervensi atas kegiatan ekonomi. Sedangkan negaranegara sosialis mendukung kelahiran ICESCR ini dengan alasan bahwa
negara memiliki tanggungjawab untuk mensejahterahkan rakyatnya.
Jalan tengah perdebatan tersebut adalah dengan dikeluarkanya dua
konvesi atas derivasi deklarasi universal HAM 1948, yaitu Kovenan Hak
Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Latar
belakang perdebatan ideologis ini diakui oleh Verloren Van Themaat.
Menurut beliau bahwa dalam tertib ekonomi internasional terdapat dua
sistem ekonomi yang berbeda. Pertama adalah negara-negara yang
menganut pada prinsip liberalisasi pasar yang dikenal dengan negara
kapitalis. Kedua adalah negara-negara sosialis yang menganut pentingnya
intervensi negara dalam bidang ekonomi.

9 Artikel Hak Asasi Ekonomi http://maylisa-ap.blogspot.com/2012/04/ham-hak-asasi-ekonomi.html, diakses pada


tanggal 4 Desember 2015 pukul 18.35
10 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia
Pustaka Utama, 2009, Hlm. 237

Namun jika disesuaikan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi


Manusia, cita-cita umat manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan
dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat dicapai apabila diciptakan
kondisi dimana setiap orang dapat menikmati baik hak hak ekonomi, sosial
dan budayanya, maupun hak sipil dan politiknya. 11 Pelanggaran terhadap
hak ekosob merupakan suatu masalah negara yang sulit dipecahkan. Bila
dibandingkan dengan pelanggaran hak sipil dan politik yang telah
memiliki mekanisme yang memadai, hak ekosob belum sepenuhnya
memiliki mekanisme dalam menangani pelanggaran atasnya.
Tanggung jawab negara ( state obligation ) dalam memajukan hakhak ekonomi , sosial dan budaya tidak hanya dalam bentuk obligation of
result ,tetapi sekaligus dalam bentuk obligation of conduct. 12 Dalam
konsep tanggung jawab ini, kebijakan negara dalam memajukan hak-hak
ekosob harus dapat menunjukkan terpenuhinya kedua bentuk kewajiban
itu. Artinya ketika negara merancang kebijakan kesehatan, ia harus sudah
menimbang hasilnya dapat menjamin terpenuhinya hak atas kesehatan
tersebut. Begitu pula negara harus menyediakan sarana yang memberi
akses kepada rakyat apabila hak tersebut tidak terpenuhi. Seperti yang
tampak diterapkan oleh pemerintahan saat ini, negara tetap memikul
kewajiban untuk merealisasikan hak-hak ekosob warga negaranya dalam
11 resolusi Majelis Umum PBB 2200 A (XXI): Kovenan Internasional tentang
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, tertanggal 16 Desember 1966.

12 Ifdhal Kasim , Prolog : Pelanggaran Hak Hak Ekonomi, Sosial dan


Budaya dalam Buku : Majda El Muhtaj , Dimensi Dimensi HAM :
Mengurai hak ekonomi, sosial dan budaya , Jakarta, 2008 , hal xxx

kerangka sistem ekonomi. Akan tetapi, apabila kebijakan ekonomi negara


tersebut gagal dalam memberi jaminan terhadap pemenuhan hak-hak
ekosob warga negaranya, maka negara tersebut dapat dikatakan melanggar
hak-hak yang terdapat dalam Kovenan Internasional hak ekonomi, sosial
dan budaya ( International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights).13
III. The International Covenant on Civil and Political Right 1966
(Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1966)
Setelah dikeluarkannya Universal Declaration of Human Rights
pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi HAM PBB
untuk merancang Kovenan tentang hak sipil dan politik memuat sebanyak
mungkin ketentuan Pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat
mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Komisi HAM PBB
tersebut berhasil menyelesaikan rancangan Kovenan sesuai dengan
keputusan Majelis Umum PBB pada 1951, dan setelah dilakukan
pembahasan Pasal demi Pasal, pada akhirnya Majelis Umum PBB melalui
Resolusi No.2200 A (XXI) mengesahkan International Covenant on Civil
and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik), dan Optional Protocol to the International Covenant on Civil and
Political Rights (Opsional Protokol Kovenan Internasional tentang Hak

13 Jurnal Pelaksanaan Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia


atas Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia Perwakilan Sumatera Barat
http://repository.unand.ac.id/20039/4/BAB%20I.pdf diakses tanggal 15
December 2015 pukul 07.00 WIB

Sipil dan Politik secara bersama-sama pada 16 Desember 1966 dan berlaku
pada 23 Maret 1976.
International Covenant on Civil and Political Rights atau biasa
disingkat dengan ICCPR bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok
HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal
Declaration of Human Rights sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang
mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain
yang terkait. Konvenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal
yang mencakup 6 BAB dan 53 Pasal.14
Apabila Deklarasi Universal dirumuskan sebagai perintah yang harus
dipatuhi kepada negara-negara untuk melindungi hak-hak tertentu, ICCPR
disusun untuk menjawab masalah-masalah praktis dalam hal perlindungan
hak asasi.
Menurut Ifdhal Kasim dalam bukunya yang berjudul hak sipil dan
politik, cetakan pertama tahun 2001, beliau menyimpulkan bahwa hak-hak
sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat
pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh
negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam
bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab
negara. Demikianlah, Kovenan ini menjabarkan secara lebih spesifik hakhak yang dapat dilindungi dan menyatakan dengan cukup jelas pembatasan
14 Artikel Mengenal Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
http://icjr.or.id/mengenal-kovenan-internasional-hak-sipil-dan-politik/
diakses pada tanggal 13 Desember 15

yang dapat dikenakan terhadap penggunaan hak-hak tertentu dalam


keadaan tertentu.
Selain itu, hak-hak yang tercantum dalam ICCPR tidak sepenuhnya
sesuai dengan hak-hak yang dicantumkan dalam Deklarasi Universal.15
Dalam Kovenan itu dicantumkan kewajiban negara untuk mengizinkan
individu-individu yang merupakan anggota suatu minoritas etnis, agama
atau bahasa untuk menikmati kebudayaan mereka, menyatakan dan
mempraktekkan agama mereka atau menggunakan bahasa mereka sendiri
dalam komunitas bersama dengan anggota-anggota lain kelompok itu
(Pasal 27).
Hal lainnya yang dicantumkan adalah hak untuk bebas dari hukuman
penjara karena gagal memenuhi kewajiban kontrak (Pasal 11); hak semua
orang hukuman untuk diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati
martabat mereka sebagai manusia (Pasal 10 (1)); dan hak atas perlindungan
istimewa untuk anak-anak (Pasal 24). Yang tidak dimasukkan dalam
Kovenan

ini

adalah

hak

suaka,

hak

untuk

memperoleh

suatu

kewarganegaraan, dan hak untuk memiliki kekayaan sendiri.


Pembatasan hak harus juga segara diinformasikan secara tertulis
kepada negara-negara peserta kovenan yang lain melalui Sekretaris Jendral
PBB, dengan disertai alasan mengapa hal itu dilakukan. Beberapa hak
tertentu juga tunduk pada apa yang dinamakan oleh Profesor Rosalyn
Higgins sebagai ketentuan clawback, yang mengizinkan dikenakannya
15 T. van Boven, Distinguishing Criteria of Human Rights, dalam Vasak,
Vol. 1, hlm 43

