D. MANIFESTASI KLINIS
1) Tamponade jantung :
Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan menembus jantung.
Gelisah.
Pucat, keringat dingin.
Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis).
Pekak jantung melebar.
Bunyi jantung melemah.
Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure.
ECG terdapat low voltage seluruh lead.
Perikardiosentesis keluar darah (FKUI, 1995).
2) Hematotoraks :
Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD.
Gangguan pernapasan (FKUI, 1995).
3) Pneumothoraks :
Nyeri dada mendadak dan sesak napas.
Gagal pernapasan dengan sianosis.
Kolaps sirkulasi.
Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara napas yang terdengar jauh atau tidak terdengar
sama sekali.
pada auskultasi terdengar bunyi klik (Ovedoff, 2002).
Jarang terdapat luka rongga dada, walaupun terdapat luka internal hebat seperti aorta yang ruptur. Luka tikaman dapat
penetrasi melewati diafragma dan menimbulkan luka intra-abdominal (Mowschenson, 1990).
E. KOMPLIKASI
MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (. Doenges, 1999) meliputi :
Aktivitas / istirahat
Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
Sirkulasi
Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical berpindah, tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ;
DVJ.
Integritas ego
Tanda : ketakutan atau gelisah.
Makanan dan cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat
oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan wajah.
Pernapasan
Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit paru kronis, inflamasi,/infeksi paaru, penyakit
interstitial menyebar, keganasan ; pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.
Tanda : Takipnea ; peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun atau tak ada ; fremitus menurun ; perkusi dada
hipersonan ; gerakkkan dada tidak sama ; kulit pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan ; mental ansietas,
bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif.
Keamanan
Geajala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk kkeganasan.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah intratorakal/biopsy paru.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi
udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder
akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat
eksternal.
6. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah
sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma thorax (Wilkinson, 2006) meliputi :
1) Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
o Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
o Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
o Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien
untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat
menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana teraupetik.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan
dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 2 jam :
1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru
optimum/drainase cairan.
2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.
3) Observasi gelembung udara botol penempung.
R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung
biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat
menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah
saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
1) Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian antibiotika.
Pemberian analgetika.
Fisioterapi dada.
Konsul photo toraks.
R/ Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
2) Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder
akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
Menunjukkan batuk yang efektif.
Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
Klien nyaman.
Intervensi :
Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
1) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
2) Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
3) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
4) Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan
masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian expectoran.
Pemberian antibiotika.
Fisioterapi dada.
Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan
parunya.
3) Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/ menurunkan nyeri.
Pasien tidak gelisah.
Intervensi :
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas
nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan
mengurangi nyerinya.
2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya
dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji
efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi
dan melakukan intervensi yang tepat.
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/ antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
5) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat
eksternal.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
penampilan yang seimbang..
melakukan pergerakkan dan perpindahan.
mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
6) Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
D. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan
dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, Christine. 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma thorax/dada adalah :
1) Pola pernapasan efektive.
2) Jalan napas lancar/normal
3) Nyeri berkurang/hilang.
4) Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
5) pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal
6) infeksi tidak terjadi / terkontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Mowschenson, Peter M. 1990. Segi Praktis Ilmu Bedah Untuk pemula. Edisi 2. Binarupa Aksara : Jakarta.
Nasrul Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
www.iwansain.wordpress.com
darah mungkin akan keluar dari jantung dan mengisi rongga pericardium, sedemikian rupa sehingga denyut jantung
akan terhambat. Akan timbul syok, yang bukan syok hemoragik, melainkan syok kardiogenik.
2.2 Fisiologi
1. Pernapasan
Pernapasan terdiri dari inspirasi (menarik napas) dan kespirasi (mengeluarkan napas)
Pernafasan normal umumnya berkisar antara 12-20 kali/menit. Pernafasan yang lebih dari 24 kali/menit dikenal
sebagai tachypnoe (taghi-pe-nu).
Apabila pernafasan buatan dibuat lebih dari 24 kali/menit, maka dikenal sebagai hiperventilasi.
Tachypnoe dapat sebagai akibat keadaan fisiologi (ketakutan, kecapaian, dsb) tetapi juga dapat merupakan indikator
bahwa ada yang tidak beres dengan masalah breathing.
2. Hipoksia dan hiperkapnia
Pada dasarnya proses pernafasan bertujuan untuk memasukan oksigen ke dalam tubuh, yang Kemudian akan
berdifusi dalam darah.
Gangguan pernafasan akan mengakibatkan gangguan oksigenasi (kadar O2 rendah ) yang dikenal sebagai hipoksia.
Apabila gangguan pernafasan disertai dengan penimbunan CO2 dalam darah, maka akan timbul hiperkapnia.
Pada umumnya hipoksia akan bermanifestasi sebagai dyspnoe (dis-pe-nu) sedangkan hiperkapnia yang berat akan
bermanifestasi sebagai sianosis.
Hipoksia ringan umumnya sudah akan memberikan gejala tachypnoe dan dyspnoe. Keadaan ini juga dikenal memakai
pulse oxymeter yang mengukur saturasi O2 dalam darah. Saturasi O2 di atas 95% berarti normal.
Hiperkapnia ringan tidak mungkin dikenal secara klinis.
2.3 Pemeriksaan Fisik Paru
a. Infeksi
Pemeriksaan paru dilakukan dengan melihat peranjakan ke-2 sisi anda simetris atau tidak.
b. Palpasi
Palpasi dilakukan dengan ke-2 tangan memegang ke-2 sisi dada. Dinilai peranjakan kedua sisi ada (simetris atau
tidak) dan bila ada suara penderita, apakah teraba simetris atau tidak oleh ke-2 tangan pemeriksa
c. Perkusi
Dengan mengetukan jari tengah terhadap jari tengah yang lain yang diletakan mendatar di atas dada.
Pada daerah paru berbunyi sonor, pada daerah jantung berbunyi redup (dull), sedangkan di atas lambung (dan usus)
berbunyi timpani.
Pada keadaan pneumothorax akan berbunyi hipersonor, berbeda dengan Bagian paru yang lain.
Pada keadaan hemothorax, akan berbunyi redup (dull).
d. Auskultasi
Auskultasi dilakukan pada 4 tempat yakni bawah ke-2 klavikula, pada garis mid-klavikularis, dan pada kedua aksila.
Bunyi nafas harus sama kiri-kanan
2.4 Airway
Pengelolaan airway merupakan hal utama yang harus diperhatikan lebih dahulu
c. Hematothorax
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Tidak banyak yang dapat dilakukan pra-RS pada
keadaan ini. Satu-satunya cara adalah membawa penderita secepat mungkin ke RS dengan harapan masih dapat
terselamatkan dengan tindakan cepat di UGD.
d. Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat, pada lebih dari 2 iga, sehingga ada satu segmen dinding dada yang tidak ikut pada
pernafasan. Pada ekspirasi, segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru akan masuk ke dalam, ini dikenal
sebagai pernafasan paradoksal.
Kelainan ini akan mengganggu ventilasi, namun yang lebih diwaspadai adalah adanya kontusio paru yang terjadi.
Sesak berat yang mungkin terjadi harus dibantu dengan oksigenasi dan mungkin diperlukan ventilasi tambahan.
Di RS penderita akan dipasang pada respirator, Apabila analisis gas darah menunjukan pO2 yang rendah atau pCO2
yang tinggi.
e. Tamorade Jantung
Terjadi paling sering karena luka tajam jantung, walaupun trauma tumpul juga dapat menyebabkannya
Karena darah terkumpul dalam rongga perkardium, maka kontraksi jantung terganggu sehingga timbul syok yang
berat (syok kardiogenik). Biasanya ada pelebaran pembuluh darah vena leher, disertai bunyi jantung yang jauh dan
nadi yang kecil.
Pada infuus guyur tidak ada atau hanya sedikit respon
Seharusnya pada penderita ini dilakukan perikardio-sintesis (penusukan rongga pericardium) dengan jarum besar
untuk mengeluarkan darah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
A. DEFINISI
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada
dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi
mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan
system pernafasan.
B. ANATOMII FISIOLOGI
Kerangka rongga toraks, merincing pada bagain atas torak dan berbentuk kerucut, terdiri dari
sternum, 12 vertebra, 10 pasang iga yang terakhir di anterior dalam segmen tulang rawan, dan
2 pasang iga yang melayang. Kartilago dari enam iga pertama memisahkan artikulaso dari
sternum; katilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk kostal-kostal sebelum
menyambung pada tepi bawah sternum. Perluasan rongga pleura di atas klavikula dan atas
organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk.
Ruang interkostal. Pleura parietalis hampir semua merupakan lapisan dalam, diikuti oleh tiga
lapis muskulus-muskulus yang mengangkat iga selama respirasi tenang/normal. Vena, arteri
nervus dari tiap rongga interkostal berada di belakang tepi bawah iga. Karena jarum
torakosentetis atau klein yang digunakan untuk masuk ke pleura harus dipasang melewati
bagian atas iga yang lebih bawah dari sela iga yang dipilih.
Diafragma. Bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam dan
kartilagokosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal; bagian muskular
melengkung membentuk tendo sentral. Nervis frenikus mempersarafi motorik, interkostal
bahwa mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putung susu, turut berperan
sekitar 75% dari ventilasi paru-paru selama respirasi biasa/tenang.
3
C. ETIOLOGI
Trauma dada dapat disebabkan oleh :
a. Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada, penggunaan therapy ventilasi mekanik
yang berlebihan, penggunaan balutan tekan pada luka dada tanpa pelonggaran balutan.
b. Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh vesikel flaksid
yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM. Tusukan paru dengan prosedur invasif.
c. Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat.
d. Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)
e. Fraktu tulang iga
f. Tindakan medis (operasi)
g. Pukulan daerah torak.
D. PATOFISIOLOGI
Cedera dada yang memerlukan tindakan darurat adalah abstruksi jalan napas,
hematoraks besar, tamponade jantung pneumotoraks desak. Dada gail ( flail chest, dada
instabil ) pneumotoraks tebuka dan kebocoran udara trakea bronkus semua kelainan ini
menyaebabkan gawat dada / toraks akut yang analog dengan gawat parut dalam arti diagonis
harus ditegakkan secepatnya mungkin
4
empat penanganan dilakukan segera untuk mempertahankan pernapasan,ventilasi paru paru
dan pendarahan. Sering tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan penderita bukan
merupakan tindakan operasi seperti membebaskan jalan napas, aspirasi rongga pleura,
aspirasi rongga perikard, dan menutup sementara luka dada. Tetapi kadang diperlukan
torakotomi darurat. Luka yang tembus didada harus segera ditutup dengan jahitan yang kedap
udara.
E. MANIFESTASI
Biasanya tanda dan gejala gejala yang muncul pada trauma tumpul dada meliputi
nyeri khususnya karena gerakan. Nyeri tekan dan lepas terjadi pada titik yang maksimal.
F. KOMPLIKASI
Trauma dada dapat menjadi kopleten, berupa gangguan serkulasi akibat pendarahan.
Gangguan kabolasi, sepsis akibat infeksi dan gagal organ.
1. Berdarah
Jumlah pendarahan dapat sedikit sampai banyak sehingga dapat menyebabkan kematian.
Luka gesek pada pembuluh darah besar di leher, tangan, dan paha dapat menyebabkan
kematian dalam satu sampai tiga menit. Sedangkan pendarahan dari aorta atau vanekava
dapat menyebabkan kematian dalam 30 detik. Pada pendrahan arteri, darah tampak keluar
mengalir dan berwarna kehitaman, sedangkan pendarahan keplir darah keluar menembus dan
berwarna merah segar.
Pendarahan masih mendapat
penanggunangannya.
5
yang
prioritas
sama
dengan
henti
napas
dalam
2. Gangguan koalosasi
Setelah pendarahan dan transfusi massif, pada pendarahan trauma dada sering dijumpai
gagguan koabolasi, keadaan ini dapat disebabkan oleh pemakanan darah yang disimpan
terlalu lama.
