Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon
dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan
untuk

mempertahankan

pengembangannya.

Paru

paru

dapat

dikembangkempiskan melalui dua cara : (1) dengan gerakan naik turunnya


diafragma untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada, dan (2) dengan
depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter
antero-posterior rongga dada.(1)
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam
rongga pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan
menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat
mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernapas.
Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik.
Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder.
Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik (2).
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang
tidak diketahui

(7)

. Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan

menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa


yang berumur sekitar 20-40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita,
dengan perbandingan 5 : 1 (2).
Pneumotoraks spontan primer terjadi pada usia 20 30 tahun dengan
puncak insidens pada usia awal 20-an sedangkan pneumotoraks spontan
sekunder lebih sering terjadi pada usia 60 65 tahun (3).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI
Rongga thoraks atau cavitas thoracis berisi organ vital paru dan
jantung.(8) Paru-paru dan pleura mengisi sebagian besar rongga thoraks dengan
jantung di antaranya, sedangkan aorta descendens serta oeshophagus terletak
di belakang jantung. Pleura terbagi atas 2 lapisan, yaitu: pleura parietalis dan
pleura visceralis. Pleura parietalis merupakan selaput tipis dari membrana
serosa yang melapisi rongga pleura. Pada daerah yang menghadap
mediastinum, pleura ini beralih meliputi paru-paru sehingga disebut pleura
visceralis atau pleura pulmonalis. Pleura visceralis ini membugkus paru-paru
dan melekat erat pada permukaannya. Ruangan potensial antara kedua lapisan
pleura ini disebut cavitas pleuralis yang hanya berisi lapisan tipis cairan untuk
lubrikasi. (9)
Volume dan kapasitas paru-paru dapat diukur dengan menggunakan
alat yang disebut spirometer. Dengan menggunakan alat ini, volume paru
diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
2.1.1

Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi


setiap kali bernapas normal; besarnya kira-kira 500 mililiter pada lakilaki dewasa.

2.1.2

Volume cadangan inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat


diinspirasi setelah dan di atas volume tidal normal bila dilakukan
inspirasi kuat; biasanya mencapai 3000 mililiter.

2.1.3

Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara ekstar maksimal


yang dapat diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi tidak
normal; jumlah normalnya adalah sekitar 1100 mililiter.

2.1.4

Volume residu yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru
setelah ekspirasi paling kuat; volume ini besarnya kira-kira 1200
mililiter.
Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi

terjadi karena gerak otot pernapasan yaitu m.intercostalis dan diafragma yang
2

menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap masuk


melalui trakea dan bronkus (8).
Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus mengembang dan
mengempis bergantung pada membesar atau mengecilnya rongga dada.
Dinding dada yang membesar akan menyebabkan paru-paru mengembang
sehingga udara akan terhisap ke dalam alveolus. Sebaliknya bila
m.intercostalis melemas maka dinding dada akan mengecil sehingga udara
akan terdorong keluar. Sementara itu, karena adanya tekanan intraabdominal
maka diafragma akan terdorong ke atas apabila tidak berkontraksi. Ketiga
faktor ini yaitu lenturnya dinding thoraks, kekenyalan jaringan paru, dan
tekanan intraabdominal menyebabkan ekspirasi jika m.intercostalis dan
diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan
demikian ekspirasi merupakan kegiatan yang pasi. (8).
Jika pernapasan gagal karena otot pernapasan tidak bekerja, ventilasi
paru dapat dibuat dengan meniup cukup kuat agar paru mengembang di dalam
thoraks bersamaan dengan mengembangnya thoraks. Kekuatan tiupan harus
melebihi kelenturan dinding dada, kekenyalan jaringan paru, dan tekanan
intraabdominal. Hal ini dilakukan pada ventilasi dengan respirator atau pada
resusitasi dengan bantuan napas dari mulut ke mulut

(8)
.

Adanya lubang di dinding dada atau di pleura viseralis akan


menyebabkan udara masuk ke rongga pleura sehingga pleura viseralis terlepas
dari pleura parietalis dan paru tidak lagi ikut dengan gerak napas dinding
thoraks dan diafragma. Hal ini terjadi pada pneumotoraks. Jika dipasang
penyalir tertutup yang diberikan tekanan negatif maka udara ini akan terhisap
dan paru dapat dikembangkan lagi (8).

2.2

DEFINISI
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di
dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (5).

