Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS GINEKOLOGI

DISFUNCTIONAL UTERINE BLEEDING

NITA HERAWATI
H1A 007 061

PEMBIMBING :
dr. Edi Prasetyo Wibowo, Sp.OG

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI SMF KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ginekologi ini.
Laporan kasus yang berjudul Disfunctional Uterine Bleeding ini
disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF
Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Provinsi NTB.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan
kepada penulis.
1. dr. Edi Prasetyo Wibowo, Sp.OG selaku pembimbing laporan kasus ini.
2. dr. Agus Thoriq, Sp.OG, selaku Ketua SMF Obstetri dan Ginekologi
RSUP NTB.
3. dr. H. Doddy A. K., Sp.OG (K), selaku supervisor
4. dr. I Made Putra Juliawan, Sp.OG selaku supervisor
5. dr. Gede Made Punarbawa, Sp.OG(K), selaku supervisor
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan
praktek sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.
Mataram, November 2015
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Hampir semua wanita pernah mengalami gangguan haid selama masa


hidupnya. Gangguan ini dapat berupa kelainan siklus atau perdarahan. Masalah ini
dihadapi oleh wanita usia remaja, reproduksi dan klimakterik.
Perdarahan yang terjadi dalam masa antara 2 haid disebut perdarahan bukan
haid. Perdarahan itu tampak terpisah dan dapat dibedakan dari haid, atau 2 jenis
perdarahan ini menjadi satu; yang pertama dinamakan metroragia, yang kedua
menometroragia. Perdarahan ini dapat disebabkan oleh kelainan organik pada alat
genital atau kelainan fungsional. Perdarahan dari uterus yang tidak ada
hubungannya dengan sebab organik (kelainan pada serviks, uterus, tuba fallopii
dan ovarium) dinamakan perdarahan disfungsional 1,2
Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan
menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa permulaan
dan masa akhir fungsi ovarium. Dua pertiga dari wanita-wanita yang dirawat di
rumah sakit untuk perdarahan disfungsional berumur di atas 40 tahun, dan 3 % di
bawah 20 tahun. Sebetulnya dalam praktek banyak dijumpai pula perdarahan
disfungsional dalam masa pubertas, akan tetapi keadaan ini dapat sembuh sendiri,
sehingga jarang diperlukan perawatan di rumah sakit 3,4
Diagnosis dapat ditegakkan bila tidak ditemukan kelainan organ. Gangguan
pola menstruasi adalah tampilan klinis yang umum. PUD umum terjadi pada awal
dan akhir usia reproduksi, dimana sering terjadi PUD anovulatori. Selama periode
ini, PUD terjadi sekunder akibat penurunan esterogen. PUD dapat disebabkan
oleh ketidakseimbangan endokrin atau dapat terjadi pada siklus menstruasi normal
(PUD ovulatori) 1,2,3
Pembagian endometrium jenis nonsekresi dan sekresi penting artinya, karena
dengan demikian dapat dibedakan perdarahan yang anovulatoar dari yang
ovulatoar. Klasifikasi ini mempunyai nilai klinis karena kedua jenis perdarahan
disfungsional ini mempunyai dasar etiologi yang berlainan dan memerlukan
penanganan yang berbeda. Pada perdarahan disfungsional yang ovulatoar
gangguan dianggap berasal dari faktor-faktor neuromuscular, vasomotorik, atau
hematologik, yang mekanismenya belum seberapa dimengerti, sedangkan
perdarahan anovulatoar biasanya dianggap berasal pada gangguan endokrin.

Karena diagnosis PUD didasarkan pada penyingkiran penyebab patologis, maka


penting untuk mengetahui diagnosis banding PUD. Hingga 40 persen wanita
dengan PUD pada akhirnya akan diperoleh diagnosis lain jika diselidiki secara
intensif. Morbiditas psikiatrik juga berhubungan dengan PUD. Penelitian
komunitas menunjukkan bahwa wanita yang memiliki skor tinggi pada skor
psikiatrik lebih sering mengeluhkan gangguan menstruasi 1,4
PUD meliputi setiap kondisi perdarahan uterus abnormal tanpa adanya
kehamilan, neoplasma, infeksi, atau lesi intra uterin lainnya. Perdarahan ini paling
sering sebagai akibat disfungsi endokrinologis yang menghambat ovulasi normal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine


Bleeding adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun
di luar siklus menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon
(hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan
ini juga didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan atau tidak teratur tanpa
adanya patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan perdarahan
umum1,3,5
B. Etiopatogenesis 5,6
Patologi PUD bervariasi. Gambaran penting salah satu kelompok PUD
adalah gangguan aksis hipotalamuspituitariovarium sehingga menimbulkan
siklus anovulatorik. Kurangnya progesteron meningkatkan stimulasi estrogen
terhadap endometrium. Endometrium yang tebal berlebihan tanpa pengaruh
progesteron, tidak stabil dan terjadi pelepasan irreguler. Secara umum, semakin
lama anovulasi maka semakin besar resiko perdarahan yang berlebihan. Ini adalah
bentuk PUD yang paling sering ditemukan pada gadis remaja.
Korpus luteum defektif yang terjadi setelah ovulasi dapat menimbulkan PUD
ovulatori. Hal ini menyebabkan stabilisasi endometrium yang tidak adekuat, yang
kemudian lepas secara irreguler. Pelepasan yang irreguler ini terjadi jika terdapat
korpus luteum persisten dimana dukungan progestogenik tidak menurun setelah
14 hari sebagaimana normalnya, tetapi terus berlanjut diluar periode tersebut. Ini
disebut PUD ovulatori.
Secara garis besar, kondisi di atas dapat terjadi pada siklus ovulasi
(pengeluaran sel telur/ovum dari indung telur), tanpa ovulasi maupun keadaan
lain, misalnya pada wanita premenopause (folikel persisten). Sekitar 90%
perdarahan uterus difungsional (perdarahan rahim) terjadi tanpa ovulasi
(anovulation) dan 10% terjadi dalam siklus ovulasi.