pembatasan hak demi melindungi keselamatan umum, ketertiban umum,


kesehatan atau moral umum atau hak serta kebebasan asasi orang-orang
lain.16
Perlu dicatat bahwa kewajiban ini bersifat mutlak dan harus segera
dijalankan. Perlu juga dicatat bahwa hak-hak itu harus diberikan kepada
semua individu yang berada dibawah yurisdiksi negara itu, apapun
kewarganegaraannya. Hal ini tidak hanya mencakup yurisdiksi teritorial
negara itu, tetapi juga yurisdiksi negara terhadap pribadi warga negaranya
yang berada di luar negeri.
Dengan adanya tiga instrumen perjanjian tersebut maka kepastian
terlaksananya HAM lebih kuat. Dalam International Bill of Human Right
tidak hanya melihat secara moral tetapi juga mengikat secara hukum bagi
negara-negara yang meratifikasi perjanjian ini.
b. Pengaturan diluar Internation Bill of Human Rights
Perkembangan instrumen hak asasi manusia juga semakin
menjelaskan tak terpisahkannya hak-hak sipil dan politik dan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi Hak Anak tegas
melibatkan perlindungan terhadap kedua isu hak tersebut.
I. Convention on the Right of Child 1989 (Pengaturan Hak Asasi
Manusia dalam Konvensi Hak Anak 1989)
16 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, PT. Temprint, Jakarta, 1994, hlm
108

Konvensi Hak-Hak Anak merupakan instrumen yang merumuskan


prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak.
Konvensi Hak-Hak anak merupakan hasil dari konsultasi dan pembicaraan
negara-negara, lembaga-lembaga PBB dan lebih dari lima puluh organisasi
Internasional (Joni&Tanamas, 1999).
Dalam Mukadimah Konvensi Hak-Hak anak, di jelaskan bahwa latar
belakang disahkannya Konvensi tersebut adalah berdasarkan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, PBB menyatakan bahwa anak-anak berhak
atas perawatan dan bantuan khusus. Selain itu juga disebutkan bahwa,
demi pengembangan kepribadian secara utuh dan harmonis, anak harus
dibesarkan dalam lingkungan keluarga, dalam suasana kebahagiaan, kasih
sayang dan pengertian.
Dalam Mukadimah juga disebutkan, sebagaimana dinyatakan dalam
Deklarasi mengenai Hak-hak Anak yang diadopsi pada tanggal 20
November 1959, berhubung ketidakmatangan jasmani dan mentalnya,
maka anak membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus termasuk
perlindungan hukum selayaknya, sebelum dan sesudah kelahiran.
Latar belakang disahknya Konvensi Hak-Hak Anak secara praktis
muncul karena penegakan hak-hak anak sebagai manusia dan sebagai anak
masih sangat memprihatinkan. Pada kenyataannya anak masih terus
terekpolitasi, baik secara ekonomi, yaitu dengan menjadi pekerja anak,
anak jalanan, ekspoitasi seksual, penculikan sampai dengan perdagangan
anak. Bermacam-macam bentuk eksploitasi terhadap pekerja anak baik

disektor formal maupun informal telah menyingkirkan hak anak untuk


memperoleh pendidikan, kesejahteraan, serta menikmati masa kanakkanak untuk belajar dan bermain.
Konvensi Hak-Hak Anak tahun 1989 yang disepakati dalam sidang
Majelis Umum (General Assembly) PBB ke-44, yang selanjutnya telah
dituangkan dalam Resolusi PBB No. 44/25 Tanggal 5 Desember 1989.
Berdasarkan materi hukum yang tercakup dalam Konvensi Hak-Hak Anak,
maka dapat dikualifikasikan beberapa isi Konvensi, yaitu:
1. Penegasan hak-hak anak
2. Perlindungan anak oleh negara
3. Peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, dan swasta)
dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak
Berdasarkan sistematikanya, Konvensi Hak-Hak Anak terdiri atas
beberapa bagian, yaitu:
1. Preambule
2. Substansi
3. Mekanisme penerapannya
Konvensi Hak-Hak Anak terdiri dari 54 (limapuluhempat) Pasal
yang berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan
mekanisme implementasi hak anak oleh negara peserta yang meratifikasi
Konvensi Hak-Hak Anak. Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam
Konvensi Hak-Hak anak dapat dikelompokkan dalam 4 kategori hak-hak
anak, yaitu:

a. Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak


dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan
dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk memperoleh
standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights
to the higest standart of health and medical care attainable).
b. Hak terhadap Perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam
Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari
diskriminasi, perlindungan dari eksploitasi anak, tindak kekerasan dan
keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak
pengungsi.
c. Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak anak
dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan
(formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak
bagi perkembangan fisik, mental, dan spiritual, moral, dan sosial anak.
d. Hak untuk Berpatisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam
Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan
pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child
to express her/his views in all metters affecting that child)
Pasal 46 dan Pasal 48 Konvensi Hak-Hak Anak secara tegas
menyatakan bahwa Konvensi Hak-Hak Anak merupakan perjanjian
internasional yang bersifat terbuka. Artinya Konvensi Hak-Hak Anak
terbuka untuk diratifikasi oleh negara-negara lain yang belum menjadi
perserta (state parties).
Konvensi

Hak-Hak Anak

merupakan

sumber

hukum yang

memberikan materi pada pembuatan hukum dan harmonisasi hukum

tentang anak. Kaidah hukum yang terdapat dalam Konvensi Hak-Hak


Anak merupakan materi hukum yang memberi isi peraturan perundangundangan tentang anak, oleh karena itu Konvensi Hak-Hak Anak menjadi
bagian integral dari hukum tentang anak.17
II. Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination/CERD 1969 (Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Tahun 1969)
Penghapusan semua bentuk diskriminasi telah merupakan salah satu
tujuan utama PBB sejak awal. Piagam PBB, lembaga-lembaga yang
diciptakan sesuai dengan Piagam itu, dan Bill of Rights Internasional,
semuanya menjadikan kesamaan perlakuan terhadap semua manusia
sebagai tema utamanya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila
berbagai lembaga PBB telah mencurahkan cukup banyak energi untuk
menyusun

instrumen-instrumen

dalam

rangka

memerangi

jenis

diskriminasi yang paling meluas ke mana-mana, yaitu diskriminasi rasial


dan diskriminasi seksual.
Traktat pertama yang secara spesifik menangani diskriminasi rasial
adalah Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial, yang disetujui oleh Majelis Umum pada tahun 1965
dan diberlakukan pada tahun 1969.18 Konvensi ini melarang diskriminasi
rasial yang didefinisikan oleh Pasal 1 (1) sebagai berikut:
17 Artikel mengenai Tinjauan Terhadap Konvensi Anak
https://yudicare.wordpress.com/2011/04/19/tinjauan-terhadapkonvensi-hak-anak/ Diakses pada tanggal 26 September 2015

... setiap pembedaan, pengucilan, larangan, atau preferensi


berdasarkan ras, warna kulit, atau asal-usul keturunan, bangsa atau etnis,
yang bertujuan atau berakibat meniadakan atau mengurangi pengakuan,
penikmatan, atau pelaksanaan, di atas dasar yang sama dengan orang lain,
terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi dalam bidang kehidupan
politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang kehidupan publik lainnya.
International Court of Justice berpendirian bahwa definisi ini dapat
diandalkan untuk menafsirkan ketetapan-ketetapan non-diskriminasi pada
piagam PBB. Dapat pula diargumentasikan, mengingat definisi ini telah
diterima baik oleh banyak negara, maka definisi ini juga menjadi bagian
jus cogens. Patut dicatat, bahwa berdasarkan Pasal 2 (2), program-program
affirmative action (diskriminasi positif) tidaklah dilarang oleh Konvensi,
meskipun jangka waktunya jelas dibatasi sampai pada tercapainya tujuan
program-program itu.
Negara-negara perserta diwajibkan menurut Pasal 2 (1) untuk
menggunakan segala cara yang sesuai guna melenyapkan diskriminasi
rasial di dalam wilayah mereka, dan menjamin bahwa semua hak sipil,
politik, ekonomi, dan sosial diberikan tanpa diskriminasi. Untuk
mengawasi Konvensi ini, berdasarkan Pasal 8, dibentuklah sebuah Komite
Penghapusan Diskriminasi Rasial (Committee on the Elimination of Racial
Discrimination CERD) terdiri dari 18 pakar independen yang dipilih oleh
negara-negara peserta.
18 60 United Nations Treaty Series 195; United Kingdom Treaty Series
77 (1969); (1966) 5 Internasional Legal Materials

