Anda di halaman 1dari 14

As Siyasah As Syar'iyah - Bahagian 2

RUKUN-RUKUN (DASAR-DASAR) AD DAULAH (NEGARA) AL ISLAMIYAH


Telah sepakat sebahagian besar dari penulis-penulis As Siyasah dan undang-undang tentang rukun-rukun
yang sangat mendasar sekali tentang suatu negara adalah : Pemimpin, Undang-undang, Rakyat, dan
perbatasan-perbatasan teritorial, maka Negara Islam juga dibangunkan atas empat dasar ini.
Rukun yang pertama : Al Hukum dengan apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah.
Rukun yang kedua : Pemimpin.
Rukun yang ketiga : Rakyat (bangsa).
Rukun yang keempat : Tempat atau Daerah.
Kita akan menerangkan keempat-empat Rukun ini secara terperinci :
Rukun yang pertama : Al Hukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah Ta`ala (Al Quran dan As
Sunnah).
Yang dimaksud oleh penulis-penulis As Siyasah tentang Pemimpin adalah : yang memiliki kekuasaan
tertinggi di satu masyarakat atau negara, ini merupakan rukun yang paling utama dalam undang-undang
politik apapun di dunia ini, adapun dalam undang-undang As Siyasiy Al Islamiy maksudnya ialah Al Hukum
dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah, atau dengan kata lain Hukum itu hanya milik Allah sahajasebagaimana dinamakan oleh sebahagian orang keterangan secara terperinci dalam masalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Wajib Berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah Ta`ala.
2. Berhukum dengan selain hukum Allah.
3. Cara/Method untuk Berhukum dengan Hukum Allah.
Pertama: Wajib Berhukum dengan Hukum Allah.
Sesungguhnya berhukum kepada Syari`at Allah- `Azza wa `Ala- dan berhukum dengan apa-apa yang
diwajibkan oleh Allah dan RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam, ini merupakan tuntutan dari peribadatan
kepada Allah, persaksian terhadap Risalah NabiNya Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam, bila
berpaling dari demikian sedikit sahaja akan ditimpa dia oleh azab dan sanksi Allah, urusan ini apakah
antara Negara dengan rakyatnya, atau sangat dianjurkan berpegangnya kelompok Muslimin di setiap
tempat dan waktu, apakah dalam situasi ikhtilaf dan pertikaian yang khusus dan umum. (Wujub Tahkim
Syari`at Allah) oleh Mufti Kerajaan As Saudi, Samahatu As Syaikh Abdul Aziz ibnu `bdullah bin Baz
rahimahullah Ta`ala.
Dalil-dalil dari Al Quran As Sunnah yang menerangkan wajibnya berhukum dengan Hukum Allah `Azza wa
Jall dan bertahkim kepadaNya sangat banyak sekali untuk dipaparkan, cukup sedikit sahaja kami jelaskan
di sini kerana sangat masyhur sekali dalil-dalil itu, sementara orang-orang bodoh dengan dasar-dasar ke
Islaman banyak dan masyhur dihadapan kita, oleh kerana itu kami akan tampilkan sebahagian dari dalildalil itu.
Berkata Allah Jalla wa `Azz : Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. An Nisa: (58). Berkata Al Imam As Syafi`I-rahimahullah- Allah Subhana wa
Ta`ala telah mengajarkan kepada NabiNya Shollallahu `alaihi wa Sallam bahawasanya diwajibkan atasnya
dan atas Nabi-nabi sebelum dia dan manusia yang lainnya iaitu apabila mereka memutuskan suatu perkara

hendaklah mereka memutuskan dengan adil, dan adil itu ialah mengikuti HukumNya yang telah diturunkan
kepada NabiNya Shollallahu `alaihi wa Sallam. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta`ala :
Bila kamu bertikai dalam satu perkara maka kembalikanlah penyelesaiannya kepada Allah dan Ar Rasul.
An Nisa : (59). Berkata Al Imam As Syafi`I; maksudnya mereka dan para pemimpin diperintahkan oleh
Allah Ta`ala untuk mentaati mereka, kerana kewajipan itu tidak ada pertikaian dan perselisihan bagi
kalian padanya, seperti dijelaskan oleh Allah Ta`ala :
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan
mereka. Al Ahzab:(36). Barang siapa yang berselisih setelah zaman Rasulullah Shollallahu `alaihi wa
Sallam- hendaklah ia kembalikan penyelesaian urusan itu kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya
Shollallahu `alaihi wa Sallam, lalu kalau tidak terdapat dalil penyelesaiannya dari pada keduanya atau
salah satu di antara dua maka kembalikan solusinya dengan mengkiyaskan salah satu di antara duanya.
(Ahkam Al Quran oleh As Syafi`I: 1/29-30).
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, iaitu kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain;
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Al Maidah:(48).
Berkata Al Hafidz Ibnu Katsir : Hukumlah di antara manusia itu ya Muhammad Shollallahu `alaihi wa
Sallam- `arab mereka, dan orang `ajam (bukan `arab) mereka, orang yang diberi kitab pada mereka atau
orang ahli kitab dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah kepada engkau ya Muhammad Al Kitab Al
`Azhim, dan dengan yang sudah ditetapkan bagimu tentang hukum para Nabi sebelummu, di mana hukum
itu tidak dihapus oleh syari`atmu.
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang
orang yang fasik. Al Maidah : (47). Maksudnya; barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang
ada di Al Kitab Al `Aziz dan As Sunnah Al Muthahharah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Ta`ala :
Apa sahaja yang di bawa oleh Rasul Shollallahu `alaihi kepadamu maka terimalah. Dan apa sahaja yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Al Hasyar: (7). Demikian juga diperjelaskan oleh Nabi Shollallahu
`alaihi wa Sallam dalam satu hadisnya :
Ketahuilah sesungguhnya telah diturunkan kepada saya Al Quran dan sepertinya bersamanya (As
Sunnah). Hadis Shohih. Diriwayatkan oleh Ahmad (4/130), Abu Dawud (4604), Ibnu Majah (12), Ad
Daruqutniy (4/287), At Thobraniy fi Al Kabir (20/283). ... Mereka itulah orang orang yang keluar dari
ketaatan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Shiddiq hasan Khan. (Iklil Al Karamah fi Tibyan Maqashid Al
Imamah: (87).
Sesungguhnya Allah Subhana wa Ta`ala- dengan DiriNya Yang Sangat Mulia- kalian tidak akan beriman
sampai kalian mengatakan; kami betul-betul berhukum kepada Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam tentang
apa-apa yang kami perselisihkan di antara kami, tunduk kepada hukum-Nya, menyerahkan diri secara
total kepada hukum itu, tidak akan memberi manafaat kepada kami hukum selain hukum-Nya, dan tidak
akan dapatmenyelamatkan kami dari azab Allah, tidak akan diterima dari kami jawapan ini bila kami
mendengarkan panggilan-Nya Subhana wa Ta`ala- pada hari kiamat, Allah berfirman :
Apa jawapan kalian kepada para Rasul? Al Qashash: (65). Sesungguhnya Allah Subhana wa Ta`ala pasti
akan menanyakan hal itu pada kita, dan dituntut kita untuk menjawabnya, seperti firman Allah :
Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan
sesungguhnya Kami akan menanyai pula rasul-rasul Kami. Al A`raf: (6).