Gambar 2.1 Pneumothoraks


2.3 EPIDEMIOLOGI
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang
tidak diketahui

(7)

. Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan

menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa


yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan
perbandingan 5 : 1 (2).
Di Amerika Serikat, insidens pneumotoraks spontan primer pada lakilaki adalah 7,4 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya sementara pada wanita
insidensnya adalah 1,2 kasus per 100.000 orang. Sedangkan insidens
pneumotoraks spontan sekunder pada laki-laki adalah 6,3 kasus per 100.000
orang dan wanita 2,0 per 100.000 orang. Pneumotoraks traumatik lebih sering
terjadi daripada pneumotoraks spontan dengan laju yang semakin meningkat
(3)

.
Pneumotoraks spontan primer terjadi pada usia 20 30 tahun dengan

puncak insidens pada usia awal 20-an sedangkan pneumotoraks spontan


sekunder lebih sering terjadi pada usia 60 65 tahun (3).
2.4 ETIOLOGI
2.4.1 Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu (2,3) :
A. Pneumotoraks spontan

Yaitu

setiap

pneumotoraks

yang

terjadi

secara

tiba-tiba.

Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,


yaitu:
1. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
2. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang
terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah
dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru
obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi
paru.
B. Pneumotoraks traumatic
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya
pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua
jenis, yaitu :
1. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks
yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding
dada, barotrauma.
2. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks
jenis inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan
medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan
tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan
cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya
tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya

pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun


untuk menilai permukaan paru.
2.4.2 Berdasarkan

jenis

fistulanya,

maka

pneumotoraks

dapat

diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (4) :


A. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas
terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan
dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya
mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi
tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih
ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan,
tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
B. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar
(terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan
intrapleura

sama

dengan

tekanan

udara

luar.

Pada

pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol.


Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang
disebabkan oleh gerakan pernapasan. (4)
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif

(4)

. Selain itu, pada saat

inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat


ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound). (2)
C. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif
dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di
pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi

udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya


dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak
dapat keluar

(4)

. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura

makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.


Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan
paru sehingga sering menimbulkan gagal napas. (2)
2.4.3 Menurut

luasnya

paru

yang

mengalami

kolaps,

maka

pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :


A. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan
pada sebagian kecil paru (< 50% volume paru).

Gambar 2.2 Pneumotoraks Parsialis

B. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai


sebagian besar paru (> 50% volume paru).

Gambar 2.3 Pneumotoraks Totalis


2.4 DIAGNOSIS
2.4.1

Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul
adalah (2,4,5) :
A. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
B. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan
tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih
nyeri pada gerak pernapasan.
C. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
D. Denyut jantung meningkat.
E. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
F. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10%
pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

2.4.2

Pemeriksaan Fisik
8

Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan (3,4) :


A. Inspeksi :
1. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper
ekspansi dinding dada)
2. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
3. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
B. Palpasi :
1. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
2. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
3. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
C. Perkusi :
1. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan
tidak menggetar
2. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila
tekanan intrapleura tinggi
D. Auskultasi :
1. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai
menghilang
2. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negative
2.4.3

Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium
Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) menunjukkan hasil
PaCO2 kadang meningkat. PaO2 normal/menurun, O2 dalam
darah menurun (hipoksemia).

B. Gambaran Radiologi
1. Foto Thoraks
Untuk mendiagnosis pneumotoraks pada foto thoraks dapat ditegakkan
dengan melihat tanda-tanda sebagai berikut :

a. Adanya gambaran hiperlusen avaskular pada hemitoraks yang


mengalami pneumotoraks. Hiperlusen avaskular menunjukkan paru
yang mengalami pneumothoraks dengan paru yang kolaps memberikan
gambaran radiopak. Bagian paru yang kolaps dan yang mengalami
pneumotoraks dipisahkan oleh batas paru kolaps berupa garis
radioopak tipis yang berasal dari pleura visceralis, yang biasa dikenal
sebagai pleural white line.

Gambar 2.4 Tanda panah menunjukkan pleural white line.

Gambar 2.5 Foto thoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah
merupakan bagian paru yang kolaps.
b. Untuk mendeteksi pneumotoraks pada foto dada posisi supine orang
dewasa maka tanda yang dicari adalah adanya deep sulcus sign.
Normalnya, sudut kostofrenikus berbentuk lancip dan rongga pleura
menembus lebih jauh ke bawah hingga daerah lateral dari hepar dan

10

lien. Jika terdapat udara pada rongga pleura, maka sudut kostofrenikus
menjadi lebih dalam daripada biasanya. Oleh karena itu, seorang
klinisi harus lebih berhati-hati saat menemukan sudut kostofrenikus
yang lebih dalam daripada biasanya atau jika menemukan sudut
kostofrenikus menjadi semakin dalam dan lancip pada foto dada seri.
Jika hal ini terjadi maka pasien sebaiknya difoto ulang dengan posisi
tegak. Keadaan ini biasanya terjadi pada posisi supine di mana udara
berkumpul di daerah anterior tubuh utamanya daerah medial.

