PENDAHULUAN
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
Sarcoptes scabiei var.hominis dan produknya. Pengetahuan dasar tentang penyakit ini
diungkapkan pertama kali oleh Von Hebra, bapak dermatologi modern. Penyebab penyakit ini
ditemukan pertama kali oleh Benomo pada tahun 1687, kemudian oleh Mellanby dilakukan
percobaan induksi pada sukarelawan selama perang dunia II (Djuanda, 2010). Penyakit ini
dikenal juga dengan nama the itch, seven year itch, norwegian itch, gudik, gatal agogo, buduk,
penyakit ampera, kudis dan keropeng (Harahap, 2000; Brown, 2005).
Skabies merupakan penyakit kulit yang endemis di wilayah beriklim tropis dan subtropis
seperti Asia, Afrika, Amerika selatan, Karibia, Australia tengah dan selatan (Ratnasari, 2014).
Prevalensi skabies di seluruh dunia dilaporkan 300 juta kasus per tahun, sedangkan di Indonesia
skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering dengan prevalensi 5,6-12,95 %
(Setyaningrum, 2013). Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu (2015), pada tahun 2014
jumlah penderita skabies di Provinsi Bengkulu adalah sebanyak 2.756 jiwa, jumlah ini
merupakan kasus terbesar pada golongan penyakit infestasi karena parasit. Di Kota Bengkulu
jumlah penderita skabies pada tahun 2014 sebanyak 689 jiwa. Data ini berdasarkan laporan dari
seluruh puskesmas di Kota Bengkulu. Jumlah penderita skabies terbanyak pada tahun 2014
berada di Puskesmas Basuki Rahmad Kecamatan Selebar sebanyak 262 jiwa (Dinkes Kota
Bengkulu, 2015). Prevalensi skabies yang tinggi umumnya ditemukan di lingkungan dengan
kepadatan penghuni dan kontak interpersonal tinggi seperti penjara, panti asuhan, dan pondok
pesantren (Ratnasari, 2014).
Skabies dapat menular melalui dua cara yaitu secara kontak langsung dan tidak langsung.
Kontak langsung terjadi ketika adanya kontak dengan kulit penderita, misalnya berjabat tangan,
tidur bersama, dan hubungan seksual. Kontak tidak langsung melalui benda yang telah dipakai
oleh penderita seperti pakaian, handuk, seprai, selimut, bantal dan lain-lain. Pondok pesantren
merupakan salah satu tempat yang sering mengalami kejadian skabies. Skabies banyak
menyerang para santri yang memiliki personal hygiene buruk seperti sering bertukar pinjam
pakaian, menggunakan tempat tidur, bantal, baju, handuk dan sebagainya secara bersama,
sehingga hal inilah yang menyebabkan skabies sering dihubungkan dengan pesantren. Di
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, terdapat 27.230
pondok pesantren dengan prevalensi skabies yang tinggi (KEMENAG, 2013; Ratnasari, 2014).
4
Pesantren merupakan salah satu bentuk pendidikan dan pengajaran yang berbasis agama
islam dan bersatu antara sekolah serta pemondokannya. Pada beberapa pesantren
pemondokannya mempunyai ruangan tidur yang dihuni oleh banyak santri dengan luas kamar
yang kurang memadai, kondisi kebersihan yang buruk, dan kondisi ruangan terlalu lembab serta
kurang mendapat sinar matahari secara langsung. Kondisi pesantren dapat mempengaruhi
penularan skabies apabila para santri tidak paham dan tidak sadar tentang pentingnya menjaga
kebersihan lingkungan maupun kebersihan pribadi. Santri yang menderita skabies akan
terganggu kualitas hidupnya dikarenakan keluhan gatal yang dialami. Keluhan tersebut dapat
menurunkan kualitas hidup serta prestasi akademik. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
Muzakir (2008) bahwa santri yang menderita skabies nilai rapornya menurun bahkan di
antaranya tinggal kelas dan tidak lulus ujian akhir. Untuk mencegah kejadian tersebut,
pemahaman kepada siswa untuk menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan pribadi adalah
penting.
