NITA HERAWATI
H1A 007 061
PEMBIMBING :
dr. Edi Prasetyo Wibowo, Sp.OG
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ginekologi ini.
Laporan kasus yang berjudul Disfunctional Uterine Bleeding ini
disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF
Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Provinsi NTB.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan
kepada penulis.
1. dr. Edi Prasetyo Wibowo, Sp.OG selaku pembimbing laporan kasus ini.
2. dr. Agus Thoriq, Sp.OG, selaku Ketua SMF Obstetri dan Ginekologi
RSUP NTB.
3. dr. H. Doddy A. K., Sp.OG (K), selaku supervisor
4. dr. I Made Putra Juliawan, Sp.OG selaku supervisor
5. dr. Gede Made Punarbawa, Sp.OG(K), selaku supervisor
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan
praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.
Mataram, November 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
C. Siklus Mentsruasi
Menstruasi (haid) adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus
disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Menstruasi normal terjadi akibat
turunnya kadar progesteron dari endometrium yang kaya estrogen. Siklus
menstruasi yang menimbulkan ovulasi disebabkan interaksi kompleks antara
berbagai organ. Disfungsi pada tingkat manapun dapat mengganggu ovulasi dan
siklus menstruasi. Siklus menstruasi normal terjadi setiap 21-35 hari dan
berlangsung sekitar 3-7 hari. Pada saat menstruasi, jumlah darah yang hilang
diperkirakan 35-80 ml, biasanya berjumlah banyak hingga hari kedua dan
selanjutnya berkurang sampai menstruasi berakhir.
Pada tiap siklus dikenal tiga masa utama, yaitu:
1. Masa haid selama dua sampai delapan hari. Pada waktu ini endometrium
dilepas sedangkan pengeluaran hormon-hormon ovarium minimum.
2. Masa proliferasi sampai hari keempat belas. Pada waktu ini endometrium
tumbuh kembali, disebut juga proliferasi. Antara hari kedua belas dan keempat
belas dapat terjadi pelepasan ovum dari ovarium yang disebut ovulasi.
3. Masa sekresi. Pada masa ini korpus rubrum menjadi korpus luteum yang
mengeluarkan progesteron. Dibawah pengaruh progesterone ini, kelenjar
endometrium yang berlekuk-lekuk mengeluarkan sekret yang mengandung
glikogen dan lemak. Pada akhir masa ini stroma endometrium berubah kea rah
sel-sel desidua, terutama yang di sekitar pembuluh arteri. Keadaan ini
memudahkan adanya nidasi.
Siklus haid normal terbagi menjadi dua fase dan satu saat, yaitu fase folikuler,
saat ovulasi dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar hormone sepanjang siklus
haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormone steroid
dan gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH,
sedangkan terhadap LH menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah
dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi 5,6
Selama fase folikuler dari siklus ovarium normal (berkaitan dengan fase
proliferatif dari siklus endometrium), kadar estrogen meningkat awalnya
perlahan-lahan kemudian lebih cepat karena folikel ovarium yang dominan
muncul, tumbuh dan matang. Sebagai respon terhadap estrogen tersebut, lapisan
endometrium
yang
melebihi
suplai darahnya
dan terjadi
aktif, karena tidak terjadinya ovulasi. Dengan demikian efek estrogen terhadap
endometrium tak berlawanan. Hampir 80% siklus mens anovulatorik pada tahun
pertama menarche dan akan menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah
menarche.
Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah per darahan pada
satu saat lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan
penghentian perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis
jika perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak
tidak hilang dalam 2 siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari
perdarahan setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan
penghentian perdarahan segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan
uterus disfungsional akut. Perdarahan disfungsional yang ovulatorik gangguan
dianggap
berasal
dari
factor-faktor
neuromuscular,
vasomotorik
10
11
1. Pemeriksaan darah : Hemoglobin, uji fungsi tiroid, dan kadar HCG, FSH, LH,
Prolaktin dan androgen serum jika ada indikasi atau skrining gangguan
perdarahan jika ada tampilan yang mengarah kesana.