Menurut Pasal 14 Metode pengawasan yang pokok berupa suatu


sistem pelaporan berkala oleh negara-negara peserta yang menyerupai
sistem pelaporan yang diatur dalam Kovenan kovenan Internasional, tetapi
Konvensi itu juga mengizinkan suatu hak individu untuk mengajukan
pengaduan tertulis apabila negara-negara telah mengakui kewenangan
CERD untuk menerima pengaduan tertulis semacam itu. Seperti pada
Protokol Fakultatif Pertama ICCPR, para pengadu harus terlebih dahulu
mengupayakan secara tuntas semua remedi lokal sebelum pengaduan
tertulisnya dapat dipertimbangkan. Begitu pengaduan tertulis itu diizinkan,
CERD mempertimbangkan pengaduan itu dan dapat menyampaikan
rekomendasi kepada negara peserta dan individu yang bersangkutan.
Meskipun dalam Pasal 22 Konvensi itu mengizinkan yurisdiksi ICJ
dijalankan dalam kasus-kasus sengketa yang tidak terselesaikan di antara
negara-negara peserta, namun mayoritas negara peserta mengajukan syarat
terhadap hal ini sehingga ketetapan penting ini praktis menjadi tidak
berarti.
3. Implementasi Pengaturan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
dalam Hukum Internasional
A. Pengaturan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di dalam
International Criminal Court (ICC)
Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity)
pertama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan
perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah

seleseai Perang Dunia II. Amerika Serikat dan sekutunya menilai bahwa
para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan
terhadap kemanusiaan pada masa tersebut. Salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan pada
penduduk sipil. Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi
aparat/instansi negara atau pelaku non negara.
Kejahatan terhadap Kemanusiaan adalah satu dari empat kejahatahkejahatan internasional, disamping genosida, kejahatan perang dan
aggresi. Kejahatan internasional sendiri didefinisikan sebagai kejahatankejahatan yang karena tingkat kekejamannya tidak satu pun pelakunya
boleh menikmati imunitas jabatannya; dan tidak ada yurisdiksi dari suatu
negara tempat kejahatan itu terjadi bisa digunakan untuk mencegah proses
peradilan oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain,
international crimes ini menganut asas jurisdiction.
Pembahasan lebih lanjut mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan
dimuat di dalam Pasal 7 Statuta Roma menyatakan bahwa kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang menimbulkan penderitaan
besar dan tak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan
dan bentuk lain dari pelecehan seksual, perbudakan, penyiksaan dan
pengasingan. Yang menyedihkan adalah bahwa kejahatan itu dilakukan
dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis
( yang melibatkan banyak pihak ) dan ditujukan pada setiap penduduk
mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau organisasi untuk

melakukan serangan semacam itu19. Definisi di dalam Pasal 7 ayat (1)


menjelaskan bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi tunggal
(salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan) sepanjang diketahui oleh
terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan
berbagai tindakan kekejaman terhadap warga sipil.
Sejumlah kajahatan terhadap kemanusiaan, seperti disebutkan dalam
Pasal 7 Statuta Roma yang hanya benar-benar cocok jika didakwakan pada
pimpinan politik atau militer. Ini disebabkan karena prajurit dan pembantu
sipil mungkin melakukannya tanpa maksud untuk bertindak tidak
berprikemanusiaan. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa
adalah salah saty contoh, dimana tujuan para pembuat kebijakan itu (tetapi
tidak selalu menjadi tujuan mereka yang menjalankan perintah untuk
melaksanakan kebijakan tersebut di lapangan) adalah untuk melanggar
hukum internasional
B. Implementasi Penegakan Hak Asasi Manusia terhadap Penduduk
Sipil di Korea Utara
Pihak yang mempunyai peran besar dalam mengefektifkan
perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Penduduk Sipil di Korea Utara
adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai organisasi penjaga
perdamaian PBB mempunyai badan yang disebut Dewan Keamanan.
Berdasarkan Piagam, tanggung jawab utama Dewan Keamanan adalah
19 Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan :
perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta,
2002, hal. 412-413.

menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Dewan HAM PBB hari


Kamis tanggal 21 Maret 2013 sepakat untuk membentuk komisi yang akan
menyelidiki pelanggaran HAM di Korea Utara. PBB telah membentuk
sebuah komisi untuk menyelidiki sejumlah pelanggaran HAM di Korea
Utara dengan mengatakan beberapa diantaranya mungkin sudah mencapai
kejahatan terhadap kemanusiaan Pemerintah Korea Utara mengecam
resolusi PBB yang menyetujui penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) di negaranya. Dalam resolusi itu diserukan
pembentukan komisi untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia
yang meluas dan berlangsung secara sistematis di Korea Utara. Resolusi
itu juga mengutuk dugaan adanya kamp-kamp kerja paksa dan penyiksaan
bagi tahanan politik di Korea Utara.
Petinggi HAM PBB, Navi Pillay mengatakan bahwa PBB telah
memiliki bukti yang menunjukkan 200.000 orang ditahan di penjara politik
Korea Utara yang penuh sesak. Korea Utara telah berulang kali
menyangkal keberadaan kamp penjara seperti yang dimaksudkan PBB.
Korea Utara menduga bahwa penyelidikan PBB ini sebagai provokasi
terencana yang disengaja untuk menambah ketegangan dan memicu
perang agresi.
Resolusi ini bahkan didukung oleh China yang selama ini menjadi
sekutu terdekat di Korea Utara. Sanksi yang dikeluarkan itu, didesain
seperti resolusi terhadap Iran. Sanksi bagi Korea Utara adalah yang ketiga
kalinya sejak tahun 2006 dan ditujukan untuk menghentikan program
nuklir dan rudal balistik milik Korea Utara. DK PBB juga mengeluarkan

sanksi ini menyusul terjadi peningkatan ketegangan di Semenanjung


Korea.
Dewan HAM PBB pada tanggal 22 Maret 2013 menyetujui dengan
suara bulat sebuah resolusi untuk membentuk komisi itu yang akan
menyelidiki pelanggaranpelanggaran HAM secara sistematis, meluas dan
berat di Korea Utara. Jika dilihat dari Pasal 17 ICCPR 1996, resolusi itu
juga mengutuk dugaan adanya kamp-kamp kerja paksa dan penyiksaan
bagi tahanan politik di Korea Utara.
Uni Eropa dan Jepang mengajukan resolusi itu dengan dukungan
dari Amerika. Organisasi-organisasi HAM telah lama menghimbau upayaupaya internasional untuk menghentikan pelanggaran HAM Korea Utara
yang diperkirakan diantara yang terburuk di dunia. Organisasi Human
Rights Watch mengatakan penyelidikan PBB akan membantu memaparkan
pelanggaran dalam beberapa dekade oleh pemerintah Korea Utara.
Pejabat Korea Utara menyangkal tuduhan-tuduhan bahwa Pyongyang
melakukan pelanggaran HAM.20
F. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
metode yuridis normative, yaitu metode pendekatan yang menggunakan
konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan
norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau
20 Komisi PBB Selidiki Pelanggaran Ham di Korea Utara
http://www.manadonews.com/berita/internasional/-komisi-pbb-akan-selidikipelanggaran-ham-di-Korut.html, 06 Desember 2015 pukul 20.30

pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu system


normative yang mandiri , bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan
masyarakat yang nyata serta menganggap norma-norma lain bukan sebagai
hukum.21
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang akan
menggambarkan objek atau masalahnya tanpa bermaksud mengambil
kesimpulan yang berlaku umum. Penelitian menggambarkan peristiwa in
concreto yang dikonsultasikan pada seperangkat peraturan hukum positif
yang berlaku dan ada kaitannya dengan masalah yang menjadi objek
penelitian.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Perpustakaan Djokosoetono
Research Centre Universitas Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat
Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, serta
media internet yang berasal dari website resmi sebagai penunjang data.22
4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan data sekunder
membangun penelitian ini dan untuk mendapatkan hasil yang obyektif dari
penelitian ini. Dari data sekundar tersebut akan dibagi dan diuraikan ke
dalam tiga bagian yaitu :
A. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
bersifat mengikat, terdiri dari:
a) International Bills of Human Rights

