ABSTRAK
Juvenile
nasopharyngeal
angiofibroma
(JNA)
adalah
tumor
vaskular jinak dengan destruksi lokal, dimana eksisi bedah selalu menjadi
terapi pilihan, terlepas dari ketersediaan berbagai modalitas pengobatan
lainnya. Pengangkatan secara lengkap selalu menjadi kunci untuk hasil
akhir yang baik. Kekambuhan (atau lebih tepatnya residu) akan
mengecewakan baik operator maupun pasien.
Penelitian prospektif ini dilakukan di Departemen Otorinolaringologi,
Rumah Sakit Umum Sayajirao, Vadodara, Gujarat, antara Agustus 2002
dan 2015. Kami menilai 28 pasien dengan JNA dalam hal pola
pertumbuhan, karakteristik histologis dan membandingkan berbagai
modalitas bedah. Selain investigasi lainnya, pemeriksaan histologi rinci
terhadap tumor dilakukan, untuk memperlihatkan usia tumor, stroma yang
mendominasi dan kompresi pembuluh menjadi suatu celah. Pada tumor
yang tumbuh dengan aktif, komponen pembuluh darah mendominasi.
Persentase saluran pembuluh darah yang terbuka berbanding lurus
dengan perdarahan, sementara berbanding terbalik dengan fibrosis
intravaskular. Eksisi bedah terhadap JNA adalah modalitas pengobatan
pilihan. Pendekatan bedah kadang-kadang merupakan keputusan yang
sulit. Memilih Pendekatan yang tepat ini mirip dengan berjalan di atas tali
tipis dengan paparan yang cukup pada satu sisi dan bekas luka pasca
operasi di sisi lainnya.
PENDAHULUAN
Juvenile
nasopharyngeal
angiofibroma
(JNA)
adalah
tumor
vaskular jinak yang cukup jarang terjadi, dan hampir hanya terjadi pada
laki-laki remaja. Biasanya tampak dengan trias obstruksi hidung unilateral,
episode
perdarahan
spontan
dari
hidung
dan
massa
pada
hidung/nasofaring. Hal ini terjadi kurang dari 0,5% dari tumor kepala-leher.
Insidensinya diperkirakan sedikitnya satu dari 50.000 pasien baru
Otorinolaringologi. Ekstensi ke intrakranial ditemukan pada 10 sampai
20% dari pasien dengan JNA.
Ini adalah tumor jinak namun secara lokal agresif mengerosi
tulang yang berdekatan dan dapat tumbuh kedalam kranium dan regio
infratemporal. Ekstensi dinilai secara akurat dengan teknik pencitraan
termasuk computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance
imaging (MRI). Angiografi dan embolisasi dianggap wajib khususnya jika
direncanakan untuk dilakukan tindakan endoskopi.
Pada
pemeriksaan
umum,
tumor
biasanya
sessile
(tidak
bertangkai dan memiliki dasar yang lebar), padat, seperti karet, berlobul
dan berwarna merah-merah muda ke abu-abuan pada tampilannya.
Tumor ini bisa polipoid atau bertangkai. Tidak ada kapsul sejati, tetapi
tumor memiliki batas yang tegas dari jaringan sekitarnya. Tampilan
mikroskopis
menunjukkan
fibroblas
berbentuk
ovoid
ke
spindle
menggunakan
Flutamide
yang
menggangu
ikatan
anamnesis
riwayat klinis
DISKUSI
Usia rata-rata pasien dalam penelitian kami adalah 17 tahun.
Karena merupakan kelompok usia hidup produktif, tumor (angiofibroma) di
usia ini memberikan hambatan dalam pekerjaan/pendidikan. Dalam studi
Chandler (1984), usia rata-rata adalah 16 tahun (74%). Dalam penelitian
kami, semua kasus sekunder memiliki kekambuhan berada di kelompok
usia 16 sampai 20 tahun (4 dari 4 kasus). Dalam penelitian kami, semua
pasien adalah laki-laki, mirip dengan studi Antonelli et al (1987) dan Witt
et al (1983). Totalitas kejadian ini pada laki-laki menunjukkan bahwa studi
kromosom dapat dilakukan dengan diagnosis biopsi.