2. Deteksi patologi endometrium melalui (a) dilatasi dan kuretase dan (b)
histeroskopi. Wanita tua dengan gangguan menstruasi, wanita muda dengan
perdarahan tidak teratur atau wanita muda (< 40 tahun) yang gagal berespon
terhadap pengobatan harus menjalani sejumlah pemeriksaan endometrium.
Penyakit organik traktus genitalia mungkin terlewatkan bahkan saat kuretase.
Maka penting untuk melakukan kuretase ulang dan investigasi lain yang sesuai
pada seluruh kasus perdarahan uterus abnormal berulang atau berat. Pada
wanita yang memerlukan investigasi, histeroskopi lebih sensitif dibandingkan
dilatasi dan kuretase dalam mendeteksi abnormalitas endometrium.
3. Laparoskopi : Laparoskopi bermanfaat pada wanita yang tidak berhasil dalam
uji coba terapeutik.
G. Diagnosis Banding
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
willebrand
9. Infeksi PID, servisitis dan vaginitis
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum perlu
memperhatikan faktor-faktor berikut:
a. Umur, status pernikahan, fertilitas
Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan
perimenarche, reproduksi dan perimenopause. Penanganan juga seringkali
12
berbeda antara penderita yang telah dan belum menikah atau yang tidak dan
yang ingin anak.
b. Berat, jenis dan lama perdarahan.
Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak
atau tidak.
fungsi
normal
siklus
haid
dengan
cara
mengembalikan
13
Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk,
pada keadaan perdarahan uterus disfungsional akut anemia yang terjadi harus
segera diatasi dengan transfusi darah. Pada perdarahan uterus disfungsional
kronis keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan
besi, sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah.
2. Penghentian perdarahan baik secara hormonal maupun operatif.
3. Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi.
Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal,
pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana
sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
Langkah-langkah upaya menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut:
Kuret (curettage)
Hanya untuk wanita yang sudah menikah. Tidak bagi gadis dan tidak bagi wanita
menikah tapi belum sempat berhubungan intim.
Pemakaian hormon steroid seks
a. Estrogen
Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan
karena memiliki berbagai efek yaitu:
1. Penyembuhan luka (healing effect)
2. Pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah
3. Vasokonstriksi, karena merangsang pembentukan prostaglandin
4. Meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin serta menghambat proses
fibrinolisis.
Pada umumnya dipakai estrogen alamiah, misalnya: estradiol valerat
(nama generik) yang relatif menguntungkan karena tidak membebani kinerja liver
dan tidak menimbulkan gangguan pembekuan darah. Jenis lain, misalnya: etinil
estradiol, tapi obat ini dapat menimbulkan gangguan fungsi liver.
14
15
16
peristiwa
perdarahan,
prostaglandin
penting
peranannya
pada
vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PgE2 dan PgE2 meningkat secara
bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat anti
inflamasi non steroid telah dipakai untuk pengobatan perdarahan uterus
disfungsional, terutama perdarahan uterus disfungsional anovulatorik. Untuk itu
asam mefenamat dan naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500 mg/hari selama
3-5 hari terbukti mampu mengurangi perdarahan.
Pemakaian antifibrinolitik
Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara local pada perdarahan
uterus disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas fibrinolitik yang
diakibatkan oleh kerja enzimatik. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan dasar untuk mengatasi penumpukan fibrin. Unsur utama pada system
fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang bila diaktifkan akan mengeluarkan
protease palsmin.
Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi plasmin,
sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan yang ada
untuk keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4 x
1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari).
Pengobatan operatif
Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan
histerektomi. Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis
pengobatan operatif pada perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari
kuretase pada perdarahan uterus disfungsional adalah untuk diagnostik, terutama
pada umur diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan dengan
meningkatnya frekuensi keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat
menghentikan
perdarahan
karena
menghilangkan
daerah
nekrotik
pada
17
18
I. Prognosis
Hasil
9,13
pengobatan
bergantung
kepada
proses
perjalanan
penyakit
(patofisiologi)
Penegakan diagnosis yang tepat dan regulasi hormonal secara dini
dapat memberikan angka kesembuhan hingga 90 %.
Pada wanita muda, yang sebagian besar terjadi dalam siklus anovulasi,
dapat diobati dengan hasil baik.