21
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metode Penelitian Dan jurimetri,
Jakarta :Ghalia Indonesia, hlm.13
22

Ibid, hal 11

1. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia


Tahun 1948
2. Kovenan Internasional

Tentang

Hak-Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya Tahun 1966


3. Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan
Hak Politik Tahun 1966
b) Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Konvensi Hak
Anak 1989
c) Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
Tahun 1969
B. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara
lain pustaka di bidang ilmu hukum, hasil penelitian di bidang
hukum, artikel-arikel ilmiah, baik dari koran maupun
internet.
C. Bahan hukum Tersier , yaitu bahan yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, antara lain kamus hukum.

5. Metode Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini, untuk mengumpulkan sumber-sumber bahan
penelitian seperti yang disebutkan diatas. Peneliti akan mengunjungi dan
mempergunakan jasa perpustakaan. Yang dimana dilakukan dengan
langkah, Pertama peneliti perlu mempelajari ketentuan dan peraturan yang
dipergunakan oleh perpustakaan dimana penelitian dilakukan. Kedua,

peneliti harus mengetahui sistem pelayanan perpustakaan tersbut. Ketiga,


peneliti perlu mengetahui bentuk dan jenis bahan pustaka yang dimiliki
perpustakaan yang bersangkutan. Keempat, peneliti harus memeriksa
apakah bahan pustaka yang diperlukan atau diinginkan ada dalam koleksi
perpustakaan yang bersangkutan. Kelima, peneliti harus mencari informasi
yang diperlukan melalui catalog. Keenam, membuat catatan-catatan
terhadap sumber-sumber penelitian yang didapatkan.23
6. Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian
akan disajikan dalam bentuk teks naratif , uraian-uraian yang disusun
secara sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan
dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok
permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
7. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif,
dengan menelaah pengaturan mengenai isi dalam Statuta Roma, Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia 1948, dan Pengaturan Hak Asasi Manusia
dalam Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
G. Usulan Sistematika Penulisan Skripsi
HALAMAN SAMPUL DEPAN
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
23

HALAMAN PERSEMBAHAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
ABSTRACT
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perumusan Masalah
Kerangka Teori
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Hak Asasi Manusia
1. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia
2. Pengertian Hak Asasi Manusia menurut International Bill of
Human Rights
3. Pengertian Hak

Asasi

Manusia

menurut

peraturan

internasional lainnya
B. Tinjauan Umum Tentang Implementasi Pengaturan Hak Asasi
Manusia
1. Efektivitas Pelaksanaan Pengaturan Hak Asasi Manusia
2. Jenis-Jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia

3. Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan menurut International


Criminal Court
C. Tinjauan Umum Permasalahan Perlindungan Hak Asasi Manusia
di Korea Utara
1. Pengaturan Hak Asasi Manusia di Korea Utara
2. Pengaturan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Korea Utara
3. Peranan Masyarakat Internasional dalam Penegakan Hak
Asasi Manusia terhadap Penduduk Sipil di Korea Utara.
BAB III METODE PENELITIAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.

Metode Pendekatan
Spesifikasi Penelitian
Lokasi Penelitian
Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Penyajian Data
Metode Analisis Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian
B. Pembahasan
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Budiarjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Davidson, Scott Davidson. 1994. Hak Asasi Manusia. Jakarta : PT.
Temprint.
Kusumaatmadja, Mochtar.
Bandung

: Alumni.

1999.

Pengantar

Phartiana.

Hukum

2003.

Internasional.

Pengantar

Hukum

Internasional. Bandung : Mandar Maju.


