Anda di halaman 1dari 12

Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma : Hubungan Histologi,

Pendekatan Operasi dan Kehilangan Darah


Tanuj Thapar, Rahul R. Gupta, Prarthna J. Jagtap, R.G. Aiyer
Clinical Rhinology: An International Journal, May-August 2015;8(2):47-52

ABSTRAK
Juvenile

nasopharyngeal

angiofibroma

(JNA)

adalah

tumor

vaskular jinak dengan destruksi lokal, dimana eksisi bedah selalu menjadi
terapi pilihan, terlepas dari ketersediaan berbagai modalitas pengobatan
lainnya. Pengangkatan secara lengkap selalu menjadi kunci untuk hasil
akhir yang baik. Kekambuhan (atau lebih tepatnya residu) akan
mengecewakan baik operator maupun pasien.
Penelitian prospektif ini dilakukan di Departemen Otorinolaringologi,
Rumah Sakit Umum Sayajirao, Vadodara, Gujarat, antara Agustus 2002
dan 2015. Kami menilai 28 pasien dengan JNA dalam hal pola
pertumbuhan, karakteristik histologis dan membandingkan berbagai
modalitas bedah. Selain investigasi lainnya, pemeriksaan histologi rinci
terhadap tumor dilakukan, untuk memperlihatkan usia tumor, stroma yang
mendominasi dan kompresi pembuluh menjadi suatu celah. Pada tumor
yang tumbuh dengan aktif, komponen pembuluh darah mendominasi.
Persentase saluran pembuluh darah yang terbuka berbanding lurus
dengan perdarahan, sementara berbanding terbalik dengan fibrosis
intravaskular. Eksisi bedah terhadap JNA adalah modalitas pengobatan
pilihan. Pendekatan bedah kadang-kadang merupakan keputusan yang
sulit. Memilih Pendekatan yang tepat ini mirip dengan berjalan di atas tali
tipis dengan paparan yang cukup pada satu sisi dan bekas luka pasca
operasi di sisi lainnya.

PENDAHULUAN
Juvenile

nasopharyngeal

angiofibroma

(JNA)

adalah

tumor

vaskular jinak yang cukup jarang terjadi, dan hampir hanya terjadi pada
laki-laki remaja. Biasanya tampak dengan trias obstruksi hidung unilateral,
episode

perdarahan

spontan

dari

hidung

dan

massa

pada

hidung/nasofaring. Hal ini terjadi kurang dari 0,5% dari tumor kepala-leher.
Insidensinya diperkirakan sedikitnya satu dari 50.000 pasien baru
Otorinolaringologi. Ekstensi ke intrakranial ditemukan pada 10 sampai
20% dari pasien dengan JNA.
Ini adalah tumor jinak namun secara lokal agresif mengerosi
tulang yang berdekatan dan dapat tumbuh kedalam kranium dan regio
infratemporal. Ekstensi dinilai secara akurat dengan teknik pencitraan
termasuk computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance
imaging (MRI). Angiografi dan embolisasi dianggap wajib khususnya jika
direncanakan untuk dilakukan tindakan endoskopi.
Pada

pemeriksaan

umum,

tumor

biasanya

sessile

(tidak

bertangkai dan memiliki dasar yang lebar), padat, seperti karet, berlobul
dan berwarna merah-merah muda ke abu-abuan pada tampilannya.
Tumor ini bisa polipoid atau bertangkai. Tidak ada kapsul sejati, tetapi
tumor memiliki batas yang tegas dari jaringan sekitarnya. Tampilan
mikroskopis

menunjukkan

fibroblas

berbentuk

ovoid

ke

spindle

(kumparan), dengan jumlah jaringan ikat yang cukup banyak. Dalam


stroma terdapat pembuluh darah yang berbeda ukuran dan bentuk dilapisi
oleh sel endotel padat tapi dengan sedikit atau tanpa ada otot polos atau
serat elastis (Gambar 1A dan B). Bertambahnya usia tumor mungkin
didominasi oleh stroma sehingga pembuluh darah dikompresi menjadi
suatu celah.
Manajemen bedah JNA telah mengalami kemajuan teknis yang
cukup pesat selama 50 tahun terakhir. Sebelumnya (sekitar 8-10 tahun
yang lalu) bahkan di Rumah Sakit kami, semua kasus dieksisi melalui
pendekatan terbuka dengan tidak adanya modalitas pencitraan yang
memadai dan sistem nasal endoskopi yang canggih. Ketidakmampuan