Sebagian besar pasien dalam penelitian kami mengeluhkan
hidung tersumbat (26 dari 28) dan episode berulang perdarahan hidung
(22 dari 28), sepuluh pasien memiliki keluhan tambahan berupa sekret
hidung. Sepuluh pasien memiliki keluhan tambahan sakit kepala, lima
memiliki hilangnya penciuman. Dalam studi Witt et al (1983) 73% dari
pasien mengeluhkan hidung berdarah, sumbatan hidung pada 60% dari
pasien dan 23% memiliki rinorea. Dalam studi Antonelli et al (1987)
sumbatan hidung hadir di 84% dari pasien,epistaksis di 68% dari pasien.
Dari 28 pasien yang menjalani operasi, sisi kanan terlibat dalam
16 kasus dan kiri terlibat dalam 12. Dalam studi Witt et al (1983), sisi
kanan terlibat 12 dalam 31 pasien (39%).
Dalam penelitian kami, tumor melibatkan bagian posterior dari
rongga hidung dan nasofaring dalam semua kasus. Fossa pterigopalatina
terlibat dalam 15 dari 28 kasus. Sinus sfenoid adalah daerah berikutnya
yang paling umum terlibat dalam 13 kasus. Sinus etmoid terlibat dalam 9
kasus sedangkan fossa infratemporal terlibat dalam 7 kasus. 3 pasien
memiliki keterlibatan orbita dan sinus kavernosa. Dalam studi Nicoli et al
(2003) rongga hidung dan nasofaring terlibat dalam 14 dari 15 kasus
(93%). 13 dari 15 pasien (86%) memiliki keterlibatan prosessus pterigoid
dan fossa pterigopalatina. 12 dari 15 kasus (80%) memiliki keterlibatan
sinus sfenoid. 3 dari 15 kasus (20%) memiliki keterlibatan fossa
infratemporal. Sementara studi Witt et al (1983) sinus sfenoid dan orbita
terlibat dalam 38% kasus dan fossa pterigopalatina terlibat dalam 27%
kasus. Fossa infratemporal terlibat dalam studi Witt et al (1983) pada 11%
kasus saja.
Sebagian besar tumor dalam penelitian kami berada di tahap II
(15 dari 28). Ada 8 pasien pada tahap I, tiga pasien dalam tahap III dan 2
pasien di tahap IV. Dalam studi Nicolai et al (2003) 9 dari 15 kasus dalam
tahap II (60%), 4 dari 15 kasus (26%) berada di tahap III dan 14% pada
tahap I. Dalam studi Antonelli et al (1987) tumor tahap III adalah yang
paling sering (63%).
Dalam penelitian kami, kami menggunakan rinotomi lateral pada
18 pasien, maksilaris swing transfasial pada 4 pasien, endonasal pada 4
pasien dan transpalatal pada 2 pasien.
Pendekatan transpalatal hanya digunakan pada tumor tahap I.
Pendekatan ini relatif mudah dan waktu operasi yang tidak banyak tetapi
memberikan akses yang memadai untuk pengangkatan angiofibroma
tetapi memberikan akses buruk untuk nasofaring lateral. Juga daerah
paranasofaring tidak cukup terpapar maka ekstensi dari angiofibroma ke
daerah ini juga tidak dapat ditangani. Fistula palatum sebagai komplikasi
dapat terjadi jika pencegahan tidak adekuat.
Pendekatan endoskopi endonasal digunakan pada tumor tahap I
dan dalam tumor terbatas tahap II. Ia memiliki keuntungan yang berbeda
dari menjadi unggul secara kosmetik dan waktu operasi paling singkat.
Kelemahan utamanya adalah akses yang terbatas, batasan lapang
pandang, kesulitan dalam mengendalikan perdarahan dan tumor harus
dikeluarkan melalui mulut. Jika dilakukan bersamaan dengan embolisasi
pre-operasi untuk mengurangi vaskularisasi tumor, pendekatan ini terbukti
jauh lebih unggul dibanding yang lain.
Rinotomi lateral digunakan dalam tumor tahap II dan III.
Pendekatan ini tidak sulit untuk dilakukan dan memberikan paparan yang
baik dari nasofaring, sfenoid dan sinus etmoid. Namun pendekatan ini
tidak
memberikan
paparan
yang
baik
bagi
fossa
infratemporal.
