Anda di halaman 1dari 14

As Siyasah As Syar'iyah - Bahagian 1

ATURAN UNDANG UNDANG AS SIYASIY AL ISLAMIY AS SYURA (MUSYAWARAH)-AT THO`AH


(KETAATAN)- AL `ADIL
(KEADILAN)- AL HURRIYAH (KEBEBASAN)
As Siyasah As Syar'iyah - Bahagian 1
ATURAN UNDANG UNDANG AS SIYASIY AL ISLAMIY AS SYURA (MUSYAWARAH)-AT THO`AH
(KETAATAN)- AL `ADIL (KEADILAN)- AL HURRIYAH (KEBEBASAN)
PERTAMA : AS SYURA (MUSYAWARAH)
Musyawarah merupakan aturan yang paling penting dalam Hukum Islam, ia merupakan cara yang terbaik
bagi seorang pemimpin dan bawahannya untuk membantu mereka dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan dan problem yang dihadapi oleh suatu negara, atau terhadap apa-apa yang memang ingin
dipraktikkan untuk mencapai satu kemashlahatan, seorang wali Al Amri tidak akan lepas dari musyawarah,
sementara Allah Ta`ala telah memerintahkan Nabi-Nya Shollallahu `alaihi wa Sallam untuk selalu
bermusyawarah sebagaimana dijelaskan dalam Kitab-Nya :
Mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Ali `Imran (159).
Telah diriwayatkan dari jalan Abu Hurairah Radliallahu `anhu berkata dia :
Tidak didapati seorangpun yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya selain dari
Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam.
Atsar ini diriwayatkan oleh Al Imam At Tirmidzi di Sunannya (4/186), dengan menggunakan shighat At
Tamriidl, berkata dia : Diriwayatkan dari Abi Hurairah, lalu disebutkan atsar ini, sedangkan dia lemah!!
Bersamaan dengan itu Doktor Abu Faris merasa ganjil dengan riwayat ini di dalam kitabnya An Nizham As
Siyasiy fi Al Islam (91), lalu dia sandarkan ke shohih Al Bukhari!!
Dikatakan : Allah Subhana wa Ta`ala memerintahkan Nabi-Nya Shollallahu `alaihi wa Sallam untuk
bermusyawarah ini adalah dalam rangka untuk menyatukan hati-hati sahabatnya, untuk mengikuti
Sunnahnya setelah dia wafat, untuk mengambil pandangan mereka tentang hal-hal yang tidak dijelaskan
oleh wahyu Allah Ta`ala seperti urusan peperangan dan urusan-urusan yang berhubungan dengan itu dan
selainnya, Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam lebih utama dalam mengamalkan musyawarah ini.
Allah Ta`ala telah memuji orang orang mukmin yang mengamalkan musyawarah dalam kehidupan mereka
seperti perkataan Allah :
Dan orang-orang yang menerima seruan Rabnya dan mendirikan Sholat, sedangkan urusan mereka
diputuskan dengan cara musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang
Kami berikan kepada mereka. As Syura: (38).
Apabila bermusyawarah dengan mereka, lalu dijelaskan kepada mereka tentang kewajipan mengikuti apaapa yang ada di Kitabullah dan Sunnah Rasulullah atau ijma` kaum muslimin, maka tidak ada ketaatan
kepada seseorang yang menyelisihi Allah dan Rasul-Nya, walaupun ada ikhtilaf dikalangan kaum muslimin
tentang hal itu, yang seharusnya ditarik pandangan dari setiap mereka, kemudian dilihat sisi pandangan
tersebut, selanjutnya pandangan siapapun yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah harus diamalkan.
(As Siyasah As Syar`iyah, oleh Ibnu Taimiyah 133-134).

Berkata Al Imam Al Bukhari (Amiril mukminin) dalam hadis Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam di
shohihnya : dalam bab perkataan Allah Ta`ala :
Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam betul-betul bermusyawarah dengan para sahabatnya pada peperangan
Uhud, apakah peperangan ini dilanjutkan atau tidak???, setelah bermusyawarah dengan sahabatnya, lalu
diputuskan untuk berangkat berperang, beliau musyawarah dengan Ali dan Usamah tentang orang-orang
yang terfitnah dalam peristiwa Al Ifki terhadap Aisyah Radiallahu `anha dia medengarkan pandangan
mereka berdua sampai turun ayat menjelaskan hal tersebut, maka Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam
melecut orang-orang yang terfitnah dengan tidak melihat kepada perbezaan mereka, akan tetapi beliau
memutuskan perkara itu dengan perintah Allah, demikian para pemimpin setelah Nabi Shollallahu `alaihi wa
Sallam mereka selalu bermusyawarah dengan orang-orang yang terpercaya dikalangan ahli ilmu dalam
urusan-urusan yang dibolehkan untuk mengambil yang paling mudah untuk diamalkan, namun bila sudah
dijelaskan oleh Al Quran dan As Sunnah mereka tidak berpaling kepada yang lainnya, ini dalam rangka
mengikuti Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam. Abu Bakar Radliallahu `anhu berpendapat dibunuhnya setiap
orang yang melarang zakat, lantas Umar berkata : Bagaimana engkau membunuh orang-orang yang telah
dijelaskan oleh Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dalam hadisnya:
Saya telah diperintahkan oleh Allah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La Ilaha
Illallahu, bila mereka telah mengucapkannya maka terjagalah dari saya darah-darah dan harta-benda
mereka kecuali dengan yang haq, kemudian perhitungan mereka diserahkan kepada Allah. Abu Bakar
berkata : Demi Allah saya akan memerangi siapapun yang telah merombak apa-apa yang sudah
dikumpulkan oleh Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam, kemudian baru `Umar memahaminya (mengikuti),
Abu Bakar tidak melihat kepada musyawarah, yang mana disisinya sudah ada keputusan Nabi Shollallahu
`alaihi wa Sallam tentang orang-orang yang membezakan di antara Sholat dan Zakat, dan orang-orang
ingin menukar Din (Agama) dan Hukum hukum Allah, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Shollallah `alaihi
wa Sallam dalam satu hadisnya :
Siapapun yang telah menukar Din (Agama)nya maka bunuhlah dia!, para penghafal Al Quran di zaman
Umar baik yang tua atau yang muda merupakan pendampingnya dalam bermusyawarah, dan Umar
merupakan sahabat yang kuat dalam menjalan Hukum Allah `Azza wa Jal. (lihat Al Bukhari 13/351),
kitab Al `Itishom.
Dikeluarkan oleh Al Imam Al Baihaqi dengan sanad yang shohih dari jalan Maimun bin Mihran, berkata :
Abu Bakar apabila datang kepadanya satu permasalahan, lalu dia cari penyelesaiannya dari Al Quran, jika
ada dijelaskan maka dia putuskan dengan-Nya, bila diketahui dari As Sunnah maka dia putuskan dengan
Sunnah itu, bila tidak didapatkan juga, maka dia bertanya kepada para sahabat tentang dalil tentang hal
itu, namun apabila dia tidak menemukan sama sekali maka dia kumpulkan pembesar-pembesar kaum
muslimin dan para ulamanya untuk bermusyawarah dengan mereka. Atsar-atsar tentang musyawarah dari
Umar Radliallahu `anhu sangat banyak sekali. lihat Fathul Baari : (13/354), Fathul Qadiir : (1/394).
HUKUM AS SYURA (MUSYAWARAH).
Pandangan yang shohih dikalangan Ahli Ilmu tentang musyawarah ini adalah wajib, kerana perintah dalam
ayat itu menunjukan wajib, tidak ada dalil yang memalingkannya kepada Sunnah atau Istihbab, pandangan
inilah yang dipegang oleh para Fuqaha, berkata Ibnu Khuwaiz Mindaad- salah seorang ulama dikalangan
madzhab Al Maalikiyah-: Diwajibkan atas para pemimpin untuk bermusyawarah dengan para ulama tentang
hal-hal yang tidak diketahui oleh mereka, dan apa-apa yang musykil bagi mereka tentang urusan Din
(Agama) ini, mengarahkan bala tentara tentang hal-hal berhubungan dengan peperangan, mengarahkan
manusia terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kemashlahatan mereka, mengarahkan para sekretari
negara, menteri negara dan para pekerja terhadap urusan yang berhubungan dengan kemashlahatan negara
dan kemakmuranya. (Tafsir Al Qurthubi :4/250), meninggalkan musyawarah mendatangkan bahaya dan
kerugian terhadap kemashlahatan kaum muslimin. (At Tahriir wa At Tanwiir :4/184).
NIZHAM AS SYURA :

Tidak ada satu dalilpun dari Al Quran dan As Sunnah yang mewajibkan kepada satu Negara Islam untuk
membentuk cara Syura tertentu atau garis undang-undang kepada Ahli Syura, sesungguhnya yang demikian
berbeza situasi zaman dan tempat, oleh kerana itu merupakan suatu Hikmah di mana Syari`at yang mulia
ini meninggalkan atau menyerahkan kepada Wali Al Amri untuk mengatur undang-undang Syura tersebut
yang sesuai untuk kemashlahatan, yang penting sekali adalah seluruh anggota As Syura tersebut harus
dari kaum muslimin yang adil bukan dari selain mereka, orang-orang yang memang ahli dari berbagai
cabang ilmu, orang-orang yang memiliki idea-idea yang jernih dan ahli dalam masalah As Siyasah As
Syar`iyah, jadi tidak mungkin lagi dikatakan bahawa Islam tidak mengatur bentuk satu pemerintahan
Islam yang cocok dan sesuai dengan zaman, sedangkan Islam meletakkan asas-asas keadilan yang tidak
berbeza di antara satu umat ke umat yang lainnya, bahkan diberikan kesempatan kepada manusia untuk
menjalankan dan mengatur asas-asas ini yang mereka pandang dapat mewakili untuk tercapainya
kemashlahatan dan sesuai dengan situasi dan keadaan mereka. (As Siyasah As Syar`iayah oleh `Abdul
Wahab Khalaf : (31), yang penting tidak menyelisihi dalil dalil Syari`at ini.
PERBEZAAN ANTARA AS SYURA (MUSYAWARAH) DAN AD DEMOKRATIAH
Di antara perkataan-perkataan bohong yang harus dijauhi adalah : Bahawa Demokrasi merupakan satu
bentuk praktik dari As Syura Al Islamiyah di zaman moden ini, ini berbeza sekali seperti perbezaan
antara bintang dan lampu kendil, di antara dua undang-undang ini memiliki perbezaan dan jarak yang
sangat besar sekali.
1. As Syura (Musyawarah) terikat dengan wahyu Allah Ta`ala, tidak dibenarkan untuk menyelisihi nashnash Al Quran dan As Sunnah, Ijma` Al Ummah, peraturan-peraturan Syari`at dan ushul-ushulnya yang
umum, sedangkan Demokrasi secara mutlak menentang Hukum-hukum Allah Yang Maha Besar, suara
terbanyak menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah seperti Az Zina, segala hal yang menyalahi
aturan Allah Subhana wa Ta`ala, membolehkan liwat (lelaki menikahi lelaki), mengharamkan apa-apa yang
dihalalkan oleh Allah seperti Poligami, bersenang-senang dengan yang baik-baik dan lain sebagainya.
2. Anggota Ahli As Syura terdiri dari kaum muslimin yang adil, ahli ilmu dan orang-orang yang memiliki
pemikiran-pemikiran yang baik serta orang-orang yang berpengalaman dan mempunyai keahlian dari
berbagai cabang ilmu, sedangkan anggota undang-undang Demokrasi di Parlimen berkumpul di dalamnya
antara yang baik dan yang rosak, orang berilmu dan yang bodoh, bijaksana dan yang jahat, bintang filem
dan penari, pokok-nya siapa saja yang sanggup memberikan suaranya kepada orang-orang yang dicalonkan
maka mereka itulah terpilih sebagai pembuat syari`at- yang menghalalkan dan mengharamkan walaupun
bertentangan dengan Allah dan Rasul-Nya.
3. Di dalam undang-undang As Syura tidak dikenal bahawa haq tersebut dimonopoli oleh suara yang
terbanyak, seperti diterangkan oleh Allah `Azza wa Jal:
Dan jika kamu menuruti kebanyakkan orang-orang di muka bumi ini, nescaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Al An`am (116), akan tetapi dengan dalil dan keterangan yang benar,
hujjah dan bayan, memperhatikan ushul-ushul Syari`at ini untuk menghasilkan kemashlahatn ummat,
sedangkan berpegang dengan suara yang terbanyak pada undang-undang Demokrasi ini merupakan bentuk
garis pemisah daripada dalil-dalil, hujjah Syari`at ini dan keterangan-keterangan yang nyata untuk
menyelesaikan kemusykilan dan urusan-urusan yang penting.
KEDUA : MENDENGAR DAN TAAT YANG DIATUR OLEH UNDANG-UNDANG.
1. Telah ijma` Ahlis Sunnah wal Jama`ah dalam mewajibkan mendengar dan taat kepada Wali Al Amri dan
orang-orang yang diberi tanggungjawab untuk merancang undang-undang dan peraturan-peraturan dengan
tidak menyelisihi nash-nash Syari`at ini, seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah Shollallahu `alaihi wa
Sallam dalam satu hadisnya.
Tidak ketaatan dalam maksiat, sesungguhnya ketaatan itu dalam hal yang makruf saja.

Hadis ini dikeluarkan oleh : Al Bukhari (7257), Muslim (1840), berkata Al Qurthubi di dalam Al Mufhim :
(4/14), yang dimaksud dengan yang makruf di sini adalah : bukan yang munkar dan bukan maksiat,
termasuk di dalamnya ketaatan-ketaatan yang diwajibkan, hal-hal yang dianjurkan dan perintah-perintah
yang dibolehkan menurut syari`at ini, walaupun perintah yang dibolehkan, namun mentaati dia merupakan
satu kewajipan dan tidak dibolehkan untuk menyelisihinya.
Dalil yang paling jelas dalam masalah taat ini adalah ayat Al Umara` di dalam Al Quran seperti yang
diterangkan oleh Allah Ta`ala :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika terjadi perbezaan pendapat di antara kalian tentang sesuatu, maka kembalikanlah
penyelesaiannya kepada Allah (Al Quran) dan Rasul ( As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. An Nisa` (59).
Demikian juga hadis Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam dari jalan Abdullah bin Umar, dari Nabi Shollallahu
`alaih wa Sallam berkata dia :
Wajib bagi setiap Muslim untuk mendengarkan dan taat terhadap apa-apa yang dia senangi dan dia benci
(apa-apa yang sesuai atau menyelisihi keinginannnya), kecuali kalau dia diperintahkan dalam hal maksiat,
jika diperintahkan terhadap maksiat, maka tidak ada kewajipan bagi dia untuk mendengarkan atau
mentaatinya. Hadis ini diriwayatkan oleh : Al Bukhari (7144), Muslim (1839).
Hadis dari jalan Ali bin Abi Tholib Radliallahu `anhu, dari Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata:
Tidak ada ketaatan kepada manusia (makhluk) dalam maksiat kepada Allah Jalla wa `Ala.
Hadis ini hadis shohih, dikeluarkan oleh Ibnu Hibban: (10/430), dan Abu Ya`la: (279).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta`ala : Sesungguhnya mereka (Ahli As Sunnah wa
Al Jama`ah) tidak membolehkan untuk mentaati Al Imam (pemimpin) dalam segala hal yang
diperintahkannya, bahkan tidak diwajibkan untuk mentaatinya kecuali dalam hal-hal yang memang disuruh
oleh Syari`at ini, tidak boleh taat dalam hal maksiat kepada Allah, walaupun dia seorang Imam (pemimpin)
yang adil, namun bila dia memerintahkan untuk taat kepada Allah maka hendaklah ditaati, seperti perintah
untuk mendirikan Sholat, menunaikan Zakat, Bersedekah, berlaku Adil, menunaikan Ibadah Haji, Jihad fi
Sabilillah, yang ini keseluruhannya sebenarnya dalam rangka mentaati Allah Jalla Jalaluhu.
Adapun pemimpin yang Kafir atau Fasiq bila memerintahkan untuk mentaati Allah tidak diharamkan untuk
mentaatinya, tidak gugur kewajipan untuk mentaati pemimpin yang Fasiq itu, seperti kalau dia berbicara
dalam masalah yang haq tidak boleh untuk didustakan, dan tidak gugur kewajipan untuk mengikuti yang haq
tersebut walaupun yang mengatakannya orang yang Fasiq. (Minhaj As Sunnah : 3/387).
Dan jangan difahami bahawa apabila dia memerintahkan tentang satu maksiat lantas tidak didengar sama
sekali setiap apapun yang diperintahkannya, sebaliknya diperintahkan untuk mendengarkan dan mentaati
secara mutlak kecuali dalam hal yang maksiat kepada Allah tidak boleh didengarkan dan ditaati.
(Tahdziib Ar Riyasah wa Tartiib as Siyasah, oleh Al Qal`I : hal. 113-114), (Mu`amalah Al Hukkam fi
Dlu`I Al Quran wa As Sunnah : 117), oleh As Syaikh Al Fadlil `Abdus Salam bin Berjes Ali Abdul Karimsemoga Allah menjaganya dan memberi manafaat dengan kaum Muslimin- saya (Syaikh Khalid) telah
banyak mengambil manafaat dari nukilan-nukilan dan faedah beliau- Jazahullahu khairal Jaza`.
Diwajibkan kepada rakyat untuk mentaati ulil amri (pemimpin) ...kecuali bila mereka memerintahkan
kepada maksiat, bila mereka menyuruh untuk maksiat kepada Allah, maka tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam hal maksiat kepada Khaliq (Pencipta), apabila mereka bertikai dalam satu masalah
kembalikan penyelesaiannya kepada Al Quran dan As Sunnah Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam, kalau
seandainya para pemimpin tersebut tidak mengindahkannya, maka mereka hanya ditaati bila
memerintahkan untuk mentaati Allah saja, demikian itu merupakan realisasi ketaatan kepada Allah Ta`ala

dan Rasul-Nya Shollallahu `alaihi wa Sallam, dan telah ditunaikan hak-hak mereka sebagaimana yang
telah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya `Alaihi wa Sallam. (As Siyasah As Syar`iah: 4-5).
2. Mendengarkan dan mentaati para pemimpin dan orang orang yang diberi tanggung jawab dalam
pemerintahan, bukan hanya kadang-kadang ditaati kadang-kadang tidak, tetapi ketaatan itu selamalamanya, baik diwaktu senang atau susah, diwaktu redha atau tidak, dalam hal-hal dibenci/berat jiwa
untuk menerimanya dan selainnya.
Berkata Syaikh Al Islam : Adapun ahli Al Ilmu dan Ad Din serta yang mempunyai keutamaan dalam Din
ini tidak pernah memberikan keringanan kepada seseorang untuk mengerjakan apa-apa yang dilarang oleh
Allah seperti maksiat kepada para pemimpin, berbuat curang atau keluar dari mentaati mereka sedikitpun,
inilah yang diketahui dari kebiasaan Ahli As Sunnah dan Ad Din dari dahulu sampai sekarang. (Majmu` Al
Fataawa, oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiah: 35/12).
Dalilnya adalah hadis dari jalan Abu Hurairah Radiallahu `anhu berkata: berkata Rasulullah Shollallahu
`alaihi wa Sallam :
Diwajibkan atas kamu untuk mendengarkan dan mentaati, baik dalam kesusahan dan kemudahan, baik
dalam hal disenangi atau dibenci, diwajibkan atas kamu taat kepadanya sampai-sampai dalam hal dunia.
Hadis ini dikeluarkan oleh Muslim (1836).
Yang dimaksud oleh Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam tentang hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al
Imam Al Qurthubi : Bahwasanya mentaati pemimpin adalah wajib dalam segala keadaan, apakah yang
diperintahkan oleh dia itu sesuai dengan keinginan manusia dan hawanya atau menyelisihi...sampai-sampai
pemimpin itu mengambil hartanya bukan harta selainnya, bahkan lebih daripada itu, kerana Nabi
Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata kepada Hudzaifah Radiallahu `anhu :
Dengarkan dan taatilah, walaupun dia memukul punggung kamu dan mengambil hartamu. Al Mufhim:
(4/36-37), dan hadis yang disebutkan dalam kitab ini dikeluarkan oleh Muslim (1847).
Dari Anas bin Malik Radiallahu `anhu berkata: berkata Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam :
Dengarkan dan taatilah oleh kalian, walaupun dia (pemimpin) itu menggunakan atas kalian seorang budak
Habasyi yang mempunyai kecacatan dikepalanya. Hadis ini dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari (7142).
1. Wajib mentaati para pemimpin dan orang-orang yang diberi kepercayaan dalam tubuh pemerintahan,
walaupun mereka melalaikan hak-hak rakyat, sebab maksiat terhadap mereka diharamkan menurut hak
Allah Ta`ala, Syari` yang Mulia ini tidak membolehkan kepada rakyat untuk membalas apa-apa yang telah
diperbuat oleh para pemimpin itu terhadap mereka, tidak dibatasi kecuali dalam hal yang makruf dan
atasan batasan yang disanggupi saja, ini merupakan kesempurnaan Hikmah dan Mashlahah.
Berkata Syaikul Islam Ibnu Taimiah rahimahullahu Ta`ala : Tidak dibolehkan bagi seseorang untuk
membalas kedustaan orang yang berdusta terhadapnya, dan tidak dibenarkan juga untuk melakukan
perbuatan kotor terhadap orang berbuat kekejian terhadap keluarganya, bahkan kalau ada orang yang
menuduh dia melakukan liwat tidak dibolehkan bagi dia untuk membalas tuduhan itu dengan tuduhan yang
sama... kerana ini diharamkan berdasarkan hak Allah Ta`ala, kalau ada seorang nasrani mencela Nabi kita
Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam tidak dibenarkan bagi kita untuk membalas celaan itu dengan
mencela Al Masih (`Isa ibnu Maryam `Alaihi wa Sallam), demikian juga bila seorang Ar Rafidlah apabila
dia mengkafirkan Abu Bakar dan Umar Radliallahu `anhuma lalu kita balas dengan mengkafirkan Ali
Radliallahu `anhu, ini tidak dibolehkan. (Minhaj As Sunnah oleh Syaikul Islam: 5/244). Demikian juga
dengan para pemimpin muslim kalau mereka berbuat aniaya, berbuat zalim atau tidak menunaikan hak-hak
kita, maka tidak dibenarkan bagi kita untuk tidak mendengarkan dan mentaatinya.
Dari `Alqamah bin Waail Al Hadlramiy dari bapaknya berkata dia : Salamah bin Yazid Al Ju`fiy bertanya
kepada Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam; Ya Nabiyallah ! bagaimana pandanganmu bila para

