Tinjauan Pustaka
2.1 Tanda dan Gejala Klinis yang Muncul dari Anamnesis dan Pemeriksaan
Fisik serta Patofisiologinya
Tanda patologi IUFD:
Apabila janin mati pada kehamilan yang telah lanjut, terjadilah perubahanperubahan sebagai berikut (Silver, 2007) :
1) Rigor mortis (tegang mati) : Berlangsung 2 jam setelah mati, kemudian
janin menjadi lemas sekali.
2) Stadium maserasi I : Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini
mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi merah. Berlangsung
sampai 48 jam setelah janin mati.
3) Stadium maserasi II : Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban
menjadi merah coklat. Terjadi setelah 48 jam janin mati.
4) Stadium maserasi III : Terjadi kira-kira 3 minggu setelah janin mati. Badan
janin sangat lemas dan hubungan antar tulang sangat longgar. Terdapat
edema di bawah kulit.
Gejala-gejala IUFD (Silver, 2007) :
1) BJA tidak terdengar lagi
2) Rahim tidak membesar dan fundus uteri turun
3) Pergerakan anak tidak teraba
4) Palpasi anak menjadi tidak jelas
5) Reaksi biologis menjadi negatif, setelah anak mati kira-kira 10 hari
6) Pada foto rongen dapat terlihat :
a. Tulang-tulang tengkorak tutup menutupi, disebabkan isi tengkorak
berkurang karena otak mencair (tanda spalding),
b. Tulang punggung janin sangat melengkung (tanda Naujokes),
c. Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin.
Patofisiologi
Intra Uterine Fetal Death (IUFD), kematian janin disebabkan oleh tiga
permasalahan pokok yaitu kausa dari janin, kausa dari ibu, dan kausa dari
plasenta (Cunningham, 2013). Penyebab dari janin bisa berasal dari cacat
genetik atau malformasi kongenital mayor, infeksi janin, gestasi multipel, dan
cacat lahir non kromosom (Silver, 2007). Dari penyebab maternal yang
berakibat IUFD antara lain faktor diabetes tidak terkontrol, hipertensi
kehamilan hingga preeklampsia-eklampsia, kematian ibu, infeksi ibu, SLE,
autoantibodi, hemoglobinopati, ruptur uterina, antifosfolipid, dan lainnya.
Faktor-faktor kausa dari plasenta berupa adanya ruptura plasenta prematur,
vasa previa, insufisiensi plasenta, perdarahan fetomaternal, trauma pada
umbilikus, dan semacamnya (Korteweg, 2009).
1.
Kausa Janin
Dari 25 40% kasus kematian janin, penyebab terseringnya adalah
karena faktor janin itu sendiri. Kausa pada janin tersebut mencakup cacat
genetik atau malformasi kongenital mayor, infeksi janin, gestasi multipel,
dan cacat lahir non kromosom (Cunningham, 2013).
Malformasi
kongenital
mayor
merupakan
adanya
kelainan
kromosom autosom. Beberapa dari kelainan tersebut antara lain neuraltube defect, hidrosefalus, penyakit jantung kongenital, hidrops dan lainlain. Malformasi kongenital mayor ini merupakan kelainan genetis yang
mengancam hidup janin dan mengganggu kerja organ-organ vital (Silver,
2007).
Infeksi janin merupakan kausa yang konsisten dengan tingkat
kegawatdaruratan janin. Semakin parah morbiditas dan virulensi dari
infeksi yang diderita janin, semakin buruk kemungkinan janin untuk
dapat hidup di dalam uterus. Beberapa infeksi janin yang dapat
membahayakan janin antara lain infeksi TORCH (CMV, Toxoplasma,
Rubella), malaria, infeksi Streptococcus grup A dan Streptococcus grup
B, Salmonelosis atau demam tifoid, hingga gangguan pembekuan darah
dan syok (Silver, 2007).
Kausa Maternal
Kasus kematian janin yang diakibatkan oleh faktor maternal
ternyata hanya memiliki peranan yang kecil. Beberapa penyakit dari ibu
yang mempunyai kausa tersering berupa hipertensi dan diabetes pada
kehamilan. Penyakit-penyakit lain seperti autoantibodi, SLE, penyakit
rhesus merupakan sebab yang jarang jumlah kejadiannya. Pada intinya,
kasus kematian janin yang disebabkan oleh kausa ibu diakibatkan oleh
adanya gangguan sistemik pada ibu, dimana gangguan sistemik tersebut
mengganggu perfusi darah dari ibu ke janin. Penyebab lainnya seperti
penurunan alfa feto protein, cukup memberikan arti yang besar dalam
menimbulkan kematian janin, walaupun kejadian tersebut bersifat jarang
ditemukan (Nicholson, 2009).
Mekanisme inkompatibilitas Rhesus darah antar orang tua
mempunyai peran dalam IUFD. Golongan darah Rhesus yang berbeda
tersebut memberikan suatu bentuk autoantibodi pada tubuh janin,
sehingga berakibat pada hiperkoagulitas darah dan reaksi autoimun janin.
Hampir semua kasus ibu hamil dengan inkompatibilitas Rhesus berakibat
pada kematian janin (Cunningham, 2013).
Hipertensi dalam kehamilan terbagi menjadi tiga jenis yaitu
hipertensi gestasional, pre-eklampsia, dan eklampsia. Ketiga jenis
hipertensi kehamilan ini merupakan bagian yang berurutan, sesuai
dengan tingkat keparahan. Hipertensi gestasional merupakan peningkatan
tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali
selama kehamilan, tetapi belum mengalami proteinuria. Hipertensi
gestasional yang memberat akan menyebabkan terjadinya pre-eklampsia.
Pre-eklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel disertai dengan
adanya kombinasi antara hipertensi dan proteinuria yang nyata selama
kehamilan. Bila pre-eklampsia tidak segera ditangani dengan baik, akan
menimbulkan stadium pre-eklampsia berat yang akhirnya mengakibatkan
Kausa Plasenta
Kasus kematian janin yang dikaitkan dengan kausa plasenta relatif
bersifat dependent, tidak bisa berdiri sendiri, atau tergantung dari adanya
penyebab yang lainnya. Kasus-kasus yang sering menyebabkan kematian
janin antara lain solusio plasenta, infeksi plasenta dan ketuban, infark
plasenta, dan perdarahan janin ke ibu (Flenady, 2011).
Solusio
plasenta
adalah
terlepasnya
plasenta
dari
tempat
memperlihatkan
pembentukan
hematom
desidua
yang
luas, uterus tegang seperti papan, nyeri hebat, dan ibu-janin tiba-tiba
mengalami syok hingga meninggal (French, 2010)
Infark plasenta merupakan kelainan plasenta yang tersering. Infark
plasenta terjadi karena akibat dari sumbatan pasokan vaskuler ibu, yaitu
sirkulasi antarvilus. Secara histopatologis terdapat gambaran degenerasi
fibrinoid trofoblas, kalsifikasi, dan infark iskemik akibat oklusi arteri
spiralis. Secara umum, etiologi dari infark plasenta ini terjadi karena
penuaan trofoblas yang mengalami perubahan, dan gangguan sirkulasi
uteroplasenta. Sinsisium yang mengalami penuaan mengalami degenerasi
sinsisium. Sinsisium yang terurai tersebut kemudian langsung terpajan
dengan darah ibu, sehingga menyebabkan bekuan darah pada vilus-vilus.
Dari sini, terbentuklah trombosis arteri vilus pada janin dan bahkan
berakibat pada kalsifikasi plasenta. Pembentukan trombosis dan
kalsifikasi ini mengakibatkan gangguan sirkulasi darah ke janin yang
berakibat kematian janin (French, 2010).
Dapus
Cunningham, F.G., etc. 2013. Kematian Janin. Obstetri Williams. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Flenady V, et al. 2011. Major risk factors for stillbirth in high-income countries: a
systematic review and meta-analysis. Lancet;377(9774):1331-40 (on-line).
Diakses pada 10 Oktober 2015.
French AE, Gregg VH, Newberry Y, et al. 2010. Umbilical cord stricture: a cause
of recurrent fetal death. Obstet Gynecol;105(5 Pt 2):1235-9(on-line).
Diakses pada 10 Oktober 2015.
Korteweg, F.J., etc. 2009. Diverse Placental Pathologies as the Main Causes of
Fetal Death.Obstet Gynecol ; 114 (4) : 809-17 (on-line). Diakses pada 10
Oktober 2015.
Nicholson JM, Caughey AB, Stenson MH, Cronholm P, Kellar L, Bennett I, et
al.2009. The active management of risk in multiparous pregnancy at term: