NIM
Judul Referat
: HIV/AIDS
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Februari 2016
Mengetahui,
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
karunianya, saya dapat menyelesaikan referat HIV/AIDS ini tepat pada waktunya. Referat ini
saya selesaikan saat menjalani kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin di RSI
Faisal Makassar Periode 25 Januari 2016 20 Februari 2016.
Melalui Referat ini, saya akan mencoba membahas mengenai HIV termasuk siklus
hidup virus HIV, pathogenesis, cara penularan, gejala klinis, pengobatan dan juga pencegahan
HIV. Saya menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna, akan tetapi saya berharap semoga
referat ini dapat membantu pembaca mengetahui lebih jauh mengenai HIV.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih juga kepada pembimbing saya dalam
penyusunan referat ini Dr. A. M. Adam, Sp. KK (K), FINSDV dan semua teman saya yang
membantu saya dalam menyelesaikan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat.
Makassar,
Februari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
2.2
Patogenesis ........................................................................................... 7
Pengobatan ........................................................................................... 18
2.6
Pencegahan ........................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
AIDS ( acquired immunodeficiency syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus yang disebut HIV (human immunodeficiency virus) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi (atau sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus HIV. HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang
yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik. Meskipun
penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit
ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara
lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.
Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah,
jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau
menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Virus tersebut
menginfeksi sel CD4 T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, makrofag
dan jenis sel lain.
Banyak penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan penatalaksanaan yang
baku dan menyeluruh dari pencegahan penularan horizontal maupun vertikal, pemakaian
kombinasi antiretrovirus (ARV) bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pencegahan dan
pengobatan infeksi oportunistik (IO) dan pencegahan post exposure (PPE)
HIV sampai pemberian imunisasi yang masih dalam penelitian. Kompleksnya
masalah yang dihadapi dalam penatalaksanaan HIV/AIDS, memerlukan satu tim kerja terdiri
dari berbagai bidang ilmu yang solid dan profesional untuk menurunkan angka insidensi dan
prevalensi HIV/AIDS.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Struktur HIV & Siklus hidupnya
Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus
yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut
diselubungi envelop membrane fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp 120 dan
gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Retroviris HIV terdiri dari lapisan
envelop luar glikoprotein yang mengelilingi suatu lapisan ganda lipid. Kelompok antigen
internal menjadi protein inti dan penunjang.
RNA directed DNA polymerase ( reverse transcriptase ) adalah polymerase DNA
dalam retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan RNA temple
untuk memproduksi hybrid DNA. Transverse transcriptase diperlukan dalam tehnik
rekombinan DNA yang perlukan dalam sintesis fisrt strand dna.
Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan petanda terdini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis
antibody terhadap HIV-1 . antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang
mengikat reseptor CD4 pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4 ini telah
digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4.
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan sebagai berikut:
jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang terganggu terlihat in vivo ( gagal
memberikan respon terhadap antigen recall) dan uji invitro, aktivasi poliklonal sel B
menimbulkan hipergamaglobulinemia, antibody yang dapat menetralkan antigen gp120 dan
gp41 diproduksi tetapi tidak mencegah progress penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus
yang tinggi, sel Tc dapat mencegah infeksi ( jarang) atau dapat memperlambat progress.
Protein envelop adalah produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha memproduksi
antibody yang efektif dan produktif oleh pejamu.
Siklus hidup HIV
Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi kedalam
genom, ekspresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan
menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 ( 120 Kd
glikoprotein) yang
terutama mengikat sel CD4 reseptor dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5 ) dari sel
manusia. Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4. Makrofag
dan sel dendritik juga dapat menginfeksinya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membrane virus bersatu dengan
membrane sel pejamu dan virus masuk ke sitoplasma. Disini envelop virus dilepaskan oleh
protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim
transcriptase dan kopi DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut
provirus. Provirus dapat diaktifkan , sehingga diproduksi RNA dan protein virus . sekarang
virus mampu membentuk struktur inti, bermigrasi ke membrane sel, memperoleh envelop
lipid dari sel pejamu, dilepas berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi
sel lain. Integrasi provirus dapat tetap laten dalam sel yang terinfeksi untuk berbulan- bulan
atau tahun sehingga tersembunyi dari system imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus.
2.2 Patogenesis
Setelah HIV masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada di dalam sel
dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu
( serupa infeksi mononucleosis) , disertai viremia berat dengan keterlibatan berbagai kelenjar
limfe. Pada tubuh timbul resppon imun humoral maupun seluler. Sindrom ini akan hilang
sendiri setelah 1-3 minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh
system imun tubuh.