3. Sepsis
Sepsis merupakan penyebab kematian tersering pada pada pendarahan trauma injeksi paska
trauma sangat bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan penanggulangannya,
maka besar kemungkinan infeksi.
4. Gagal Organ
Pasca trauma dapat terjadi kegagalan fungsi dari beberapa organ seperti otak,
paru,jantung,hati,dan ginjal.
5. Gagal nafas
Gagal nafas cedera pada rogga toraks, atau paru dapat menyebabkan gagal nafas. Pada
trauma majemuk, gagal nafas dapat pula terjadi bila trauma mengenai abdomen atas,
cadangan nafas dapat turun bila penderita telah menderita gagguan nafas. Sebelumnya terjadi
trauma gagal nafas dapat terlibat jika frekuensi nafas dalam satu menit 25 30 dengan isi
aturan nafas kurang dari 4 ml/kg dan gerak jantung yang rendah.
6
G. Penatalaksanaan Medis
1. Konservatif
a. Pemberian analgetik
b. Pemasangan plak/plester
c. Jika perlu antibiotika
d. Fisiotherapy
2. Operatif/invasif
a. Pamasangan Water Seal Drainage (WSD).
b. Pemasangan alat bantu nafas.
c. Pemasangan drain.
d. Aspirasi (thoracosintesis).
e. Operasi (bedah thoraxis)
f. Tindakan untuk menstabilkan dada:
1) Miring pasien pada daerah yang terkena.
2) Gunakan bantal pasien pada dada yang terkena
7
g. Gunakan ventilasi mekanis dengan tekanan ekspirai akhir positif, didasarkan pada kriteria
sebagai berikut:
1) Gejala contusio paru
2) Syok atau cedera kepala berat.
3) Fraktur delapan atau lebih tulang iga.
4) Umur diatas 65 tahun.
5) Riwayat penyakit paru-paru kronis.
h. Pasang selang dada dihubungkan dengan WSD, bila tension Pneumothorak mengancam.
i. Oksigen tambahan.
8
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a.
Nyeri
Gejala : Nyeri dada unilateral meningkat karena pernapasan, batuk (tegangan), tajam dan nyeri
menusuk yang diperbarui oleh nafas dalam, kemungkinan menyebabkan kelelahan, bahu
aboalomea(effuse pleura)
Tanda : Berhati hati pada area yang sakit, peilaku distraksi dan mengerutkan wajah
Pernafasan :
Gejala : Batuk, kesulitan bernafas, lapar nafas,penyakit paru kronis, inflamasi/infeksi paru,
sarkoidosis, dan keganasan(obstruksi tumor)
Tanda : Takipnea,peningkatan kerja nafas, penggunaan otot aksesoris, pernafasan pada dada,
bunyi nafas menurun dan perkusi dada fliperesonan kulit pucat, sinosis, berkeringat, anlietas,
gelisah, bingung.
Aktivitas / istirahat
Gejala : Kelemahan, Keletihan
Tanda : Gelisah dan insomania
Keamanan
Gejala : Radiasi / kemoterapi untuk keganasan.
10
Tanda : Berkeringat, menggigil berulang, gemetaran.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tak efektif b/d, penurunan ekspansi paru
-
Tujuan
Kriteria Hasil
Frekuensi nafas 18 24 x/i
Suara nafas normal
Klien mengatakan tidak merasa sesak
Tidak ada sinosis
TTV dalam batas normal
1. I : Awasi kecepatan/ kedalam pernafasan. Ausklutasi bunyi nafas, selidiki adanya sianosis
R: pernafasan mengorok atau pengaruh anestesi menurunkan ventilasi. Potensial atelektasis
dapat mengakibatkan hipoksia.
2. I : Tinggikan kepala tempat tidur 30 derajat
R : mendorong pengembangan diafragma/ ekspansi paru optimal dan meminimalkan tekanan isi
abdomen pada rongga torak
11
3. I : Observasi TTV.
ngetahui perkembangan klien
4. I : Kaji penumpukan sekret.
ngetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya.
5. I : Kolaborasi dengan tim medis untuk pembersihan sekret.
jasama untuk menghilangkan penumpukan sekret .