Kasim, Ifdhal. 2008. Dimensi Dimensi HAM : Mengurai hak ekonomi,
sosial dan budaya. Jakarta : Majda El Muhtaj.
Robertson, Geoffrey QC. 2002. Kejahatan terhadap Kemanusiaan :
perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Globa. Jakarta : Komnas
HAM.
Sen, Amartyen. 1994. Beyond Liberalization: Social Opportunity and
Human Capability, Institute of Social Sciences. New Delhi.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metode Penelitian Hukum. Jakarta :
Ghalia Indonesia.
Soerjono, Soekanto, 2011, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo
Perjada.
Yasin, Tasrif. (1999). Hak Asasi Manusia dalam Kerangka Hukum
Nasional Indonesia. Makalah dalam Lokakarya Integrasi Materi
HAM ke Dalam Mata Kuliah Umum, Unversitas Diponegoro,
Semarang.
SUMBER LAINNYA
General Assembly, Report of the Special Rapporteur on the Situation of
Human Rights in the Democratic Peoples Republic of Korea, Vitit
Muntarbhorn, A/HRC/13/47

Artikel Hak Asasi Ekonomi http://maylisa-a-p.blogspot.com/2012/04/hamhak-asasi-ekonomi.html, diakses pada tanggal 4 Desember 2015
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948
Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Tahun 1966
Kovenan Internasioal Terhadap Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1966
Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial Tahun 1969
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya resolusi
Majelis Umum PBB 2200 A (XXI): tertanggal 16 Desember 1966.
Artikel

Mengenal

Kovenan

Internasional

Hak

Sipil

dan

Politik

http://icjr.or.id/mengenal-kovenan-internasional-hak-sipil-danpolitik/ diakses pada tanggal 13 Desember 2015


Departemen Luar Negeri AS, Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Tenaga Kerja, "Manusia 2009 Hak Laporan : DPRK " Diakses pada
tanggal

24

September

2015

http://www.state.gov/g/drl/rls/hrrpt/2009/eap/135995.htm
Dokumen Resolusi Dewan Keamanan PBB 827 (1993) Diakses tanggal 20
September 2015 http://www.un.org/icty
Dokumen Resolusi Dewan Keamanan PBB 955 (1994) S/RES/955, Diakses
tanggal 20 September 2015 http://www.un.org/ictr

United Nations Of Human Right. diakses tanggal 20 September 2015 Pukul


19:05

WIB

http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx
Situs United Nations Of Human Right, diakses tanggal 20 September 2015
Pukul

19:05

WIB

http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx

Anda mungkin juga menyukai

  • Kronologi Kasus Setya Novanto
    Kronologi Kasus Setya Novanto
    Dokumen5 halaman
    Kronologi Kasus Setya Novanto
    Titis Hananto Kusumo
    Belum ada peringkat
  • Rio Martil
    Rio Martil
    Dokumen2 halaman
    Rio Martil
    Titis Hananto Kusumo
    100% (1)
  • Analisis Mendoan
    Analisis Mendoan
    Dokumen4 halaman
    Analisis Mendoan
    Titis Hananto Kusumo
    0% (1)
  • Zahara Ramadini
    Zahara Ramadini
    Dokumen3 halaman
    Zahara Ramadini
    Titis Hananto Kusumo
    Belum ada peringkat
  • Hukum Perdata Internasional
    Hukum Perdata Internasional
    Dokumen43 halaman
    Hukum Perdata Internasional
    Titis Hananto Kusumo
    100% (2)
  • Outsourcing
    Outsourcing
    Dokumen10 halaman
    Outsourcing
    Titis Hananto Kusumo
    Belum ada peringkat
  • Kasus HPI
    Kasus HPI
    Dokumen1 halaman
    Kasus HPI
    Titis Hananto Kusumo
    Belum ada peringkat
  • PBI826
    PBI826
    Dokumen96 halaman
    PBI826
    bprsalwashliyah
    Belum ada peringkat
  • Contoh Kasus Agraria
    Contoh Kasus Agraria
    Dokumen5 halaman
    Contoh Kasus Agraria
    Titis Hananto Kusumo
    Belum ada peringkat
  • Dari Everand
    Belum ada peringkat
  • Dari Everand
    Belum ada peringkat