Proses ini berlangsung berminggu- minggu sampai terjadi keseimbangan antara
pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut
set point dan amat penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila tinggi,
perjalanan penyakit menuju acquired immune deficiency syndrome ( sindrom defisiensi imun
yang didapat, AIDS ) akan berlangsung lebih cepat.
Serokonversi ( perubahan antibody dari negative jadi positif ) terjadi 1-3 bulan
setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan
memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4
( jumlah normal 800-1000) yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA
virus relative konstan.
CD4 adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. Mula- mula
penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60 / tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah
menjadi cepat , 50-100 / tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata- rata masa infeksi dari HIV
sampai AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai dibawah 200.
Perjalanan penyakit pada HIV
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Transmisi virus
Infeksi HIV primer ( sindrom retroviral akut ) 2-6 minggu
Serokonversi
Infeksi kronik asimptomatik
AIDS ( CD4 <200/mm3 ), infeksi oportunistik
Infeksi HIV lanjut ( CD4<50/mm3)
peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan
hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap
penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain
yang lebih mematikan.
2. Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita
hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali
jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis
penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi
juga hepatitis B dan hepatitis C.
Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru
HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang
terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat antiHIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang
memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak
dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan
yang tidak mencukupi.
WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan
melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini,
mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah
penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di
negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun
demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah
yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang
terinfeksi".
3. Penularan masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat
penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun
demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan
cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.
Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat
persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan
risiko penularan sebesar 4%.
2.4. Gejala Klinis dan Infeksi Oportunistik
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh
yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV
mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar
menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan
yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam,
berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah,
serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga
tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat
hidup pasien.
Infeksi oportunistik lainnya
10
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi
Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat
menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan
gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan
kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut
Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis
dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal
11
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai
gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi
seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS
akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening
(sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan
pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang
disebut AIDS.
Stadium klinis HIV menurut WHO :
1. Stadium klinis 1 : asimptomatis, limfadenopati meluas persisten, aktivitas normal
2. Stadium klinis 2 : simptomatis, aktivitas normal
o
12
Demam tanpa sebab yang jelas > 1 bulan (intermiten atau konstan)
Kandidiasis oral
Angiomatosis basiler
4. Stadium klinis 4 : berbaring di tempat tidur selama 1 bulan terakhir > 50%
o
HIV wasting syndrome (BB turun 10% + diare kronik >1bulan atau
demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)
TB ekstra paru
Limfoma
Sarkoma Kaposi
13
Langkah-langkah diagnosis :
1. Lakukan anamnesis gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait dengan AIDS
2. Telusuri perilaku berisiko yang memungkinkan penularan
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker terkait.
Jangan lupa perubahan kelenjar dan pemeriksaan mulut.
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosit total dan antibody HIV.
Bila hasil pemeriksaan antibody positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah CD4,
protein purified derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi sitomegalovirus, serologi
PMS, hepatitis, dan pap smear. Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah
CD4. Bila > 500 maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500
maka diulang tiap 3-6 bulan, dan bila < 200 diberikan profilaksis pneumonia Pneumocystis
carinii. Pemberian profilaksis INH tidak tergantung pada jumlah CD4.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat
antiretroviral dan memantau hasil pengobatan. Bila tidak tersedia peralatan untuk
pemeriksaan CD4 (mikroskop fluoresensi) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 =
1/3 X jumlah limfosit total.