2. Bersihkan jalan nafas b/d akomolasi secret
- Kriteria hasil :
1. Mempertahankan jalan nafas pasien mengeluarkan secret tanpa bantuan.
2. Menyatakan produksi sputum menurun
-
1. I : Kaji fungsi persarafan, contoh bunyi nafas, kecepatan irama dan kedalam.
R : Penurunan bunyi nafas dapat menurunkan atelektasis ronk, menunjukkan akumulasi
sekret/ ketidak mampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan
pengguanaan otot aksesoris pernafasan dan peningkatan kerja pernafasan.
12
2. I : Beriakn pasien posisi semi fowler.
R : Pasien Yang membantu memaksimalkan ekspari paru dan menurunkan upaya pernafasan.
3. I : Bantu pasien untuk batuk efektif dan latihan nafas dalam.
R : Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan secret kedalam
jalan nafas besar untuk dikeluarkan.
4. I : Pertahanan masukan cairan sedikitnya 2500ml/hari
- Kriteria hasil :
1. Klien mengatakan nyeri terkontrol
2. Klien tampak rileks
3. Klien dapat melakukan aktifitas tanpa rasa tidak nyaman
13
4. Klien dapat istirahat dengan baik
- Intervensi dan Rasional :
1. I : kaji karakteristik nyeri (skala,sifat,waktu,intensitas)
R : Membantu pasien dalam mengkaji keefektifan analgesic
2. I : Berikan tindakan yang nyaman (masase, perubahan posisi)
R : Mendapatkan relaksasi dan pengalihan perhatian
3. I : Anjurkan untuk istirahat dalam posisi yang dianggap nyaman oleh klien.
R : Posisi nyaman dapat menjadikan relaksasi
4. I : Penatalaksanaan pemberian analgesic
R : analgesic dapat menjadikan ambang batas nyeri sehingga dapat mengurangi persepsi nyeri
klien.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, Tindakan dapat digabungkan dengan : kurang
informasi , dan tiadak terpanjannya informasi.
-
Kriteria hasil :
- menunjukkan pemahaman dasar proses penyakit,intevensi, dan kebutuhan tidakan.
- Menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan yang aman
14
- Menggunakan sumber dengan tepat.
- Intevensi dan Rasional
1. I : Berikan petunjuk tertulis/orang terdekat klien untuk dibaca dan tersedia sebagai referensi
selanjutnya.
R : Menyampaikan informasi yang benar dan dapat digunakan sebagai referensi.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada
dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi
mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul.
B. Saran
Penyusun berharap agar para pembaca dapat menggunakan makalah ini dengan baik dan
kiranya dapat menambah referensi lain yang dapat menambah lagi pengetahuan pembaca
selain dari isi makalah yang sangat sederhana ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanner C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :
EGC,2001
Carpenito, Lynda Juall Moyet. 2008. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta.
D. MANIFESTASI KLINIS
1) Tamponade jantung :
Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan menembus jantung.
Gelisah.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal
lainnya.
Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka,
agar tidak terjadi infeksi.
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/ antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko
terjadi infeksi.
5) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan
untuk ambulasi dengan alat eksternal.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
penampilan yang seimbang..
melakukan pergerakkan dan perpindahan.
mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan
ataukah ketidakmauan.
Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
6) Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya
proses infeksi.
Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
D. EVALUASI
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, Christine. 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma thorax/dada adalah :
1) Pola pernapasan efektive.
2) Jalan napas lancar/normal
3) Nyeri berkurang/hilang.
4) Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
5) pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal
6) infeksi tidak terjadi / terkontrol
DAFTAR PUSTAKA
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Hudak, C.M. 1999. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Mowschenson, Peter M. 1990. Segi Praktis Ilmu Bedah Untuk pemula. Edisi 2. Binarupa Aksara
: Jakarta.
Nasrul Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC. Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3.
EGC : Jakarta.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
www.iwansain.wordpress.com
Pengobatan Pneumototraks
April 5th, 2011
Tujuan pengobatan pada pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura agar paru-paru
dapat mengembang kembali.
Ada berbagai macam intervensi pengobatan yang dapat kita lakukan pada kasus-kasus pneumotoraks, termasuk
di dalamnya yaitu observasi, aspirasi sederhana dengan kateter, pemasangan selang dada (chest tube), videoassisted thoracoscopy surgery (VATS) dan torakotomi. Adapun pemilihan tindakan yang akan diambil sangat
tergantung pada besarnya pneumotoraks, beratnya gejala yang diderita pasien, apakah ada kebocoran udara
yang persisten, serta jenis penumotoraks itu sendiri apakah primer atau sekunder.
Pada kasus pneumotoraks spontan primer yang kecil (melibatkan 15% hemitoraks) dengan gejala-gejala yang
ringan, pemberian suplemen oksigen aliran-tinggi saja dapat membantu mempercepat penyerapan udara oleh
pleura. Bahkan pada beberapa kasus yang sama, pasien cukup hanya diobservasi dalam beberapa hari
(minggu) dengan foto dada serial tanpa harus dirawat inap di rumah sakit. Namun demikian bila didapatkan
penyakit paru yang mendasarinya perlu dipasang water sealed drainage (WSD). (1,8)
Pada pneumotoraks spontan primer yang lebih besar (melibatkan >15-20% hemitoraks), dapat kita lakukan
aspirasi sederhana dengan pipa kecil, tetapi bila dalam 24-48 jam paru-paru tidak mengembang, perlu dipasang
pipa interkostal besar, dengan water sealed drainage (WSD) atau pengisapan secara perlahan-lahan memakai
katup flutter (continous suction). Bila udara masih menetap dalam rongga pleura selama 1 minggu, perlu
dilakukan tindakan torakotomi.
Pada kasus tension pneumothorax, dibutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat
berupa insersi jarum berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami
kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumotoraks sederhana. Untuk
mencegah terjadinya pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum, evaluasi ulang tetap diperlukan.
Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga kelima (garis
puting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.
Pada orang dengan resiko tinggi (misalnya penyelam dan pilot pesawat terbang), setelah mengalami serangan
pneumotoraks yang pertama, dianjurkan untuk menjalani pembedahan. Pada penderita yang pneumotoraksnya
tidak sembuh atau terjadi 2 kali pada sisi yang sama, dilakukan pembedahan untuk menghilangkan
penyebabnya. Pembedahan sangat berbahaya jika dilakukan pada penderita pneumotoraks spontan dengan
komplikasi atau penderita pneumotoraks berulang. Oleh karena itu seringkali dilakukan penutupan rongga pleura
dengan memasukkan doxycycline melalui selang yang digunakan untuk mengalirkan udara keluar
Patofisiologi Pneumotoraks
April 5th, 2011
Seperti kita ketahui bersama, udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan
rendah, yaitu menuruni gradient konsentrasi. Pada keadaan normal, tekanan intrapleura atau dikenal juga
sebagai tekanan intratoraks biasanya lebih kecil daripada tekanan atmosfer, rata-ratanya 756 mmHg saat
istirahat atau disebut sebagai tekanan -4 mmHg. Dalam keadaan normal pula, udara tidak masuk ke dalam
rongga pleura karena tidak terdapat hubungan antara rongga tersebut dengan atmosfer atau alveolus. Jadi, jika
terdapat hubungan antara atmosfer dengan rongga pleura, udara akan mengalir dari atmosfer ke rongga pleura
sampai tidak ada lagi perbedaan tekanan antara keduanya atau sampai hubungan tersebut tertutup. Tekanan
intrapleura dan intraalveolar sekarang seimbang dengan tekanan atmosfer, sehingga tekanan transmural tidak
ada lagi baik di dinding dada maupun dinding paru. Tanpa adanya gaya yang meregangkan paru, paru akan
kolaps dan menyebabkan keadaan yang disebut atelektasis. Demikian juga, pneumotoraks dan kolaps paru
dapat terjadi apabila ada udara masuk ke dalam rongga pleura melalui suatu lubang di paru, misalnya, oleh
proses penyakit