untuk mengidentifikasi ekstensi tumor pre-operasi membuat ahli bedah


mencari alternatif dan metode yang lebih aman dan kemudian banyak
memberikan perhatian terhadap terapi hormonal dan radiasi. Timbul
feminisasi karena terapi hormonal dan potensi komplikasi radioterapi
membuat ahli bedah mempertimbangkan pengangkatan bedah sebagai
baku emas untuk pengelolaan JNA.
Dengan peningkatan diagnosis yang lebih baik menggunakan CT
scan, MRI, angiografi dengan embolisasi dan melalui pendekatan bedah
selektif dirancang untuk pengangkatan tumor dengan semua ekstensi,
terapi bedah dianggap menjadi manajemen definitif. Munculnya sistem
nasal endoskopi yang canggih telah membantu dalam mengelola tumor
melalui rute endonasal.
Manajemen JNA bertujuan untuk pasien hidup sehat yang bebas
tumor dengan cacat kosmetik minimal. Cara yang paling diandalkan untuk
mencapai tujuan ini adalah dengan eksisi tumor secara lengkap dengan
semua ekstensi dengan kehilangan darah minimal dan morbiditas pasca
operasi. Banyak pendekatan bedah disesuaikan untuk memastikan
paparan yang luas dengan masing-masingnya memiliki keuntungan dan
kerugian. Berbagai pendekatan ke nasofaring dan struktur nasofaring
seperti transpalatal, lateral rinotomi, maksilaris swing dan endonasal
endoskopi telah berevolusi untuk memberikan paparan yang baik dan
eksisi lengkap tumor. Pendekatan gabungan neurorinologi juga telah
dijelaskan untuk tumor besar. Embolisasi pre-operasi telah terbukti secara
signifikan mengurangi perdarahan intraoperatif.
Anggapan akan ketergantungan hormonal, banyak upaya telah
dilakukan untuk mengubah tumor dengan terapi hormon. Gates dalam
studi pendahuluannya
angiofibroma
testosteron.

menunjukkan farmakoreduksi hormonal dari

menggunakan

Flutamide

yang

menggangu

ikatan

Histopatologi pasca operasi mengkonfirmasi diagnosis klinis


dalam semua kasus termasuk dalam studi ini. Sebuah usaha dibuat untuk
mengklasifikasikan perubahan histologis atas dasar fibrosis perivaskular,
fibrosis intervaskular dan persentase saluran yang terbuka (mengambil
rata-rata pembesaran 20). Gradasi ini (0-5) dilakukan oleh seorang ahli
Patologi yang kemudian dibandingkan dengan kehilangan darah dan usia
pasien.
Semua pasien dikontrol secara teratur setiap minggu selama 1
bulan, diikuti oleh setiap bulan selama 3 bulan dan selanjutnya setiap 3
bulan.
MATERIAL DAN METODE
Ini adalah studi tentang 28 kasus JNA yang menjalani operasi
primer atau revisi yang dilakukan di Departemen Otorinolaringologi dan
Bedah Kepala-Leher, Rumah Sakit SSG dan Medical College, Vadodara,
selama periode Agustus 2002 sampai dengan tahun 2015.
Setelah

anamnesis

riwayat klinis

secara menyeluruh dan

pemeriksaan, pasien dipersiapkan untuk dilakukan nasoendoskopi dan CT


scan sinus paranasal dengan dan tanpa suntikan kontras intravena
dengan potongan aksial, koronal dan sagital.
Hemogram lengkap, S.LFT, S.RFT, RBS, profil pendarahan dan
lain-lain secara rutin dilakukan pada semua kasus. Klasifikasi dari semua
pasien dilakukan sesuai klasifikasi Fisch berdasarkan temuan CT-scan.
Angiografi pre-operasi dan embolisasi dilakukan pada satu kasus
dengan keterlibatan sinus kavernosa. Biaya yang tinggi menghambat kita
meminta prosedur ini secara rutin. Kedua temuan intraoperatif dan pasca
operasi direkam secara sistemik. Berbagai pendekatan bedah yang
digunakan seperti endonasal, transpalatal, rinotomi lateral dan maksilaris
swing. Pendekatan dipilih dengan mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian dari masing-masing dan luasnya tumor. Pemulihan pasien pada
periode pasca operasi diamati dengan seksama sehubungan dengan