2. 5. Manifestasi Pada Kulit
MOLOSKUM KONTAGINOSUM
Moluskum kontagiosum (MK) merupakan penyakit yang ringan namun dapat berkembang menjadi penyakit
infeksi virus yang menjadi masalah pada anak-anak. Karakteristik penyakit ini yaitu permukaan halus, papul
berbentuk kubah yang biasanya disertai eritem (dermatitis moluskum). Pasien dan keluargannya merasa
terganggu oleh lamanya perjalanan penyakit ini sebab penyakit ini bisa bertahan selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Moluskum Kontagiosum merupakan perlu diperhatikan pada individu dengan
imunokompromais dan dermatitis atopik, dimana masa infeksi menjadi lebih ekstrim. Penyakit ini menular
melalui hubungan seksual bagi orang dewasa namun tidak bagi anak-anak.[1] Infeksi melalui seksual bagi anakanak bisa saja terjadi pada kasus-kasus pelecehan seksual. Meskipun penyebarannya luas, Moluskum
kontagiosum biasanya terlihat di daerah genital, perineal dan seluruh tubuh pada anak-anak, dan pada kasuskasus pelecehan biasanya tidak nampak kecuali ditemukan lesi yang mencurigakan.[2
14
Gambaran Klinis
Lesi kutaneus. Moluskum Kontagiosum sering memperlihatkan papul kecil merah
muda yang dapat membesar, biasanya membesar hingga 3 cm (giant molluscum). Seiring
pembesarannya, permukaan bentuk kubah dan morfologi seperti mata kucing dapat semakin
jelas. Lesi dapat memiliki umblikasi, terdapat substansi seperti putih dadih dapat dilihat
dengan tekanan. Pada kebanyakan pasien berkembang beberapa papul, sering pada tempat
yang intertriginosa, seperti aksilla, fossa poplitea, dan panggul. Lesi pada genital dan perianal
dapat berkembang pada anak-anak dan jarang yang memiliki kaitan dengan hubungan
seksual. Lesi ini digolongkan dalam cluster atau dalam bentuk linear. Biasanya merupakan
hasil dari koebnerisasi atau perkembangan lesi pada trauma. Eritema dan eksema dapat
muncul di sekitar lesi; hal ini disebut Moluskum dermatitis. Papul dapat menjadi eritematosa,
hal ini dipercaya merupakan respon imun dari infeksi. Pasien dengan sindrom
immunodefisiensi dapat memperlihatkan lesi yang besar dan ekstensif baik di daerah genital
maupun ekstra genital.[1]
15
Penatalaksanaan
Pada umumnya penyakit ini dapat sembuh sendiri tanpa komplikasi pada pasien
imunokompeten. Sebelum melakukan penatalaksanaan sebaiknya mendiskusikan terlebih
dahulu dengan keluarga pasien mengenai resiko dan keuntungan pengobatan. Banyak ahli
menggunakan cabtharidin 0,7% atau 0,9% liquid untuk pengobatan MK. Cabtharidin
merupakan ekstrak dari serangga, Cantaharis vesicatoria, yang merangsang vesikulasi pada
dermoepidermal ketika dioleskan secara topikal pada kulit. Obat ini harus dioleskan dengan
hati-hati dan dicuci
penggunaan pada wajah atau daerah genital, dan keluarga harus dikonseling berhubungan
dengan resiko ringan dari reaksi ekstrim atau bekas luka. Pengobatan tradisional, yaitu
kuretase dan kriptoterapi, meskipun kedua pengobatan ini memberi rasa sakit, penggunaan
anastesi topikal dapat menghilangkan rasa sakit. Kebanyakan pasien memilih pengobatan
cantharidin topikal sebab dirasakan paling efektif dan tidak sakit. Pengobatan terapi topikal
lainnya yaitu retinoid cream, Imiquimod cream, asam salisilat, cidofovir, pasta silvernitrat
dan tape stripping. Cimetidine oral telah menunjukkan kesuksesan. Analisis dari Cochrane
16
database menunjukkan hanya lima terapi yang berkualitas tinggi, ditemukan hasil tidak ada
satupun intervensi yang meyakinkan efektifitas dari pengobatan moluskum kontagiosum. [1]
Marsal JS dkk melakukan penelitian yang menunjukkan KOH dapat berpotensi
menjadi pengobatan yang efektifdan aman bagi MC pada penanganan utama dan mengurangi
rujukan ahki kulit dan rumah sakit. Sebagai tambahan KOH menjadi pengobatan alternatif
yang murah dan sah untuk pengobatan invasif saai ini. [6]
KONDILOMA AKUMINATA
Kondiloma akuminatum ialah vegetasi oleh human papilloma virus tipe tertentu,
bertangkai dan permukaannya berbenjol..
Etiologi
Virus penyebabnya adalah virus papilloma humanus (VPH)ialah virus DNA yang
tergolong dalam keluarga virus papova. Sampai saat ini telah dikenal sekitar 60 tipe VPH
namun tidak seluruhnya dapat menyebabkan kondiloma akuminatum. Tipe yang pernah
ditemui pada kondiloma akuminatum adalah tipe 6, 11, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39, 41, 42, 44,
51,dan 52.
Gejala klinik
Penyakit ini terutama terdapat didaerah lipatan yang lembab, misalnya didaerah
genitalia eksterna. Pada pria tempat predileksinya diperineum dan sekitar anus, sulkus
koronarius, glans penis, muara uretra ksterna, korpus dan pangkal penis. Pada wanita
didaerah vulva dan sekitarnya, introitus vagina, kadang pada porsio uteri. Ada wanita yang
banyak mengeluarkan flour albus atau wanita yang hamil pertumbuhan penyakit lebih cepat.
Kelinan kulit berupa vegetasi yang bertangkai dan berwarna kemerahan kalau masih baru,
jika telah lama akan kehitaman. Permukaannya berbenjol (papilomatosa) sehingga pada
vegetasi yang besar dapat dilakukan percobaan sondase. Jika timbiul infeksi sekunder warna
kemerahan akan berubah menjadi keabu-abuan dan berbau tidak enak.
