Anda di halaman 1dari 18

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JEMBER
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
Alamat : Jl. Kalimantan I No. 37 Telp./fax (0331) 487145 Jember
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
Topik/materi
: Reptur Uretra
Sasaran
: Pasien dan Keluarga Pasien
Waktu
: 09.00-09.30 WIB
Hari/Tanggal
: Rabu, 06 April 2016
Tempat
: Ruang Inap Mawar RSD. dr. Soebandi Jember
A. Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah melakukan pendidikan kesehatan tentang Reptur Uretra peserta
diharapkan dapat memahami pentingnya peneingkatan kesehatan.
B. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mendapatkan pendidikan kesehatan, diharapkan peserta mampu:
a. Memahami pengertian Reptur Uretra;
b. Memahami tanda dan gejala Reptur Uretra;
c. Memahami penanganan Reptur Uretra di Rumah Sakit;
d. Memahami penanganan Mandiri Reptur Uretra di Rumah;
C. Pokok Bahasan:
Reptur Uretra
D. Subpokok Bahasan
A. Pengertian Reptur Uretra;
B. Tanda dan gejala Reptur Uretra;
C. Penanganan Reptur Uretra di Rumah Sakit;
D. Penanganan Mandiri Reptur Uretra di Rumah);
E. Waktu
1 x 60 Menit
F. Bahan/Alat yang digunakan
1. Leaflet
2. Presentasi PPT
G. Model Pembelajaran
a. Jenis model pembelajaran
b. Landasan Teori
c. Landasan Pokok

: Pertemuan kelompok
: Konstruktivisme
:

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Menciptakan suasana ruangan yang nyaman


Mengajukan masalah
Membuat keputusan nilai personal
Mengidentifikasi pilihan tindakan
Memberi komentar
Menetapkan tindak lanjut

H. Setting Tempat

A
Keterangan Gambar :

I.
J.

: Pemateri

: Peserta

Persiapan
Penyuluh menyiapkan materi terkait Benigna Prostat Hiperplasia (BPH).
Kegiatan Pendidikan Kesehatan
Tindakan
Proses
Waktu
Kegiatan Penyuluh
Kegiatan Peserta
Pendahuluan
a. Memberikan salam,
Memperhatikan dan
5 menit
memperkenalkan diri,
menjawab salam
dan membuka
penyuluhan
b. Menjelaskan materi
Memperhatikan
secara umum dan
manfaat bagi peserta
c. Menjelaskan TIU dan
Memperhatikan
TIK
Penyajian
a. Menjelaskan pengertian
Memperhatikan
20
Reptur Uretra
menit
1. Menanyakan kepada
Memberikan
peserta mengenai
pertanyaan
materi yang baru

Penutup

disampaikan
2. Mendiskusikan
bersama jawaban yang
diberikan
b. Menjelaskan tanda dan
gejala penyakit Reptur
Uretra
1. Menanyakan kepada
peserta mengenai
materi yang baru
disampaikan
2. Mendiskusikan
bersama jawaban yang
diberikan
c. Menjelaskan penanganan
penyakit Reptur Uretra di
RS
1. Menanyakan kepada
peserta mengenai
materi yang baru
disampaikan
2. Mendiskusikan
bersama jawaban yang
diberikan
d. Menjelaskan penanganan
mandiri di rumah
penyakit Reptur Uretra
1. Menanyakan kepada
peserta mengenai
materi yang baru
disampaikan
2. Mendiskusikan
bersama jawaban yang
diberikan
a. Menutup pertemuan
dengan memberi
kesimpulan dari materi
yang disampaikan
b. Mengajukan pertanyaan
kepada peserta
c. Mendiskusikan bersama
jawaban dari

Memperhatikan dan
memberi tanggapan
Memperhatikan
Memberi pertanyaan
Memperhatikan dan
memberi tanggapan
Memperhatikan
Memberikan
pertanyaan
Memperhatikan dan
memberi tanggapan
Memperhatikan
Memberikan
pertanyaan
Memperhatikan dan
memberi tanggapan