morbiditas terkait dengan masing-masing pendekatan bedah yang


digunakan.
HASIL DAN ANALISIS
Kelompok usia yang paling umum dalam penelitian kami adalah
antara 17 dan 20 tahun. Pasien termuda dalam penelitian kami adalah 11
tahun dan tertua berusia 24 tahun. Semua pasien dalam penelitian ini
adalah laki-laki.
Berdasarkan presentasinya, pasien dibagi menjadi dua kelompok:
kelompok utama A (sebelumnya tidak dioperasi) dan kelompok berulang B
(sebelumnya dioperasi) (Grafik 1). Mayoritas pasien berada di kelompok A
yang meliputi 24 pasien sedangkan kelompok B memiliki empat pasien.
Dari pasien dalam kelompok B, dua pasien sebelumnya dioperasi di
Institusi kami; satu dengan tumor tahap 1 dengan pendekatan transpalatal
dan kedua untuk tumor tahap II dengan pendekatan rinotomi lateral.
Pasien lain yang berada di tahap III sebelum operasi pertama dan
dioperasi dengan pendekatan rinotomi lateral, beberapa lainnya harus
dipindahkan ke Rumah Sakit kami dalam waktu 2 minggu dengan tampon
hidung anterior in situ. Semua pasien ini kemudian dioperasi lagi dengan
pendekatan rinotomi lateral.
Gejala yang paling umum dijumpai dalam penelitian kami adalah
sumbatan hidung dan epistaksis. Rinorea ditemukan pada enam pasien,
sedangkan sakit kepala ditemukan pada empat pasien (Grafik 2).
Sebagian besar kasus utama dalam penelitian kami (18 dari 24) memiliki
durasi pre-operasi dari gejala kurang dari 1 tahun, sedangkan di semua
kasus berulang durasi gejala lebih dari 1 tahun.
Dari 28 pasien yang menjalani operasi sisi kanan terlibat pada 16
kasus dan kiri pada 12 kasus. Dalam penelitian kami tumor melibatkan
bagian posterior rongga hidung dan nasofaring dalam semua kasus.
Fossa pterigopalatina terlibat pada 15 dari 28 kasus. Sinus sfenoid (13
dari 28) adalah daerah berikutnya yang paling umum terlibat. Sinus etmoid

terlibat pada 9 kasus, sedangkan fossa infratemporal terlibat dalam 7


kasus. 3 pasien memiliki keterlibatan orbita dan sinus kavernosa.
Sebagian besar tumor dalam penelitian kami berada pada tahap II
(15 dari 28). Ada delapan pasien pada tahap I, tiga pasien di tahap III dan
dua pasien berada dalam tahap IV.
Pendekatan transpalatal hanya digunakan dalam tumor tahap I
sedangkan pendekatan endonasal digunakan pada tahap I dan tumor
terbatas tahap II. Rinotomi lateral digunakan dalam tahap I, II dan tumor
III. Pendekatan transfasial maksilaris swing digunakan pada tumor tahap
II, III dan IV.
Hilangnya darah rata-rata dalam penelitian kami untuk tumor
tahap I adalah sekitar 950 ml, sedangkan untuk tahap II adalah 1100 ml.
Hilangnya darah rata-rata perkiraan untuk tahap III adalah 1.050 ml
sedangkan untuk tahap IV juga sekitar 2200 ml. Diamati bahwa
kehilangan darah rata-rata dalam penelitian kami dalam pendekatan
transpalatal untuk tumor stadium I adalah 900 ml,sedangkan untuk
pendekatan rinotomi lateral (tahap I, II, III) 1100 ml. Hilangnya darah ratarata perkiraan untuk pendekatan endonasal untuk tahap I dan II adalah
sekitar 1200 ml sedangkan untuk pendekatan maksilaris swing untuk
tahap II, III dan IV adalah 1.200 ml.
Data menunjukkan bahwa dengan meningkatnya usia pasien,
fibrosis (baik intravaskular dan perivaskular) cenderung meningkat dan
persentase saluran yang terbuka berkurang. Fibrosis ini memiliki dampak
pada perdarahan dalam kasus individu yang jelas tercermin dalam Grafik
3.
Dalam penelitian kami, satu pasien (tahap IV) memiliki sisa tumor
persisten pasca operasi karena kedekatan tumor pada saraf optik di
wilayah puncak orbital, yang ditangani pasca operasi dengan estrogen
oral dan pasien bebas gejala. Dua pasien memiliki tumor yang berulang
yang kemudian dilakukan operasi kedua. Semua pasien lain melakukan
kontrol rutin dan bebas penyakit.