Vegetasi yang besar disebut sebagi glant condyloma (Buschke) yang pernah
dilaporkan menimbulkan degenerasi maligna, sehingga harus dilakuakan biopsi.
17
Pengobatan
1. Kemoterapi
a. Podofilin
Yang digunakan adalah tingtur pedofilin 25%. Kulit disekitarnya dilindungi dengan
vaselin atau pasta agar tidak terjadi iritasi, setelah 4-6 jam dicuci. Jika belum ada
penyembuhan bisa diulangi setelah 3 hari. Setiap kali pemberian jangan melebihi 0,3
cc karena akan diserap dan bersifat toksik. Gejala tosisitas berupa mual, muntah,
nyeri abdomen, gangguan saluran napas, dan keringat yang disertai kulit dingin.
b. Asam triklorasetat
Digunakan larutan dengan konsentrasi 50% dioleskan tiap minggu. Pemberiannya
harus hati-hati karena dapat menimbulkan ulkus yang dalam. Dapat diberikan pada
wanita hamil.
c. 5-flourourasil
Konsentrasinya antara 1-5% dalam krim, dipakai terutama pada lesi di meatus uretra.
Pemberiannya setiap hari sampai lesi hilang. Sebaiknya penderita tidak miksi selama
2 jam setelah pengobatan.
d. Imunoterapi
Pada penderita dengan lesi yang luas dan resisten terhadap pengobatan dapat
diberikan pengobatan bersama imunostimulator.
HERPES SIMPLEKS
Infeksi yang disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe I atau tipe II yang
ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok diatas kulit yang sembab dan eritematosa
pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekurens.
Gejala klinis
Infeksi VHS ini berlangsung dalam 3 tingkat.
1. Infeksi primer
Tempat predileksi VHS tipe 1di daerah pinggang keatas terutama didaerah mulut an
hidung. Biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara
kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter, pada orang yang sering
18
menggigit jari. Virus ini juga sebagi penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer VHS
tipe II mempunyai tempat predileksi terutama didaerah genitalia.
Infeksi primer berlansung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering
disertai gejala sistemik misalnya demam, malese dan anoreksia.
Kelainan klinis yang dapat dijumpai berupa vesikel eritematosa, berisi cairan jernih
dan kemudian menjadi seropurulen dapat menjadi krusta dan kadang mengalami
ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Umumnya didapati pada
orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks.
2. Fase laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi vhs dapat
ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsali dalam keadaan tidak aktif, dengan
mekanisme pacu jadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis.
Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur,
hubungan seksual, dan sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi),
dab dapat pula timbul akibar jenis makanan dan minuman yang merangsang.
Pengobatan
Pada lesi yang dini dapat digunakana obat topikal berupa salap/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara aplikasi,
yang sering dengan interval beberapa jam. Preparat asiklovir yang dipakai secara topikal
tampaknya memberikan masa depan yang lebih cewrah. Asiklovir ini cara kerjanya
mengganggu replikasi DNA virus. Jika timbul ulserasi dapat dikompres. Pengobata oral
berupa asiklovir tampaknya m,emberikan hasil yang baik, penyakit berlangsung lebih singkat
dan masa reurensnya lebih panjang. Dosisnya 5x200 mg sehari selama 5 hari.
HERPES ZOOSTER
Herpes zoster merupakan penyakit infeksi oleh virus varisela zoster yang menyerang
kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi sebagai reaktivasi virus
varisela zoster yang masuk melalui saraf kutan selama episode awal cacar air, kemudian
menetap di ganglion spinalis posterior. Herpes zoster umumnya terjadi pada orang dewasa,
19
terutama orang tua dan individu yang mengalami imunitas tubuh yang kurang. Adapun faktor
penting yang mempengaruhi penyakit ini adalah Umur,obat imunosupresif, limfoma,
kelelahan, gangguan emosional, danterapi radiasi yang berdasarkan hasil penelitian terbukti
juga dapat terlibat dalam pengaktifan kembali virus herpes, yang kemudian perjalanan
kembali kesaraf sensorik dan menginfeksi. (1,5)
Varisella-zoster virus (VZV) saat pertama kali menyerang kulit dan mukosa manusia
sebagai suatu infeksi akut primer akan memberikan gambaran berupa ruam vesikuler yang
simetris bilateral pada sebagian besar bagian tubuh terutama dibagian sentral tubuh, disertai
rasa gatal, dengan penyembuhan yang cepat, dan sebagian besar terkena pada anak-anak.