Memperhatikan
Memberi saran
Memberi komentar
dan menjawab
pertanyaan bersama

5 menit

pertanyaan yang telah


diberikan
d. Menutup pertemuan
dengan memberi salam

Memperhatikan dan
membalas salam

K. Evaluasi
a. Struktur
1. Pemateri menyiapkan materi seminar terkait Reptur Uretra
2. Pemateri melakukan kontrak waktu yang jelas
3. Tersedia lingkungan yang nyaman
b. Proses
1. Pemateri dapat menfasilitasi dan meningkatkan pengetahuan tentang
Reptur Uretra Pemateri mampu meningkatkan kemampuan peserta untuk
mengidentifikasi masalah Reptur Uretra
2. Peserta datang sesuai kontrak yang disepakati
3. Peserta terlihat antusias selama kegiatan pendidikan kesehatan
berlangsung
4. Peserta terlibat secara aktif dalam proses pendidikan kesehatan
5. Peserta mengikuti kegiatan seminar dari awal sampai selesai.
6. Proses berjalan secara sistematis.
c. Hasil
a. Peserta seminar mampu memahami pengertian Reptur Uretra
b. Peserta seminar mampu memahami tanda dan gejala Reptur Uretra
c. Peserta seminar mampu memahami penanganan Reptur Uretra di Rumah
Sakit
d. Peserta seminar mampu memahami penanganan mandiri di rumah
penyakit Reptur Uretra

MATERI RUPTUR URETRA


1. Pengertian
Ruptur uretra merupakan trauma uretra yang terjadi karena jejas yang
mengakibatkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik
parsial ataupun total.Ruptur uretra dibagi berdasarkan anatomi yaitu ruptur
uretra anterior dan ruptur uretra posterior dengan etiologi yang berbeda
diantara keduanya (Sjamjuhidajat, Wim De Jong. 2004).
2. Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal)
dan cedera iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang
menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan ruptur uretra pars
membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle
injury dapat menyebabkan ruptur uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter
atau businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan
uretra karena false route atau salah jalan, demikian pula tindakan operasi
trans uretra dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenik (Purnomo, Basuki.
2012).
Ketika uretra mengalami trauma kemungkinan juga berkaitan dengan
perkembangan penyakit obstruksi atau striktur uretra. Striktur uretra ketika
uretra mengalami trauma atau luka karena infeksi dalam jangka panjang,
mengakibatkan terganggunya saluran berkemih dan semen (Purnomo,
Basuki. 2012)
Ruptur uretra anterior biasanya terjadi karena trauma tumpul (paling
sering) atau trauma tusuk. Dan terdapat sekitar 85% kasus rupture uretra
anterior pars bulbosa akibat trauma tumpul.
a. Fraktur pelvis
Cedera urethra posterior utamanya disebabkan oleh fraktur pelvis. Yang
menurut kejadiannya, terbagi atas 3 tipe, yaitu :
Cedera akibat kompresi anterior-posterior
Cedera akibat kompresi lateral
Cedera tarikan vertikal.

Pada fraktur tipe I dan II mengenai pelvis bagian anterior dan biasanya
lebih stabil bila dibandingkan dengan fraktur tipe III dengan tipe tarikan
vertical. Pada fraktur tipe III ini seringkali akibat jatuh dari ketinggian, paling
berbahaya dan bersifat tidak stabil. Fraktur pelvis tidak stabil (unstable)
meliputi cedera pelvis anterior disertai kerusakan pada tulang posterior dan
ligament disekitar articulation sacroiliaca sehingga salah satu sisi lebih ke
depan dibanding sisi lainnya (Fraktur Malgaigne). Cedera urethra posterior
terjadi akibat terkena segmen fraktur atau paling sering karena tarikan ke
lateral pada uretra pars membranaceus dan ligamentum puboprostatika.
b. Cedera tarikan ( shearing injury)
Cedera akibat tarikan yang menimbulkan rupture urethra di sepanjang
pars membranaceus (5-10%). Cedera ini terjadi ketika tarikan yang mendadak
akibat migrasi ke superior dari buli-buli dan prostat yang menimbulkan
tarikan di sepanjang urethra posterior. Cedera ini juga terjadi pada fraktur
pubis bilateral (straddle fraktur) akibat tarikan terhadap prostat dari segmen
fraktur berbentuk kupu-kupu sehingga menimbulkan tarikan pada urethra pars
membranaceus.
c. Cedera uretra karena pemasangan kateter
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena
edema atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan
demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat lebih meluas. Pada
ekstravasasi ini, mudah timbul infiltrate urin yang mengakibatkan sellulitis
dan septisemia bila terjadi infeksi.
3. Klasifikasi
Berdasarkan anatomi, rupture uretra dibagi menjadi :
a. Rupture uretra posterior
Terletak di proksimal diafragma urogenital, hampir selalu disertai
fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars
membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke
cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea
terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi

total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan
ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-bulidan prostat
terlepas ke kranial.
b. Rupture uretra anterior
Terletak di distal dari diafragma urogenital. Terbagi atas 3 segmen,
yaitu:
Bulbous urethra
Pendulous urethra
Fossa navicularis
Namun, yang paling sering terjadi adalah rupture uretra pada
pars bulbosa yang disebabkan oleh Saddle Injury, dimana robekan
uretra terjadi antara ramus inferior os pubis dan benda yang
menyebabkannya.
Gambar. Uretra pada laki-laki.