Gambar 2.6 Deep sulcus sign (kiri) dan tension pneumotoraks kiri disertai
deviasi mediastinum kanan dan deep sulcus sign (kanan).
c. Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke arah
hilus atau paru menjadi kolaps di daerah hilus dan mendorong
mediastinum ke arah kontralateral. Jika pneumotoraks semakin
memberat, akan mendorong jantung yang dapat menyebabkan gagal
sirkulasi. Jika keadaan ini terlambat ditangani akan menyebabkan
kematian pada penderita pneumotoraks tersebut. Selain itu, sela iga
menjadi lebih lebar.(6,10)

11

Gambar 2.7 Tension pnemothoraks kiri dengan gambaran pleural white lines
(panah biru) dengan pergeseran jantung dan medistinum kearah kanan
(panah merah), adanya gambaran deep sulcus sign (panah kuning) didasari
dengan penyakit hyaline membrane disease.
d. Besarnya kolaps paru bergantung pada banyaknya udara yang dapat
masuk ke dalam rongga pleura. Pada pasien dengan adhesif pleura
(menempelnya pleura parietalis dan pleura viseralis) akibat adanya
reaksi inflamasi sebelumnya maka kolaps paru komplit tidak dapat
terjadi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru
difus di mana paru menjadi kaku sehingga tidak memungkinkan kolaps
paru komplit. Pada kedua pasien ini perlu diwaspadai terjadinya
loculated pneumothorax atau encysted pneumothorax. Keadaan ini
terjadi karena udara tidak dapat bergerak bebas akibat adanya adhesif
pleura. Tanda terjadinya loculated pneumothorax adalah adanya daerah
hiperlusen di daerah tepi paru yang berbentuk seperti cangkang telur.
(14)

12

Gambar 2.8 Loculated Pneumotoraks.


Foto dada pada pasien pneumotoraks sebaiknya diambil dalam posisi
tegak sebab sulitnya mengidentifikasi pneumotoraks dalam posisi supinasi. Selain
itu, foto dada juga diambil dalam keadaan ekspirasi penuh. (11)

Gambar 2.9 Pneumotoraks kanan yang berukuran kecil dalam


keadaan inspirasi (kiri) dan dalam keadaan ekspirasi (kanan).
Ekspirasi penuh menyebabkan volume paru berkurang dan relatif menjadi
lebih padat sementara udara dalam rongga pleura tetap konstan sehingga lebih
mudah untuk mendeteksi adanya pneumotoraks utamanya yang berukuran lebih

13

kecil. Perlu diingat, pneumotoraks yang terdeteksi pada keadaan ekspirasi penuh
akan terlihat lebih besar daripada ukuran sebenarnya.(11)
Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan ini (4):
a. Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung mulai
dari basis sampai ke apeks.

Gambar 2.10 CT-Scan thoraks yang menunjukkan


pneumomediastinum.
b. Emfisema Subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam di bawah kulit.

Gambar 2.11 Emfisema subkutan.

14

c. Bila ada cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan cairan
sebagai garis datar di atas diafragma; yang biasa ditemui pada kasus
Hidropneumotoraks.

Gambar II.12 Hidropneumothoraks.


Dalam kasus pneumotoraks ini kita juga perlu mengetahui bagaimana
cara menghitung luas pneumothoraks. Perhitungan luas pneumotoraks ini berguna
terutama dalam penentuan jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis.
Ada beberapa cara yang bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru,
antara lain :
1) Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (2).
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter
kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus
adalah :
83
______

103

512
=

________

= 50 %
1000

2) Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah
dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah

15

dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian
dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2).

% luas pneumotoraks

A + B + C (cm)
x 10
3

__________________

3) Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks (4).