Setelah virus ini menyerang manusia sebagai virus penyebab cacar air kemudian virus
mengalami reaktivasi dan menyebabkan penyakit herpes zoster dengan gambaran berupa
ruam vesikuler yang berbatas pada satu dermatom disertai dengan keluhan nyeri.Pemberian
antivirus secara dini sangat penting, karena mampu meminimalisir resiko komplikasi berat
akibat penyakit herpes zoster. (1,5)
ETIOLOGI
VZV adalah anggota keluarga virus herpes. 23 spesies lainnya patogen bagi manusia
termasuk HSV-l dan HSV-2, sitomegalovirus, Epstein-Barr, human herpes virus-6 (HHV-6)
dan HHV-7, yang menyebabkan roseola, dan sarkoma Kaposi yang terkait virus herpes yang
disebut HHV-8.Virus varisella zoster ini mengandung kapsid yang berbentuk isokahedral
dikelilingi dengan amplop lipid yang menutupi genom virus, dimana genom ini mengandung
molekul linear dari double-stranded DNA.Diameternya 150-200 nm dan memiliki berat
molekul sekitar 80 million. Meskipun virus ini memiliki kesamaan structural dan fungsional
dengan virus herpes simpleks, namun keduanya memiliki perbedaan dalam representasi,
ekspresi, dan pengaturan gen, sehingga keduanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan gen.
(1,10)
Varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama, yang disebut sebagai
Virus varicella-zoster .Varisela merupakan infeksi primerdengan tahap viremik setelah virus
menetap di dalam sel saraf ganglion sensoris yang menular pada paparan awal dan biasanya
terjadi pada anak-anak. Sedangkan virus herpes zoster adalah reaktivasi dari sisa virus laten.
Virus ini memasuki host melalui sistem pernapasan (nasofaring) infiltrat pada sistem
20
retikuloendotelial dan akhirnya masuk kedalam aliran darah. Bukti viremia bermanifestasi
sebagai lesi pada tubuh yang menyebar.(1)
GEJALA KLINIS
Penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase pre-eruptif, fase eruptif akut dan
fase kronis (neuralgia post herpetik).(2,5)
i.
mengikut dermatom atau belum timbul erupsi difus setelah 4-5 hari berikutnya. Tanda-tanda
prediktif pada herpes zoster ialah adanya hiperesthesi pada daerah kutaneus pre erupsi yang
lunak sejajar dengan dermatom.Disertai juga gejala demam, nyeri kepala dan malaise yang
terjadi beberapa hari sebelum gejala lesi timbul, limfadenopati regional juga bisa terjadi pada
pasien. Nyeri segmental dan gejala lain secara bertahap mereda apabila erupsi mulai
muncul .Gejala prodromal mungkin tidak didapatkan pada anak-anak. (5)
ii.
Fase eruptif
Erupsi pada kulit diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian
hemoragik, ada nekrosis kulit, infeksi sekunder bakteri atau skar yang biasa berubah menjadi
keloid dan hipertrofik. (1,5)
Erupsi pada kulit
boleh
terjadi
pada
satu
atau
dua
dermatom
yang
21
Bagian sering terkena adalah dada (55%), kranial (20% dengan keterlibatan
N.Trigeminal), lumbal (15%) dan sakral (5%). Erupsi yang sedikit dapat mencapai
keseluruhan dermatom. (4,7)
Pada kondisi parah, rasa nyeri dapat didiagnosis salah yaitu sebagai infark miokard,
pleuritis. Kadang rasa nyeri tidak diikuti oleh erupsi kulit herpes zoster dan manifestasi klinis
ini dikenal sebagai zoster sine herpete(yaitu zoster tanpa ruam). Dalam beberapa kasus,
wajah, leher, kulit kepala atau ekstremitas mungkin terlibat. (2)
Gambar1.papuleritematosa
Gambar 2 .Vesikel(1)
22
iii.
atau setelah infeksi akut atau sering rekurens yang berlangsung selama sebulan.Keterlibatan
N.Trigeminal sering terjadi pada penderita berumur diatas 40 tahun.Nyerinya dapat di bagi
menjadi 2 tipe yaitu rasa terbakar terus menerus dengan hyperaesthesia dan tipe shooting
spasmodic.Allodinia adalah nyeri akibat dari stimuli yang tidak berbahaya dan disebabkan
oleh simptom stress.(3)
23
Variasi dari sindroma zoster tergantung dorsal root yang terkena, dan intensitasnya
tergantung reaksi inflamasi yang terjadi pada motor root dan anterior horn cells. Nyeri
abdominal, pleura atau gangguan elektrokardiografi yang disebabkan keterlibatan viseral.
Beberapa sindrom yang disebabkan oleh Herpes Zoster, yaitu:
a. Keterlibatan motorik
Onset terjadinya pada 5% kasus dengan penderita yang tua dan melibatkan nervus
spinalis.Erupsi dan nyeri diikuti dengan penurunan motorik. Biasanya mengikuti dermatom
yang disebabkan oleh virus dan bias juga terjadi pada segmen dermatom yang berbeda.
Herpes zoster pada anogenital bisa menyebabkan adanya gangguan defekasi dan urinasi. (3)
b. Herpes zoster trigeminal
Pada kasus herpes zoster trigeminal yang biasa terjadi adalah sebanyak dua pertiga
kasus terjadi pada bagian mata, jika ada vesikel pada hidung akan melibatkan N.nasosiliar
(hutchinsons sign). Komplikasi yang terjadi pada okularadalah uveitis, keratitis,
konjunctivitis, edema konjunctiva (chemosis), palsy ototokular, proptosis, skleritis, oklusi
vaskular pada retina dan ulkus, skar dan bias terjadi nekrosis pada kelopak mata. Keterlibatan
ganglia siliaris dapat menyebabkanArgyll-Robertson pupil.Jika terjadi pada bagian maksilaris
terdapa vesikel pada uvula dan tonsil.Vesikel pada lidah, basal mulut dan mukosa buccal
menunjukkan adanya keterlibatan divisi mandibularis.Pada Zoster orofasial, sakit gigi adalah
petandanya.(3)
24
e. Reaktivasi
VZV
pada
penderita
dengan
system
imun
yang
rendah
(immunocompromised).
Herpes zoster pada penderita immunokompromais dapat mengakibatkan keterlibatan
organ dalam.Organ yang biasa terkena adalah paru, lambung, hati, otak dan terjadi
Disseminated
Intravascular
Coagulopathy.Lesi
kulit
yang
atipik,
hiperkeratotik,
25
1. Terapi topical
Pada herpes zoster fasa akut, aplikasi kompresi dingin, losen calamine, tepung
jagung, atau soda bikarbonat mampu mengurangi gejala luka dan mempercepat pengeringan
pada lesi vesikuler.Salep yang oklusif, krem, atau losen yang mengadungi glukokortikoid
tidak boleh diaplikasikan pada lesi herpes zoster. Lidocaine patch 10 cm x 14 cm
mengandungi 5% basa lidocaine, adhesive, dan bahan-bahan lain. Selain mudah digunakan,
tidak disertai dengan efek toksisitas sistemik. Pemberian lidocaine patch bisa mencapai
maksimal 3 kali sehari pada bagian yang terkena lesi herpes selama 12 jam sehari. (1)
2. Antivirus
Tujuan utama terapi herpes zoster adalh (1) mengurangkan ekstensi, durasi, dan
severitas nyeri dan ruam pada dermatom primer; (2) megelakkan terjadinya penyakit di
bagian tubuh yang lain; (3) mengelakkan dari terjadinya post-herpetic neuralgia.Asiklovir
yang diperkenalkan pada awal 1980, saat ini menjadi standard pengobatan untuk herpes
zoster dewasa.setelah itu dikembangkan pengobatan generasi kedua yang memperbaiki
faramakokinetik dan farmakodinamik yaitu famsiklovir dan valasiklovir. Ketiga pengobatan
ini tentunya memperbaiki penyembuhan kulit, yang slenajutnya berdampak baik terhadap
nyeri herpes zozter, yang disebut juga zoster associated pain. Nyeri ini bersifat akut dan
kronis, walaupun tidak ada satu obatpun yang bisa mengurangi nyeri pasca herpes zoster
yang menetap. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, sifat lipofilik harus ditingkatkan,
sehingga obat ideal mampu mengeradikasi replikasi awal virus pada ganglia basalis. (1,7)
Pada pasien yang normal, pemberian asiklovir oral (800 mg 5 kali sehari selama 7
hari), famsiklovir (500 mg setiap per 8 jam untuk 7 hari), dan valasiklovir (1 g 3 kali sehari
selama 7 hari) mampu mempercepat proses penyembuhan lesi dan durasi serta severitas nyeri
akut yang dialami oleh pasien herpes zoster (pasien dengan umur kurang dari 50 tahun)
yang dirawat dalam jangka waktu 72 jam selepas timbulnya gejala pada kulit. Pasien dengan
umur lebih dari 50 tahun dan disertai dengan lesi herpes zoster pada bagian oftalmikus pula
diberikan pengobatan seperti berikut, asiklovir (800mg peroral sebanyak 5 kali sehari selama
7 hari), atau valasiklovir (1g peroral setiap per 8 jam selama 7 hari) atau famsiklovir (500mg
peroral setiap per 8 jam selama 7 hari). Pengobatan ini diberikan pada pasien yang dirawat
dalam jangka waktu 72 jam selepas timbulnya gejala pada kulit. (1)
26
Pada pasien dengan penurunan tingkat imunitas yang ringan atau pasien HIV,