Menurut Collpinto dan Mc Callum tahun 1977 cedera uretra posterior dapat
diklasifikasikan berdasarkan luas dari cederanya, menjadi:
Tipe I
: Cedera tarikan uretra
Tipe II
: Cedera pada proksimal diafragma genitourinaria
Tipe III
: Cedera uretra pada proksimal dan distal diafragma
genitourinaria

4. Patofisiologi
Ruptur uretra sering terjadi bila seorang penderita patah tulang
panggul karena jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Ruptur uretra dibagi
menjadi 2 yaitu rupture uretra posterior dan anterior.
Ruptur uretran posterior hampir selalu disertai fraktur pelvis. Akibat
fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranaseae karena prostat dan
uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur. Sedangkan
uretra membranaseae terikat di diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior
dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah
seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek, sehingga buli-buli dan
prostat terlepas ke cranial.
Rupture uretra anterior atau cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh
terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras
seperti batu, kayu atau palang sepeda dengan tulang simpisis. Cedera uretra
anterior selain oleh cedera kangkang juga dapat di sebabkan oleh
instrumentasi urologic seperti pemasangan kateter, businasi dan bedah
endoskopi. Akibatnya dapat terjadi kontusio dan laserasi uretra karena
straddle injury yang berat dan menyebabkan robeknya uretra dan terjadi
ekstravasasi urine yang biasa meluas ke skrotum, sepanjang penis dan ke
dinding abdomen yang bila tidak ditangani dengan baik terjadi infeksi atau
sepsis.

Gambar mekanisme trauma tumpul pada uretra anterior. (A) Ilustrasi straddle
injury menekan uretra bulbaris yang akan melawan simfisis pubis (B)

mengakibatkan gangguan pada uretra dengan perdarahan di sepanjang fascia


Colles. Fascia Buck juga terganggu
5. Tanda dan Gejala
Dapat diduga terjadi cedera urethra dari anamnesis atau trauma yang
nyata pada pelvis atau perineum. Pada penderita yang sadar, riwayat miksi
perlu diketahui untuk mengetahui waktu terakhir miksi, pancaran urine, nyeri
saat miksi dan adanya hematuria.
1. Ruptur uretra posterior
Rupture uretra posterior harus dicurigai jika terdapat tanda fraktur pelvis.
a. Perdarahan per uretra
Merupakan tanda utama dari rupture uretra posterior,
ditemukan

pada

37%-93%

penderita

dengan

cedera

urethra

posterior .Dengan timbulnya darah, setiap instrumentasi terhadap


urethra ditunda sampai keseluruhan urethra sudah dilakukan
pencitraan (uretrografi). Darah di introitus vagina ditemukan pada
80% penderita perempuan dengan fraktur pelvis dan cedera urethra.
b. Retensi urin
c. Pada pameriksaan Rectal Tuse didapatkan Floating prostat yakni
prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma
urogenital.
d. Pada pemeriksaan uretrografi didapatkan ekstravasasi kontras dan
terdapat fraktur pelvis.

2. Ruptur uretra anterior


Trauma uretra anterior yang terdiri dari uretra pars glanularis, pars
pendulans, dan pars bulbosa.
Pada ruptur uretra anterior, didapatkan :
a.
b.
c.

Perdarahan per-uretra/ hematuri.


Kadang terjadi retensi urine.
Hematom kupu-kupu/butterfly hematom/ jejas perineum.
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis.

Korpus spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus


oleh fasia Buck dan fasia Colles. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus
spongiosum darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada
fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis.
Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya
dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum

atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan


gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau
hematoma kupu-kupu.
Gambar. Ruptur uretra pars
anterior dengan perdarahan per

uretra, dan hematom kupu-kupu


6. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
Anamnesa:
Untuk mencari gejala dan tanda adanya ruptur uretra dan juga mencari
penyebab ruptur uretra.
Pemeriksaan fisik dan lokal:
Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra,
infiltrat, abses atau fistula.

b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
curiga trauma uretra adalah: USG, akan tetapi tidak sesuai karena kondisi

yang akut dan posisi organ retroperitoneal. Penelitian yang dilakukan di


Amerika menunjukkan hasil yang signifikan untuk pemeriksaan dengan
menggunakan IVP (Intra Venous Pyelogram).Untuk pasien dengan kondisi
stabil dapat menggunakan pemeriksaan ct-scan (Pereira et al. 2010).
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis
cedera uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan
trauma. Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan yang ideal untuk
saluran kemih bagian atas dan cedera vesika urinaria dan terbatas dalam
mendiagnosis cedera uretra.Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan
pelvis setelah trauma sebelum dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak
berperan dalam pemeriksaan cadera uretra.Sama halnya dengan USG uretra
yang memiliki keterbatasan dalam pelvis dan vesika urinaria untuk
menempatkan kateter suprapubik (Rosentain. 2006).

Gambar. Hasil ronsen pada trauma uretra


7. Terapi yang dilakukan
Penanganan pada pasien dengan ruptur uretra, terutama ruptur uretra
posterior yang dapat mengakibatkan pasien jatuh dalam keadaan syok karena
perdarahan yang banyak, maka penanganan awal adalah dengan resusitasi
cairan untuk kondisi hemodinamik stabil. Pada ruptur uretra anterior jarang

mengakibatkan syok. Selain resusitasi atasi nyeri yang dikeluhkan pasien


dengan pemberian analgetik (Santucci. 2012).
Ruptur uretra posterior ketika tidak disertai cedera organ intraabdomen
maka cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari
kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan
kateter silicon selama 3 minggu. Apabila disertai dengan cedera organ lain,
sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan reparasi dalam waktu 2-3
hari, maka dilakukan pemasangan kateter secara langsir (rail roading).

Gambar. Tehnik kateterisasi railroading


Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra
dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang
kateter silicon selama 3 minggu. Bila ruptur parsial, dilakukan sistostomi dan
pemasangan kateter foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi
uretra yang cedera.Kateter sistostomi dicabut apabila ketika kateter sistostomi
di klem, pasien bisa buang air kecil (Sjamjuhidajat, Wim De Jong. 2004).

Terdapat beberapa kontroversi akan penaganan ruptur urethra posterior


akibat fraktur pelvis, pilihan penanganan yang dapat dilakukan yaitu :
a. Realignment primer
Awalnya teknik ini dilakukan repair secara open dengan
mengeluarkan hematom, jaringan dan melakukan jahitan secara langsung.
Teknik ini tidak dilakukan lagi karena dilaporkan menimbulkan banyak
kehilangan darah selama operasi, meningkatkan impotensi, striktur dan
inkontinensia. Kemudian teknik ini berubah yaitu melakukan stenting
dengan kateter secara indirect maupun endoskopik tanpa melakukan
jahitan atau diseksi pelvis.
Diskontinuitas uretra dapat dijembatani dengan beberapa variasi.
Dapat dilakukan open sistostomy dan melihat buli-buli untuk adanya
kemungkinan rupture, bila cedera penyerta lainnya tidak massif dapat
dilakukan realignment. Pertama kateter uretra dimasukkan dengan
panduan jari kedalam buli-buli. Kemudian dilakukan perabaan pada
anterior prostat sehingga kateter dapat diposisikan.Bila hal ini gagal dapat
dilakukan dengan sistoskopi fleksibel. Ada pula yang menggunakan
teknik dengan memasang tube sonde no 8 secara antegrade sampai tube
keluar di meatus kemudian diikatkan dengan kateter utnuk kembali
dimasukkan ke buli-buli. Pemasangan kateter secara retrograde dapat pula
dilakukan dengan panduan melalui jari pada bladder neck.
Pada penderita politrauma dengan fraktur pelvis yang berat paling
mungkin dilakukan teknik dengan memasukkan sistoskopi fleksibel
melalui jalur suprapubik, sistoskopi rigid melalui uretra dan kawat
pemandu diantara keduanya sehingga kateter dapat lewat melalui kawat
pemandu .Pasien ditempatkan dalam posisi litotomy rendah dengan tetap
memperhatikan adanya segmen fraktur pelvis.
Dengan stenting menggunakan kateter dilakukan lebih awal,
kemungkinan untuk timbulnya komplikasi striktur berkurang bila
dibandingkan dengan hanya memasang sistostomi saja. Keuntungan