Tidak cukup dengan demikian sahaja untuk menghasilkan keimanan sampai betul-betul hilang rasa sempit
dari jiwa-jiwa mereka ketika Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam memutuskan perkara, juga mereka redha
dan menerimanya secara total, sebagaimana diterangkan oleh Allah Ta`ala :
Maka demi Rab-mu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. An Nisa :
(65).
Dipertegaskan hal yang demikian dengan ketegasan sebagai berikut :
1. Dimulainya kalimat dalam ayat ini dengan sumpah menggunakan huru an Nafyi yang mengandung
dalamnya penegasan penafian terhadap seluruh sumpah-sumpah selain-Nya, sebagaimana dimulainya
kalimat dengan jumlah yang mutsbitah (penetapan) dengan huruf an.
2. Allah Subhana wa Ta`ala bersumpah dengan diri-Nya sendiri.
3. Bahawasanya Allah bersumpah atas diri-Nya sendiri dengan menggunakan shighat (rupa) fi`il yang
menunjukan terjadinya, ertinya tidak akan mampu mereka menghasilkan iman apapun sampai betul-betul
mereka menjadikanmu sebagai hakimnya.
4. Dalam ayat ini Allah `Azza wa Jall menggunakan kata hatta bukan kata illa, di mana mengandungi
pengertian tidak akan didapat keimanan itu kecuali setelah berhukum kepada Rasul Shollallahu `alaihi wa
Sallam, kerana apa sahaja setelah kata hatta masuk kepada apa-apa sebelumnya.
5. Kemudian Al Muhkam (yang diperselisihkan) padanya digunakan shighat (rupa) maushul yang menunjukkan
keumuman, iaitu perkataan Allah yang ertinya seluruh apa-apa yang mereka perselisihkan baik kecil
perselisihan itu atau besar.
6. Allah Subhana wa Ta`ala menggabungkan kepada yang diperselisihkan itu penafian terhadap al Haraj
(rasa sempit) terhadap keputusan Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam.
7. Allah Ta`ala menggunakan kata al Haraj berbentuk nakirah (umum) ketika penafian, ertinya tidak
didapatkan satu macampun dari bentuk rasa sempit sama sekali.
8. Allah `Azza wa Jall menjelaskan tentang hal yang diputuskan Nya dengan bentuk umum, mungkin hal itu
mashdariyah (dasarnya), ertinya; dari keputusan-keputusan-Mu, atau maushulah, ertinya; di antara
keputusan-keputusan-Mu, ini meliputi setiap keputusan dari keputusan-Nya.
9. Sesungguhnya Allah Ta`ala tidak mencukupkan demikian sahaja namun Dia tuntut lagi untuk betul-betul
mereka menyerahkan diri secara total, dan ukuran tambahan atas at Tahkim(berhukum) dan penafian
terhadap rasa sempit, tidak setiap yang memutuskan ditiadakan darinya rasa sempit, dan tidak setiap
yang ditiadakan darinya rasa sempit lalu menyerahkan diri secara total untuk menerimanya, sesungguhnya
penyerahan diri termasuk dalam keredhaan untuk menerima segala keputusan-Nya dan tunduk pada-Nya.
10. Allah mentaukidkan (menegaskan) fi`il at Taslimdengan menggunakan al Mashdar al Muakkad (kata
benda dari fi`il tersebut). (As Showa`iq Al Mursalah: 4/1520-1521), ayat ini ada syarh yang lebih
terperinci lagi, lihat kitab Al Hukum bighairi ma Anzalallahu.
Kesimpulan dari perbahasan ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah tentang
ayat ini : Sudah diketahui sepakatnya kaum Muslimin bahawa wajib menjadikan Rasul Shollallahu `alaihi
wa Sallam sebagai hakim dalam segala perselisihan yang terjadi di antara manusia, baik dalam urusan Din
(Agama) dan dunia mereka, baik dalam masalah ushul (pokok) Din ini atau cabang-cabangnya, diwajibkan
atas mereka seluruhnya bila Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam sudah memutuskan sesuatu maka jangan

sekali-kali merasa sempit hati-hati mereka dengan keputusan itu dan harus menyerahkan diri serta
menerima hukum itu. (Majmu` Al Fatawa : 7/37-38, oleh Syaikul Islam).
Tuntutan Secara Syari`at Untuk Membuktikan Rukun Yang Utama Adalah Dengan Cara Sebagai Berikut:
1. Diwajibkan bagi Negara tersebut untuk berpegang kepada Akidah Ahli As Sunnah wa Al Jamaah yang
bersumber dari Al Kitab As Sunnah dengan pemahaman para Ulama Salaf umat ini, bercirikan At Tauhid
Al Khalish (bersih), dengan tiga macam At Tauhid; (Tauhid Ar Rububiyah, Tauhid Al Uluhiyah, Tauhid Al
Asma` wa As Shifat), dan memerangi seluruh kesyirikan dengan berbagai macam bentuk dan jenisnya.
2. Mempraktikkan hukum-hukum yang wajib diketahui dalam Din (Agama) ini.
3. Menghalalkan apa-apa yang sudah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, mengharamkan apa-apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan diwajibkan untuk mempraktikkan sanksi-sanksi yang ditetapkan
bagi yang halal dan yang haram.
4. Mempraktikkan undang-undang As Siyasiy, Ekonomi dan Sosiologi kemasyarakatan.
5. Tidak dibenarkan Negara itu menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, Ijma`ul ummah, kaedah-kaedah
Syari`at dan ushul-ushul (dasar-dasar)nya yang umum.
Kedua : Berhukum kepada selain hukum Allah.
Sesungguhnya masalah berhukum kepada selain hukum Allah merupakan masalah-masalah ilmiah yang
sangat penting sekali, telah ditulis tentang hal ini berbagai macam kitab-kitab kecil dan tulisan-tulisan
ringkas, sebahagian besarnya merupakan lanjutan dari gambaran masa lalu, atau memenuhi semangatsemangat yang melampaui batas, sesungguhnya masalah ini merupakan masalah yang berbahaya sekali,
sangat menghajatkan betul untuk ditulis tentang hal ini dan merupakan kewajipan untuk dibahas dengan
ikhlas serta dipaparkan sesuai dengan Manhas Salaf Ummat ini di dalam memahami dalil-dalil Al Quran
dan As Sunnah. (Nukilan dari Muqaddimah As Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan terhadap kitab
Berhukum selain hukum Allah oleh pengarang kitab ini.
Dan bila salah dalam membahas permasalahan ini akan mengakibatkan fatal, menjerumuskan pemudapemuda ummat ini baik dulu atau sekarang ke lembah fitnah yang gelap sekali, kejelekan terus-menerus,
perselisihan yang tidak ada hujung pangkalnya, tarikh telah meriwayatkan kepada kita : Pernah salah
seorang dari kalangan Khawarij menemui Khalifah Al Ma`mun.
Berkata padanya Al Ma`mun : Apa yang menyebabkan kamu menyelisihi kami ?
Jawabnya : Satu ayat dalam Al Quran.
Ayat apa itu? Tanya Al Ma`mun.
Dia menjawab : Perkataan Allah Ta`ala :
Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. Al Maidah (44).
Berkata Al Ma`mun padanya : Apakah kamu mempunyai ilmu bahawa ayat itu diturunkan demikian?
Jawabnya : Benar.
Kata Al Ma`mun : Apa dalilmu?
Jawabnya : Ijma` Al Ummah.