pemimpin menuntut dari kami hak-hak mereka, sementara mereka melalaikan hak-hak kami, maka apa
yang kamu perintahkan kepada kami??, lantas Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam berpaling darinya,
kemudian dia bertanya lagi, Rasulullah berpaling kembali, kemudian dia bertanya lagi untuk kedua atau
ketiga kalinya?, tiba-tiba Al Asy`ab bin Qeis menariknya, dan berkatalah Rasulullah Shollallahu `alaihi wa
Sallam :
Dengarkan dan taatilah oleh kalian para pemimpin itu, sesungguhnya bagi mereka apa yang telah mereka
perbuat dan bagi kalian apa yang telah kalian usahakan! Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim (1846), dan
makna hadis ini sebagaimana yang dijelaskan oleh An Nawawi : Ertinya bagi mereka (para pemimpin)
tersebut diwajibkan untuk menegakkan keadilan dan menunaikan hak rakyatnya, kalau mereka tidak
menunaikan atau melalaikannya maka atas mereka ada dosa dan kesudahan yang tak baik, adapun kalian
diwajibkan atas kalian untuk mendengarkan dan mentaati mereka serta menunaikan hak-hak mereka, kalau
kalian sudah menunaikannya Allah Ta`ala akan membalas amalan kalian tersebut dengan sebaik-baik
balasan.
Berkata Al Imam Al Qurthubi di dalam Al Mufhim (4/55) : Maksudnya bahawasanya Allah Subhana wa
Ta`ala telah mewajibkan atas para pemimpin untuk berlaku adil dan melaksanakan kepemimpinannya dengan
sebaik baiknya, kemudian Allah memberikan hak mereka adalah untuk dita`ati dan dinasehati dengan
sebaik-baiknya, bila para pemimpin itu berbuat dosa atau tidak menunaikan hak-hak rakyat mereka
dengan baik maka Allah yang akan menghisabnya, lantas jangan kita mendurhakai Allah Ta`ala gara-gara
perbuatan mereka itu, yang penting kita tunaikan hak-hak mereka, Insya Allah; Allah akan membalas
amalan setiap peribadi dari dua kelompok itu.
Dari Hudzaifah bin Al Yaman Radiallahu `anhuma berkata : Saya berkata pada Rasul, Ya Rasulullah
sesungguhnya kami pernah berada dalam kejelekan, lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan lantas
kami mengikuti kebaikan itu, apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan??? Rasulullah menjawab :
Betul, saya bertanya lagi : apakah setelah kejelekan tersebut ada lagi kebaikan?? Rasulullah menjawab :
Betul, saya bertanya lagi : apakah setelah kebaikan itu ada lagi kejelekan?? Kata Rasulullah Shollallahu
`alaihi wa Sallam : Benar, saya kembali berkata : bagaimana bentuknya Ya Rasulullah?? Rasulullah
menjawab : Akan ada setelah saya nanti para pemimpin, mereka tidak berpetunjuk dengan petunjuk saya,
tidak berjalan dengan Sunnah Saya, akan ada di antara mereka itu orang-orang yang hati mereka sama
dengan hati syayathin yang berada di dalam jasad manusia. Hudzaifah kembali melanjutkan
pertanyaannya: apa yang harus saya lakukan Ya Rasulullah kalau seandainya saya menemukan hal yang
demikian?? Rasulullah menjawab : Kamu dengarkan dan taatilah pemimpin itu, walaupun dia memukul
punggungmu, mengambil hartamu, dengarkan dan taatilah! Hadis ini diriwayatkan oleh : Al Imam Muslim
(1847).
Hadis ini merupakan hadis yang sangat lengkap dari sekian hadis-hadis menerangkan dalam bab ini,
sekira-kira Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam telah mensifatkan tentang pemimpin-pemimpin di
mana mereka tidak berjalan di atas petunjuk dan Sunnah Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam, itu
merupakan puncak kesesatan dan kerosakan, puncak dari ketegelinciran dan kehancuran, mereka tidak
berjalan di atas petunjuk Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam baik untuk mereka sendiri, keluarga dan
rakyatnya... Walaupun demikian Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam masih tetap memerintahkan untuk
mentaati mereka asal jangan dalam maksiat kepada Allah Ta`ala, sebagaimana dijelaskan di dalam hadis
yang lainnya- sampai-sampai walaupun mereka memukul punggung dan merampas harta kamu, dan jangan
hal demikian membuat kamu meninggalkan ketaatan dan tidak mendengarkan perintah-perintah mereka,
sesungguhnya dosa itu ditanggung oleh mereka, dan akan diperhitungkan dan dibalas nanti di hari Akhirat.
Seandainya hawa nafsu menggiringmu untuk menyelisihi perintah Allah Yang Maha Bijaksana serta syari`at
yang mulia ini, jangan kamu dengarkan dan taati amir kamu itu, sebab kamu akan terjatuh ke dalam dosa
dan kehancuran.
Perintah Nabawi ini merupakan sesempurna dan seadil-adil perintah yang sudah dijelaskan oleh Din Islam,
apabila yang dipukul itu tidak mendengarkan dan taat demikian juga yang lainnya, akan terjadilah
kerosakan dan kehancuran baik dalam Din (Agama) mahupun Dunia, terjadilah kekacauan dalam urusan-

urusan ini, lalu akan mencakup kezaliman itu keseluruh rakyat bahkan akan lebih parah daripada demikian,
oleh kerana itu akan hilang keadilan dari negeri itu, dan terjadilah kerosakan yang akan menimpa
seluruhnya.
Sementara kalau yang dizalimi itu sabar dan mengharapkan balasan dari Allah Ta`ala, memohon
kepadaNya jalan keluarnya, lalu dia mendengarkan dan taat pada amirnya, maka akan tegaklah
kemashlahatan kemashlahatan dan tidak akan hancur, juga haknya tidak akan hilang di sisi Allah Subhana
wa Ta`ala akan menggantinya dengan yang lebih baik atau diberikan oleh Nya nanti di Akhirat sebagai
balasannya.
Ini merupakan bentuk sisi-sisi yang sangat baik dari Syari`at ini, di mana syari`at ini tidak terikat
dengan mendengarkan dan ketaatan terhadap keadilan para pemimpin, kalau seandainya terikat akan
terjadilah di dunia ini kekacauan, segala puji bagi Allah atas lemah-lembutnya Dia terhadap hamba
hambanya. (Mu`amalah Al Hukkam hal. 120).
Pembahasan ini diperjelas lagi oleh hadis Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dari jalan `Auf bin Malik
Radliallahu `anhu, Rasulullah berkata :
Sebaik baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian
mendoakan kebajikan buat mereka dan mereka demikian juga, sebaliknya sejelek-jelek pemimpin kalian
adalah kalian membencinya dan mereka juga membenci kalian, lalu kalian melaknat mereka dan mereka
juga melaknat kalian. Kemudian ditanyakan kepada Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam; Ya Rasulullah !
Bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang? jawab Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam : Tidak
selagi mereka mendirikan sholat di hadapan kalian, dan apabila kalian melihat sesuatu yang dibenci pada
pemimpin-pemimpin kalian, bencilah amalannya, dan jangan sekali-kali kalian melepaskan ketaatan terhadap
mereka itu. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (1855).
2. Wajib mendengarkan dan taat kepada para pemimpin dan orang orang yang diberi wewenang dalam
pemerintahan, walaupun mereka fasiq, durhaka, berbuat dosa dan zalim. Dalilnya ialah : Hadis dari jalan
`Adi bin Hatim Radliallahu `anhu berkata :
Ya Rasulullah ! kami tidak menanyakan kepadamu ketaatan terhadap orang yang
tentang orang-orang yang melakukan dan mengamalkan begini, lalu dia menyebutkan
Shollallahu `alaihi wa Sallam menjawab: Takwalah kepada Allah! dengarkan dan
dikeluarkan oleh : Ibnu Abi `Ashim di As Sunnah (2/508) dan berkata Syaik Al
Ta`ala; hadis shohih.

Taqwa, akan tetapi


kejelekan- Rasulullah
taatilah ! Hadis ini
Albani rahimahullahu

Berkata Ibnu Abi Al `Izz Al Hanafi : Adapun wajibnya mentaati mereka walaupun mereka berbuat
aniaya, sebab kalau keluar dari mentaatinya akan terjadi kerosakan-kerosakan yang berlipat-ganda
melebihi dari perbuatan mereka, bahkan kalau sabar dari perbuatan aniayanya, kesabaran itu akan
menjadi penebus dari kesalahan-kesalahan dan akan mendapatkan pahala berlipat-ganda dari Allah `Azza
wa Jall. (Syarh Al `Aqidah At Thohawiyah 2/543).
3. Wajib taat kepada pemimpin (hakim) muslim dalam masalah yang berhubungan dengan yang mubah
(dibolehkan) serta ada mashlahat padanya.
Umar Radliallahu `anhu pernah melarang sahabat-sahabat yang utama untuk keluar dari Al Madinah An
Nabawiyah, Utsman bin Affan pernah memerintahkan Abu Dzarr ke luar dari negeri Syam, lalu tinggal di
Al Madinah, lantas Abu Dzarr minta izin kepadanya untuk ke luar ke Ar Rabdzah kemudian Utsman
mengizinkannya, bahkan kalau dia memerintahkan sesuatu yang dibolehkan maka mentaatinya adalah
wajib, dan tidak boleh menyelisihinya. (Al Mufhim 4/41). Kalau dia memerintahkan sesuatu yang wajib
dari kewajipan-kewajipan yang boleh dipilih antara dua, atau dia melazimkan atas sebahagian orang untuk
mengamalkan wajib al Kifayah maka harus taat padanya, ini merupakan perintah yang Syari` serta wajib
ditaati. (Iklil Al Karamah Fi Tibyan Maqashidi Al Imamah hal. 74).

