Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Meningitis merupakan penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang.
Bayi, anak-anak, dan dewasa muda merupakan golongan usia yang mempunyai resiko tinggi
untuk terkena meningitis.1
Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka
kejadian tuberculosis (TB) di seluruh dunia sebsar 9,4 juta dan meningkat terus secara perlahan
pada setiap tahunnya. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di
Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55% dan untuk China & India secara tersendiri sebesar 35%
dari semua kasus TB. Jumlah penderita TB di Indonesia, mengalami penurunan dari peringkat ke
tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini karena jumlah penderita TB di Afrika
Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia.2
Kompilkasi meningitis TB terjadi pada setiap 300 kasus TB primer yang tidak mendapat
pengobatan. Morbidittas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Kejadian
meningitis TB bervariasi tergantung pada tingkat sosio-ekonomi, kesehatan masyarakat, umur,
status gizi.
Dilaporkan juga bahwa satu dari sepuluh orang yang menderita meningitis akan meninggal,
dan sisanya akan sembuh dengan meninggalkan kecacatan.1
Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai salah satu meningitis yang disebabkan oleh
bakteri, yakni meningitis tuberkulosis.1 Pengetahuan yang benar mengenai meningitis
tuberkulosis (meningitis TB) dapat membantu untuk mengurangi angka kematian penderita
akibat meningitis, mengingat bahwa insidensi kematian akibat meningitis masih cukup tinggi.1
B. TUJUAN PENULISAN
a Untuk mengetahui anatomi organ terkait (meningens dan ensefalon)
b Untuk mengetahui definisi meningoensefalitis tuberculosis ( mengioensefalitis TB)
c Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi dari meningoensefalitis tuberculosis
d Untuk mengetahui pendekatan diagnosis meningoensefalitis tuberculosis
e Untuk mengetahui penanganan meningoencephalitis tuberculosis

BAB II
PEMBAHASAN
A. ANATOMI
Dalam pembahasan anatomi meningoensefalitis akan dibahas dua bagian anatomi yaitu
meningens dan ensefalon.
Meningens merupakan selaput atau membran yang terdiri atas jaringan ikat yang melapisi dan
melindungi otak. Selaput otak atau meningens terdiri dari tiga bagian yaitu:2

Durameter
Durameter dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara konvensional durameter ini terdiri atas
dua lapis, yaitu endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan endosteal yang menutupi permukaan
dalam tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan durameter yang sebenarnya, sering
disebut dengan cranial durameter. Pada lapisan durameter ini terdapat banyak cabang-cabang
pembuluh darah yang berasal dari arteri carotis interna, arteri maxilaris, arteri oksipitalis dan
artei vertebralis. Dari sudut klinis, yang terpenting adalah ateri meningea media (cabang dari
arteri maksilaris) karena arteri ini umumnya sering pecah pada keadaan trauma kapitis. Pada
durameter terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadapa rangsangan sehingga
jika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat.2

Arachnoidmater
Arachnoidmater disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan

durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak yang
meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara durameter dan arakhnoid disebut ruangan
subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat
pembuluh darah arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan meningen serta
dipenuhi oleh cairan serebrospinal (CSS).2

Piameter
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah kecil yang

mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini melekat erat dengan jaringan
2

otak dan mengikuti gyrus dan sulcus dari otak. Ruangan diantara arakhnoid dan piameter disebut
sub arakhnoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan
serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang.2

Gambar 1. Penampang melintang lapisan pembungkus jaringan otak


Sumber : Marcwele R, http://medscape.com/anatomi/meningen/enchephalon.3
Ensefalon adalah bagian sistem saraf pusat yang terdapat di dalam kranium, terdiri atas
proensefalon (disebut juga forebrain yaitu bagian dari otak yang terdiri atas diensefalon dan
telensefalon), mesencephalon (disebut juga brainstemterdiri atas tektum dan pedunculus), dan
rhombensefalon (disebut juga hindbrain,terdiri atas metensefalon (serebelum dan pons) dan
mielensefalon (medulla oblongata). 2
3

Gambar 2. Skema pembagian jaringan otak (encephalon)


Sumber :http://www.healthtalk.info/neurological c 247.htm-brain.

Gambar 3. Jaringan otak (encephalon)


Sumber: Robert S, http://www.emedicine.com/brain/centralnervussystem.3

B. DEFINISI
Meningitis adalah infeksi atau inflamasi yang terjadi pada selaput otak (meningens) yang
yang disebabkan oleh bakteri, virus,jamur atau protozoa, yang dapat terjadi secara akut maupun
kronis.Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang proses peradangannya jarang terbatas pada
jaringan otak saja tetapi hampir selalu mengenai selaput otak, maka dari itu lebih tepat bila
4

disebut meningoensefalitis. Nama lain dari meningoensefalitis adalah cerebromeningitis,


encephalomeningitis, dan meningocerebritis.2
Meningoensefalitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) dan
parenkim otak yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.1

C. ETIOLOGI
Meningoensefalitis tuberkulosis di sebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis.
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang gram positif, berukuran 0,4
3 , mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering,
serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis
bakteri yang bersifat intracellular patogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium
tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium
bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti.2

D. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis yang menyerang sistem saraf pusat (SSP) ditemukan dalam tiga bentuk, yakni
meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara
endemis tuberkulosis, dengan kasus terbanyak berupa meningitis tuberkulosis.
Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi terbanyak di afrika sebesar 30%, asia
sebesar 55% dan untuk china dan india secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus
tuberkulosis.2
Berdasarkan angka hasil penjaringan suspek per provinsi pada tahun 2008 sampai dengan
2010 (triwulan 1) bahwa terdapat 15 provinsi yang mengalami peningkatan angka penjaringan
suspek, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Bangka Belitung,
Bengkulu, Banten, Jawa

Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi

Selatan, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.2
Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan
kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6
bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak
pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak
yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis
berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan
kembali normal secara neurologis dan intelektual.1,2

E. PATOGENESIS
Pada meningoensefalitis tuberkulosis terjadi infeksi meningitis terlebih dahulu oleh
Mycobacterium tuberculosis yang kemudian berlanjut menyebabkan inflamasi pada parenkim
otak.Patogenesis menigoensefalitis yang disebakan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosisini
terjadi dalam dua langkah.Langkah pertama adalah ketika bakteri masuk ke dalam tubuh melalui
inhalasi droplet, dan langkah kedua adalah ketika fokus bakteri ruptur dan menyebar melalui
spatium subarachnoidea.4.
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi tuberkulosis (TB). Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi mekanisme imunologis non
spesisfik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan
sebagian besar kuman TB. Akan tetapi pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi di dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut
lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru di sebut fokus primer GOHN. 5
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran
ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran
limfe yang meradang ( limfangitis). 5
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada
proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 10 3-104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respon imunitas seluler.4,5
7

Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi.Hal ini ditandai dengan timbulnya respon positif terhadap uji tuberculin.Setelah kompleks
primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk.Pada sebagian besar
individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti.Namun sejumlah kecil kuman TB dapat hidup. Bila imunitas
seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.3,4
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen.Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer.Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.Bila penyebaran hematogen terjadi
dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB
milier dan meningitis tuberkulosis.5
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, salah satunya otak. Di lokasi tersebut
kuman TB akan bereplikasi dan menbentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler
yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk kemudian dibatasi pertumbuhannnya oleh imunitas
seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut
menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Bila daya tahan tubuh
pejamu menurun, fokus TB ini akan mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ
terkait, misalnya meningitis1,2,4,5

Inhalasi droplet yang mengandung Mycobacterium tuberculosis


difagosit oleh makrofag
M. tuberculosis berkembang biak di dalam makrofag
M. tuberculosis terbawa sampai paru, dan membentuk kompleks primer melalui
penyebaran secara limfatogen regional
bakterimia
bakteri basil M. tuberculosis menyebar sampai ke meninges dan parenkim otak
pembentukan fokus lesi kaseosa (Rich Foci) di subpial atau subependimal
fokus lesi kaseosa bertambah besar dan rupture di spatium subarachnoidea
meningitis
menyebar sampai parenkim otak membentuk tuberkuloma
encephaliti
Skema 1.Patogenesis Meningoensefalitis TB
Sumber : Ramachandran, http://www.healthcare.com/article/11619.4

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:

Araknoiditis proliferatif
Pada proses ini terjadi pembentukan massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan
kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut ditandai dengan adanya eksudat
gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami
paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV,
9

sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka
kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila
terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan
gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.6

Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang
obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele
neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media
atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis.Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta
cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis
dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total.
Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.6

Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan


mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis. Adapun perlengketan yang terjadi
dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.6

F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam tiga stadium:
1.

Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)


Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu. Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahanlahan, tanpa kelainan neurologis
Gejala:

demam (tidak terlalu tinggi)


rasa lemah

nafsu makan menurun (anorexia)


nyeri perut
10

sakit kepala
tidur terganggu
mual, muntah

konstipasi
apatis
irritable

11

Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering

ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati
yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai
demam dan timbul kejang intermiten.Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 1015%. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.

2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)

adanya

Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.Ditandai oleh
kelainan

neurologik,

akibat

eksudat

yang

terbentuk

diatas

lengkung

serebri.Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada
bayi.Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar
otak menyebabkan gangguan otak / batang otak.Pada fase ini, terjadi kelumpuhan saraf
kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di
koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis.
Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi
akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.

Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,

sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit
kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.

Gejala:

Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhanutama)


Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:

- disorientasi, bingung, kejang, tremor, hemiparesis / quadriparesis, penurunan

kesadaran

Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:Saraf kranial yang sering terkena
adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII

Tanda: - strabismus, diplopia, ptosis, reaksi pupil lambat, gangguan penglihatan

kabur

3. Stadium III (koma / fase paralitik)

Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama 2-3 minggu. Gangguan fungsi otak

semakin jelas.Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat yang mengalami organisasi.

Gejala:
pernapasan irregular
demam tinggi
edema papil
hiperglikemia
kesadaran makin menurun, irritable dan apatis, mengantuk,stupor, koma, otot ekstensor
menjadi kaku dan spasme,opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali.

Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang lain,

tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal. Dikatakan
akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu.

Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah
berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak
adekuat.7

G. DIAGNOSIS
Dari anamnesis: adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung stadium
penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang menunjukkan
gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang ditemukan pada
penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum,
letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus),
dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus)

Dari pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit.

Tanda Rangsang Meningeal seperti :

Kaku kuduk
Brudzinsky 1 & 2
Kernig sign

Tanda rangsang meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada

anak berusia kurang dari 2 tahun.8

Gambar 5.Pemeriksaan brudzinsky dan kernigs.


Sumber :www.infokesehatan//pemeriksaan-fisik-neurologis./090-009.

Lumbal Pungsi

Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis dengan cara pungsi

lumbal :
o Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang.
Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada
hambatan di medulla spinalis.
o Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit sama
banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih banyak
(pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai
1000 / mm3.

o Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor

cerebrospinalis dapat

berwarnaxanthochrom dan

pada

permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan


tingginya kadar fibrinogen.
o Kadar glukosa: biasanya menurun ( hipoglikorazia ). Adapun kadar glukosa normal
pada liquor cerebrospinalis adalah 60% dari kadar glukosa darah.
o Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun
o Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat

ditemukan

kumanMycobacterium tuberculosis.

Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal

selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.1,2,6,7

Tabel 1. Interpretasi Analisa Cairan Serebrospinal

tis

Bakteria

Meningi
Meningiti

gitis

s Virus

TBC

Meningk

Biasanya

Menin

Bervari

at

normal

k
a
n
a

J
u
m
l
a
h
s
e
l

J
e
n
i

>

< 100/ml

Predomina

Predomi

Xantho
a

n MN

Bervari
asi

Sedikit

Normal/m

eningkat

at

MN

Biasanya
normal

Predom
inan

meningk

r
a

nan PMN

a
n

Jernih

1000/ml

chromi

n
L

Keruh

asi

Normal/

Mening
kat

menurun

Rendah

s
s
e
l

P
r
o
t
e
i
n

G
l
u
k
o
s
a

Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada anak, uji
tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat.

Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat mencapai 90%.
Ziehl-Neelsen
Polymerase Chain Reactin (PCR)
Dari pemeriksaan radiologi:
Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira pada
80% kasus berupa kelainan difus atau fokal.
CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta
adanya dan luasnya hidrosefalus.

Gambaran dari pemeriksaan CT-scan kepala pada pasien meningitis tuberkulosis

adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang
sering

ditemukan

adalah enhancement di

daerah

basal,

tampak

hidrosefalus

komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang
masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di
daerah korteks serebri atau talamus.

MRI

Diagnosis dapat ditegakan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi Latex.

Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M. tb dalam kultur CSS. Namun
pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang lama dan memberikan hasil yang
positif hanya pada kira-kira setengah dari penderita. 6,7

H. KOMPLIKASI
a. Komplikasi akut:

Edema otak

Abses otak

Hidrosefalus

Peningkatan tekanan intrakranial

b. Komplikasi kronik

Memburuknya fungsi kognitif

Ketulian

Kecacatan motorik 1,6,8

I. PENATALAKSANAAN

Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk terapi yang sesuai,

koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus segera
diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis.

Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:

Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga
12 bulan.

a.

Isoniazid (INH) 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 300 mg/hari.

b.

Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis masksimum 600 mg /hari.

c.

Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2000 mg/hari.

d.

Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 1250 mg/hari.

e.

Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari,


maksimal 1 gram / hari

Prednizon 1-2 mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu, dilanjutkan dengan tapering-off.8

Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai terapi

ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2
mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara
bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen.

Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total.8

Steroid diberikan untuk :

a.

Menghambat reaksi inflamasi

b.

Mencegah komplikasi infeksi

c.

Menurunkan edema serebri

d.

Mencegah perlekatan

e.

Mencegah arteritis / infark otak.

1.

Indikasi pemakaian steroid :


Penurunan kesadaran

Defisit nemologis fokal.9

2.

Pengobatan simptomatis

a. Menghentikan kejang:

Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rektal


suppositoria, kemudian dilanjutkan dengan:

b.

Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau

Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis

Menurunkan panas:
Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 10 mg/KgBB/dosis
PO diberikan 3-4 kali sehari

Pengobatan suportif

a. Cairan intravena
b. Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.10

Pada kasus yang sudah terjadi komplikasi seperti hidrosefalus maka terapi yang diberikan
:11

Terapi medikamentosa
Ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi

cairan dari pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorbsinya.


Obat yang sering digunakan adalah :
Asetazolamid

Cara pemberian dan dosis : per oral 2mg/kgBB/hari di berikan 3 kali

dosis.
Furosemid

Cara pemberian dan dosis : per oral 1,2 mh/kgBB 1X/hari atau injeksi IV
0,6mg/kgBB/hari.

Bila tidak ada perubahan selama satu minggu pasien diprogramkan untuk

operasi.

Operasi

Operasi biasanya langsung dikerjakan pada penderita hidrosefalus. Pada penderita gawat
yang menunggu operasi biasanya diberikan : mannitol per infuse 0,5-2 g/kgBB/hari yang
diberikan dalam jangka waktu 10-30 menit.
1. Third Ventrikulostomi / Ventrikel III
Lewat kraniotom, ventrikel III dibuka melalui daerah khiasma optikum, dengan bantuan
endoskopi.Selanjutnya di buat lubang sehingga cairan serebrospinalis (CSS) dari ventrikel
III dapat mengalir keluar.
2. Operasi pintas/ Shunting
Ada 2 macam :
Eksternal
CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan bersifat hanya sementara.Misalnya

pungsi lumbal berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus tekanan normal.


Internal

CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain. Salah satu contohnya
adalah ventrikulo-sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna. Contoh lain adalah

ventrikulo-sinus, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior.11

J. PROGNOSIS

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan

diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak diobati
sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung
pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih
buruk daripada pasien yang lebih tua usianya.1,6,8,9,10

DAFTAR PUSTAKA

1. Taslim S. Soetamenggolo, Sofyan Ismael. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta :IDAI.
1999. hlm. 373 84
2. Mark Mumenthaler, Neurologi jilid 1. Bern : Swiss, 1989. hlm. 66 7
3. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI. 2000. Hal 11- 16
4. Azhali, MS., Gamma Herry., Chaerulfatah, Alex., Setaibudi. Infeksi Penyakit Tropik.
Dalam : Garna, Herry., Nataprawira, Heda Melinda. Pedoman Diagnosis Dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. 2006.
h. 221-229.
5. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB. Pedoman Nasional Tuberkulosis
Anak, Jakarta : Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI. 2005. h 54-56.
6. Tsumoto, S. 2001. Guideline to meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge.
h.234-35
7. Sidharta, Priguna. Pemeriksaan Neurologis dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 1999. h.78-79
8. Robbins, Stanlay. Vinay Kumar. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC. 2007. h.127-29
9. Ramachandran, Tarakad S. 2011. Tuberculous Meningitis. [online]. Available at URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview#showall.
10. Tunkel A. Practice The guideline for the management of the bacterial meningitis.
Clinical Infectious Disease Society of America Phyladelphia. 2004. h.215-217
11. Shjamsuhidat R., Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta : Penerbit kedokteran EGC.
2004. h. 809-810

Anda mungkin juga menyukai