DISKUSI
Usia rata-rata pasien dalam penelitian kami adalah 17 tahun.
Karena merupakan kelompok usia hidup produktif, tumor (angiofibroma) di
usia ini memberikan hambatan dalam pekerjaan/pendidikan. Dalam studi
Chandler (1984), usia rata-rata adalah 16 tahun (74%). Dalam penelitian
kami, semua kasus sekunder memiliki kekambuhan berada di kelompok
usia 16 sampai 20 tahun (4 dari 4 kasus). Dalam penelitian kami, semua
pasien adalah laki-laki, mirip dengan studi Antonelli et al (1987) dan Witt
et al (1983). Totalitas kejadian ini pada laki-laki menunjukkan bahwa studi
kromosom dapat dilakukan dengan diagnosis biopsi.
Sebagian besar pasien dalam penelitian kami mengeluhkan
hidung tersumbat (26 dari 28) dan episode berulang perdarahan hidung
(22 dari 28), sepuluh pasien memiliki keluhan tambahan berupa sekret
hidung. Sepuluh pasien memiliki keluhan tambahan sakit kepala, lima
memiliki hilangnya penciuman. Dalam studi Witt et al (1983) 73% dari
pasien mengeluhkan hidung berdarah, sumbatan hidung pada 60% dari
pasien dan 23% memiliki rinorea. Dalam studi Antonelli et al (1987)
sumbatan hidung hadir di 84% dari pasien,epistaksis di 68% dari pasien.
Dari 28 pasien yang menjalani operasi, sisi kanan terlibat dalam
16 kasus dan kiri terlibat dalam 12. Dalam studi Witt et al (1983), sisi
kanan terlibat 12 dalam 31 pasien (39%).
Dalam penelitian kami, tumor melibatkan bagian posterior dari
rongga hidung dan nasofaring dalam semua kasus. Fossa pterigopalatina
terlibat dalam 15 dari 28 kasus. Sinus sfenoid adalah daerah berikutnya
yang paling umum terlibat dalam 13 kasus. Sinus etmoid terlibat dalam 9
kasus sedangkan fossa infratemporal terlibat dalam 7 kasus. 3 pasien
memiliki keterlibatan orbita dan sinus kavernosa. Dalam studi Nicoli et al
(2003) rongga hidung dan nasofaring terlibat dalam 14 dari 15 kasus
(93%). 13 dari 15 pasien (86%) memiliki keterlibatan prosessus pterigoid
dan fossa pterigopalatina. 12 dari 15 kasus (80%) memiliki keterlibatan
sinus sfenoid. 3 dari 15 kasus (20%) memiliki keterlibatan fossa
infratemporal. Sementara studi Witt et al (1983) sinus sfenoid dan orbita

terlibat dalam 38% kasus dan fossa pterigopalatina terlibat dalam 27%
kasus. Fossa infratemporal terlibat dalam studi Witt et al (1983) pada 11%
kasus saja.
Sebagian besar tumor dalam penelitian kami berada di tahap II
(15 dari 28). Ada 8 pasien pada tahap I, tiga pasien dalam tahap III dan 2
pasien di tahap IV. Dalam studi Nicolai et al (2003) 9 dari 15 kasus dalam
tahap II (60%), 4 dari 15 kasus (26%) berada di tahap III dan 14% pada
tahap I. Dalam studi Antonelli et al (1987) tumor tahap III adalah yang
paling sering (63%).
Dalam penelitian kami, kami menggunakan rinotomi lateral pada
18 pasien, maksilaris swing transfasial pada 4 pasien, endonasal pada 4
pasien dan transpalatal pada 2 pasien.
Pendekatan transpalatal hanya digunakan pada tumor tahap I.
Pendekatan ini relatif mudah dan waktu operasi yang tidak banyak tetapi
memberikan akses yang memadai untuk pengangkatan angiofibroma
tetapi memberikan akses buruk untuk nasofaring lateral. Juga daerah
paranasofaring tidak cukup terpapar maka ekstensi dari angiofibroma ke
daerah ini juga tidak dapat ditangani. Fistula palatum sebagai komplikasi
dapat terjadi jika pencegahan tidak adekuat.
Pendekatan endoskopi endonasal digunakan pada tumor tahap I
dan dalam tumor terbatas tahap II. Ia memiliki keuntungan yang berbeda
dari menjadi unggul secara kosmetik dan waktu operasi paling singkat.
Kelemahan utamanya adalah akses yang terbatas, batasan lapang
pandang, kesulitan dalam mengendalikan perdarahan dan tumor harus
dikeluarkan melalui mulut. Jika dilakukan bersamaan dengan embolisasi
pre-operasi untuk mengurangi vaskularisasi tumor, pendekatan ini terbukti
jauh lebih unggul dibanding yang lain.
Rinotomi lateral digunakan dalam tumor tahap II dan III.
Pendekatan ini tidak sulit untuk dilakukan dan memberikan paparan yang
baik dari nasofaring, sfenoid dan sinus etmoid. Namun pendekatan ini
tidak

memberikan

paparan

yang

baik

bagi

fossa

infratemporal.