4. Kewajipan mentaati pemimpin dalam hal yang makruf serta mengamalkan rukun-rukun Islam penyebab
untuk masuk jannah Allah Ta`ala.
Diriwayatkan oleh Abu Umamah Radliallahu `anhu berkata dia :
Saya telah mendengar Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam ketika sedang berkhutbah di Haji Al Wada`
ketika dia duduk di atas untanya yang pontong hidungnya, lalu dia berkata: Hai seluruh manusia!! lantas
berkata seorang laki-laki yang duduk dipaling akhir shaf; apa yang kamu katakan dan inginkan ya
Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam! Rasul menjawab : Dengarkanlah oleh kalian! sesungguhnya tidak
ada Nabi setelah saya ini, tidak ada ummat lagi setelah ummat ini, beribadatlah kepada Rab kalian!
Sholatlah lima waktu, puasalah di bulan Ramadan, tunaikanlah zakat harta kalian, sebagai pencuci
terhadap diri kalian, lalu taatilah pemimpin-pemimpin kalian, kalian akan masuk jannah Rab kalian dengan
selamat. Hadis ini diriwayatkan oleh : Ahmad (5/251), At Tirmidziy (616), Ibnu Hibban (10/426), Ibnu
Abi `Ashim (1095), At Thobrani (8/181), Al Hakim di Al Mustadrak (1/9).
Sungguh-sungguh generasi Salaf telah mempraktikkan dasar-dasar dari mendengarkan dan taat ini dengan
praktik yang sangat nyata sekali dalam kehidupan mereka.
1. Dari Zaid bin Wahab berkata : Takkala Utsman mengutus utusan kepada Ibnu Mas`ud, memerintahkan
dia untuk datang ke Madinah, lantas berkumpul manusia disisi Ibnu Mas`ud mereka berkata : Tetap di
sini, Jangan keluar! Kami melarangmu agar-agar jangan sampai padamu sesuatu yang kamu benci, Ibnu
Mas`ud menjawab: Sesungguhnya saya harus mentaati dia, bahawasanya akan terjadi nanti urusan-urusan
dan fitnah, saya tidak menginginkan saya orang pertama yang membuka pintu fitnah itu, dia tinggalkan
manusia banyak tersebut, kemudian dia keluar menuju ke tempat Utsman. (Nuzhatu Al Fudlola` 1/84).
2. Dari Humaid bin Hilal berkata : Zaid bin Shauwan pernah mendatangi Utsman lalu dia berkata : Ya
Amirul Mu`munin!, bila kamu menyimpang maka ummatmu akan ikut menyimpang, berlaku adillah mereka
juga akan berlaku adil, Ustman berkata : Apakah kamu termasuk orang yang mendengarkan dan taat??
Jawabnya: Benar, kata `Utsman : Keluarlah ke Syam! lantas dia meninggalkan isterinya kemudian
mentaati perintah Utsman. (Nuzhatul Fudhola` 1/307).
3. Dikatakan kepada Abu Wahab (wafat 344 H) pada suatu malam, mari ikut bersama kami menziarahi si
pulan!, jawabnya : Mana ilmunya?, saya mempunyai pemimpin dan ada ketaatan padanya, dia telah
melarang untu keluar malam. (Nuzhatul Fudhola` 2/1140).
4. Diceritakan : Sesungguhnya Ibnu Abi Laila dan Abu Hanifah pernah terjadi di antara mereka
perselisihan; Ibnu Abi Laila pernah menjadi hakim (kadi) di Masjid Al Kufah, dikisahkan suatu hari dia
pernah meninggalkan majlisnya, lantas dia mendengar seorang perempuan berkata kepada seorang lelaki:
Hai anak-anak zina!, kemudian dia perintahkan untuk menangkap wanita itu sambil kembali ke majlisnya,
selanjutnya dia tegakkan had (hukum) terhadap wanita itu dengan dua kali had, sementara wanita itu
dalam keadaan berdiri. Kejadian ini sampai kepada Abu Hanifah berkata dia : Kadi telah melakukan enam
kesalahan dalam kejadian ini.
1. Kembalinya dia ke majlisnya setelah keluar darinya.
2. Dia menegakkan had di Masjid, sementara Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam melarang untuk
melaksanakan had di Masjid.
3. Dia memukul perempuan itu dalam keadaan berdiri, sebetulnya wanita dipukul dalam keadaan duduk.
4. Dia memukulnya dengan dua had, sesungguhnya seorang yang menuduh sekelompok orang melakukan zina
dengan menggunakan satu kalimat, diwajibkan had padanya satu saja.
5. Kalau diwajibkan juga dua had, jangan dia melakukannya berturut-turut, dia pukul pertama kemudian
dia tinggalkan sampai hilang dari rasa sakit.

6. Pelaksanaan had padanya bukan berdasarkan permintaan.


Kritikan Abu Hanifah ini sampai pula kepada
dia : Di sini ada seorang pemuda bernama
saya, lantas dia berfatwa menyelisihi hukum
agar kamu menghukumnya.Kemudian Amir
melarangnya berfatwa.

Abu Laila, lalu dia berangkat menemui wali Kufah, berkata


Abu Hanifah, di mana dia menentang keputusan-keputusan
saya, dan juga dia mencela saya, maka saya menginginkan
Kufah mengutus utusan ke tempat Abu Hanifah untuk

Diceritakan juga; suatu hari Abu Hanifah berada di rumahnya bersama isterinya, anaknya Hammad dan
anak perempuannya, berkata anak perempuannya padanya : Saya ini sedang puasa lalu keluar dari selasela gigi saya darah, kemudian saya ludahkan sampai betul-betul bersih dan kembali seperti biasanyatidak ada darah sedikitpun, apakah saya batalkan puasa ini juga saya menelan air liur tersebut? Abu
Hanifah berkata padanya : Tanya saudara kamu Hammad, sebab Amir telah melarang saya untuk
berfatwa. (As Syuhab Al Lami`ah hal. 69-70).
KETIGA - KEADILAN DAN KESAMAAN
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas(balasan yang seimbang) berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang yang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. Maka barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan
mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih...
(AlBaqarah 2:178)
Islam adalah agama yang komprehensif, yang tidak hanya meletakkan hukum dan undang-undang khusus
bagi manusia dari dimensi individu, tetapi juga untuk perkara-perkara sosial mereka, sehingga masyarakat
manusia mendapatkan keamanan dan ketertiban yang diperlukan. Salah satu persoalan yang terkadang
terjadi pada setiap masyarakat adalah pembunuhan. Untuk mencegah terjadinya pembunuhan dan
pengulangannya yang mengakibatkan ketidakamanan dalam masyarakat, Islam menetapkan hukum qisas.
Berdasarkan hukum ini, jika pembunuhan itu disengaja, maka pembunuh dihukum bunuh pula, sehingga
darah orang yang teraniaya tidak sia-sia begitu saja dan tidak memberi peluang orang lain untuk
melakukan hal yang sama.
Tentunya dalam qisas, keadilan harus diperhatikan. Lantaran itu berdasarkan kesamaan antara pembunuh
dan terbunuh, lelaki dihukum qisas di hadapan lelaki dan perempuan di hadapan perempuan. Dan apabila
pembunuh dan terbunuh tidak dari satu jenis maka diyah (denda) mereka harus dibayar.
Pentingnya undang-undang ini tampak jelas ketika kita mengetahui bila di antara orang-orang Arab
jahiliyah seorang dari kabilah mereka dibunuh, mereka bersedia membunuh dan menumpahkan darah
kabilah pembunuh hanya lantaran satu orang dan melakukan peperangan panjang. Akan tetapi, Islam yang
dibangunkan berdasarkan keseimbangan dan keadilan, dari satu sisi tidak mengizinkan pembunuhan lebih
dari seorang kerana satu orang terbunuh, dan dari sisi lain, bagi pihak pewaris diakui memiliki hak untuk
menuntut qisas pembunuh atau jika menginginkan, mereka dapat mengambil diyah. Tentunya, jika para
pemilik darah atau pihak pewaris ingin mengambil diyah, maka tidak boleh melampaui kewajaran dan
memaksakan berhutang, sebagaimana pula pembunuh juga tidak boleh seenaknya menginginkan pembayaran
diyah. Tetapi keduanya harus mengambil jalan yang baik dan wajar dan mengetahui bahawa segala bentuk
pelanggaran terhadap undang-undang Ilahi akan mendapat balasan berat di hari kiamat kelak.
Pertama, sesungguhnya kita mengutamakan pendidikan mengenai hubungan muslim-nonmuslim dalam
perspektif keadilan, bukan persamaan hak. Ini kerana keadilan bererti memberikan hak kepada
penerimanya secara total dan proporsional dalam konteks situasi dan kondisi objektif yang melingkupinya,
sedangkan persamaan hak sering diertikan sebagai kesamaan antara dua pihak baik dalam bentuk mahupun
isi. Melenyapkan simbol-simbol persamaan hak antara kelompok majoriti dan kelompok minoriti dalam
pemerintah, misalnya, boleh dianggap menodai makna keadilan.