Kata Al Ma`mun : Sebagaimana kamu redha dengan ijma`nya mereka tentang sababunnuzulnya maka
redhai juga ijma` mereka tentang tafsirnya.
Jawabnya : Benar engkau ya Khalifah; Assalamu`alaikum ya Amiril Mu`minin. Riwayat ini dikeluarkan oleh
Al Imam Al Khathib Al Baghdadi di Tarikh Baghdad: (10/186), As Sayuthiy menukil darinya ke dalam
kitabnya : Tarikh Al Khulafa` (296), dan disebutkan oleh Al Imam Az Dzahabiy di Siyaru A`lamu An
Nubala` (10/280).
Permasalahan yang tidak diikhtilafkan sama sekali oleh para ulama Salaf, baik yang telah terdahulu atau
terakhir ini bahawa siapapun yang berhukum selain dengan hukum yang diturunkan oleh Allah seperti
undang- undang yang diproduk oleh manusia itu sendiri, atau hukum-hukum jahiliyah, ini merupakan
kemungkaran yang betul mungkar, wajib baginya untuk berhukum dengan Syari`at Ar Rabaniyah, atau dia
memandang bahawa hukum Allah itu tidak cocok/sesuai lagi dengan zaman sekarang ini, atau hukum Allah
Ta`ala sama darjatnya dengan hukum lainnya, ini akan mengeluarkan seseorang dari Islam, sebelumnya
sebahagian orang-orang moden telah menyangka bahawa Ulama Ahli As Sunnah telah berselisih tentang
kafirnya orang yang berhukum selain hukum Allah dengan tidak menentangnya, yang benar ialah bahawa
Ahli As Sunnah tidak pernah ikhtilaf dalam masalah ini, sesungguhnya mereka telah ijma` tentang
kafirnya seseorang yang berhukum selain hukum Allah baik dia tentang ataupun dia halalkan, dan telah
ijma` juga mereka tentang tidak kafirnya atas seseorang yang berhukum dengan selain hukum Allah tetapi
dia tidak menentang hukum Allah itu, keterangan ini diperjelaskan dari tiga jalan bukan satu jalan saja,
(lihat penjelasan ini lebih terperinci lagi di kitab pengarang ini, Al Hukum bighairi ma Anzalallahu wa
Ushulu At Takfir: (81-89), dan tetap juga keterangan bahawa perkataan kafirnya seluruh orang-orang
yang berhukum selain hukum Allah tanpa penjelasan yang terperinci- apakah dia menentang hukum Allah
itu atau tidak- ini merupakan perkataan Khawarij!!
Berkata Al Jasshosh : Al Khawarij telah mentakwilkan (menafsirkan) ayat ini tentang kafirnya setiap
orang yang berhukum selain hukum Allah sementara dia tidak menentangnya. (Ahkam Al Quran: 2/534).
Yang menyandarkan perkataan ini kepada Al Khawarij di antaranya ialah : Abu Bakar Muhammad bin Al
Husain Al Ajurriy, Abu Umar bin Abdil Barr, Al Qadhiy Abu Ya`la, dan selainnya. (lihat : Al Hukum
Bighairi Ma Anzalallahu, oleh pengarang : hal. 100-101).
Di antara hal-hal yang membuat dahi kita berkeringat ialah di mana sebahagian dari orang yang moden
yang meniti jalan-jalan yahudi (orang-orang yang dimarahi oleh Allah Ta`ala) mereka ini berpandangan dan
mengambil sebahagian perkataan ahli ilmu apa-apa yang sesuai dan cocok dengan pandangan mereka yang
sudah mereka transfer dari pandangan Khawarij. (Lihat contoh yang demikian di kitab sebelum ini hal.
121-124).
Bagaimanapun juga, para Ulama Salaf telah membantah pandangan yang sesat ini dengan dua kaedah
Syar`iyah yang diasaskan dengan Al Quran dan As Sunnah serta disokong dengan pemahaman Ulama Salaf
ummat ini.
Al Qaedah yang pertama :
Mewajibkan atas kita kaedah ini bahawa kita tidak akan mengkafirkan seorang hakim (pemimpin) kecuali
dia menentang wajibnya berhukum kepada Syari`at Islamiyah, apabila dia menentang tentang wajibnya,
atau dia berpandangan bahawa berhukum dengan selain hukum Allah sama sahaja dengan hukum Allah
Ta`ala, atau Hukum Allah itu tidak cocok/sesuai lagi untuk diterapkan pada zaman ini, ini akan
mengeluarkannya dari Islam secara total.
Ahli Ilmu dikalangan Ulama Salaf dan Khalaf betul-betul telah menjalani kaedah ini, mereka tidak
mengkafirkan siapapun kecuali seperti yang kami sifatkan, ini sebahagian perkataan-perkataan mereka.
Diriwiyatkan oleh Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas tentang tafsir perkataan Allah Ta`ala :

Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. Al Maidah (44).
Pokok dari permasalahan ini ialah sebagaimana dijelaskan Ibnu `Abbas : Barang siapa yang menentang
apapun yang diturunkan oleh Allah Ta`ala maka dia kafir, barang siapa yang mengakui hukum Allah tetapi
dia tidak berhukum dengannya maka dia zalim fasiq. Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam
tafsirnya : (10/357), Ibnu Al Mundzir dan Ibnu Abi Hatim sebagaimana diterang dalam Ad Dur Al
Mantsur : (3/87).
Berkata Syaik Al Mufassirin At Thobariy : Demikian juga pandangan setiap siapapun yang tidak berhukum
dengan hukum Allah lalu dia menentangnya maka dia betul-betul kafir kepada Allah Ta`ala, demikianlah
ditafsirkan oleh Ibnu `Abbas. (Tafsir At Thobariy : 10/358).
Berkata Al Qurthubiy : maksudnya; Dia yakin tentang kebenaran selain hukum Allah itu dan dia halalkan,
adapun barang siapa yang mengamalkan demikian tidak disertai dengan keyakinan bererti dia telah
mengerjakan sesuatu yang sangat diharamkan maka dia termasuk orang yang fasik dikalangan kaum
muslimin, urusannya dikembalikan kepada Allah Ta`ala, kalau Allah kehendaki di`azab oleh-Nya, kalau Dia
menginginkan diampuni-Nya. Al Jami`u Liahkami Al Quran : (6/190).
Berkata Abu As Su`ud : maksudnya; Barang siapa yang tidak berhukum dengan Hukum-Nya serta
melecehkan dan mengingkari.... Maka dia termasuk orang-orang yang kafir disebabkan kerana
pelecehannya terhadap hukum Allah itu. Tafsir Abi As Su`ud (1/64).
Berkata Al Baidhowiy : Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah lalu dia melecehkan dan
mengingkarinya maka dia digolongkan sebagai orang-orang yang kafir dikeranakan pelecehannya terhadap
hukum itu. Tafsir Al Baidhowiy : (1/268).
Berkata pensyarah kita At Thohawiy : Di sini ada sesuatu yang harus difahami, bahawa berhukum dengan
selain hukum Allah kadang-kadang boleh menjadikan orang keluar dari Islam (kafir), boleh jadi hanya
merupakan maksiat-dosa besar atau dosa kecil, boleh jadi dia kafir- kafir yang majaz atau kufrun
ashghar, hal demikian ditinjau dari keadaan seorang hakim itu:
- Kalau hakim tersebut berkeyakinan bahawa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib, dan
diserahkan kepada kita, atau dia merendahkan hukum Allah itu sementara dia yakin tentang hukum itu, ini
merupakan kufrun akbar (kufur besar).
- Kalau dia meyakini tentang wajibnya berhukum dengan hukum Allah, dan dia berilmu tentangnya, tetapi
dia berpaling darinya, namun dia akui bahawa dia berhak untuk diberi sanksi, ini tergolong orang yang
durhaka, dinamakan juga kufran majaziy atau dosa kecil. (Syarh Al `Aqidah At Thohawiyah : 323324).
Berkata Ibnu Al Jauziy : Perincian penjelasan sebagai berikut :
- Bahawasanya barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dan dia menentangnya sementara
dia tahu bahawa Allah yang menurunkannya, sebagaimana yang telah dikerjakan oleh orang-orang Yahudi
ini adalah kafir.
- Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah hatinya cenderung kepada hawa nafsunya tanpa
menentang hukum Allah itu, maka dia adalah zalim fasiq. (Zaad Al Maisir : 2/366).
Berkata Syaikul Islam Ibnu Taimiyah- rahimahullahu Ta`ala- Apabila mereka mengetahui bahawa tidak
boleh berhukum kecuali dengan hukum Allah maka ini tidak melazimkan mereka menjadi kafir, tetapi bila
mereka menghalalkan hukum selain hukum Allah baru mereka itu dinilai sebagai orang kuffar, kalau tidak
mereka hanya dinilai sebagai orang-orang yang bodoh. (Minhaj As Sunnah An nabawiyah : 5/130).

Berkata Al Imam Ibnu katsir rahimahullahu Ta`ala ketika menafsirkan ayat :


Barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka dia termasuk orang-orang yang
kafir. Kata beliau : Kerana mereka menentang hukum Allah dengan penentangan yang betul-betul
sengaja. (Tafsir Ibnu katsir 2/61).
Berkata pengarang Tafsir Al Manar rahimahullah Ta`ala : Barang siapa yang berpaling dari menegakkan
hukum had terhadap pencuri, orang yang menuduh orang berzina, pezina, dan tidak menundukkan dirinya
untuk melaksanakan hukum itu kerana ada rasa kebencian dalam hatinya, kemudian dia lebih mengutamakan
hukum-hukum yang diproduksi oleh tangan-tangan manusia maka dia adalah kafir secara muthlaq.
Adapun zahirnya ayat tidak ada seorangpun dari aimmah Al Fiqh yang masyhur berpandangan seperti itu,
bahkan sama sekali tidak ada yang berpandangan demikian. (Tafsir Al Manar : 6/405-406).
Berkata As Syaikh Al Allamah As Syinqqithiy rahimahullah Ta`ala-: Ketahuilah penjelasan tentang
perbahasan ini bahawa kekafiran, kezaliman dan kefasikan, salah satu dari yang tiga ini kalau di-ithlaqkan
dalam Syari`at ini kadang-kadang maksudnya adalah maksiat, sedangkan kekufuran yang mengeluarkan
dari Din (Agama) ini lain lagi.
Barang siapa yang memutuskan dengan hukum Allah. Al Maidah (44).
- Penentangan terhadap para Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam, pembatalan terhadap hukum-hukum
Allah, kezaliman, kefasikan dan kekufurannya itu akan mengeluarkan dia dari Islam.
- Kalau dia meyakini bahawa dia mengerjakan sesuatu yang haram, mengamalkan yang jelek, maka
kekafiran, kefasikan dan kezalimannya itu tidak mengeluarkan dia dari Islam. (Adhwa` Al Bayan 2/104).
Berkata As Syaikh Al `Allamah As Sa`diy rahimahullahu Ta`ala Berhukum selain hukum Allah merupakan
kezaliman yang sangat besar ketika penghalalannya, dan sangat besar sekali dosanya ketika dia
melaksanakan hukum itu dengan tidak memandang halal. (Taisir Al Karim Ar Rahman : 2/296-297).
Berkata As Syaikh Al `Allamah Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu Ta`ala Siapapun yang berhukum
dengan undang-undang buatan manusia, atau memutuskan perkara dengan undang-undang itu dengan
meyakini kebenaran dan bolehnya, maka dia kafir keluar dari Millah (Islam), jika mengerjakan itu tanpa
meyakini kebenaran undang-undang itu serta dia tidak yakin tentang bolehnya untuk dilaksanakan, maka
dia hanya sampai pada darjat Al Kufru Al `Amaliy yang tidak mengeluarkan dia dari Islam. (Majmu` Al
Fatawa : 1/80).
Berkata Syaikh Ahli As Sunnah Mufti Kerajaan As Saudi Al Arabiyah `bdul Aziz bin Abdillah bin Bazz:
Siapapun yang berhukum dengan selain hukum Allah tidak akan keluar dari empat permasalahan :
1. Barang siapa yang mengatakan : Saya menggunakan hukum ini (undang-undang buatan tangan manusia)
kerana undang-undang lebih baik dari As Syari`ah Al Islamiyah maka dia kafir keluar dari Islam.
2. Barang siapa yang berkata : Saya menggunakan undang-undang ini, kerana dia sama dengan As
Syari`ah Al Islamiyah, berhukum dengan undang-undang ini boleh dan dengan Syari`ah Islam juga boleh,
maka dia kafir keluar dari Islam.
3. Barang siapa berkata : Saya berhukum dengan ini, sedangkan Syari`ah Islam lebih afdhol (lebih baik),
akan tetapi hukum selain hukum Allah boleh sahaja, maka dia kafir keluar dari Islam.
4. Barang siapa yang mengatakan : Saya berhukum dengan ini, sedangkan dia meyakini bahawa hukum
selain hukum Allah tidak boleh sama sekali, selanjutnya dia mengatakan, berhukum dengan As Syari`ah Al
Islamiyah lebih utama, tidak boleh berhukum dengan selainnya, namun dia bermudah-mudah, atau dia
melakukan ini kerana dipaksa oleh pimpinannya yang lebih tinggi darinya, maka dia dinilai telah