Pengangkatan tumor yang baik dapat dicapai untuk tahap II dan terbatas

tumor tahap III. Pendekatan ini membawa kerugian berupa jaringan parut
wajah jika penanganan luka wajah tidak dilakukan secara teliti. Juga salah
satu kebutuhan untuk mengebor dinding interior dan posterior dari sinus
maksilaris untuk mencapai cakupan lateral sebagian besar tumor yang
dapat menghambat pertumbuhan maksila kedepannya pada pasien usia
muda. Pasien juga mengeluhkan epifora karena cedera aparatus lakrimal
dan juga sering mengalami krusta yang bermasalah karena banyaknya
daerah tindakan yang dilakukan. Akhir-akhir ini kita sudah mulai
menggunakan ligaclips untuk mengendalikan arteri maksilaris interna.
Kami juga telah mulai melakukan stenting sistem lakrimal untuk mencegah
penyumbatan nantinya.
Pendekatan maksilaris swing digunakan pada tumor tahap II, III
dan IV. Pendekatan ini meskipun sedikit sulit untuk dilakukan bagi pemula,
memberi keuntungan tersendiri pada paparan yang memadai dari
nasofaring dan struktur paranasofaring yang meliputi pterigopalatina yang
dan fossa infratemporal. Meskipun waktu operasi untuk pendekatan ini
lebih lama, eksisi tumor menggunakan pendekatan ini dapat tuntas dan
kehilangan darah sesuai dengan tahapan tumor. Ini memiliki keuntungan
dari kontrol perdarahan segera dengan ligasi arteri maksilaris interna
yang terekspos. Bertentangan dengan apa yang

terjadi pada jaringan

lunak dan tulang, penyatuan relatif mudah untuk dilakukan. Pendekatan


ini dapat dikaitkan dengan komplikasi seperti nekrosis maksilar, palatal
fistula, maloklusi dan kosmetik yang jelek, jika tindakan pencegahan yang
tepat tidak diambil. Saraf infraorbital harus dipotong

saat melakukan

maksilaris swing lateral dan kemudian sebuah neurorrhaphy saraf


infraorbital perlu dilakukan untuk mencegah kejadian anestesia pada pipi.
Dalam penelitian kami, hanya satu pasien memiliki pendarahan
besar dari tumor karena keterlibatan sinus kavernosa dan ekstensi
intrakranial (tahap IV) yang dikendalikan dengan ligasi arteri maksilaris
interna dan dengan tampon Surgicel.
Dari Grafik 3, terlihat bahwa kehilangan darah rata-rata pada
Penelitian kami dalam pendekatan transpalatal untuk tumor tahap I adalah