lainnya yaitu urethra yang avulse dan prostat yang awalnya berjauhan
kembali

didekatkan

sehingga

akan

memudahkan

saat

dilakukan

uretroplasty. Beberapa penulis menilai dengan pemasangan kateter dini


dapat memperpendek panjang striktur. Realignment ini sebaiknya
dilakukan sesegera mungkin (dalam 72 jam setelah cedera). Kateter
urethra dipertahankan selama 6 minggu, dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan uretrosistografi, bila tidak didapatkan ekstravasasi maka
kateter dapat dikeluarkan dengan tetap mempertahankan kateter
suprapubik.
b. Uretroplasty Primer
Repair primer dengan end-to-end anastomosis hanya dapat
dilakukan pada penderita non trauma atau tidak disertai dengan fraktur
pelvis, pasien dalam keadaan optimal dan terbukti mengalami ruptur
urethra posterior.
Standar baku dalam penanganan rekonstruksi uretra posterior
adalah

kateterisasi suprapubik selama 3 bulan dan dilanjutkan

anastomosis end-to-end bulboprostatika. Setelah 3 bulan, jaringan scar


pada tempat disrupsi urethra sudah stabil dan matang menjadi indikasi
untuk dilakukaknnya prosedur rekonstruksi. selain itu cedera penyerta
lainnya telah stabil dan pasien sudah rawat jalan.
Sebelum
rekonstruksi
dilakukan,
dilakukan

pencitraan

uretrosistografi retrograde untuk mengetahui karakteristik defek uretra.


Saat dilakukan pencitraan ini pasien diminta untuk berusaha berkemih
sehingga bladder neck terbuka dan defek rupture dapat dievaluasi lebih
akurat. Pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan MRI. Teknik yang
digunakan yaitu transperineal, dimana pasien ditempatkan pada posisi
litotomi dan insisi midline atau flap inverted. Urethra bulbosa
dibebabaskan dan disisihkan menjauhi defek urethra ke mid-scrotum.
Jaringan skar defek rupture uretra dieksisi dan urethra prostatica
diidentifikasi pada apex prostat. Untuk membuat anastomosis yang non

tension atau karena ujung-ujung defek berjauhan, dapat dilakukan


beberapa maneuver seperti pemisahan krus, pubektomi inferior dan rerouting uretra untuk mendekatkan gap.
8. Komplikasi
Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra pada ruptur uretra anterior
adalah infeksi, hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan, dan
epididimitis. Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur
uretra (Smith. 2009).
Komplikasi pada ruptur uretra posterior: Striktur, impotensi, dan
inkotinensia urin merupakan komplikasi rupture prostatomembranosa paling
berat yang disebabkan trauma pada sistem urinaria. Striktur yang mengikuti
perbaikan primer dan anastomosis terjadi sekitar 50% dari kasus.Jika
dilakukan sistotomi suprapubik, dengan pendekatan delayed repair maka
insidens striktur dapat dikurangi sampai sekitar 5%.Insidens impotensi
setelah primary repair, sekitar 30-80% (rata-rata sekitar 50%).Hal ini dapat
dikurangi hingga 30-35% dengan drainase suprapubik pada rekontruksi uretra
tertunda. Jumlah pasien yang mengalami inkotinensia urin <2 % biasanya
bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang berat dan cedera nervus S2-4
(Tanagho. 2008)

9. Prognosis
Prognosis pada pasien dengan ruptur uretra ketika penanganan awal
baik dan tepat akan lebih baik. Ruptur uretra anterior mempunyai prognosis
yang lebih baik ketika diketahui tidak menimbulkan striktur uretra karena
apabila terjadi infeksi dapat membaik dengan terapi yang tepat. Sedangkan
pada ruptur uretra posterior ketika disertai dengan komplikasi yang berat
maka prognosis akan lebih buruk (Palinrungi. 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa, EGC,
Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih
bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Depkes RI, ASKEP Pasien dengan Gg Penyakit Sistem Urologi , 1996 , Jakarta

Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan Keperawatan


untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih
bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
Mutaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta
Selemba Medika.
Hidayat Samsul , Ilmu Bedah , Edisi revisi, EGC , 1998 , Jakarta
Tucker Susan Martin, Et all , Standar Perawatan Pasien , volume 3 , EGC,
PeterMowschenson , Ilmu Bedah Untuk Pemula , Edisi 2 , Bina Rupa aksara,
1983 Jakarta

Anda mungkin juga menyukai