C. Siklus Mentsruasi

Menstruasi (haid) adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus
disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Menstruasi normal terjadi akibat
turunnya kadar progesteron dari endometrium yang kaya estrogen. Siklus
menstruasi yang menimbulkan ovulasi disebabkan interaksi kompleks antara
berbagai organ. Disfungsi pada tingkat manapun dapat mengganggu ovulasi dan
siklus menstruasi. Siklus menstruasi normal terjadi setiap 21-35 hari dan
berlangsung sekitar 3-7 hari. Pada saat menstruasi, jumlah darah yang hilang
diperkirakan 35-80 ml, biasanya berjumlah banyak hingga hari kedua dan
selanjutnya berkurang sampai menstruasi berakhir.
Pada tiap siklus dikenal tiga masa utama, yaitu:
1. Masa haid selama dua sampai delapan hari. Pada waktu ini endometrium
dilepas sedangkan pengeluaran hormon-hormon ovarium minimum.
2. Masa proliferasi sampai hari keempat belas. Pada waktu ini endometrium
tumbuh kembali, disebut juga proliferasi. Antara hari kedua belas dan keempat
belas dapat terjadi pelepasan ovum dari ovarium yang disebut ovulasi.
3. Masa sekresi. Pada masa ini korpus rubrum menjadi korpus luteum yang
mengeluarkan progesteron. Dibawah pengaruh progesterone ini, kelenjar
endometrium yang berlekuk-lekuk mengeluarkan sekret yang mengandung
glikogen dan lemak. Pada akhir masa ini stroma endometrium berubah kea rah
sel-sel desidua, terutama yang di sekitar pembuluh arteri. Keadaan ini
memudahkan adanya nidasi.
Siklus haid normal terbagi menjadi dua fase dan satu saat, yaitu fase folikuler,
saat ovulasi dan fase luteal. Perubahan-perubahan kadar hormone sepanjang siklus
haid disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormone steroid
dan gonadotropin. Estrogen menyebabkan umpan balik negatif terhadap FSH,
sedangkan terhadap LH menyebabkan umpan balik negatif jika kadarnya rendah
dan umpan balik positif jika kadarnya tinggi 5,6
Selama fase folikuler dari siklus ovarium normal (berkaitan dengan fase
proliferatif dari siklus endometrium), kadar estrogen meningkat awalnya
perlahan-lahan kemudian lebih cepat karena folikel ovarium yang dominan
muncul, tumbuh dan matang. Sebagai respon terhadap estrogen tersebut, lapisan

fungsional dari endometrium tumbuh kembali, setelah luruh selama menstruasi


sebelumnya. Setelah ovulasi, korpus luteum yang berasal dari folikel ovulatorik
terus menghasilkan estrogen, namun saat ini dan yang lebih penting juga
progesteron. Selama fase luteal dari siklus ovarium (berkaitan dengan fase
sekretorik dari siklus endometrium), kadar estrogen dan progesteron meningkat
bersamaan saat korpus luteum tumbuh menjadi matang. Sebagai respon terhadap
kerja kombinasi dari estrogen dan progesteron, endometrium berubah dan diatur
untuk datangnya serta implantasi dari hasil konsepsi yang diharapkan. Jika
kehamilan dan peningkatan cepat dari kadar gonadotropin korionik manusia
(hCG) tidak menstimulasi dan menyelamatkannya, korpus luteum mengalami
regresi spontan dalam bentuk kematian sel yang telah diprogram sebelumnya.
Begitu terjadi hal tersebut, kadar estrogen dan progesteron turun secara konstan,
akhirnya menarik dukungan fungsional untuk endometrium. Menstruasi dimulai,
menandai akhir dari satu siklus endometrium dan dimulainya siklus lain6,7

Pada siklus ovulasi


Perdarahan rahim yang bisa terjadi pada pertengahan menstruasi maupun
bersamaan dengan waktu menstruasi. Perdarahan ini terjadi karena rendahnya
kadar hormon estrogen, sementara hormon progesteron tetap terbentuk.
Ovulasi abnormal (PUD ovulatori) terjadi pada 15 20 % pasien PUD dan
mereka memiliki endometrium sekretori yang menunjukkan adanya ovulasi
setidaknya intermitten jika tidak reguler. Pasien ovulatori dengan perdarahan
abnormal lebih sering memiliki patologi organik yang mendasari, dengan
demikian mereka bukan pasien PUD sejati menurut definisi tersebut. Secara
umum, PUD ovulatori sulit untuk diobati secara medis.

Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)