Masyarakat Islam telah digiring oleh propaganda persamaan hak kepada kondisi tanpa diskriminasi antara
kaum muslimin dan Kristian dalam tugas-tugas yang berlabel keagamaan atau hal-hal yang berkaitan
dengan keyakinan (ideologi). Sebagai contoh persamaan hak, kita mendengar suara-suara yang menuntut
diperbolehkannya lelaki Ahli Kitab menikahi kaum muslimah. Argumentasi yang dibangkitkan adalah bahawa
lelaki muslim diperbolehkan menikahi wanita Ahli Kitab, maka sebaliknya pun diperbolehkan.
Menurut pendapat orang, pemikiran tersebut tidak tepat bila ditinjau dari perspektif keadilan, sebab
seorang muslim yang menikahi wanita Ahli Kitab, secara syar'i, dituntut untuk menghormati keyakinan sang
isteri. Terjadi perselisihan pandangan para fuqaha mengenai masalah ini. Sebahagian fuqaha berpendapat
bahawa sebaiknya seorang suami muslim tidak menekan isterinya yang Ahli Kitab dalam urusan keislaman
sehingga tidak dituduh memaksa. Sebahagian lagi mengatakan bahawa suami dituntut menjaga keamanan
isterinya dalam perjalanan menuju ke gereja. Sedangkan sebahagian lagi berpendapat bahawa suami muslim
tidak berhak melarang isteri meminum khamar, karana hal itu diperbolehkan agamanya, meskipun sang
suami diperbolehkan memberikan nasihat kepadanya.
Keadaannya akan lain bila lelaki Ahli Kitab menikahi wanita muslim. Ini kerana Ahli Kitab tidak mengakui
eksistensi agama Islam termasuk masalah kerasulan Muhammad saw. Sangat besar kemungkinannya,
mereka akan merosakkan komitmen wanita muslim terhadap ajaran agamanya atau bahkan mengeluarkannya
dari Islam! Na'uzu billahi min dzaalik!
Dalam kondisi tersebut dan permasalahan sejenisnya, tesis persamaan hak menjadi simbol dan parameter
yang tidak reliabel, sedangkan keadilan merupakan parameter yang lebih objektif dan valid.
Kita berbincang tentang sistem dan klasifikasi, bukan prioriti dan diskriminasi. Penjelasan tentang
fenomena kelompok-kelompok sebaiknya berangkat dari kesedaran akan konsep ini. Tujuan kita tetap
menghormati seluruh hak dalam bingkai komitmen yang total dengan perspektif keadilan dan kewajaran.
Kedua, membezakan syariat dari fekah bermaksud, membezakan antara ketentuan Al-Quran dan AsSunnah yang bersifat mengikat dengan ijtihad manusia yang sama sekali tidak mengikat dan selalu
disandarkan pada penggagasnya. Dalam menghadapi fekah, sebaiknya kita mempertimbangkannya kembali
dengan parameter syariat. Bila sejalan dengan teks syariat dan maksud sebenarnya, maka kita boleh
menerimanya, tetapi jika bertentangan dengan syariat, kita harus menolaknya.
Misalnya, Al-Quran menyatakan bahawa menjaga kemuliaan manusia merupakan salah satu tema penting
dalam ajaran Islam. Islam menjelaskan bahawa kita harus berlaku baik terhadap seluruh manusia yang
tidak sewenang-wenang terhadap kaum muslimin atau memfitnah Islam. Maka setiap perbincangan atau
ijtihad mengenai nonmuslim harus dikembalikan kepada parameter-parameter dan aturan-aturan ini. Bila
tidak sejalan dengan parameter-parameter tersebut, berbagai pemikiran itu terbuka untuk dikritik dan
disanggah.
Ketiga, lapangan ijtihad fekah tentang kedudukan nonmuslim sangat luas. Seorang peneliti dapat mendalami
studinya dengan mempelajari seluruh pandangan dan hipotesis, baik yang positif mahupun yang negatif. Hal
itu bukanlah suatu kelemahan, melainkan pertanda kesuburan fekah Islam dan tradisi yang tak terbatas.
Keluasan pandangan itu tidak membuat kita menjadi picik, selama kita bersandar pada parameter hukum
yang berupa teks-teks syariat dan kaedah-kaedah ushul fekah. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan
adalah mengapa dalam kondisi tertentu lahir tradisi berfikir yang melahirkan ijtihad yang toleran dan
moderate, sedangkan dalam kondisi lain tidak banyak ijtihad yang dihasilkan, melainkan yang memberatkan
dan "keras"?
Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin(mu)..." Syekh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi
berpendapat bahawa ayat tersebut merupakan ajakan untuk tidak bekerja sama dengan orang-orang
nonmuslim yang memusuhi umat Islam.

Sedangkan Sayyid Quthub berpandangan bahawa ayat tersebut merupakan hukum yang berlaku umum yang
mengajak kaum muslimin memisahkan diri dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Penafsiran Sayyid Quthub
diikuti oleh gerakan Jamaah Jihad. Penafsiran tersebut juga mencuri perhatian para pemikir lain,
menyebar luas, dan menjadi tesis yang paling banyak diikuti oleh umat Islam dewasa ini.
Bukankah kita harus mempelajari situasi-kondisi yang mendorong perlunya pemisahan tegas antara muslimnonmuslim dan memutar haluan berfikir ke arah panggilan sikap yang baik dan saling mencintai antara
sesama manusia? Bukankah kita perlu memperluas wilayah kajian agar dapat memahami watak period buruk
yang pernah dilalui umat Islam dan unsur-unsur negatifnya?
Keempat, agar kita dapat menempatkan masalah ini secara proporsional, sebaiknya kita mengingat kembali
satu hal, yakni kelompok-kelompok kebangkitan Islam yang cenderung bersikap keras terhadap nonmuslim
berangkat dari sikap keras pula yang bahkan tak jarang ditujukan kepada sebahagian kaum muslimin
sendiri. Kelompok-kelompok itu sendiri yang membangunkan pemikiran kejahiliahan masyarakat dan
propaganda saling mengkafirkan.
Kerancuan pola fikir sebahagian muslimin terhadap umat Islam lainnya justeru tidak lebih lunak dari sikap
mereka terhadap kaum nonmuslim. Buku-buku Islam yang isinya hanya menghakimi umat Islam yang tak
sefahaman. Bahagian inilah yang masih memerlukan kajian tersendiri. Kita tidak ingin memberikan
perhatian khusus terhadap studi ini, sebab persoalannya terlampau besar. Salah satu sudut yang kita buat
analisis ini merupakan bahagian dari topik yang sangat luas. Penanganan topik besar tersebut dan solusinya
sebaiknya diteliti oleh pakar politik dan ilmuan-ilmuan lain.
Titik pemberangkatan studi yang kita tawarkan adalah: mengapa para pemuda Islam tertarik pada tesistesis yang dominan dan "keras"? Apakah hal ini merupakan fenomena fundamentalisme atau fenomena
kebenaran?
Kelima, kepakaran peneliti yang membahas masalah hubungan muslim-nonmuslim tidaklah memadai kecuali
bila ia mengakui urgensi penganalisisan topik secara lebih luas dan komprehensif, tidak hanya merumuskan
hal-hal yang sudah jelas seperti masalah kewarganegaraan, etnik, dan transaksi ahli dzimmi.
Melainkan penelitian itu juga bertujuan menjernihkan khazanah Islam dari berbagai distorsi dan meninjau
kembali sebahagian produk ijtihad fekah yang kita anggap tidak lebih utama daripada pengungkapan
hukum-hukum syariat dan tujuan-tujuannya (maqaashid). Literatur yang secara spesifik membahas topik
ini adalah buah fikir seorang pakar jurisprudensi Islam, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, yang bertajuk
Ahkaamu Ahluz-Zimmah. Buku tersebut ditulis dalam situasi Perang Salib dan invasi pasukan tempur
Tartar ke Dunia Islam.
Kita tidak boleh melupakan kesungguhan dan penelitian para pakar dalam bidang ini, terutama karya Syekh
Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi, Dr. Abdul Karim Zaidan tentang hukum mengenai ahli
zimmi dan orang-orang yang dilindungi, Dr. Muhammad Fathi Utsman mengenai hak-hak manusia dalam
Islam dan seruannya untuk mengadakan pengkajian ulang dalam bidang fekah khusus tentang nonmuslim,
Dr. Shubhi Mahmashani tentang Islam dan hubungan antara negara, Prof. Ismail Raji al-Faruqi tentang
hak-hak nonmuslim di negara Islam, dan Muhammad Jalal Kasyak yang menulis buku Khawathirul Muslim fi
Mas'alatil-'Aqalliyyat.
Kita telah mendeskripsikan berbagai usaha serius di bidang pemikiran untuk mengungkap masalah
persamaan hak antara warga negara. Akan tetapi kemampuan menggagas idea sahaja tidaklah cukup,
sebab yang penting adalah bagaimana idea-idea itu dapat diterima. Umat Islampun memerlukan berbagai
kompetensi lain yang diperlukan untuk mencari relevansi antara idea-idea dan masa depan.
KEEMPAT - KEBEBASAN
Kebebasan ini merupakan sesuatu yang paling penting dalam membentuk keperibadian manusia, Alla Ta`ala
telah ciptakan mereka dalam keadaan demikian, ia merupakan pembeza antara manusia dengan seluruh

haiwan yang ada. Islam datang untuk menjamin kebebasan pada manusia itu dengan menjaganya dari
berbagai bentuk kesia-siaan, pemaksaan dan penekanan terhadap yang lainnya.
Kebebasan dalam Ber-Din (berAgama) dan Ber-I`tiqad (berKeyakinan).
Islam telah menjelaskan kebebasan berAgama ini dalam ayat yang shorih sekali :
Tidak ada paksaan untuk memasuki Din Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat. Al Baqarah:256.
Pasukan Islam (para Mujahidin) ketika mereka menakluk negeri-negeri yang sudah banyak penduduknya
pada awal-awal fajrul Islam, tidak pernah kita dapati dalam sejarah mereka memaksakan kepada
penduduk negeri itu untuk masuk ke dalam Islam secara paksa, dan tidak pernah mereka melarang
seorangpun dari ahli kitab mempraktikkan syi`ar syi`ar peribadatan mereka, atau mengamalkan apa-apa
yang dibolehkan oleh din (agama) mereka tentang makanan dan minuman yang telah diharamkan oleh Islam,
mereka betul-betul hidup di bawah naungan Negara Islam dalam masa yang panjang sekali dengan penuh
kedamaian, tenteram, penuh nikmat, keadilan dan kebaikan.
Berkata Thomas Arnold (ahli sejarah Inggeris) : Tidak pernah kami mendapati satu keteranganpun
berusaha untuk mendiskerditkan kelompok-kelompok selain kaum muslimin dan memaksakan kepada mereka
untuk menerima Islam, atau berbentuk undang-undang pemaksaan bertujuan menghilangkan ad din al
Masihi, kalau seandainya para Khalifah (Pemimpin) Islam menginginkan mudah sekali bagi mereka untuk
menghilangkan dan mengusir orang-orang kristian dari negeri mereka sebagaimana yang telah diperbuat
oleh Ferdinand dan Isabella ketika mereka menghapuskan Din Islam dan kaum Muslimin dari Asbenia..,
oleh kerana itu sisa-sisa keberadaan gereja sampai sekarang masih disaksikan oleh dunia, ini merupakan
dalil yang kuat dan sangat nyata sekali menunjukan kepada kita bahawa Islam betul-betul telah
mempraktikkan toleransi di negeri itu. (Ad Da`wah Ilal Islam, oleh Thomas Arnold hal. 89-99. Dinukil
dari kitab Manhaj Al Islam Fi Al Harb wa As Salm, hal. 65).
Kebebasan Dalam Bersiyasah.
Setiap peribadi ummat Islam dibebankan untuk berdakwah kepada perbaikan, memerintahkan kepada yang
makruf dan melarang dari berbuat rosak di permukaan bumi, hadis-hadis banyak sekali menunjukan
nasihat kepada kaum Muslimin secara umum, dan juga sebahagian hadis-hadis ditujukan menasihati para
pemimpin secara khusus, nasihat untuk para pemimpin dan orang-orang yang berkecimpung dalam siyasah
sangat disyari`atkan oleh Islam, sepantasnyalah bagi penasihat muslim untuk tidak dikuasai oleh hawa
nafsunya, tujuannya dalam menasihati itu semata-mata hanya mencari redha Allah Ta`ala dan demi
kebaikan atas ummat ini, tidak tercampur perbuatannya itu dengan tujuan duniawi dan kepentingan
peribadi, bila dia berpandangan satu pandangan tentang siyasah semata-mata tujuannya untuk
kemashlahatan ummat, demikian juga bila dia menasihati para pemimpin dan orang-orang yang diberi
tanggung jawab dalam pemerintahan, dia terangkan kepada mereka tentang sisi pandangannya dengan cara
yang disyari`atkan oleh Allah Subhana wa Ta`ala, dengan lemah-lembut, hanya antara dia dengan mereka
sahaja; sesungguhnya seorang mukmin ditutup-tutupi dan dinasihati, sedangkan penjahat harus dibongkar
kejahatannya dan ditelanjangi, sebagaimana diperjelaskan oleh Al Fudhail bin `Ayadh: Para Salaf apabila
mereka ingin menasihati seseorang mereka nasihati secara rahsia, sampai-sampai sebahagian mereka
mengatakan : Barang siapa menasihati saudaranya sesama muslim hendaklah disaksikan oleh mereka
berdua sahaja, itu baru dinamakan nasihat, akan tetapi kalau dia menasihatinya di hadapan kalayak ramai
maka itu bukan nasihat. (Lihat Jami`u Al `Ulum wa Al Hikam hal. 99).
Sebaik-baik penjelasan dalam hal ini adalah hadis Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam;
Siapa yang ingin menasihati seorang yang mempunyai kekuasaan tentang suatu urusan, jangan sekali-kali
dia perbuat terang-terangan, akan tetapi hendaklah dia tarik tangan Sulthon itu ke tempat yang sunyi,
bila diterima nasihatnya cukuplah hai itu baginya, kalau tidak, yang penting dia sudah menunaikan apa-apa