900 ml, sedangkan untuk pendekatan rinotomi lateral (tahap I, II, III) 1100
ml. Hilangnya darah rata-rata perkiraan untuk pendekatan endoskopi
endonasal untuk tahap I dan II adalah sekitar 1200 ml; sedangkan untuk
pendekatan maksilaris swing untuk tahap II, III, IV juga sekitar 1200 ml.
Data dalam penelitian kami menunjukkan bahwa kehilangan darah pada
JNA bergantung pada sejauh mana tahapan tumor yang tidak dapat
dikendalikan dengan cara apapun. Namun untuk mencegah kehilangan
darah yang berlebihan selama operasi yang memadai harus dicapai.
Kehilangan darah keseluruhan perkiraan rata-rata untuk eksisi dari
JNA adalah 1.120 ml dalam penelitian kami. Dalam studi Chandler et al
(1984) rata-rata kehilangan darah perkiraan 1500 ml dalam studi Witt et al
(1983) dengan menggunakan pendekatan Weber Fergusson transantral
mendekati rata-rata perkiraan kehilangan darah operasi rata-rata sekitar
2.600 ml, pada studi oleh Nicoli et al (2003) dengan menggunakan
endoskopi endonasal perkiraan kehilangan darah rata-rata adalah 372 ml.
Gradasi perubahan histologis pada JNA atas dasar fibrosis
perivaskuler, fibrosis intravaskuler dan persentase saluran terbuka
(mengambil rata-rata 20 HPF) dilakukan. Hal ini kemudian dibandingkan
dengan kehilangan darah dan usia pasien. Ini adalah langkah awal yang
dilakukan dalam penelitian kami yang tidak dijumpai pada literatur yang
tersedia. Menjadi penyakit yang jarang, kelompok studi yang terdiri dari
hanya 28 kasus, maka tidak ada kesimpulan yang pasti bisa dicapai tapi
ditemukan bahwa persentase saluran yang terbuka secara langsung
sebanding dengan kehilangan darah, sedangkan fibrosis intravaskuler dan
usia itu berbanding terbalik dengan kehilangan darah.
Dalam penelitian kami krusta pada hidung dijumpai hampir pada
semua operasi kasus JNA. Setelah 3 bulan masa tindak lanjut hal ini terus
menjadi masalah pada 7 dari 28 (25%) kasus. 2 pasien mengalami dua
luka retraksi pada insisi Moure rinotomi lateral dan menghasilkan luka
wajah yang tidak sedap dipandang. Salah satu pasien ini datang kepada
kami dengan kekambuhan dengan tampon hidung anterior in situ.

Satu pasien mengalami maloklusi kecil pada rahang karena


intubasi Orotrakeal yang dilakukan pada pasien yang menjalani maksilaris
swing. Hal ini karena status oklusi pada pasien yang tidak dapat dinilai
sebelum ekstubasi. Ini kemudian diperbaiki dengan menggunakan kabel
intermaksilaris selama 3 minggu. Oklusi yang baik dalam kasus lain dari
maksilaris swing di mana pre-operasi trakeostomi sebelumnya dilakukan
dan oklusi dapat dinilai intraoperatif.
Dalam satu kasus dengan keterlibatan orbita, tumor ditinggalkan
(tumor sisa) di daerah apeks orbita. Pasien ini diberikan estradiol dalam
periode pasca operasi dan pasien kontrol rutin tanpa keluhan. Dalam dua
pasien lain tumor berulang terdeteksi di nasofaring pada kontrol rutin
pemeriksaan endoskopi dalam waktu 8 minggu pasca operasi. Tumor
berulang itu dipotong dalam kedua kasus dengan pendekatan endoskopi.
Oleh karena itu masalah tumor berulang ditemui di 2 dari 28 kasus.
Semua pasien lain yang kontrol rutin dan bebas penyakit. Dalam studi
Nicoli et al (2003), tingkat kekambuhan 7% dan pada studi Witt et al
(1983) 13%.
KESIMPULAN
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma adalah tumor jinak tapi
merupakan suatu tumor lokal invasif. Secara mikroskopis, tumor terdiri
dari komponen vaskular dalam stroma fibrosa. Pada tumor aktif,
komponen vaskular mendominasi dan dinding pembuluh umumnya terdiri
dari lapisan endotel tunggal. Dikatakan persentase saluran yang terbuka
berbanding

lurus

dengan

kehilangan

darah,

sementara

fibrosis

intravaskuler dan usia berbanding terbalik dengan kehilangan darah.


Pengamatan dalam penelitian kami tentang gambaran histologis adalah
langkah awal yang membuka pintu untuk penelitian lebih lanjut pada hal
ini.
Manajemen bedah pada JNA adalah modalitas pengobatan yang
dipilih. Pilihan pendekatan bedah terbaik adalah keputusan yang paling
penting. Eksisi tumor lengkap dapat dilakukan dan kekambuhan dicegah

dengan paparan yang baik dari tumor dengan berbagai pendekatan yang
harus

disesuaikan

dengan

pasien

tergantung

pada

tahapan

perkembangan tumor (temuan CT scan), mengingat keuntungan dan


kerugian dari semua pendekatan.
Kekambuhan terjadi akibat dari pertumbuhan tumor secara cepat
dan agresif. Namun pilihan pendekatan yang salah berkaitan dengan
tahapan tumor dapat menyebabkan pengangkatan yang inadekuat dan
tumor residual. Oleh karena itu, pendekatan yang ideal harus mampu
menangani semua kemungkinan ekstensi tumor ini tanpa membahayakan
daerah dasar anatomi daerah operasi dan memantau morbiditas pascaoperasi dan kosmetik.

Anda mungkin juga menyukai