diberikan asiklovir (800 mg peroral sebanyak 5 kali sehari selama 7-10 hari) atau valasiklovir
atau famsiklovir. Pada pasien dengan penurunan tingkat imunitas yang berat, diberikan
asiklovir (10 mg/kg secara intravena setiap per 8 jam selama 7-10 hari). (1)
Asiklovir, famsiklover, dan valasiklovir adalah analog nukleosida yang menghambat
replikasi virus herpes, termasuk VZV. Bila diberikan secara oral, obat ini mngurangi durasi
pelepasan virus, mempercepat, mengurangi keparahan dan rasa nyeri yang akut serta
mengurangi resiko untuk menjadi post-herpetic neuralgia. (13)
3. Kortikosteroid
Tingkat nyeri hebat yang tinggi merupakan factor yang dapat menyebabkan
terjadinya post herpetic neuralgia dan nyeri akut juga menyebabkan sensitisasi sentral serta
genesis untuk terjadinya nyeri yang kronik. Oleh sebab itu nyeri pada herpes zoster harus
dikontrol secara agresif.Tingkat nyeri hebat ditentukan dengan menggunakan skala nyeri
yang standar dan mudah. Analgetik yang diberikan adalah analgetik yang opioid dan nonopioid dengan tujuan untuk membatasi nyeri di bawah skala 3 atau 4 dari skala 0 smpai 10
serta tidak mengganggu siklus tidur pasien. Pilihan pengobatan, dosis, dan waktu pemberian
analgetik adalah berdasarkan tingkatan nyeri, penyakit yang menyertai dan respon terhadap
obat.Apabila nyeri masih tidak berkurang, anastesi regional atau lokal bisa dilakukan untuk
mengontrol nyeri akut.
(1)
Prednison memiliki manfaat dalam mereduksi nyeri dalam waktu jangka pendek
tetapi menghilang dalam waktu jangka panjang. Prednison menigkatkan jumlah pasien yang
sembuh dari nyeri herpes pada bulan pertama (resiko relatif 2.28), dan tidak didasari dengan
pemberian asiklovir atau tidak.Asiklovir dan prednison memberikan efek yang signifikan
terhadap pasien agar kembali beraktifitas seperti biasa.Kortikosteroid dapat segera diberikan
pada pasien dengan nyeri sedang hingga berat setelah diagnosa ditegakkan.Pasien dengan
kontraindikasi pemberian kortikosteroid seperti hipertensi, diabetes, gastritis, osteoporosis,
dan psikosis harus dievaluasi dengan teliti.Terapi kortikosteroid hanya diberikan dengan
kombinasi obat antiviral.(15)
Adapun kortikosteroid yang bisa diberikan adalah sebagai berikut: (15)
27
Tramadol diberikan dengan dosis permulaan 50 mg sebanyak sekali atau dia kali per
hari. Dosis bisa ditambahkan 50 mg hingga 100 mg setiap hari dalam dosis yang
terbagi pada setiap 2 hari.
Gabapentin diberikan sebanyak 300 mg setiap kali sebelum tidur malam hari atau
100 mg atau 300 mg sebanyak 3 kali sehari. Dosis bisa ditambahkan 100 mg hingga
300 mg 3 kali sehari setiap 2 hari.
Pengobatan HIV
Penemuan obat anti retroviral yang kuat pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi
dalam perawatan ODHA di Negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit
dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat,
namun secara dramatis menunjukan angka kematian dan kesakitan, peningkatan kualitas
hidup ODHA.
Tujuan pengobatan ARV
28
1.
2.
3.
4.
5.
10
29
Zidovudine (AZT)
Efek Samping
2.
Stavudine (d4T)
30 mg; diberikan tiap 12 jam. 11
Efek Samping
3.
Lamivudine (3TC)
Efek Samping
hepatitis (jarang). 11
4.
Didanosine (ddI)
single dose setiap 24 jam (tablet bufer atau kapsul enteric coated). 11
30
Efek Samping
dengan d4T dan ddC. ddI tidak dapat digunakan bersama dengan
d4T karena memperkuat timbulnya efek samping seperti pankreatitis,
neuropati, asidosis laktat, lipoatrofi. Efek samping lain: asidosis
laktat dengan steatosis hepatitis (jarang); mual; muntah; diare.
ddI tidak boleh digunakan bersama dengan Tenovofir karena
interaksi obat yang menyebabkan kadar Tenofovir dalam darah turun
sehingga menyebabkan kegagalan pengobatan .
ddI juga tidak direkomendasikan untuk digunakan bersama dengan
Abacavir karena data pendukung yang tidak cukup.11
5.