yang diwajibkan atasnya. Hadis shohih, diriwayatkan oleh: Ahmad (3/403), At Thobrani (17/367), Al
Hakim (3/290) dan Ibnu Abi `Ashim di As Sunnah (1130-1132).
Adapun memanafaatkan siyasah yang bertentangan dengan syari`at sebagai wasilah (perantara) untuk
menggerakan masa, mengompori ummat, menyalakan api fitnah dan pemberontakan-pemberontakan, ini
bukan ajaran Islam, Umar bin Al Khatthab Radhiallahu `anhu pernah mengingkari perjanjian Al
Hudaibiyah, dia melihat bahawa perjanjian itu merugikan kaum Muslimin, sebab di dalam perjanjian itu ada
tertulis : Barang siapa yang datang kepada Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dalam keadaan islam
harus dikembalikan kepada mereka, sebaliknya siapapun dari kaum Muslimin yang datang kepada mereka
tidak boleh dikembalikan kepada Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam.Kemudian Umar menunjukan
pandangan dengan sejelas-jelasnya sambil berkata kepada Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam :
Bukankah kamu betul betul Nabiyullah??..., bukankah kita ini berada dalam yang haq sedangkan musuh
kita dalam kebatilan? ..., jadi kenapa kita merendahkan Din kita?.., bukankah kamu menerangkan pada
kami bahawa kita akan datang ke Mekkah ini untuk Thawwaf?? Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam
menjawab : Benar, Saya telah khabarkan padamu kita akan mendatangi Rumah Allah itu tahun ini? Umar
menjawab : Tidak, lalu Rasulullah berkata : Kamu akan mendatanginya tahun ini dan akan Thawwaf di
sana.
Setelah itu Umar mendatangi Abu Bakar Radhiallahu `anhuma : Ya Aba Bakar bukankah Dia ini betulbetul Nabi Allah?.., dan bukankah kita ini dalam kebenaran sementara musuh kita dalam kebathilan?..,
lalu kenapa kita merendahkan Din (Agama) kita? Berkata Abu Bakar : Hai laki-laki, sesungguhnya Dia
adalah Rasulullah, Dia tidak pernah mendurhakai Rabnya, Rabnya akan menolongnya, maka berpeganglah
kamu dengan pandangannya, demi Allah sesungguhnya Dia betul-betul berada di atas kebenaran.
Setelah itu Umar tidak pernah mendatangi siapapun selain dari Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dan
Abu Bakar As Shiddiq. (Riwayat ini dikeluarkan oleh: As Syaikhan, Al Bukhari (5/388), Muslim (3/1412).
Umar tidak melepaskan ketaatannya pada Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam, tidak mengadakan
demonstrasi menuntut untuk menggagalkan perjanjian itu, apalagi kebanyakan kaum Muslimin pada saat
berada di barisan Umar, mereka juga mengingkari perjanjian itu juga.
Sahabat-sahabat pernah menentang keputusan Abu Bakar As Shiddiq Radhiallahu `anhu, yang paling
terdepan dalam penentangan ini adalah Umar Radhiallahu `anhu ketika Abu Bakar memutuskan untuk
memerangi orang orang yang tidak mahu menunaikan zakat, tidaklah gugur penentangan ini kecuali dengan
sepakatnya mereka menerima keputusan Abu Bakar disebabkan kuatnya hujjah dan dalilnya.
Oleh kerana itu perbezaan-perbezaan dalam masalah siyasah harus dikontrol dengan aturan-aturan
syari`at dan adab-adab khilaf, supaya terjamin dari berbagai macam akibat-akibat yang tidak diinginkan,
supaya menghasilkan natijah-natijah yang baik demi kemashlahatan ummat, bukan bertujuan untuk
menghancurkan dan memporak-porandakan tempat tinggal ummat tersebut.
Kebebasan Dalam Berfikir dan Berpendapat.
Islam datang untuk membebaskan akal dari keterkongkong dan dihapuskan dari rantai-rantai yang
mengikatnya selama ini, maka banyak sekali kita jumpai dalam Al Quran ayat-ayat yang diakhiri oleh :
Apakah kalian tidak berakal?, Apakah kalian tidak memikirkan?, Apakah kalian tidak
mentadabburnya?, tidak ditemukan dalam nash-nash yang shohih ada penentangan terhadap akal-akal Al
Basyariyah tidak ada terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah satu ayatpun yang bertentangan dengan
akal. (As Showa`iq Al Mursalah oleh Ibnu Qaiyim Al Jauziyah : 3/830). Adapun hasil dari kebebasan ini
kita menjumpai perpustakaan-perpustakaan Islam penuh dengan peninggalan berbagai cabang ilmu
pengetahuan, dan kadang-kadang kebebasan berfikir dan berpendapat ini memberikan kesempatan kepada
para Ulama Muslimin untuk membantah pandangan-pandangan yang betul-betul bebas yang sangat diterima
oleh sebahagian orang, sebagai satu contoh dari yang demikian kita lihat bagaimana Syaikul Islam Ibnu
Taimiyah mengkritik ilmu manthiq Aristoteles dalam satu kitab beliau Al Raddu `Alal Manthiqiyin, buku
ini merupakan bantahan yang pertama kalinya diketahui oleh kehidupan akal insaniyah khususnya dalam

membantah ilmu manthiq Aristo dengan bantahan yang sangat ilmiyah, di mana dalam masa sekian kurun,
akal manusia dikelabui oleh bahawa ilmu manthiq Al Yunani ini merupakan ilmu terbebas dari berbagai
kerancuan dan kesalahan, sampai datang generasi Syaikul Islam rahimahullah barulah orang tahu bahawa
ilmu ini adalah sesat.
Islam yang menjamin kebebasan berfikir dan berpendapat ini tidak mengizinkan sedikitpun untuk
menggunakan kebebasan ini sebagai jalan atau cara menanamkan keraguan kepada kaum Muslimin dalam
Akidah, Akhlak mereka yang mulia dengan cara menyebarkan perbuatan keji dan rendah serta
menumbuhkan keraguan dan syubhat dalam Din mereka, setiap orang yang mengikuti sejarah Islam dia
akan menyaksikan dengan jelas bahawa para pemimpin Muslimin dahulu benar-benar mengerahkan segala
kemampuan dan kekuatan mereka untuk menghadapi setiap orang yang hatinya memang dihinggapi rasa
dengki terhadap Din Islam ini, tugas ini bukan cuma-cuma sahaja bahkan merupakan kewajipan-kewajipan
yang sangat diwajibkan atas setiap para pemimpin dan orang-orang yang diberi tanggung jawab untuk
menjaga Din Islam Quran-Sunnah-`Aqidah-Syari`ah, kemudian mereka mengantisipasi tindakan orangorang yang menyebarkan kerosakan dan kehancuran baik kerosakan itu dari segi Akidah, Akhlak atau
Sosial Kemasyarakatan, sebahagian kaum berkata : Sesungguhnya sekarang ini kita hidup di abad
tekhnologi yang canggih, masa penuh dengan kebebasan, dan sangat terbelakang sekali- sebagaimana yang
mereka dakwakan- kalau kaum Muslimin masih tetap berada dalam keterkongkongan dan keterikatan
mereka dalam akidah, kemuliaan dan akhlak yang sudah diajarkan oleh Din mereka, sekira-kira menurut
mereka (pencinta kebebasan) ini tidak salah kalau dikalangan masyarakat ini tersebar berbagai macam
bentuk kerosakan baik kerosakan itu dalam segi pendidikan, akhlak dan sosial masyarakat, sebab kata
mereka-menurut dakwaan mereka- kita ini hidup di zaman moden, dan tidak salah juga dikalangan mereka
kalau ada manusia menyeru masyarakat muslim lainnya kepada kesesatan dalam pemikiran, akidah dan
pendidikan, sebab kita ini sedang menyonsong abad moden yang akan datang. Kelompok lainnya betul-betul
mereka sampai kepada batas kebohongan dan kedustaan yang keji sekali sehingga mereka mengatakan :
Sesungguhnya Islam ketika menetapkan undang undang menjamin kebebasan berfikir dan bertindak, itu
cuma alat untuk menghancurkan dan pembusukan dari dalam supaya sanggup menghapus undang-undang itusebagaimana yang mereka inginkan- lantas diberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada setiap muslim
sebagaimana yang sudah dipraktikkan di negara Eropah sekarang ini.

______________________
Terbitan : 3 Ogos 2003

Anda mungkin juga menyukai