Dari uraian di atas maka penulis ingin mengadakan penelitian tentang hubungan antara
personal hygiene dan kepadatan hunian dengan kejadian skabies pada santri di pondok pesantren
Al-Mubaarak Kota Bengkulu.
SUBJEK DAN METODE
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian analisis deskriptif dengan rancangan studi
potong lintang (cross sectional study).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2015 di pondok pesantren AlMubaarak Kelurahan Sumur Dewa Kecamatan Selebar Kota Bengkulu.
C. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh santri yang tinggal menetap di pondok
pesantren Al-Mubaarak Kota Bengkulu
D. Sampel
Penelitian ini menggunakan teknik total sampling, dimana subjek penelitian adalah
5
seluruh santri yang tinggal menetap minimal 6 minggu di pondok pesantren Al-Mubaarak Kota
Bengkulu.
1. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
a. Kriteria inklusi pada penelitian ini terdiri dari:
1) Santri yang tinggal atau menetap minimal 6 minggu di pondok pesantren Al-Mubaarak
Kota Bengkulu.
2) Santri yang bersedia menjadi subjek penelitian.
b. Kriteria eksklusi pada penelitian ini terdiri dari:
1) Santri yang mengalami gangguan saraf, imunologis, atau mental.
E. Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan metode tatap muka (face to face interview) dengan subjek
penelitian.
2. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen penilaian formulir identitas, kuesioner,
formulir diagnosis, dan meteran. Formulir identitas berisi mengenai identitas subjek
penelitian yang meliputi: nama, jenis kelamin, umur dan kelas. Kuesioner digunakan untuk
menilai personal hygiene subjek penelitian. Setelah kuesioner diisi oleh subjek penelitian,
selanjutnya akan dilakukan penilaian. Personal hygiene dikatakan baik apabila seluruh
indikator pengamatan terpenuhi, yaitu seluruh hasil pengamatan pada kuesioner dalam
kategori ya; personal hygiene dikatakan buruk apabila ada salah satu indikator
pengamatan yang tidak terpenuhi, yaitu ada hasil pengamatan pada kuesioner dalam
kategori tidak (Lathifah, 2014). Formulir diagnosis berupa tanda kardinal skabies
digunakan untuk mendiagnosis skabies (Djuanda, 2010), sedangkan meteran digunakan
untuk mengukur kamar tidur santri dan dibandingkan dengan Keputusan Menteri
Kesehatan (Kepmenkes) No.829/Menkes/SK/VII/1999 (Frenki, 2011).
F. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini terdiri dari:
1. Variabel bebas (independent variable) pada penelitian ini yaitu personal hygiene pada
santri dan kepadatan hunian di pondok pesantren Al-Mubaarak Kota Bengkulu.
6
2. Variabel terikat (dependent variable) pada penelitian ini yaitu kejadian skabies pada santri
di pondok pesantren Al-Mubaarak Kota Bengkulu.
HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat
Subjek penelitian dilihat dari distribusi frekuensi berdasarkan personal hygiene
didapatkan personal hygiene yang baik sebanyak 15 orang (20,8 %) dan personal hygiene
yang buruk sebanyak 57 orang (79,2 %). Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Personal Hygiene
No
Personal Hygiene
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
1
2
Baik
Buruk
Jumlah
15
57
72
20,8
79,2
100
Kepadatan Hunian
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
1
2
Padat
Tidak Padat
Jumlah
48
24
72
66,7
33,3
100
Diagnosis
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
1
2
Skabies
Tidak Skabies
Jumlah
44
28
72
61,1
38,9
100
7
B. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas yaitu
personal hygiene dan kepadatan hunian dengan variabel terikat yaitu kejadian skabies.
Hubungan antara personal hygiene dengan kejadian skabies pada penelitian ini
didapatkan yang memiliki personal hygiene baik sebanyak 15 orang (20,8 %); yang
menderita skabies sebanyak 1 orang (1,4 %) dan yang tidak menderita skabies sebanyak 14
orang (19,4 %). Subjek penelitian dengan personal hygiene buruk sebanyak 57 orang (79,2
%); yang menderita skabies sebanyak 43 orang (59,7 %) dan yang tidak menderita skabies
sebanyak sebanyak 14 orang (19,4 %). Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.
Uji statistik chi square hubungan personal hygiene dengan kejadian skabies
didapatkan nilai p 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna.
Tabel 4 Hubungan antara Personal Hygiene dengan Kejadian Skabies
Personal
Hygiene
Baik
Buruk
Jumlah
Kejadian Skabies
Tidak
Skabies
Skabies
N (%)
N (%)
14
1
(19,4%)
(1,4%)
14
43
(19,4%)
(59,7%)
28
44
(38,9%)
(61,1%)
Jumlah
15
(20,8%)
57
(79,2 %)
72
(100%)
P
value
0,000
Hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian skabies pada penelitian ini
didapatkan yang menempati kamar tidur padat sebanyak 48 orang (66,7 %); yang menderita
skabies sebanyak 39 orang (54,2 %) dan yang tidak menderita skabies sebanyak 9 orang
(12,5 %). Subjek penelitian yang menempati kamar tidur tidak padat sebanyak 24 orang
(33,3 %); yang menderita skabies sebanyak 5 orang (6,9 %) dan yang tidak menderita
skabies sebanyak 19 orang (26,4 %). Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5 Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan Kejadian Skabies
Kepadatan
Hunian
Padat
Kejadian Skabies
Tidak
Skabies
Skabies
N (%)
N (%)
9
39
(12,5%)
(54,2%)
Jumlah
P
value
48
(66,7%)
8
Tidak
Padat
Jumlah
19
(26,4%)
28
(38,9%)
5
(6,9%)
44
(61,1%)
24
(33,3 %)
72
(100%)
0,000
Uji statistik chi square hubungan kepadatan hunian dengan kejadian skabies
didapatkan nilai p 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna.
PEMBAHASAN
Subjek penelitian dilihat dari distribusi frekuensi berdasarkan personal hygiene
didapatkan personal hygiene yang baik sebanyak 15 orang (20,8 %) dan personal hygiene
yang buruk sebanyak 57 orang (79,2 %). Penilaian personal hygiene dalam penelitian ini
meliputi kebersihan kulit, kebersihan tangan dan kuku, kebersihan genitalia, kebersihan
pakaian, kebersihan handuk, serta kebersihan tempat tidur dan seprai. Personal hygiene
menjadi penting karena personal hygiene yang baik akan meminimalkan pintu masuk
bakteri dan parasit yang ada di lingkungan dan akhirnya mencegah seseorang terkena
penyakit.
Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829/Menkes/SK/VII/1999
mengenai persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman bahwa luas kamar
tidur minimal 8 m2 dan maksimal dihuni oleh dua orang dalam satu ruang tidur (Keman,
2005). Pondok pesantren Al-Mubaarak Kota Bengkulu terdiri dari 3 asrama yaitu asrama
panti asuhan putra, asrama putra, dan asrama putri. Asrama panti asuhan putra terdiri dari 9
kamar dengan jumlah santri serta luas kamar yang berbeda-beda dan semua kamar masuk
dalam kategori padat hunian. Asrama putra terdiri dari 4 kamar dengan luas yang sama dan 2
kamar diantaranya merupakan kamar dengan padat hunian sedangkan 2 kamar lainnya tidak
padat hunian. Asrama putri terdiri dari 1 kamar besar yang dihuni oleh seluruh santri putri
dan tidak termasuk kamar padat hunian. Subjek penelitian dilihat dari distribusi frekuensi
berdasarkan kepadatan hunian didapatkan bahwa yang menempati kamar tidur padat
sebanyak 48 orang (66,7 %) dan yang menempati kamar tidur tidak padat sebanyak 24 orang
(33,3 %). Kepadatan hunian merupakan syarat mutlak untuk kesehatan hunian, karena
dengan kepadatan hunian yang tinggi terutama pada kamar tidur akan memudahkan
penularan skabies secara langsung dari satu santri kepada santri lainnya (Marufi, 2005).
9
8 m2 yang dihuni oleh 4 santri, dimana 3 santri lainnya merupakan penderita skabies dengan
personal hygiene yang buruk. Penelitian ini menunjukkan bahwa selain personal hygiene
ada variabel lain yang mempengaruhi kejadian skabies yaitu kepadatan hunian.