Abacavir (ABC)
Efek Samping
Efek Samping
11
Tenofovir (TDF)
31
Nevirapine
Efek Samping
Exposure
Prophylaxis
(PEP).
Nevirapine
dapat
Efavirenz
Efek Samping
peningkatan
kadar
transaminase,
hiperlipidemi,
32
false
benzodiazepine.
11
positif
pada
skrining
cannabis
dan
Efek Samping
panjang
Intoleransi
gastrointestinal,
mual,
muntah,
2 NRTI + 1 NNRTI
(Zidovudine + Lamivudine +
Nevirapine)
(Zidovudine + Lamivudine +
Efavirenz)
(Tenofovir + Lamivudine
ATAU
ATAU
ATAU
33
NVP
TDF + 3TC (atau FTC) +
EFV
(atau Emtricitabine) +
Nevirapine)
(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz
Tabel 3.2.2. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV 11
Populasi Target
Pilihan yang
direkomendasikan
Catatan
Merupakan pilihan paduan
besar pasien
Gunakan FDC jika tersedia
Tidak boleh menggunakan
Perempuan hamil
Ko-infeksi HIV/TB
Ko-infeksi HIV/Hepatitis B
kronik aktif
atau NVP
2.10.
(NNRTI)
34
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama dalam
paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila tidak ditemukan tanda
toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan
selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2
minggu pertama terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga
mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini. 11
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari 14 hari,
maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.
Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI 11:
1.
2.
Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian Nevirapine dan
Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah penghentian Efavirenz) kemudian
hentikan semua obat. Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang
dan menurunkan risiko resistensi NNRTI.
1.
2.
3.
AZT+3TC +TDF
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu pasien
perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi virologisnya kurang kuat. 11
4.
Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini Pertama hanya bila
pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau
35
Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini
Kedua. mengingat sumber daya yang masih terbatas. 11
d4T + AZT
obat)
Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis,
d4T + ddI
3TC + FTC
TDF + 3TC + ABC atau
TDF + 3TC + ddI
TDF + ddI + NNRTI manapun
Lini Kedua
Rekomendasi paduan lini kedua adalah 11:
2 NRTI + boosted-PI
1.
Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah
ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis dengan
kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir). 11
36
2.
Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh pemerintah
adalah 11:
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC
atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. 11
2.
Apabila pada lini pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai
dasar NRTI sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. 11
Tabel. Dosis Antiretroviral untuk ODHA dewasa
Abacavir (ABC)
Didanosine (ddI)
Lamivudine (3TC)
Stavudine (d4T)
300 mg sekali sehari (cat: interaksi obat dengan ddI, dosis ddI
perlu dikurangi)
Non-nucleoside RTIs
Efavirenz (EFV)
Nevirapine (NVP)
Protease inhibitors
Indinavir/ritonavir
(IDV/r)
Lopinavir/ritonavir
(LPV/r)
37
Nelfinavir (NFV)
Saquinavir/ritonafir
(SQV/r)
Ritonavir (RTV,r)e
seharic,d
Capsule 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml
2.11.Pencegahan HIV
Cara Pencegahan :
Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan
penyuntikan atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka
Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang
tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan
penularan HIV)
Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko
dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya,
sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.
Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia
kepada pasangannya
Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau
cukur) harus disterilisasi dengan benar
Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan
orang lain
38
BAB III
KESIMPULAN
HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang
terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Gejala klinis pada awal infeksi, seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam
dan pembengkakan kelenjar getah bening. Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi
selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan
penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang
kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek. Selama fase akhir dari HIV,
yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul
dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
Terapi dewasa ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri atas dua NRTI
ditambah salah satu NNRTI atau Abacavir atau protease inhibitor. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi
kronis terhadap obat, namun secara dramatis menunjukan angka kematian dan kesakitan,
peningkatan kualitas hidup ODHA.
Cara pencegahan penularan hiv yang baik antara lain Abstinensi (atau puasa, tidak
melakukan hubungan seks)
pasangan dan saling setia kepada pasangannya , Untuk yang melakukan hubungan seksual
yang mengandung risiko, dianjurkan melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral 2004, Jakarta.
2. Mansjoer, Arif, dkk, Acquired immunodeficiency syndrome dalam Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi ketiga, jilid I Media Aesulapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta : 2001, hal : 573 579.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
4. Baratawidjaja, Karnen, Iris Rengganis. Imunologi Dasar Edisi IX,
Fakultas
Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. USA: Mosby Elsevier; 2008. Chapter
14.p.1166
7. Astari L.eds. Viral Load pada Infeksi HIV (Viral Load in HIV Infection).
40
Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang
dewasa.Indonesia.Kemenkes RI:2011.p. 76-79
41
42