mengerjakan kekufuran yang kecil yang tidak mengeluarkan dia dari Din Islam, tetapi itu merupakan dosa
yang sangat besar. (Qadhiah At Takfiir baina Ahli As Sunnah wa Firaq Ad Dholal : 72-73).
Pandangan ini juga masyhur dari As Syaikh Al Allaamah Muhammad Nashiruddin Al Albani hafizhohullahu
Ta`ala pandangan Syaikh ini telah disebarkan secara gamblang oleh koran (As Syarq As Ausath) dan
majalah (Al Muslimun) dan dikomentari oleh Samahah As Syaikh Ibnu Bazz pandangan Syaikh Al Albani ini
dan ditegaskan lagi oleh beliau di dua majalah tersebut berkata beliau : Saya telah membaca jawapan
yang sangat bernilai dan bermanafaat dari shohibu Al Fadhilah As Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani semoga Allah Ta`ala memberinya taufik di mana beliau menyebarkan jawapannya ini di majalah (As
Syarq Al Ausath) dan koran (Al Muslimun), beliau telah menjawab pertanyaan tentang kafirnya seseorang
yang berhukum selain hukum Allah tanpa penjabaran.
Saya melihat jawapannya merupakan jawapan yang besar sekali nilainya dan cocok/sesuai dengan yang haq,
di mana beliau telah menjelaskan dengan cara Salaf ummat ini-semoga Allah memberikan taufik
kepadanya- : Bahawasanya tidak dibenarkan bagi seseorang mengkafirkan setiap orang yang berhukum
selain hukum Allah Ta`ala hanya kerana amalnya tanpa dia mengetahui apakah dia menghalalkan hukum itu
dengan hatinya, lalu As Syaikh berhujjah dengan riwayat yang datang dari jalan Ibnu Abbas Radhiallahu
`anhuma dan selainnya dari Salaf ummat ini.
Dan tidak diragukan apa-apa yang disebutkan dalam jawapannya tentang tafsir perkataan Allah Ta`ala :
Barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah maka dia termasuk
orang- orang yang kafir, (orang-orang yang zalim, orang-orang yang fasik). Dia tepat dalam jawapannya,
sesungguhnya dia telah menjelaskan- semoga Allah memberinya taufik- bahawa kekufuran itu ada dua
macam: Kekufuran yang besar dan yang kecil, kezaliman terbahagi dua ada yang besar dan ada yang kecil
demikian juga kefasikan ada dua yang besar dan yang kecil, barang siapa yang menghalalkan hukum selain
hukum Allah atau zina atau riba dan selainnya dari hal-hal yang diharamkan secara ijma tentang haramnya
maka dia telah melakukan kekufuran, kezaliman, kefasikan yang sangat besar, sedangkan barang siapa
yang melakukannya bukan kerana halalnya dia hanya dihukum sebagai orang yang melakukan kekufuran,
kezaliman, kefasikan yang kecil sahaja, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi
wa Sallam dalam satu hadis dari jalan Ibnu Mas`ud Radhiallahu `anhu :
Mencela muslim itu fusuq sedangkan membunuhnya adalah kufur. Yang dimaksud oleh Shollallahu `alaihi
wa Sallam dalam hadis ini ialah : kefasikan dan kekufuran yang kecil, di-ithlaqan kalimat ini dalam hadis
ini untuk mengingatkan kaum muslimin agar tidak mengamalkan amalan yang munkar ini, demikian juga
dalam hadis yang lain Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata :
Dua macam bentuk perbuatan pada manusia itu membuat mereka kufur : Mencela nasab, meratapi
mayat. Hadis ini dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dalam shohihnya. Dan perkataan Nabi Shollallahu
`alaihi wa Sallam yang lainnya : Kalian tidak akan kembali setelah saya nanti kepada kekufuran di mana
sebahagian kalian memukul leher sebahagian yang lainnya. (As Syarq Al Ausath no. 6156, tanggal
12/5/1416 H).
Kemudian keterangan dua orang Imam ini dibacakan dihadapan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullahu
Ta`ala, lantas beliau menyetujuinya dan menyokongnya. (Lihat kitab yang berharga sekali At Tahdziir min
Fitnah At Takfiir).
Alqaidah yang Kedua:
Al Qaidah As Syar`iah yang ditetapkan dan berasaskan Al Kitab As Sunnah dengan pemahaman para
ulama Salaf menghendaki kita untuk betul-betul mencari ketetapan tentang : Apakah berhukum selain
hukum Allah dengan tidak menentang kebenaran hukum-Nya dan menghalalkan hukum selain hukum-Nya
merupakan Al Kufru Al I`tiqadiy (kekafiran dalam segi Akidah) yang mengeluarkan seseorang itu dari
Islam secara keseluruhannya atau hanya merupakan kufur dari segi amalan sahaja yang tidak sampai
mengelurkan seorang itu dari ruang lingkup Islam.

Inilah jawapan ulama Islam dan ahli Ilmu dan Iman, di antara mereka ada yang sudah disebutkan sebelum
ini nama-nama mereka pada Al Qaidah yang pertama, tidak ada ikhtila di antara mereka dalam hal ini :
Bahawa perbuatan demikian merupakan kekufuran, kezaliman dan kefasikan yang tidak mengeluarkan dia
dari Islam, hanya merupakan dosa besar dari sekian dosa-dosa besar lainnya, tidak sama di sisi mereka
hukumnya antara orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dan dia mengingkari, mendustakan,
meremehkan, menghalalkan undang-undang produk tangan-tangan manusia, dia lebih mengutamakan hukum
thoghut itu daripada hukum Allah, dan orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, sementara dia
meyakini kewajipan dan keutamaan hukum-Nya, dan dia mengakui juga bahwaa dia mustahaq untuk diberi
sanksi dan `iqab, lantas dia mengerjakan demikian kerana hawa dan maksiat, atau kerana takut dari
pimpinan-pimpinannya, atau disebabkan oleh keinginannya terhadap dunia yang hina ini, atau selain dari
demikian daripada hal-hal yang tidak tersembunyi tentangnya.
Thowus telah menyampaikan satu hadis dari Ibnu Abbas- radhiallahu `anhuma- tentang tafsir perkataan
Allah Ta`ala :
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang kafir. Al Maidah (44). Berkata Ibnu Abbas : Bukan kekufuran yang dimaksudkan oleh mereka itu.
Riwayat ini shohih. Dikeluarkan oleh : Abdur Razaq dalam tafsirnya: (1/191), Ahmad di dalam Al Iman,
Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, Al Marwaziy di dalam Ta`zhim Qadri As Sholat: (2/251), Ibnu Jarir
dalam tafsirnya: (10/356), Ibnu Batthoh di dalam Al Ibanah: (2/734,736), Waqi` di dalam Akhbar Al
Qadhah: (1/41) dari jalan Ma`mar, dari Ibnu Thowus, dari Abihi (Bapaknya), dari Ibnu `Abbas, Sanad
hadis seperti matahari.
Ada dari jalan lain tetapi lemah kerana disanad hadis ada rawi Hisyam bin Hujair, lemah dari sisi
hafalannya, dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad di dalam Al Iman, Sa`id bin Manshur (749), Ibnu Batthoh
dalam Al Ibanah (2/736), Al Marwaziy dalam Ta`zhim Qadri As Sholat (2/521), Ibnu Abi Hatim, Al
Hakim (2/313) dari jalan Al Baihaqiy dalam sunannya (8/20), Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid: (2/422),
dan selain dari mereka.
Dan darinya juga berkata : Kufur yang tidak mengeluarkan dia dari Islam. Dho`if, di sanadnya ada rawi
yang tidak disebutkan namanya, dikeluarkan oleh Al Marwaziy (2/522).
Dan darinya juga berkata : Kufur, zalim, fasik yang tidak mengeluarkan dari Islam. Dikeluarkan oleh Al
Firyabiy, Ibnu Al Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim (2/313) sebagaimana dijelaskan di dalam Ad
Darr Al Mantsur (3/87).
Dari Thowus berkata : saya bertanya kepada Ibnu Abbas: Tentang orang yang tidak berhukum dengan
hukum Allah apakah dia Kafir?? Ibnu menjawab : Itu merupakan kekufuran, tetapi bukan seperti kafirnya
seseorang kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat. Shohih,
dikeluarkan oleh : Al Marwaziy (2/521), Ibnu Jarir (10/313) dari jalan Ma`mar, dari Ibnu Thowus, dari
Ibnu `Abbas.
Berkata Thowus : Bukan kekufuran yang mengeluarkan seorang dari Islam. Shohih, dikeluarkan oleh Al
Marwaziy : (2/522), Ibnu Jarir : (10/355-356), Ibnu Batthoh : (2/735) dari jalan Sufyan, dari Sa`id Al
Makkiy, dari Ibnu `Abbas juga.
Berkata Ibnu Thowus : Bukan kufur seperti kafirnya seorang dengan Allah, Malaikat-Nya, Kitab kitabNya dan Rasul rasul-Nya. Shohih, dikeluarkan oleh : Al Marwaziy : (2/521), Ibnu Batthoh (2/736)
dengan sanad yang sama dengan sebelumnya.
Berkata Ali bin Al Husain : Kekufuran tidak seperti kufurnya Syirik, Kefasikan bukan seperti fasiknya
Syirik, Kezaliman bukan seperti zalimnya Syirik. Shohih, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu `Ubaid dalam Al
Iman, Al Marwaziy (2/522), Ibnu Batthoh : (2/735, 737), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (10/355), Waqi`
dalam Akhbar Al Qodho (1/43) dari berbagai jalan. Telah kecoh sebahagian orang untuk melemahkan

atsar-atsar ini, akan tetapi, sama sekali tidak, sama sekali tidak, bahkan sanad-sanad riwayat ini seperti
matahari di siang hari.
Berkata Isma`il bin Sa`id : Saya bertanya kepada Imam Ahmad tentang tafsir ayat ini, apa yang
dimaksud kufur di sini??
Beliau menjawab : Kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam. Dikeluarkan dalam Masail As Sajastaniy
(209), An Naisaburiy (2/192) nukilan dari : riwayat riwayat Al Imam Ahmad dalam At Tafsir : (2/45).
Berkata Al Imam As Syathibiy : Ayat ini sebenarnya diturunkan atas Yahudi, susunan ayat menunjukan
demikian, sesungguhnya para ulama menetapkan ayat ini secara umum tetapi bukan terhadap orang-orang
yang kufar, berkata mereka : Kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam. Lihat : Al Muwafaqat : (4/39)
dengan tahqiq yang baru oleh As Syaikh An Nabil Abi `Ubaidah Masyhur bin Hasan Ali Salman.
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Al `Asqalaaniy : Sesungguhnya ayat-ayat ini walaupun sababun nuzulnya
atas ahlil kitab, akan tetapi berlaku juga secara umum kepada yang lainnya, namun telah ditetapkan dalam
kaedah-kaedah Syari`at ini bahawa setiap orang yang mengerjakan maksiat tidaklah dinamakan kafir, dan
tidak juga zalim, kerana zalim kadang-kadang ditafsirkan dengan syirik, tinggal lagi sifat yang ketiga, (al
fisqu), sebagaimana dipertegaskan dalam perkataan Allah `Azza wa Jall :
Orang orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka
itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Al An`am (82). Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menafsirkan kata az zhulum di sini dengan
makna As Syirik, seperti dalam perkataan `Azza wa Jall :
Sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang sangat besar sekali. Luqman (13). Demikian dijelaskan
dalam Shohih Al Bukhariy. (Fathul Baariy : 13/129).
Berkata Al Ainiy : Ayat ini, dan dua ayat setelahnya turun atas orang-orang kafir, dan orang-orang
yang mengubah hukum Allah dari kalangan Yahudi, sedangkan orang-orang Islam tidak termasuk dalam ini,
kerana seorang Muslim walaupun dia mengerjakan dosa besar tidaklah dikatakan dia kafir. (`Umdatul
Qariy : 20/129-130).
Telah ada perkataan Ibnu Al Jauziy : Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah disebabkan
kecenderungannya terhadap hawa nafsunya tanpa menentang hukum-Nya, maka dia zalim dan fasik.
Demikian juga perkataan pensyarah At Thohawiyah Ibnu Abi Al `Izz : Kalau seseorang yakin tentang
wajibnya berhukum dengan hukum Allah, dan dia berilmu dengan keadaan ini, lantas dia berpaling dari
hukum-Nya dengan pengakuan bahawa dia mustahaq untuk mendapatkan `iqab (sanksi), maka dia adalah
durhaka, dan dinamakan kufur majaziy, atau kufur yang kecil.
Perkataan As Syinqqithiy : Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah dengan keyakinan
bahawa dia telah melakukan sesuatu yang haram, atau dia mengerjakan perbuatan jelek, maka kekufuran
dan kefasikannya tidaklah mengeluarkan dia dari Islam.
Berkata Shiddiq Hasan Khan : Perkataan para ulama Salaf menunjukan bahawa yang dimaksud dengan
kufur dalam ayat ini ialah maksiat yang sangat besar menyerupai kekufuran tetapi bukan kufur... dan
adapun kekufuran mengeluarkan seseorang dari Islam, dan mereka tidak dihukum seperti itu, seperti yang
kamu ketahui dari perkataan Salaf : Kufur disini bukan kufur yang mengeluarkannya dari Islam ertinya
maksiat yang sangat besar menyerupai kekufuran akan tetapi tidaklah mengeluarkanmu dari Islam, secara
zahir masih ada pada mereka itu keimanan, namun imannya kurang, bila betul ini ada, maka penafsiran
ayat Allah Ta`ala :
Maka demi Rab-mu, mereka pada hakikatnya tidak beriman. An Nisa (65). Maksudnya : iman yang
sempurna. (Iklil Al Karaamah : 86).

Telah ada perkataan As Sa`diy : Merupakan kezaliman yang sangat besar perbuatan demikian jika
memuliakannya dan dosa yang sangat besar juga bila dia melaksanakan tanpa menghalalkan hukum
tersebut. Dan demikian juga telah ada pernyataan Al Albani, Ibnu Bazz dan Ibnu `Utsaimin.
Seluruh mereka ini dan selain dari mereka yang tidak kami sebutkan memutuskan bahawa bila seorang
hakim berhukum dengan selain hukum Allah baik dikuasai hawa nafsu dan maksiat, senang atau terpaksa,
tanpa menentang dan menghalalkan hukum selain hukum Allah itu, maka dia telah mengerjakan sesuatu
yang haram atau mengamalkan dosa besar dari sekian banyak dosa-dosa besar, sedangkan kekufurannya
merupakan kufur maksiat, atau kufur secara amal yang tidak sampai mengeluarkan dia dari Islam sama
sekali. Maka tidak ada lagi setelah yang Haq kecuali kesesatan!!!
***************************************************
Ketiga : Methode untuk berhukum dengan Hukum Allah `Azza wa Jall (Khususya di negara yang tidak
dipraktekan As Syari`at Al Islamiyah).
Apabila Syari`at yang mulia ini betul betul telah mempardhukan dan mewajibkan atas kaum Muslimin untuk
berhukum dengan Hukum Allah Jalla Jalaluhu, kemudian Allah Subhana wa Ta`ala benar benar telah
menjelaskan sejelas jelasnya jalan yang lurus yang bisa menyampaikan kepada kebenaran dan
mempraktekannya, diterangkan kepada mereka dan dilazimkan untuk mengikutinya, dan tidak diberikan
kesempatan sedikitpun kepada aqal manusia yang singkat ini untuk mengutak atiknya atau perasaan
perasaan yang mengeraskan hati, yang demikian disebabkan supaya jangan terjadi fitnah dan pertumpahan
darah, bahaya bahaya yang menghancurkan.
Sesuatu yang tidak diterima oleh `aqal dimana Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam sesungguhnya
telah mengajarkan kepada ummatnya tata tertib masuk kamar mandi, tata tertib berhubungan suami istri,
tata tertib makan dan minum, lalu dia tidak menunjukan jalan buat mereka bagaimana cara menegakkan
Din (Agama)-Nya dan berhukum dengan Syari`at-Nya, sementara mereka sangat berhajat sekali kepada
hal demikian, kenapa tidak, Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam telah mengabarkan kepada mereka akan
terjadi nantinya kerusakan, fitnah, keganjilan dan kesusahan.
Artinya : Akan runtuh gantungan Islam itu satu demi satu, setiap runtuh satu gantungan, manusia
bergantungan pada gantungan selanjutnya, dan yang paling pertama runtuh adalah Al Hukum, dan yang
paling akhir ialah As Sholat. Hadist Hasan. Dikeluarkan oleh : Ahmad dalam Musnadnya : (5/251), dari
jalan yang sama dikeluarkan oleh At Thobraaniy dalam Al Kabir : (8/116), Al Hakim dalam Al Mustadrak :
(4/92), Ibnu Hibban juga : (mawaarid/87), dari jalan Al Walid bin Sulaiman berkata : telah
menyampaikan hadist pada saya `Abdul `Aziz bin Isma`il bin `Ubaidillah bin Abi Al Muhajir Al
Makhzuumiy berkata : telah menghadistkan pada saya Sulaiman bin Habib Al Muharibiy, dari Abi Umamah
secara marfu`, dan seluruh rawinya tsiqah selain Sulaiman, dia ini juga tidak apa apa.
Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam telah mengingatkan ummatnya tentang akibat kalau tidak berhukum
dengan hukum Allah `Azza wa Jall, yang akibatnya akan menjadikan mereka satu sama lain saling
berpecah dan sebahagian atas sebahagian yang lainnya akan menanamkan kebencian, sebagaimana
dijelaskan oleh-nya dalam hadist sebagai berikut :
Artinya : Sampai sampai sebahagian mereka menghancurkan sebahagian yang lainnya, menawan (dianggap
sebagai musuh) sebahagian atas sebahagian lainnya. Hadist ini diriwayatkan oleh : Muslim : (2889).
Berkata Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam : Bila pemimpin pemimpin kalian tidak berhukum dengan
hukum Allah kecuali Allah Ta`ala akan menanamkan permusuhan diantara kalian satu sama lain. Hadist
Shohih. Diriwayatkan oleh : Ibnu Majah : (4019), Al Hakim : (4/540), Al Baihaqiy, Abu Nu`aim dalam Al
Hulyah : (8/333), dan selain mereka, lihat Al Silsilah As Shohihah : (106).
Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam betul betul telah menjelaskan terhadap ummatnya segala sesuatu, dan
telah terjadi yang dikhabarkannya tentang keadaan yang rusak dan fitnah yang menakutkan itu, menimpa

sebahagian atas sebahagian lainnya, maka diwajibkan kepada ummat untuk mencari solusi serta cara
supaya bisa menerapkan As Syari`ah Al Islamiyah yang indah dan Ad Din As Samhah ini.
Dari Hudzaifah berkata :
Sesungguhnya Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam pernah menyampaikan satu khutbah di hadapan kami,
sedikitpun Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam tidak meninggalkan dalam khutbah tentang hal hal yang
akan terjadi sampai hari kiamat kecuali telah diterangkan oleh Beliau, berilmulah siapa yang berilmu
tentangnya, bodohlah orang orang yang bodoh tentangnya, sesungguhnya saya melihat sesuatu yang saya
lupa tentangnya, lantas saya mengetahuinya sebagaimana seorang lelaki mengetahui seseorang yang sudah
menghilang darinya, namun bila dia melihatnya dia lalu mengenalnya. Hadist ini dikeluarkan oleh : Al
Bukhariy : (6604), Muslim : (2891) (23), lafadz hadist ini di shohih Al Bukhariy. Berkata Az Dzahabiy
dalam As Siyar : (2/366) mengomentari hadist ini : Sesungguhnya Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam
membaguskan perkataan dan menafsirkannya, mungkin kalau ditulis apa apa yang disampaikan beliau
dimajlis itu maka akan berbentuk satu kitab, dimana dia telah menyebutkan secara global saja, kalau
seandainya dia menerangkan apa yang ada di `alam ini sudah tentu tidak akan cukup dia mengatakan satu
tahun bahkan tahunan, maka pikirkanlah ini.
TUJUAN AN NIZHAM AS SIYASIY (UNDANG UNDANG POLITIK) DALAM ISLAM.
Tujuan dari undang undang politik Islam (An Nizhom As Siyasiy Al Islamiy) sangat agung dan mulia sekali
diantaranya :
1. Menegakkan Ad Din (Agama) dan Peribadatan semata mata hanya pada Rab saja.
Menegakkan Ad Din (Agama) di permukaan bumi ini merupakan tujuan utama dari sekian banyak tujuan
hukum dalam Islam, seorang pemimpin dan para pendampingnya sangat bertagung jawab untuk
merealisasikan tujuan ini, Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah berkata : Tujuan yang paling utama dalam
kepemimpinan ialah mengishlah (memperbaiki) Din (Agama) manusia ini, bila mereka merugi di dunia ini
sudah tentu mereka akan menderita kerugian yang sangat nyata nanti di Akhirat, tidak bermamfa`at buat
mereka nikmat nikmat yang telah mereka usahakan di dunia. (Majmu` Al Fatawa : 28/262).
Berkata Al Imam As Syaukaniy : Sebetulnya tujuan utama dari Syari`at ini dalam meletakkan konsep
pemerintahan ini ada dua :
Pertama, (Yang paling penting) : Untuk menegakkan syi`ar Din ini, mengokohkan hamba hamba ini agar
terus berada di As Shirathil Al Mustaqim (jalan yang lurus), mengantisipasi mereka agar tidak menyelisihi
dan tergelincir dari jalan yang lurus tersebut senang atau tidak senang mereka itu.
Kedua: Mengatur kaum Muslimin untuk melaksanakan hal hal yang berhubungan dengan kemashlahatan
mereka dan menjauhkan hal hal yang merusak mereka. (Lihat: Iklil Al Karamah : (91).
Allah Subhana wa Ta`ala Berkata :
Artinya : Dia telah mensyari`atkan bagi kamu tentang Din ini apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan `Isa yaitu : Tegakkanlah Din ini dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. As Syura :
(13). Maksudnya tegakkanlah Din Islam ini dengan segala rukunnya, dan apa apa yang ada di dalamnya
tentang At Tauhid kepada Allah Ta`ala, menta`ati-Nya dan beriman dengan Kitab kitab, rasul rasul, dan
hari Akhirat serta apa apa yang ada padanya diwajibkan bagi seseorang untuk mengimaninya, yang
dimaksud dengan menegakkan Ad Din ialahn : menegakkan rukun rukunnya dengan `adil dan memeliharanya
dari penyimpangan, selalu menerapkannya dan bersungguh sungguh untuk menegakkannya. (Tafsir Abi As
Su`ud : 5/60).

Negara islam juga bertujuan untuk mempersiapkan satu susunan masyarakat Islamiy yang beribadat
kepada Allah Ta`ala dengan pengertian yang sempurna, Negara itu bertanggung jawab untuk menegakkan
Sholat, mengumpulkan Zakat serta membagi bagikannya kepada yang mustahaq menerimanya, menzhohirkan
syi`ar syi`ar Islam, menunaikan kewajiban untuk mengajak kepada yang ma`ruf dan melarang dari
kemunkaran, kemudian merealisasikan undang undang Al Hisbah di hadapan masyarakat itu.
Sebagaimana diketahui bahwa `Ibadat itu mempunyai dua syarat : Al Ikhlash dan Al Mutaba`ah (menurut
Sunnah Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam), maka tidak diragukan lagi bahwa Ad Daulah Al Islamiyah
(Negara Islam) sangat bertanggung jawab sekali untuk meng-ayomi dua asas ini dengan cara
memerangi/memberantas segala macam bentuk kesyirikan, bid`ah bid`ah, khurafat khurafat dan segala
macam bentuk ajaran ajaran yang sesat dan menyesatkan, Negara tersebut menghancurkan syirik,
membentengi syari`at ini dari serangan orang orang yang ingin menciptakan bid`ah bid`ah, merobah robah
atau mengganti ajaran Din (Agama) ini, karena hal yang demikian membantu sekali untuk merealisasikan
peng`ubudiyahan (peribadatan) kepada Rab sementa `alam saja, memelihara Din ini dari orang orang yang
ingin merusaknya dan dari para juhal (orang orang yang bodoh) yang ingin menghancurkannya. (Lihat : Al
Hukum wa At Tahakum fi khithab Al Wahyu : 436-437).
Allah Subhana wa Ta`ala berkata :
Artinya : Yaitu orang orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka
mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang
munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. Al Haj : 41.
Undang undang As Siyasiy Al Islamiy juga bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam ini keseluruh
permukaan bumi dengan menggunakan berbagai wasilah yang disyari`atkan jika memungkinkan, seperti yang
dikatakan oleh Allah Ta`ala :
"??? ??????? ??? ???? ????? ????? ??????." ??? : (28).
Artinya : Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai pembawa
berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, Saba`:(28).
2. Tujuan yang kedua : Menegakkan Ke`adilan.
Undang undang As Siyasiy Al Islamiy bertujuan untuk merealisasikan ke`adilan dengan ma`nanya yang
sangat luas, dan dalam berbagai macam bentuknya, baik dalam segi sosia kemasyarakatan, peradilan,
kesekretariatan, politik dan hubungan antar negara, mencakup di dalamnya pemeliharaan terhadap haq
haq, kebebasan dan persamaan dalam negara itu.
Sesungguhnya pendirian Ad
bukan pada zatnya, adapun
mengorbankan diri mereka
permukaan bumi inilah tujuan
Al Quran :

Daulah Al Islamiyah (Negara Islam) atau satu tatanan Masyarakat Islam


tujuan akhirnya ialah menciptakan satu tatanan ummat yang betul betul
untuk kebajikan dan ke`adilan, menegakkan rambu rambu ke`adilan di
dari risalah Al Islam Al Ijtima`iyah, seperti yang disenyalir oleh-Nya dalam

Artinya : Kamu adalah ummat yang terbaik dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Ali `Imran : (110). Ad Daulah (Negara) Al
Islamiyah sebenarnya bukan suatu alat politik untuk merealisasikan misal yang agung ini, akan tetapi dia
meletakan Syari`at Al Islam ini sebagai aturan yang kongrit dan mencakup seluruh sisi kehidupan, supaya
bisa membimbing masyarakatny kepada yang haq dan ke`adilan, mengatur hubungan hubungan
kemasyarakatan, ekonomi yang merata keberbagai lapisan ummat guna menciptkan kebebasan, keamanan
dan kemuliaan. (Lihat : Minhaj Al Islam fi Al Hukum : 69-73).
3. Tujuan yang ketiga : Meng-ishlah (memperbaiki) Kehidupan Manusia.

Al Hukum Al Islamiy bukan hanya mengurus masalah hukum hukum Allah Ta`ala saja atau ke-imaman dan
ke-khilafahan yang mengumpulkan dan mengurus kaum muslimin, Al Hukum Al Islamiy bertanggung jawab
untuk memperbaiki kehidupan dunia manusia baik dari sisi Ekonomi, Sosial kemasyarakatan, tsaqafah,
jurnalistik, pendidikan, pertahanan dan keamanan dan menciptakan bentuk perbaikan dalam hal As Siyasiy
(politik), dan inilah tujuan dari Ar Risalah Al Ishlahiyah dalam Al Islam.
Sesungguhnya tujuan Syari`at Islam ialah meng-ishlah (memperbaiki) baik dalam hal yang halal dan yang
haram,

______________________
Terbitan : 9 Ogos 2003

Anda mungkin juga menyukai