Penelitian dengan menggunakan analisis uji statistik chi square dengan interval
kepercayaan 95 % atau tingkat kemaknaan = 0,05 didapatkan nilai p 0,000 (p < 0,05) yang
menunjukkan adanya hubungan bermakna antara personal hygiene dengan kejadian skabies
di pondok pesantren Al-Mubaarak Kota Bengkulu.
Penelitian yang serupa dengan penelitian ini, di antaranya penelitian Marufi (2005)
yang menyatakan bahwa personal hygiene berperan dalam penularan skabies, dimana dari
338 subjek penelitian sebagian besar (213 orang) mempunyai personal hygiene yang buruk
dengan prevalensi penyakit skabies 73,70 %. Penelitian Akmal (2013) juga menunjukkan
adanya hubungan antara personal hygiene dengan kejadian skabies di Pondok Pendidikan
Islam Darul Ulum, Palarik Air Pacah Kecamatan Koto Tangah Padang, dari 138 subjek
penelitian sebanyak 30 orang (44,1 %) menderita skabies dengan personal hygiene yang
buruk; didukung oleh penelitian Saad (2008) di pondok pesantren An-Najach Magelang, dari
100 subjek penelitian didapatkan 43 orang (43 %) menderita skabies dengan personal
hygiene buruk.
Hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian skabies pada penelitian ini
didapatkan yang menempati kamar tidur padat sebanyak 48 orang (66,7 %); yang menderita
skabies sebanyak 39 orang (54,2 %) dan yang tidak menderita skabies sebanyak 9 orang
(12,5 %). Subjek penelitian yang menempati kamar tidur tidak padat sebanyak 24 orang
(33,3 %); yang menderita skabies sebanyak 5 orang (6,9 %) dan yang tidak menderita
skabies sebanyak 19 orang (26,4 %). Uji statistik chi square menunjukkan hubungan
kepadatan hunian dengan kejadian skabies dengan nilai p 0,000 (p < 0,05) bermakna.
Hasil penelitian Lathifah (2014) menyatakan terdapat hubungan yang bermakna
antara kepadatan hunian dengan kejadian skabies di pondok pesantren modern Diniyyah
Pasia Kecamatan Ampek Angkek Kabupaten Agam Sumatera Barat, dari 73 subjek
penelitian sebanyak 53 orang (81,5 %) menderita skabies dan tinggal di kamar tidur yang
padat; didukung oleh penelitian Marufi (2005) di pondok pesantren Kabupaten Lamongan
Provinsi Jawa Timur dari 338 subjek penelitian didapatkan santri yang tinggal di asrama
dengan kepadatan hunian tinggi sebanyak 245 orang mempunyai prevalensi skabies
11
sebanyak 71,40 %, sedangkan santri yang tinggal di asrama dengan kepadatan hunian rendah
sebanyak 93 orang mempunyai prevalensi skabies sebanyak 45,20 %. Penelitian Admadinata
(2014) menunjukkan bahwa santri yang tinggal di kamar tidur yang padat dan tidak
memenuhi standar kesehatan akan mempunyai risiko 7,6 kali lebih tinggi terinfestasi skabies
dari pada santri yang berada di kamar tidur dengan kepadatan hunian yang memenuhi
standar kesehatan. Kepadatan hunian yang tinggi akan mengakibatkan kontak langsung dan
kontak tak langsung antar penghuni, sehingga apabila di dalam kamar tidur yang padat
tersebut terdapat penderita skabies, kemungkinan untuk tertular skabies sangat besar.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Prevalensi skabies di pondok pesantren Al-Mubaarak Kota Bengkulu sebanyak 44 orang
(61,1 %); laki-laki sebanyak 39 orang (54,2 %) dan perempuan sebanyak 5 orang (6,9 %).
2. Pondok pesantren Al-Mubaarak Kota Bengkulu didapatkan santri yang memiliki
personal hygiene baik sebanyak 15 orang (20,8 %) dan yang memiliki personal hygiene
buruk sebanyak 57 orang (79,2 %).
3. Pondok pesantren Al-Mubaarak Kota Bengkulu didapatkan santri yang menempati kamar
tidur padat sebanyak 48 orang (66,7 %) dan yang menempati kamar tidur tidak padat
sebanyak 24 orang (33,3 %).
4. Faktor personal hygiene berhubungan dengan kejadian skabies di pondok pesantren AlMubaarak Kota Bengkulu.
5. Faktor kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian skabies di pondok pesantren AlMubaarak Kota Bengkulu.
B. Saran
1. Pimpinan pondok pesantren, diharapkan dapat melengkapi fasilitas seperti menambah
kamar tidur para santri sesuai standar Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999 bahwa
luas kamar tidur minimal 8 m2 dan maksimal dihuni oleh dua orang dalam satu kamar
tidur. Para pengurus dapat membentuk pengawas kebersihan kamar dan membuat
peraturan tertulis tentang kebersihan serta memberikan sanksi bagi yang melanggar.
Santri yang telah menderita skabies, dilakukan pengobatan secara keseluruhan dan
serentak.
12
2. Santri pesantren Al-Mubaarak Kota Bengkulu diharapkan pada kegiatan sehari-hari untuk
meningkatkan personal hygiene yang baik.
3. Peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai prevalensi skabies diharapkan dapat
menentukan prevalensi skabies dengan pemeriksaan gold standard diagnosis skabies
yaitu menemukan tungau melalui mikroskop.
DAFTAR PUSTAKA
Admadinata (2014). Analisis determinan kejadian skabies santri tsanawiyah di pondok pesantren
al-ittifaqiah dan raudhatul ulum sakatiga indralaya kabupaten ogan ilir tahun 2014.
Universitas sriwijaya.
Akmal S.C, Semiarty R, Gayatri (2013). Jurnal kesehatan andalas: Hubungan personal hygiene
dengan kejadian skabies di pondok pendidikan islam darul ulum, palarik air pacah,
kecamatan Koto Tangah Padang tahun 2013. Vol.2, No.3:164-166.
Brown R.G, Burns T (2005). Lecture notes dermatology. Edisi ke 8. Jakarta: Erlangga. pp: 42-47.
Brown R.G, Bourke J, Cunliffe T (2010). Dermatologi dasar untuk praktik klinik. Jakarta: EGC.
pp: 235-237.
Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu (2014). Rekapitulasi laporan sistem pencatatan dan
pelaporan terpadu puskesmas (SP2TP) tahun 2013. Bengkulu.
Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu (2015). Rekapitulasi laporan sistem pencatatan dan
pelaporan terpadu puskesmas (SP2TP) tahun 2014. Bengkulu.
Dinas Kesehatan Kota Bengkulu (2015). Bidang Infokes Dinas Kesehatan Kota Bengkulu.
Djuanda A (2010). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. pp: 122-125.
Harahap M (2000). Ilmu penyakit kulit. Jakarta: Hipokrates. pp: 109-112.
Keman S (2005). Kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman. Jurnal kesehatan
lingkungan Vol. 2, No. 1: 29-42.
13
Kementrian Agama (2013). Analisis statistik pendidikan islam: Analisis dan interpretasi data
pada pondok pesantren, madrasah diniyah (madin), taman pendidikan quran (tpq) tahun
pelajaran 2011-2012. Jakarta: Ditjen pendidikan islam. pp: 68-70.
Lathifa M (2014). Faktor-faktor yang berhubungan dengan suspect skabies pada santriwati
pondok pesantren modern diniyyah pasia kecamatan ampek angkek kabupaten agam
sumatera barat tahun 2014. Jakarta: Universitas islam negeri Syarif Hidayatullah.
http://repository.uinjkt.ac.id - Diakses Maret 2015
Marufi I, Keman S, Notobroto H (2005). Jurnal kesehatan lingkungan: Faktor sanitasi
lingkungan yang berperan terhadap prevalensi penyakit skabies, studi pada santri di
pondok pesantren kabupaten lamongan. Vol. 2, No. 1: 11-18.
Muzakir (2008). Faktor yang berhubungan dengan skabies di pesantren kabupaten aceh besar
tahun
2007.
Medan:
Universitas
sumatera
utara,
Tesis.
14