Pengangkatan tumor yang baik dapat dicapai untuk tahap II dan terbatas
tumor tahap III. Pendekatan ini membawa kerugian berupa jaringan parut
wajah jika penanganan luka wajah tidak dilakukan secara teliti. Juga salah
satu kebutuhan untuk mengebor dinding interior dan posterior dari sinus
maksilaris untuk mencapai cakupan lateral sebagian besar tumor yang
dapat menghambat pertumbuhan maksila kedepannya pada pasien usia
muda. Pasien juga mengeluhkan epifora karena cedera aparatus lakrimal
dan juga sering mengalami krusta yang bermasalah karena banyaknya
daerah tindakan yang dilakukan. Akhir-akhir ini kita sudah mulai
menggunakan ligaclips untuk mengendalikan arteri maksilaris interna.
Kami juga telah mulai melakukan stenting sistem lakrimal untuk mencegah
penyumbatan nantinya.
Pendekatan maksilaris swing digunakan pada tumor tahap II, III
dan IV. Pendekatan ini meskipun sedikit sulit untuk dilakukan bagi pemula,
memberi keuntungan tersendiri pada paparan yang memadai dari
nasofaring dan struktur paranasofaring yang meliputi pterigopalatina yang
dan fossa infratemporal. Meskipun waktu operasi untuk pendekatan ini
lebih lama, eksisi tumor menggunakan pendekatan ini dapat tuntas dan
kehilangan darah sesuai dengan tahapan tumor. Ini memiliki keuntungan
dari kontrol perdarahan segera dengan ligasi arteri maksilaris interna
yang terekspos. Bertentangan dengan apa yang
saat melakukan
900 ml, sedangkan untuk pendekatan rinotomi lateral (tahap I, II, III) 1100
ml. Hilangnya darah rata-rata perkiraan untuk pendekatan endoskopi
endonasal untuk tahap I dan II adalah sekitar 1200 ml; sedangkan untuk
pendekatan maksilaris swing untuk tahap II, III, IV juga sekitar 1200 ml.
Data dalam penelitian kami menunjukkan bahwa kehilangan darah pada
JNA bergantung pada sejauh mana tahapan tumor yang tidak dapat
dikendalikan dengan cara apapun. Namun untuk mencegah kehilangan
darah yang berlebihan selama operasi yang memadai harus dicapai.
Kehilangan darah keseluruhan perkiraan rata-rata untuk eksisi dari
JNA adalah 1.120 ml dalam penelitian kami. Dalam studi Chandler et al
(1984) rata-rata kehilangan darah perkiraan 1500 ml dalam studi Witt et al
(1983) dengan menggunakan pendekatan Weber Fergusson transantral
mendekati rata-rata perkiraan kehilangan darah operasi rata-rata sekitar
2.600 ml, pada studi oleh Nicoli et al (2003) dengan menggunakan
endoskopi endonasal perkiraan kehilangan darah rata-rata adalah 372 ml.
Gradasi perubahan histologis pada JNA atas dasar fibrosis
perivaskuler, fibrosis intravaskuler dan persentase saluran terbuka
(mengambil rata-rata 20 HPF) dilakukan. Hal ini kemudian dibandingkan
dengan kehilangan darah dan usia pasien. Ini adalah langkah awal yang
dilakukan dalam penelitian kami yang tidak dijumpai pada literatur yang
tersedia. Menjadi penyakit yang jarang, kelompok studi yang terdiri dari
hanya 28 kasus, maka tidak ada kesimpulan yang pasti bisa dicapai tapi
ditemukan bahwa persentase saluran yang terbuka secara langsung
sebanding dengan kehilangan darah, sedangkan fibrosis intravaskuler dan
usia itu berbanding terbalik dengan kehilangan darah.
Dalam penelitian kami krusta pada hidung dijumpai hampir pada
semua operasi kasus JNA. Setelah 3 bulan masa tindak lanjut hal ini terus
menjadi masalah pada 7 dari 28 (25%) kasus. 2 pasien mengalami dua
luka retraksi pada insisi Moure rinotomi lateral dan menghasilkan luka
wajah yang tidak sedap dipandang. Salah satu pasien ini datang kepada
kami dengan kekambuhan dengan tampon hidung anterior in situ.
lurus
dengan
kehilangan
darah,
sementara
fibrosis
dengan paparan yang baik dari tumor dengan berbagai pendekatan yang
harus
disesuaikan
dengan
pasien
tergantung
pada
tahapan