Perdarahan rahim yang sering terjadi pada masa pre-menopause dan masa
reproduksi. Hal ini karena tidak terjadi ovulasi, sehingga kadar hormon estrogen
berlebihan sedangkan hormon progesteron rendah. Akibatnya dinding rahim
(endometrium) mengalami penebalan berlebihan (hiperplasi) tanpa diikuti
penyangga (kaya pembuluh darah dan kelenjar) yang memadai. Kondisi inilah
penyebab terjadinya perdarahan uterus karena dinding uterus yang rapuh.
Anovulasi kronik adalah penyebab PUD yang paling sering. Keadaan
anovulasi kronik akibat stimulasi estrogen terhadap endometrium terus menerus
yang menimbulkan pelepasan irreguler dan perdarahan. Anovulasi sering terjadi
pada gadis perimenarche. Stimulasi estrogen yang lama dapat menimbulkan
pertumbuhan

endometrium

yang

melebihi

suplai darahnya

dan terjadi

perkembangan kelenjar, stroma, dan pembuluh darah endometrium yang tidak


sinkron. Setiap kegagalan produksi progesteron juga dapat mempengaruhi
kelenjar, stroma, dan pembuluh darah endometrium. Kegagalan produksi
progesteron disebabkan berbagai etiologi endokrin seperti penyakit tiroid,
7

hiperprolaktinemia, dan tumor ovarium yang menghasilkan hormon, penyakit


Cushing, dan yang paling penting adalah sindroma ovarium polikistik atau
sindroma Stein Leventhal.
D. Klasifikasi
Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan-kelainan
ovulasi, siklus haid, jumlah perdarahan dan anemia yang ditimbulkannya.
Berdasarkan kelainan tersebut maka perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi
seperti tabel dibawah ini:

Perdarahan uterus disfungsional biasanya berhubungan dengan satu dari tiga


keadaan ketidakseimbangan hormonal, berupa: estrogen breakthrough bleeding,
estrogen withdrawal bleeding dan progesterone breakthrough bleeding.
Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada
siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidakseimbangan hormonal akibat
umur korpus luteum yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau
persistensi korpus luteum. Perdarahan uterus disfungsional pada wanita dengan
siklus anovulatorik muncul sebagai perdarahan reguler dan siklik.
Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik perdarahan
abnormal terjadi pada siklus anovulatorik dimana dasarnya adalah defisiensi
progesteron dan kelebihan progesteron akibat tidak terbentuknya korpus luteum
8

aktif, karena tidak terjadinya ovulasi. Dengan demikian efek estrogen terhadap
endometrium tak berlawanan. Hampir 80% siklus mens anovulatorik pada tahun
pertama menarche dan akan menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah
menarche.
Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah per darahan pada
satu saat lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan
penghentian perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis
jika perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak
tidak hilang dalam 2 siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari
perdarahan setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan
penghentian perdarahan segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan
uterus disfungsional akut. Perdarahan disfungsional yang ovulatorik gangguan
dianggap

berasal

dari

factor-faktor

neuromuscular,

vasomotorik

ataunhematologiknyang mekanismenya belum dapat dimengerti, sedangkan


perdarahan anovulatorik biasanya dianggap bersumber pada gangguan endokrin.
E. Gejala Klinis
Perdarahan uterus yang dapat terjadi tiap saat dalam siklus menstruasi.
Jumlah perdarahan bisa sedikit-sedikit dan terus menerus atau banyak dan
berulang. Kejadian tersering pada menarche atau masa pre-menopause.
Pada siklus ovulasi
Karakteristik PUD bervariasi, mulai dari perdarahan banyak tapi jarang, hingga
spotting atau perdarahan yang terus menerus. Perdarahan ini merupakan kurang
lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan siklus pendek (polimenorea) atau
panjang (oligomenorea). Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan kerokan
pada masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur
sehingga siklus haid tidal lagi dikenali maka kadang-kadang bentuk kurve suhu
badan basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari
endometrium tipe sekresi tanpa ada sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai
etiologi :

1. korpus luteum persistens : dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang


bersamaan dengan ovarium membesar. Dapat menyebabkan pelepasan
endometrium tidak teratur.
2. Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting,
menoragia atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron
disebabkan oleh gangguan LH releasing faktor. Diagnosis dibuat, apabila hasil
biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran
endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan.
3. Apopleksia uteri: pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus
4. Kelainan darah seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam
mekanisme pembekuan darah.
Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)
Perdarahan tidak terjadi bersamaan. Permukaan dinding uterus di satu bagian
baru sembuh diikuti perdarahan di permukaan lainnya. Jadilah perdarahan uterus
berkepanjangan.
Pada tipe ini berhubungan dengan fluktuasi kadar estrogen dan jumlah folikel
yang pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan estrogen
sebelum mengalami atresia dan kemudian diganti oelh folikel-folikel baru.
Endometrium dibawah pengaruh estrogen akan tumbuh terus, dan dari
endometrium yang mula-mula proliferatif dapat terjadi endometrium hiperplastik
kistik. Jika gambaran ini diperoleh pada saat kerokan dapat diambil kesimpulan
bahwa perdarahan bersifat anovulatoar. Biasanya perdarahan disfungsional ini
terjadi pada masa pubertas dan masa pramenopause. Pada masa pubertas terjadi
sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau
terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa produksi
Releasing factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada wanita dalam
masa pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan
lancar.
Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada
harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi

10

ovulatoar. Sedangkan pada wanita dewasa dan terutama dalam masa


pramenopause dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk
menentukan ada tidaknya tumor ganas.
F. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan klinis yang lengkap harus dilakukan dalam
pemeriksaan pasien. Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya
penyakit sistemik, maka penyelidikan lebih jauh mungkin diperlukan.
Abnormalitas pada pemeriksaan pelvis harus diperiksa dengan USG dan
laparoskopi jika diperlukan. Perdarahan siklik (reguler) didahului oleh tanda
premenstruasi (mastalgia, kenaikan berat badan karena meningkatnya cairan
tubuh, perubahan mood, atau kram abdomen) lebih cenderung bersifat ovulatori.
Sedangkan, perdarahan lama yang terjadi dengan interval tidak teratur setelah
mengalami amenore berbulan bulan, kemungkinan bersifat anovulatori.
Peningkatan suhu basal tubuh (0,30,60C), peningkatan kadar progesteron serum
(> 3 ng/ml) dan atau perubahan sekretorik pada endometrium yang terlihat pada
biopsi yang dilakukan saat onset perdarahan, semuanya merupakan bukti ovulasi.
Diagnosis PUD setelah eksklusi penyakit organik traktus genitalia,
terkadang menimbulkan kesulitan karena tergantung pada apa yang dianggap
sebagai penyakit organik, dan tergantung pada sejauh mana penyelidikan
dilakukan untuk menyingkirkan penyakit traktus genitalia. Pasien berusia dibawah
40 tahun memiliki risiko yang sangat rendah mengalami karsinoma endometrium,
jadi pemeriksaan patologi endometrium tidaklah merupakan keharusan.
Pengobatan medis dapat digunakan sebagai pengobatan lini pertama dimana
penyelidikan secara invasif dilakukan hanya jika gejala menetap. Risiko
karsinoma endometrium pada pasien PUD perimenopause adalah sekitar 1 %.
Jadi, pengambilan sampel endometrium penting dilakukan.
Pemeriksaan penunjang:

11

1. Pemeriksaan darah : Hemoglobin, uji fungsi tiroid, dan kadar HCG, FSH, LH,
Prolaktin dan androgen serum jika ada indikasi atau skrining gangguan
perdarahan jika ada tampilan yang mengarah kesana.
2. Deteksi patologi endometrium melalui (a) dilatasi dan kuretase dan (b)
histeroskopi. Wanita tua dengan gangguan menstruasi, wanita muda dengan
perdarahan tidak teratur atau wanita muda (< 40 tahun) yang gagal berespon
terhadap pengobatan harus menjalani sejumlah pemeriksaan endometrium.
Penyakit organik traktus genitalia mungkin terlewatkan bahkan saat kuretase.
Maka penting untuk melakukan kuretase ulang dan investigasi lain yang sesuai
pada seluruh kasus perdarahan uterus abnormal berulang atau berat. Pada
wanita yang memerlukan investigasi, histeroskopi lebih sensitif dibandingkan
dilatasi dan kuretase dalam mendeteksi abnormalitas endometrium.
3. Laparoskopi : Laparoskopi bermanfaat pada wanita yang tidak berhasil dalam
uji coba terapeutik.
G. Diagnosis Banding
1.
2.
3.
4.

Berhubungan dengan kehamilan Kehamilan ektopik dan abortus


Anovulasi fisiologis post menarche (H-P-O aksis imatur)
Kontrasepsi hormonal
Berhubungan dengan hipotalamus pemyakit sistemik (DM, penyakit

5.
6.
7.
8.

ginjal), gangguan makan dan hipotoroid


Berhubungan dengan hipofisis prolaktinoma
Trauma, mioma uteri, polip dan neoplasma
PCOS, tumor ovarium, dam hyperplasia adrenal
Gangguan koagulasi defisiensi faktor pembekuan dan penyakit Von

willebrand
9. Infeksi PID, servisitis dan vaginitis
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum perlu
memperhatikan faktor-faktor berikut:
a. Umur, status pernikahan, fertilitas
Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan
perimenarche, reproduksi dan perimenopause. Penanganan juga seringkali

12

berbeda antara penderita yang telah dan belum menikah atau yang tidak dan
yang ingin anak.
b. Berat, jenis dan lama perdarahan.
Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak
atau tidak.

c. Kelainan dasar dan prognosisnya.


Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan
jika dasar kelainan dan prognosis telah diketahui sejak dini.
Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional adalah:
1. Memperbaiki keadaan umum
2. Menghentikan perdarahan
3. Mengembalikan fungsi hormon reproduksi
Yang meliputi: pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal,
pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana
sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
4. Menghilangkan ancaman keganasan
Pada perdarahan uterus disfungsional langkah pertama yang harus dikerjakan
adalah memperbaiki keadaan umum, termasuk pengatasan anemia. Langkah
kedua adalah menghentikan perdarahan, baik secara hormonal maupun operatif.
Setelah keadaan akut teratasi, sebagai langkah ketiga, dilakukan upaya
pengembalian

fungsi

normal

siklus

haid

dengan

cara

mengembalikan

keseimbangan fungsi hormon reproduksi.2,5,6


Untuk ini dapat dilakukan pengobatan hormonal selama 3 siklus berturutturut. Bilamana upaya ini gagal, maka diperlukan tindakan untuk meniadakan
patologi yang ada guna mencegah berulangnya perdarahan uterus disfungsional.
Secara singkat langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Perbaikan keadaan umum

13

Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk,
pada keadaan perdarahan uterus disfungsional akut anemia yang terjadi harus
segera diatasi dengan transfusi darah. Pada perdarahan uterus disfungsional
kronis keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan
besi, sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah.
2. Penghentian perdarahan baik secara hormonal maupun operatif.
3. Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi.
Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal,
pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana
sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
Langkah-langkah upaya menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut:
Kuret (curettage)
Hanya untuk wanita yang sudah menikah. Tidak bagi gadis dan tidak bagi wanita
menikah tapi belum sempat berhubungan intim.
Pemakaian hormon steroid seks
a. Estrogen
Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan
karena memiliki berbagai efek yaitu:
1. Penyembuhan luka (healing effect)
2. Pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah
3. Vasokonstriksi, karena merangsang pembentukan prostaglandin
4. Meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin serta menghambat proses
fibrinolisis.
Pada umumnya dipakai estrogen alamiah, misalnya: estradiol valerat
(nama generik) yang relatif menguntungkan karena tidak membebani kinerja liver
dan tidak menimbulkan gangguan pembekuan darah. Jenis lain, misalnya: etinil
estradiol, tapi obat ini dapat menimbulkan gangguan fungsi liver.

14

Dosis dan cara pemberian:


Estrogen konjugasi (estradiol valerat): 2,5 mg diminum selama 7-10 hari.
Benzoas estradiol: 20 mg disuntikkan intramuskuler. (melalui bokong)
Jika perdarahannya banyak, dianjurkan nginap di RS (opname), dan diberikan
Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 25 mg secara intravenus (suntikan lewat
selang infus) perlahan-lahan (10-15 menit), dapat diulang tiap 3-4 jam. Tidak
boleh lebih 4 kali sehari4,5,7
Estrogen intravena dosis tinggi (estrogen konjugasi 25 mg setiap 4 jam
sampai perdarahan berhenti) akan mengontrol secara akut melalui perbaikan
proliferatif endometrium dan melalui efek langsung terhadap koagulasi, termasuk
peningkatan fibrinogen dan agregasi trombosi.
Terapi estrogen bermanfaat menghentikan perdarahan khususnya pada kasus
endometerium atrofik atau inadekuat. Estrogen juga diindikasikan pada kasus
PUD sekunder akibat depot progestogen (Depo Provera). Keberatan terapi ini
ialah bahwa setelah suntikan dihentikan, perdarahan timbul lagi.
b. Progestin
Berbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat menghentikan perdarahan.
Beberapa sedian tersebut antara lain adalah noretisteron, MPA, megestrol asetat,
didrogesteron dan linestrenol.
Noretisteron dapat menghentikan perdarahan setelah 24-48 jam dengan dosis 2030 mg/hari, medroksiprogesteron asetat dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10
hari, megestrol asetat dengan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama
10 hari, serta linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari. Uraian lebih
rinci terhadap pemakaian progestin ini akan diberikan pada bagian tersendiri.
c. Androgen
Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tak cocok dengan estrogen dan
progesterone. Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah isoksasol (danazol)
dan metil testosteron (danazol merupakan suatu turunan 17--etinil-testosteron).
Dosis yang diberikan adalah 200 mg/hari selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa
pemakaian jangka panjang sediaan androgen akan berakibat maskulinisasi.

15

d. Obat Kombinasi 10,11,12


Terapi siklik merupakan terapi yang paling banyak digunakan dan paling
efektif. Pengobatan medis ditujukan pada pasien dengan perdarahan yang banyak
atau perdarahan yang terjadi setelah beberapa bulan amenore. Cara terbaik adalah
memberikan kontrasepsi oral; obat ini dapat dihentikan setelah 3 6 bulan dan
dilakukan observasi untuk melihat apakah telah timbul pola menstruasi yang
normal. Banyak pasien yang mengalami anovulasi kronik dan pengobatan
berkelanjutan diperlukan.
Paparan estrogen kronik dapat menimbulkan endometrium yang berdarah
banyak selama penarikan progestin . Pengobatan dengan menggunakan kombinasi
kontrasepsi oral dengan regimen menurun secara bertahap. Dua hingga empat pil
diberikan setiap hari setiap enam hingga duabelas jam , selama 5 sampai 7 hari
untuk mengontrol perdarahan akut. Formula ini biasanya mengontrol perdarahan
akut dalam 24 hingga 48 jam; penghentian obat akan menimbulkan perdarahan
berat. Pada hari ke 5 perdarahan ini, mulai diberikan kontrasepsi oral siklik dosis
rendah dan diulangi selama 3 siklus agar terjadi regresi teratur endometrium yang
berproliferasi berlebihan7.
Cara lain, dosis pil kombinasi dapat diturunkan bertahap (4 kali sehari,
kemudian 3 kali sehari, kemudian 2 kali sehari) selama 3 hingga 6 hari, dan
kemudian dilanjutkan sekali setiap hari. Kombinasi kontrasepsi oral menginduksi
atrofi endometrium, karena paparan estrogen progestin kronik akan menekan
gonadotropin pituitari dan menghambat steroidogenesis endogen. Kombinasi ini
berguna untuk tatalaksana PUD jangka panjang pada pasien tanpa kontraindikasi
dengan manfaat tambahan yaitu mencegah kehamilan.
Khususnya untuk pasien perimenarche, perdarahan berat yang lama dapat
mengelupaskan endometrium basal, sehingga tidak responsif terhadap progestin.
Kuretase untuk mengontrol perdarahan dikontraindikasikan karena tingginya
resiko terjadinya sinekia intrauterin (sindroma Asherman ) jika endometrium basal
dikuret. OC aman pada wanita hingga usia 40 dan diatasnya yang tidak obes, tidak
merokok, dan tidak hipertensi.

16

Pemakaian penghambat sintesis prostaglandin7,8


Pada

peristiwa

perdarahan,

prostaglandin

penting

peranannya

pada

vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PgE2 dan PgE2 meningkat secara
bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat anti
inflamasi non steroid telah dipakai untuk pengobatan perdarahan uterus
disfungsional, terutama perdarahan uterus disfungsional anovulatorik. Untuk itu
asam mefenamat dan naproksen seringkali dipakai dosis 3 x 500 mg/hari selama
3-5 hari terbukti mampu mengurangi perdarahan.
Pemakaian antifibrinolitik
Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara local pada perdarahan
uterus disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas fibrinolitik yang
diakibatkan oleh kerja enzimatik. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan dasar untuk mengatasi penumpukan fibrin. Unsur utama pada system
fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang bila diaktifkan akan mengeluarkan
protease palsmin.
Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi plasmin,
sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan yang ada
untuk keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4 x
1-1,5 gr/hari selama 4-7 hari).
Pengobatan operatif
Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan
histerektomi. Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis
pengobatan operatif pada perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari
kuretase pada perdarahan uterus disfungsional adalah untuk diagnostik, terutama
pada umur diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan dengan
meningkatnya frekuensi keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat
menghentikan

perdarahan

karena

menghilangkan

daerah

nekrotik

pada

17

endometrium. Ternyata dengan cara tersebut perdarahan akut berhasil dihentikan


pada 40-60% kasus.
Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus disfungsional
masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah pada organ
sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya
cukup tinggi (30-40% sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Beberapa
ahli bahkan tidak menganjurkan kuretase sebagai pilihan utama untuk
menghentikan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional, kecuali jika
pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan.
Pada ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium
diablasikan dengan cara vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan
hilang permanen, sehingga penderita akan mengalami henti haid yang permanen
pula. Cara ini dipilih untuk penderita yang punya kontrindikasi pembedahan dan
tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari histerektomi, tetapi bukan sebagai
pengganti histerektomi11,12
Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus
memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini
merupakan pilihan terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau
menopause, histerektomi harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan
yang menetap atau berulang. Selain itu histerketomi juga dilakukan untuk
perdarahan uterus disfungsional dengan gambaran histologis endometrium
hiperflasia atipik dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan
kuretase.

18

I. Prognosis
Hasil

9,13

pengobatan

bergantung

kepada

proses

perjalanan

penyakit

(patofisiologi)
Penegakan diagnosis yang tepat dan regulasi hormonal secara dini
dapat memberikan angka kesembuhan hingga 90 %.
Pada wanita muda, yang sebagian besar terjadi dalam siklus anovulasi,
dapat diobati dengan hasil baik.

19

BAB III
LAPORAN KASUS GINEKOLOGI

I. IDENTITAS
Nama
Usia
Pekerjaan
Agama
Suku
Alamat
RM
MRS

:
:
:
:
:
:
:
:

Ny. M
46 tahun
IRT
Islam
Sasak
Gunung Sari, Lombok Barat
120849
05 Oktober 2015

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : haid lama dan banyak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan haid lama dan banyak

sejak tanggal 22

september 2015 hingga tanggal 05 Oktober 2015 (saat MRS). Darah yang
keluar selama menstruasi merupakan darah segar dengan jumlah yang banyak
sehingga pasien harus ganti pembalut hingga 5-8 kali. Pasien juga mengeluh
mengalami pusing. Pendarahan yang dialami pasien tanpa disertai nyeri perut.
BAB/ BAK normal.
Riwayat menstruasi

20

Pasien menarche umur 14 tahun, setiap tahun pasien mengatakan


mendapatkan haid secara teratur namun mulai berubah sejak pasien
melahirkan anak terakhir yang sekarang berumur 26 tahun dimana pasien
mendapat haid dalam waktu lebih lama (1-2 minggu) dengan jumlah yang
lebih banyak hingga harus mengganti pembalut 5-10 kali sehari. Pada saat
menstruasi pasien tidak mengalami nyeri perut yang bermakna, namun pasien
mengeluhkan kehilangan nafsu makan dan mengeluh lemas.
Riwayat pernikahan
Pasien sudah menikah selama 39 tahun. Pasien menikah pada usia 15 tahun.
Riwayat KB
Pasien tidak sedang memakai KB

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mengaku pernah memiliki riwayat keluhan yang serupa sekitar 5 tahun
yang lalu. Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit jantung, ginjal,
kencing manis dan sesak napas. Pasien hanya mengaku memiliki penyakit
darah tinggi yang sudah dialami sejak 3 tahun terakhir dan pasien mengaku
tetap meminum obat sampai saat ini untuk penyakit darah tingginya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Menurut pasien, di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Pasien
juga menyangkal adanya riwayat penyakit jantung, ginjal, tekanan darah
tinggi, kencing manis, dan sesak napas pada keluarga.
Riwayat Berobat
Pasien sudah memeriksakan diri ke Dokter Spesialis Kandungan terkait
dengan keluhan yang dialaminya sekitar 4 bulan yang lalu. Pasien hanya
meminum obat yang didapatkan dari puskesmas dan meminum obat herbal

21

namun merasa tidak kunjung sembuh. Satu bulan terakhir keluhan memberat
dan pasien memutuskan memeriksakan diri ke RSUP NTB.
Riwayat Alergi :
Pasien tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan dan makanan.
Riwayat Obstetri dan Ginekologi:
- Pasien sudah menikah 39 tahun yang lalu, usia 15 tahun.
- Pasien pernah menggunakan kontrasepsi suntik setelah melahirkan anak
-

ke 3
Pasien mengakui tidak pernah mendapatkan haid sejak 10 tahun terakhir.
Haid pertama usia 14 tahun, tidak nyeri, kadang-kadang banyak kadangkadang sedikit, teratur sebulan sekali, 3-4 hari.

Riwayat obstetri
-

Aterm/perempuan/dukun/ meninggal usia 1 tahun


Aterm/perempuan/dukun/30 thn/ hidup
Aterm/ perempuan/dukun/ meninggal usia 1 tahun
Aterm/laki-laki/dukun/25 tahun/ hidup
Aterm/ laki-laki/ dukun/23 tahun/ hidup
Aterm/ laki-laki/dukun/ 20 tahun/ hidup

III. STATUS GENERALIS


Keadaan umum : Sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda Vital
-

Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
Suhu

:
:
:
:

130/70 mmHg
86 x/menit
20 x/menit
36,7oC

Pemeriksaan Fisik Umum


-

Mata
Jantung
Paru

: anemis (+/+), ikterus (-/-)


: S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Ekstremitas

: edema - -

akral teraba hangat + +


+

IV. STATUS GINEKOLOGI


22

Abdomen :
Inspeksi: Abdomen tak tampak mengalami pembesaran, massa (-), tidak
ada tanda-tanda peradangan, bekas operasi (-).
Auskultasi : Bising usus (+).
Perkusi : Redup (+), undulasi (-).
Palpasi: masa(-), BU (+)
Genitalia Eksterna : Tidak tampak adanya kelainan. Vulva dalam batas
normal, klitoris normal, meatus uretra normal, labia mayora dan minora
simetris, perineum dalam batas normal, introitus vagina tidak tampak
massa, discharge dari liang vagina (-).
Inspekulo : Porsio tampak erosi, (-), Fluksus (+) leukorhea, tidak
tampak adanya jaringan, pendarahan aktif (-), peradangan (-).
Bimanual : Posisi uterus antefleksi, kosistensi padat. Porsio teraba licin,
(-), slinger pain (-),adneksa parametrium kiri dan kanan dalam batas
normal, ukuran sulit dievaluasi. Cavum douglas dalam batas normal.