(L) hemitorak (L) kolaps paru


(AxB) - (axb)
_______________
x 100 %
AxB

2.5 DIAGNOSIS BANDING


Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli
paru, dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, laki-laki, dan perokok jika
setelah difoto diketahui ada pneumotoraks maka diagnosis umumnya
menjurus ke pneumothoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan sekunder

16

kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumotoraks yang terlokalisasi dari


suatu bulla.(2)
Dalam radiologi, bulla digambarkan sebagai area yang hiperlusen,
dengan dinding bulla yang sangat tipis. Dalam beberapa kasus, dimana bulla
menyerang 1 lobus paru, dapat memberikan gambaran radiologi yang mirip
dengan pneumotoraks. Untuk membedakannya, dapat dilihat dari daerah
yang hiperlusen apakah pada daerah tersebut terdapat gambaran vaskularisasi
atau tidak. Pada pneumotoraks daerah hiperlusen-nya tidak terdapat vaskular
sehingga biasa disebut hiperlusen avaskular, sedangkan pada bulla terdapat
garis-garis trabekula pada daerah paru yang mengalami bulla. Selain itu, pada
bulla yang besar, jaringan paru di sekitar bulla akan mengalami pemadatan
yang diakibatkan oleh pendesakan bulla tersebut kepada jaringan paru. (16)

Gambar 2.13 Bulla Paru.

17

Gambar 2.14 Gambaran Foto Thoraks Bulla Paru.


Pasien dengan emfisema bullosa dapat memiliki gambaran
radiografi bula yang besar yang bisa tampak seperti pneumothoraks. Untuk
mengidentifikasi adanya pneumothoraks adalah dengan garis pleura visceral
yang tampak lurus atau cembung terhadap dinding dada, sementara pada
bulla memiliki gambaran konkaf. Pada pasien yang diagnosisnya belum dapat
ditegakkan, pemeriksaan

CT-Scan dada

mungkin diperlukan untuk

membedakan dua keadaan ini hanya karena pneumothoraks yang bisa


diterapi dengan pemasangan tube torakostomi.(17)

Gambar 2.15 CT- Scan Pulmonary Bullae.

18

Table 2.1 Perbedaan Bulla Paru dan Pneumothoraks


Bulla Paru
Daerah
Hiperlusen

Daerah hiperlusennya
terdapat
garis-garis
trabekula

Garis Visceral
Pleura

Garis pleura visceral


tampak
konkaf
terhadap dinding dada

Pneumothoraks
Daerah hiperlusennya
tidak
terdapat
vaskularisasi
(avaskular)
Garis pleura visceral
tampak lurus dan
cembung
terhadap
dinding dada

2.6 PENATALAKSANAAN
Tujuan

utama

penatalaksanaan

pneumotoraks

adalah

untuk

mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan


untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah
sebagai berikut :
A. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto
toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari

(2)

. Tindakan ini

terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).


B. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks
yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk
mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara
rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) :
1. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut (2), (4).
19

2. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :


a. Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan
tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol (2,4).
b. Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum
dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di
dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut
dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan
dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat
dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infuse set yang berada di dalam botol (2,4).
c. Pipa Water Sealed Drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura
dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit.
Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat
dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris
atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui
sela iga ke-2 di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke
rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya
kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya
ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD
dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca
yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan
air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut (3), (4).

20

Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura


tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan
negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat
mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan
tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut
dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit
atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura
kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan
WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi
maksimal (2).

Gambar 2.16 Teknik pemasangan WSD


d. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop.
e. Torakotomi
f. Tindakan bedah (4)

21

1) Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian


dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
2) Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
3) Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
4) Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
g. Pengobatan tambahan
1) Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB
paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran
napas diberi antibiotik dan bronkodilator (4).
2) Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).
3) Rehabilitasi (4)
a) Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus
dilakukan pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
b) Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk
atau bersin terlalu keras.
c) Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilah laksan ringan.
d) Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada
keluhan batuk, sesak napas.
2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumothoraks antara lain
adalah pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum
dapat terjadi melalui tiga tahap yang umum disebut dengan efek Macklin.
Urutan kejadiannya adalah rupturnya alveolar kemudian terjadi diseksi
sepanjang bronkovaskular menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai

22

mediastinum. Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis


yang signifikan. Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum
dapat menyebabkan peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi
penekanan langsung terhadap jantung atau menurunkan aliran darah balik
sehingga terjadi penurunan curah jantung. Pneumomediastinum dapat
berkembang menjadi emfisema subkutis. Apabila udara pada subkutan dan
mediastinum sangat banyak dapat terjadi kompresi jalan napas dan jantung. (17)

Gambar 2.17 Pneumomediastinum


Mediastinum

berhubungan

dengan

daerah

submandibula,

retrofaringeal dan selubung pembuluh darah leher dan thoraks lateral.


Emfisema subkutis terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan
bermanifestasi sebagai pembengkakan tidak nyeri. (17)

23

Gambar 2.18 Emfisema Subkutis (tanda panah warna hitam, tanda


panah warna putih menunjukkan white pleural line)
Pada palpasi akan terasa seperti kertas. Gambaran radiologis untuk emfisema
subkutis adalah radiolusen ditepian struktur anatomi yang terkait. Komplikasi
ini dapat memperparah keadaan pasien dengan pneumothoraks kompresi jalan
napas. Pertolongan pertama yang dapat dilakukan apabila terjadi distress
adalah insisi kulit dengan pisau pada daerah kulit yang mengalami
pembengkakan.
2.8 PROGNOSIS
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan
mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah
pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasienpasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang
penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien
pneumotoraks spontan sekunder tergantung penyakit paru yang mendasarinya,
misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena
sangat berbahaya.

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Pneumothoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena.
3.2 Dengan adanya udara dalam rongga pleura, maka akan menimbulkan
penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat mengembang
dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernafas.
3.3 Pneumothoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatic.
Pneumothoraks spontan itu sendiri dibagi menjadi primer dan sekunder.

24

Sedangkan pneumothoraks traumatic dibagi menjadi iatrogenic dan non


iatrogenic.
3.4 Dalam gambaran radiologi, ditemukan berupa gambaran :
3.4.1 Bayangan dalam rongga pleura memberikan gambaran radiolusen yang
tanpa struktur jaringan paru dengan batas paru berupa garis radioopak tipis
dan cembung berasal dari pleura visceral (white plural lines).
3.4.2 Pada foto thoraks posisi supine ditemukan adanya gambaran deep sulcus
sign yang merupakan gambaran udara.
3.4.3 Jika pneumothoraks luas, akan menekan jaringan paru kearah hillus atau
paru menjadi kolaps didaerah hillus mendorong mediastinum kearah
kontralateral dan iga juga ikut melebar (tension pneumothoraks).
3.5

Untuk mengidentifikasi adanya pneumothoraks adalah dengan garis pleura


visceral yang tampak lurus atau cembung terhadap dinding dada, sementara
pada bulla memiliki gambaran konkaf dan dapat dilihat dari daerah yang
hiperlusen apakah pada daerah tersebut terdapat gambaran vaskularisasi atau
tidak. Pada pneumotoraks daerah hiperlusen-nya tidak terdapat vaskular
sehingga biasa disebut hiperlusen avaskular, sedangkan pada bulla terdapat
garis-garis trabekula pada daerah paru yang mengalami bulla.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Ventilasi paru. Dalam : Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2007.
2. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam : Sudoyo, Aru, W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti
(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan

Departemen

Ilmu

Penyakit

Dalam

Fakultas

Kedokteran

Available

from

Universitas Indonesia. 2006.


3. Bascom,

R.

Pneumothorax.

http://emedicine.medscape.com/article/827551.

25

4. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-Dasar Ilmu


Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press. 2009.
5. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed
Lung).

Available

from

http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm.
6. Ekayuda, I. Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2005.
7. Alhameed, F.M. Pneumothorax imaging. Available from www.emedicine.com.
8. Sjamsuhidajat, R. Dinding toraks dan pleura. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta : EGC. 1997.
9. Wibowo, Daniel, S. Paryana, Widjaja. Rongga thorax. Dalam : Anatomi
Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009.
10. Reed, James, C. Kelainan-kelainan rongga pleura. Dalam : Radiologi Thoraks.
Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. 1995.
11. Gaillard,

Frank.

Loculated

pneumothorax.

Available

from

http://www.radiopedia.org/cases/loculated-pneumothorax.
12. Felson, Benjamin. Pneumothorax. In : Chest Roentgenology. Philadelphia : W.
B. Saunders Company.
13. Radswiki.

Pneumomediastinum.

Available

from

http://www.radiopedia.org/cases/pneumomediastinum-4.
14. DSouza,

Donna.

Subcutannous

emphysema.

Available

from

Available

from

http://www.radiopedia.org/cases/subcutanous-emphysema.
15. Rao,

K,

K.

Loculated

hydropneumothorax.

http://www.radiopedia.org/cases/loculated-hydropneumothorax-1.
16. Dawes,

Laughlin.

Subpleural

bullae.

Available

from

http://www.radiopedia.org/articles/pulmonary-bullae.
17. Bourgoin P, Cousineau G, Hebert G, Lemire P. Computed Tomography Used

To Exclude Pneumothorax In Bollous Lung Disease. 2010.

26

Anda mungkin juga menyukai