19
BAB III
LAPORAN KASUS GINEKOLOGI
I. IDENTITAS
Nama
Usia
Pekerjaan
Agama
Suku
Alamat
RM
MRS
:
:
:
:
:
:
:
:
Ny. M
46 tahun
IRT
Islam
Sasak
Gunung Sari, Lombok Barat
120849
05 Oktober 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : haid lama dan banyak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan haid lama dan banyak
sejak tanggal 22
september 2015 hingga tanggal 05 Oktober 2015 (saat MRS). Darah yang
keluar selama menstruasi merupakan darah segar dengan jumlah yang banyak
sehingga pasien harus ganti pembalut hingga 5-8 kali. Pasien juga mengeluh
mengalami pusing. Pendarahan yang dialami pasien tanpa disertai nyeri perut.
BAB/ BAK normal.
Riwayat menstruasi
20
21
namun merasa tidak kunjung sembuh. Satu bulan terakhir keluhan memberat
dan pasien memutuskan memeriksakan diri ke RSUP NTB.
Riwayat Alergi :
Pasien tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan dan makanan.
Riwayat Obstetri dan Ginekologi:
- Pasien sudah menikah 39 tahun yang lalu, usia 15 tahun.
- Pasien pernah menggunakan kontrasepsi suntik setelah melahirkan anak
-
ke 3
Pasien mengakui tidak pernah mendapatkan haid sejak 10 tahun terakhir.
Haid pertama usia 14 tahun, tidak nyeri, kadang-kadang banyak kadangkadang sedikit, teratur sebulan sekali, 3-4 hari.
Riwayat obstetri
-
Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
Suhu
:
:
:
:
130/70 mmHg
86 x/menit
20 x/menit
36,7oC
Mata
Jantung
Paru
Ekstremitas
: edema - -
Abdomen :
Inspeksi: Abdomen tak tampak mengalami pembesaran, massa (-), tidak
ada tanda-tanda peradangan, bekas operasi (-).
Auskultasi : Bising usus (+).
Perkusi : Redup (+), undulasi (-).
Palpasi: masa(-), BU (+)
Genitalia Eksterna : Tidak tampak adanya kelainan. Vulva dalam batas
normal, klitoris normal, meatus uretra normal, labia mayora dan minora
simetris, perineum dalam batas normal, introitus vagina tidak tampak
massa, discharge dari liang vagina (-).
Inspekulo : Porsio tampak erosi, (-), Fluksus (+) leukorhea, tidak
tampak adanya jaringan, pendarahan aktif (-), peradangan (-).
Bimanual : Posisi uterus antefleksi, kosistensi padat. Porsio teraba licin,
(-), slinger pain (-),adneksa parametrium kiri dan kanan dalam batas
normal, ukuran sulit dievaluasi. Cavum douglas dalam batas normal.
23
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Ultrasonografi (USG) Abdomen (8 September 2015):
Hb
RBC
WBC
PLT
HCT
HbSAg
GDS
PT
APTT
: 8,5 g/dL
: 4,00 M/l
: 42,50 K/l
: 78 K/l
: 26,7 %
: (-)
: 105 mg%
: 2,7
: 7,10
24
25
Terapi :
o Amoxilin 3x500 mg
o Amoxilin 3x500 mg
26
IX.
KU
: Sedang
Kes
: CM
TD
: 100/70 mmHg
Nadi
: 86 x/menit
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 36,5oC
Hb
: 11,8 g/dL
RBC
: 5,16 M/l
WBC
: 14,96 K/l
PLT
: 432 K/l
Assesment :
Post Laparatomi + histerektomi
Planning:
-
Bed rest
27
TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
RR
: 20 x/menit
Suhu : 36,8oC
Abdomen :
Luka bekas operasi terawat, basah, tanda infeksi (-), pendarahan (-).
Assesment :
Post Laparatomi + histerektomi H + 1
Planning:
Mobilisasi
Makan minum
: baik
Kes
: CM
TD
: 130/80 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 36,8oC
Abdomen :
Luka bekas operasi terawat, kering, tanda infeksi (-), pendarahan (-).
Assesment :
Post Laparatomi+ histerektomi H + 7
28
Planning:
Mobilisasi
29
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine Bleeding adalah
perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar siklus menstruasi,
karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon (hipotalamus-hipofisis-ovariumendometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan ini juga didefinisikan sebagai menstruasi
yang banyak dan / atau tidak teratur tanpa adanya patologi pelvik yang diketahui, kehamilan
atau gangguan perdarahan umum.
Diagnosis dibuat setelah diagnosis lainnya disingkirkan (diagnosis eksklusi).
Pemeriksaan abdomen dan pelvis serta kuretase uterus yang adekuat, histeroskopi atau
setidaknya biopsi endometrium sangat penting untuk menyingkirkan penyakit organik pada
uterus. Perdarahan uterus disfungsional paling sering terjadi pada awal dan akhir masa
menstruasi, tetapi dapat terjadi pada usia manapun.
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan perdarahan akut, episode perdarahan
dimasa datang, dan mencegah dampak anovulasi yang serius pada jangka panjang yaitu
kanker endometrium. Pengobatan utama adalah terapi medis meskipun intervensi bedah
dibutuhkan pada sebagian kasus. Jika perdarahan berat, dan / atau berulang, atau pengobatan
medis gagal, maka diperlukan evaluasi ulang.
PUD pada remaja disebabkan oleh immaturitas hipothalamus dan pituitary, dan siklus
menstruasi mungkin anovulatorik. Pada gadis remaja, penyakit organik jarang terjadi dan
PUD biasanya membaik secara spontan. Itulah sebabnya mengapa ditatalaksana secara
konservatif dan kuretase sering ditunda.
Pada pertengahan usia reproduksi (20 39 tahun), penyakit organik jinak sering terjadi,
dan kuretase biasanya dilakukan untuk menyingkirkan penyulit kehamilan dan penyakit
lainnya. Terapi konservatif biasanya diindikasikan, meskipun histerektomi dapat dilakukan
jika perdarahan berat atau berulang dan pasien tidak ingin memiliki keturunan lagi.
PUD perimenopause disebabkan oleh menurunnya jumlah folikel ovarium dan
meningkatnya resistensi folikel ovarium terhadap stimulasi gonadotropin. Terdapat
kemungkinan keganasan. Jadi, wanita perimenopause dengan PUD harus selalu diperiksa
dengan kuretase atau histeroskopi tanpa penundaan. Meskipun terapi konservatif dapat
dicoba sebagai tatalaksana sementara, seringkali diperlukna histerektomi.
Perdarahan uterus disfungsional merupakan salah satu alasan tersering bagi wanita untuk
mencari pengobatan medis. Pemeriksaan pasien secara rinci diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dengan menyingkirkan penyakit organik. Saat ini, diagnosis PUD tidak adekuat.
Tersedia berbagai modalitas pengobatan untuk PUD. Pengobatan utama yakni terapi medis
dapat menghasilkan pemulihan simptomatik tetapi keluaran jangka panjangnya tidak
menggembirakan. Oleh karena itu, ahli ginekologi harus selalu memberitahu pasien mengenai
seluruh aspek penatalaksanaan PUD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behera, Millie. A., Thomas, M. P., 2010. Dysfuctional Uterine Bleeding. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/257007 (Accessed 08 Oktober 2015)
2. Chen. B. H., Linda. C. G. 1998. Dysfunctional Uterine Bleeding. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305317/pdf/westjmed003260026.pdf (Accessed 10 Oktober 2015)
3. Dangal, Ganesh. 2006. Dysfunctional Uterine Bleeding And Its Management Strategy.
The Internet Journal of Gynecology and Obstetrics. Available from:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_gynecology_and_obstetrics/vo
lume_4_number_1_19/article/dysfunctional_uterine_bleeding_and_its_management_
strategy.html [Accessed 10 Oktober 2015]
4. Dorland, N. (2010). Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
5. Estephan, Amir., Amir, Richard., 2010. Dysfunctional Uterine Bleeding. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/795587 [Accessed 08 Oktober 2015]
6. Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjdo; 223-228
11. Wiknjosastro, Hanifa. (2009). Ilmu Kandungan, edisi ketiga. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
12. William,
Helm,
et
al.
(2015).
Ovarian
Cysts.
Available
from