23

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Ultrasonografi (USG) Abdomen (8 September 2015):

Uterus AF ukuran 7,3 x 5,5 cm


Tampak massa hipoekoik dengan ukuran 19,5 x 11,4 cm
Pro : Laparatomi

2. Pemeriksaan Histopatologi/ kerokan kavum uteri (18 Juni 2015)


Makroskopis: Sediaan berisi kerokan cc.
Mikroskopis: Sediaan menunjukkan potongan jaringan kerok yang
terdiri dari proliferasi kelenjar berukuran kecil besar dilapisi epitel kuboid
membentuk struktur swiss cheese pattern, stroma padat diantara darah.
Tidak tampak atypia. Tidak tampak keganasan.
Kesimpulan: Hiperplasia Without Atypia
3. Pemeriksaan Darah Lengkap (5 oktober 2015) :

Hb
RBC
WBC
PLT
HCT
HbSAg
GDS
PT
APTT

: 8,5 g/dL
: 4,00 M/l
: 42,50 K/l
: 78 K/l
: 26,7 %
: (-)
: 105 mg%
: 2,7
: 7,10

VI. DIAGNOSIS PRE OPERASI


DUB + Anemia sedang

VII. RENCANA TINDAKAN


Observasi keadaan umum pasien dan vital sign

Konsultasi ke SPV, advice :


- Persiapkan transfusi PRC 6 kolf (2 kolf/hari)
- Bila Hb sudah bagus persiapkan untuk kuretase dan PA
KIE pasien dan keluarganya mengenai tindakan dan histerektomi

24

Konsul anestesi dan penyakit dalam


Profilaksis : nifedipin 10 mg

25

VIII. LAPARATOMI (20 oktober 2015)


a. Rencana Tindakan Operasi : Laparatomi + histerektomi
b. Penemuan Intra Operasi :

c. Tindakan Operasi : Laparatomi + histerektomi


d. Diagnosis Post OP : Post Laparatomi + histerektomi
e. Instruksi Post Operasi :
Observasi tanda vital dan keluhan pasien
Pemeriksaan laboratorium post-operatif

Transfusi PRC sampai Hb > 10g/dl

Terapi :
o Amoxilin 3x500 mg
o Amoxilin 3x500 mg

26

IX.

2 JAM POST OPERATIF


Subjektif :
Nyeri bekas OP (+), Lemas , dan pusing
Bercak darah dari kemaluan (+).
Tanda Vital

KU

: Sedang

Kes

: CM

TD

: 100/70 mmHg

Nadi

: 86 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,5oC

Pemeriksaan Laboratorium (20 0ktober 2015)

Hb

: 11,8 g/dL

RBC

: 5,16 M/l

WBC

: 14,96 K/l

PLT

: 432 K/l

Assesment :
Post Laparatomi + histerektomi
Planning:
-

Bed rest

Monitoring vital sign, perdarahan

X. 1 HARI POST OPERATIF


Subjektif :
Nyeri bekas OP (+), Lemas dan pusing (+), mual muntah (-), mobilisasi minimal.
Tanda Vital
KU

: Baik, kesadaran compos mentis

27

TD

: 120/80 mmHg

Nadi

: 88 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu : 36,8oC
Abdomen :
Luka bekas operasi terawat, basah, tanda infeksi (-), pendarahan (-).
Assesment :
Post Laparatomi + histerektomi H + 1
Planning:

Mobilisasi

Monitoring vital sign, perdarahan

Makan minum

XI. Satu minggu pasca operasi


Subjektif : Nyeri bekas OP (-), mobilisasi baik, makan dan minum baik, BAB BAK
dalam batas normal
Tanda Vital
KU

: baik

Kes

: CM

TD

: 130/80 mmHg

Nadi

: 88 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,8oC

Abdomen :
Luka bekas operasi terawat, kering, tanda infeksi (-), pendarahan (-).
Assesment :
Post Laparatomi+ histerektomi H + 7

28

Planning:

Mobilisasi

Makan minum bergizi

KIE Perawatan luka operasi

29

BAB IV
PEMBAHASAN

Perdarahan uterus disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine Bleeding adalah


perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar siklus menstruasi,
karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon (hipotalamus-hipofisis-ovariumendometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan ini juga didefinisikan sebagai menstruasi
yang banyak dan / atau tidak teratur tanpa adanya patologi pelvik yang diketahui, kehamilan
atau gangguan perdarahan umum.
Diagnosis dibuat setelah diagnosis lainnya disingkirkan (diagnosis eksklusi).
Pemeriksaan abdomen dan pelvis serta kuretase uterus yang adekuat, histeroskopi atau
setidaknya biopsi endometrium sangat penting untuk menyingkirkan penyakit organik pada
uterus. Perdarahan uterus disfungsional paling sering terjadi pada awal dan akhir masa
menstruasi, tetapi dapat terjadi pada usia manapun.
Diagnosis PUD pada pasien ini ditegakkan berdasarkan gejala yang timbul, dan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Gejala yang timbul pada pasien ini yaitu
mengeluh perdarahan yang lama dan banyak. Sedangkan pada pemeriksaan fisik didapatkan
fluxus (+) dan hasil pemeriksaan PA didapatkan Hiperplasia Without Atypia pada uterus.
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan perdarahan akut, episode perdarahan
dimasa datang, dan mencegah dampak anovulasi yang serius pada jangka panjang yaitu
kanker endometrium. Pengobatan utama adalah terapi medis meskipun intervensi bedah
dibutuhkan pada sebagian kasus. Jika perdarahan berat, dan / atau berulang, atau pengobatan
medis gagal, maka diperlukan evaluasi ulang.

BAB V
KESIMPULAN
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine Bleeding adalah
perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar siklus menstruasi,
karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon (hipotalamus-hipofisis-ovariumendometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan ini juga didefinisikan sebagai menstruasi
yang banyak dan / atau tidak teratur tanpa adanya patologi pelvik yang diketahui, kehamilan
atau gangguan perdarahan umum.
Diagnosis dibuat setelah diagnosis lainnya disingkirkan (diagnosis eksklusi).
Pemeriksaan abdomen dan pelvis serta kuretase uterus yang adekuat, histeroskopi atau
setidaknya biopsi endometrium sangat penting untuk menyingkirkan penyakit organik pada
uterus. Perdarahan uterus disfungsional paling sering terjadi pada awal dan akhir masa
menstruasi, tetapi dapat terjadi pada usia manapun.
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan perdarahan akut, episode perdarahan
dimasa datang, dan mencegah dampak anovulasi yang serius pada jangka panjang yaitu
kanker endometrium. Pengobatan utama adalah terapi medis meskipun intervensi bedah
dibutuhkan pada sebagian kasus. Jika perdarahan berat, dan / atau berulang, atau pengobatan
medis gagal, maka diperlukan evaluasi ulang.
PUD pada remaja disebabkan oleh immaturitas hipothalamus dan pituitary, dan siklus
menstruasi mungkin anovulatorik. Pada gadis remaja, penyakit organik jarang terjadi dan
PUD biasanya membaik secara spontan. Itulah sebabnya mengapa ditatalaksana secara
konservatif dan kuretase sering ditunda.
Pada pertengahan usia reproduksi (20 39 tahun), penyakit organik jinak sering terjadi,
dan kuretase biasanya dilakukan untuk menyingkirkan penyulit kehamilan dan penyakit
lainnya. Terapi konservatif biasanya diindikasikan, meskipun histerektomi dapat dilakukan
jika perdarahan berat atau berulang dan pasien tidak ingin memiliki keturunan lagi.
PUD perimenopause disebabkan oleh menurunnya jumlah folikel ovarium dan
meningkatnya resistensi folikel ovarium terhadap stimulasi gonadotropin. Terdapat
kemungkinan keganasan. Jadi, wanita perimenopause dengan PUD harus selalu diperiksa
dengan kuretase atau histeroskopi tanpa penundaan. Meskipun terapi konservatif dapat
dicoba sebagai tatalaksana sementara, seringkali diperlukna histerektomi.

Perdarahan uterus disfungsional merupakan salah satu alasan tersering bagi wanita untuk
mencari pengobatan medis. Pemeriksaan pasien secara rinci diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dengan menyingkirkan penyakit organik. Saat ini, diagnosis PUD tidak adekuat.
Tersedia berbagai modalitas pengobatan untuk PUD. Pengobatan utama yakni terapi medis
dapat menghasilkan pemulihan simptomatik tetapi keluaran jangka panjangnya tidak
menggembirakan. Oleh karena itu, ahli ginekologi harus selalu memberitahu pasien mengenai
seluruh aspek penatalaksanaan PUD.

DAFTAR PUSTAKA

1. Behera, Millie. A., Thomas, M. P., 2010. Dysfuctional Uterine Bleeding. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/257007 (Accessed 08 Oktober 2015)
2. Chen. B. H., Linda. C. G. 1998. Dysfunctional Uterine Bleeding. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305317/pdf/westjmed003260026.pdf (Accessed 10 Oktober 2015)
3. Dangal, Ganesh. 2006. Dysfunctional Uterine Bleeding And Its Management Strategy.
The Internet Journal of Gynecology and Obstetrics. Available from:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_gynecology_and_obstetrics/vo
lume_4_number_1_19/article/dysfunctional_uterine_bleeding_and_its_management_
strategy.html [Accessed 10 Oktober 2015]
4. Dorland, N. (2010). Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
5. Estephan, Amir., Amir, Richard., 2010. Dysfunctional Uterine Bleeding. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/795587 [Accessed 08 Oktober 2015]
6. Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjdo; 223-228

7. Ovarian Masses in Premenopausal Women. United Kingdom: Guidelines Committee


of Royal College of Obstetricians and Gynaecologists.
8. Saifuddin, Abdul B. (2009). Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
9. Setiawan, Y., 2008. Perdarahan Uterus disfungsional. Available from:
http://www.scribd.com/doc/17693423/PUD [Accessed 08 Oktober 2015]
10. Schorge JO, et al, ed. (2008). Williams Gynecology. United States: The McGraw Hill
Companies.

11. Wiknjosastro, Hanifa. (2009). Ilmu Kandungan, edisi ketiga. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
12. William,

Helm,

et

al.

(2015).

Ovarian

Cysts.

Available

from

http://www.emedicine.medscape.com/article/255865-overview (Accessed on Oktober


21th , 2015).
13. WHO. (2009). Pelayanan Kesehatan Ibu di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai