Anda di halaman 1dari 42

LEMBAR PENESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :


Nama

: rini afyat basyarahil

NIM

: 111 2015 0063

Judul Referat

: HIV/AIDS

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Februari 2016

Mengetahui,
Pembimbing

dr. H. A. M. Adam, Sp.KK (K)., FINSDV

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
karunianya, saya dapat menyelesaikan referat HIV/AIDS ini tepat pada waktunya. Referat ini
saya selesaikan saat menjalani kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin di RSI
Faisal Makassar Periode 25 Januari 2016 20 Februari 2016.
Melalui Referat ini, saya akan mencoba membahas mengenai HIV termasuk siklus
hidup virus HIV, pathogenesis, cara penularan, gejala klinis, pengobatan dan juga pencegahan
HIV. Saya menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna, akan tetapi saya berharap semoga
referat ini dapat membantu pembaca mengetahui lebih jauh mengenai HIV.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih juga kepada pembimbing saya dalam
penyusunan referat ini Dr. A. M. Adam, Sp. KK (K), FINSDV dan semua teman saya yang
membantu saya dalam menyelesaikan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat.

Makassar,

Februari 2016

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................... 2


Daftar Isi......................................................................................................................... 3
Bab I Pendahuluan ......................................................................................................... 4
Bab II Pembahasan
2.1

Struktur dan siklus hidup HIV .............................................................. 5

2.2

Patogenesis ........................................................................................... 7

2.3 Cara Penularan ...................................................................................... 8


2.4 Gejala Klinis dan infeksi Oportunistik .................................................. 10
2.5

Pengobatan ........................................................................................... 18

2.6

Pencegahan ........................................................................................... 23

Bab III Kesimpulan ........................................................................................................ 24


Daftar Pustaka ................................................................................................................ 25

BAB I
PENDAHULUAN
AIDS ( acquired immunodeficiency syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus yang disebut HIV (human immunodeficiency virus) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi (atau sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat
infeksi virus HIV. HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang
yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik. Meskipun
penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit
ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara
lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.
Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah,
jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau
menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Virus tersebut
menginfeksi sel CD4 T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, makrofag
dan jenis sel lain.
Banyak penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan penatalaksanaan yang
baku dan menyeluruh dari pencegahan penularan horizontal maupun vertikal, pemakaian
kombinasi antiretrovirus (ARV) bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pencegahan dan
pengobatan infeksi oportunistik (IO) dan pencegahan post exposure (PPE)
HIV sampai pemberian imunisasi yang masih dalam penelitian. Kompleksnya
masalah yang dihadapi dalam penatalaksanaan HIV/AIDS, memerlukan satu tim kerja terdiri
dari berbagai bidang ilmu yang solid dan profesional untuk menurunkan angka insidensi dan
prevalensi HIV/AIDS.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Struktur HIV & Siklus hidupnya

Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus
yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut
diselubungi envelop membrane fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp 120 dan
gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Retroviris HIV terdiri dari lapisan
envelop luar glikoprotein yang mengelilingi suatu lapisan ganda lipid. Kelompok antigen
internal menjadi protein inti dan penunjang.
RNA directed DNA polymerase ( reverse transcriptase ) adalah polymerase DNA
dalam retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan RNA temple
untuk memproduksi hybrid DNA. Transverse transcriptase diperlukan dalam tehnik
rekombinan DNA yang perlukan dalam sintesis fisrt strand dna.
Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan petanda terdini adanya
infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis
antibody terhadap HIV-1 . antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang

mengikat reseptor CD4 pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4 ini telah
digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4.
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan sebagai berikut:
jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang terganggu terlihat in vivo ( gagal
memberikan respon terhadap antigen recall) dan uji invitro, aktivasi poliklonal sel B
menimbulkan hipergamaglobulinemia, antibody yang dapat menetralkan antigen gp120 dan
gp41 diproduksi tetapi tidak mencegah progress penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus
yang tinggi, sel Tc dapat mencegah infeksi ( jarang) atau dapat memperlambat progress.
Protein envelop adalah produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha memproduksi
antibody yang efektif dan produktif oleh pejamu.
Siklus hidup HIV
Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi kedalam
genom, ekspresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan
menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 ( 120 Kd

glikoprotein) yang

terutama mengikat sel CD4 reseptor dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5 ) dari sel
manusia. Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4. Makrofag
dan sel dendritik juga dapat menginfeksinya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membrane virus bersatu dengan
membrane sel pejamu dan virus masuk ke sitoplasma. Disini envelop virus dilepaskan oleh
protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim
transcriptase dan kopi DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut
provirus. Provirus dapat diaktifkan , sehingga diproduksi RNA dan protein virus . sekarang
virus mampu membentuk struktur inti, bermigrasi ke membrane sel, memperoleh envelop
lipid dari sel pejamu, dilepas berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi
sel lain. Integrasi provirus dapat tetap laten dalam sel yang terinfeksi untuk berbulan- bulan
atau tahun sehingga tersembunyi dari system imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus.

2.2 Patogenesis
Setelah HIV masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada di dalam sel
dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu
( serupa infeksi mononucleosis) , disertai viremia berat dengan keterlibatan berbagai kelenjar
limfe. Pada tubuh timbul resppon imun humoral maupun seluler. Sindrom ini akan hilang
sendiri setelah 1-3 minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh
system imun tubuh.
Proses ini berlangsung berminggu- minggu sampai terjadi keseimbangan antara
pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut
set point dan amat penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila tinggi,
perjalanan penyakit menuju acquired immune deficiency syndrome ( sindrom defisiensi imun
yang didapat, AIDS ) akan berlangsung lebih cepat.
Serokonversi ( perubahan antibody dari negative jadi positif ) terjadi 1-3 bulan
setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan
memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4
( jumlah normal 800-1000) yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA
virus relative konstan.
CD4 adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. Mula- mula
penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60 / tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah
menjadi cepat , 50-100 / tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata- rata masa infeksi dari HIV
sampai AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai dibawah 200.
Perjalanan penyakit pada HIV
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Transmisi virus
Infeksi HIV primer ( sindrom retroviral akut ) 2-6 minggu
Serokonversi
Infeksi kronik asimptomatik
AIDS ( CD4 <200/mm3 ), infeksi oportunistik
Infeksi HIV lanjut ( CD4<50/mm3)

2.3 Cara Penularan


1. Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa
mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada
hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar
daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral.
Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif
maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena
pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina
yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat
menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin,
dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada
semen dan sekresi vaginal.
Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat
adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko
tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular
seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan
pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan
kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada
berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak
dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat
kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81%

peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan
hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap
penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain
yang lebih mematikan.
2. Kontaminasi patogen melalui darah
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita
hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali
jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis
penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi
juga hepatitis B dan hepatitis C.
Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru
HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang
terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat antiHIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang
memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak
dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan
yang tidak mencukupi.
WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan
melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini,
mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah
penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di
negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun

demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah
yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang
terinfeksi".
3. Penularan masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat
penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun
demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan
cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.
Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat
persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan
risiko penularan sebesar 4%.
2.4. Gejala Klinis dan Infeksi Oportunistik
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh
yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV
mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar
menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan
yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam,
berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah,
serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga
tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat
hidup pasien.
Infeksi oportunistik lainnya

10

Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi
Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat
menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan
gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan
kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut
Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis
dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal

11

Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai
gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi
seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS
akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening
(sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan
pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang
disebut AIDS.
Stadium klinis HIV menurut WHO :
1. Stadium klinis 1 : asimptomatis, limfadenopati meluas persisten, aktivitas normal
2. Stadium klinis 2 : simptomatis, aktivitas normal
o

BB menurun <10% dari BB semula

Kelainan kulit dan mukosa ringan seperti dermatitis seboroik,


Papular Prurutic Eruption (PPE), infeksi jamur kuku, ulkus oral yang
rekuren, cheilitis angularis

Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

ISPA, seperti sinusitis bacterial

3. Stadium klinis 3 : selama 1 bulan terakhir tinggal di tempat tidur <50%


o

BB menurun >10% dari BB semula

12

Diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya > 1 bulan

Demam tanpa sebab yang jelas > 1 bulan (intermiten atau konstan)

Kandidiasis oral

Hairy leukoplakia oral

TB paru dalam 1 tahun terakhir

Infeksi bakteri berat (pneumonia)

Angiomatosis basiler

Herpes zoster yang berkomplikasi

4. Stadium klinis 4 : berbaring di tempat tidur selama 1 bulan terakhir > 50%
o

HIV wasting syndrome (BB turun 10% + diare kronik >1bulan atau
demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)

Pneumonia pneumocystis (PCP)

Toksoplasmosis pada otak

Kriptosporidosis, Microsporidiosis dengan diare > 1 bulan

Kriptokokosis ekstra paru

Cytomegalovirus (CMV) pada 1 organ selain hati, limpa, kelenjar


getah bening (mis:retinitis)

Herpes simplex virus (HSV) mukokutaneus >1 bulan

Kandidiasis esophagus, trakea, bronkus atau paru-paru

Mikobakteriosis atipik disseminate atau di paru

Septikemi salmonella non tifoid

TB ekstra paru

Limfoma

Sarkoma Kaposi

Ensefalopati HIV (gangguan dan/atau disfungsi motorik yang


mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan berlangsung beberapa
minggu/bulan yang tidak disertai penyakit lain.

13

Langkah-langkah diagnosis :
1. Lakukan anamnesis gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait dengan AIDS
2. Telusuri perilaku berisiko yang memungkinkan penularan
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker terkait.
Jangan lupa perubahan kelenjar dan pemeriksaan mulut.
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosit total dan antibody HIV.
Bila hasil pemeriksaan antibody positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah CD4,
protein purified derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi sitomegalovirus, serologi
PMS, hepatitis, dan pap smear. Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah
CD4. Bila > 500 maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500
maka diulang tiap 3-6 bulan, dan bila < 200 diberikan profilaksis pneumonia Pneumocystis
carinii. Pemberian profilaksis INH tidak tergantung pada jumlah CD4.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat
antiretroviral dan memantau hasil pengobatan. Bila tidak tersedia peralatan untuk
pemeriksaan CD4 (mikroskop fluoresensi) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 =
1/3 X jumlah limfosit total.
2. 5. Manifestasi Pada Kulit
MOLOSKUM KONTAGINOSUM
Moluskum kontagiosum (MK) merupakan penyakit yang ringan namun dapat berkembang menjadi penyakit
infeksi virus yang menjadi masalah pada anak-anak. Karakteristik penyakit ini yaitu permukaan halus, papul
berbentuk kubah yang biasanya disertai eritem (dermatitis moluskum). Pasien dan keluargannya merasa
terganggu oleh lamanya perjalanan penyakit ini sebab penyakit ini bisa bertahan selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Moluskum Kontagiosum merupakan perlu diperhatikan pada individu dengan
imunokompromais dan dermatitis atopik, dimana masa infeksi menjadi lebih ekstrim. Penyakit ini menular
melalui hubungan seksual bagi orang dewasa namun tidak bagi anak-anak.[1] Infeksi melalui seksual bagi anakanak bisa saja terjadi pada kasus-kasus pelecehan seksual. Meskipun penyebarannya luas, Moluskum
kontagiosum biasanya terlihat di daerah genital, perineal dan seluruh tubuh pada anak-anak, dan pada kasuskasus pelecehan biasanya tidak nampak kecuali ditemukan lesi yang mencurigakan.[2

14

Gambaran Klinis
Lesi kutaneus. Moluskum Kontagiosum sering memperlihatkan papul kecil merah
muda yang dapat membesar, biasanya membesar hingga 3 cm (giant molluscum). Seiring
pembesarannya, permukaan bentuk kubah dan morfologi seperti mata kucing dapat semakin
jelas. Lesi dapat memiliki umblikasi, terdapat substansi seperti putih dadih dapat dilihat
dengan tekanan. Pada kebanyakan pasien berkembang beberapa papul, sering pada tempat
yang intertriginosa, seperti aksilla, fossa poplitea, dan panggul. Lesi pada genital dan perianal
dapat berkembang pada anak-anak dan jarang yang memiliki kaitan dengan hubungan
seksual. Lesi ini digolongkan dalam cluster atau dalam bentuk linear. Biasanya merupakan
hasil dari koebnerisasi atau perkembangan lesi pada trauma. Eritema dan eksema dapat
muncul di sekitar lesi; hal ini disebut Moluskum dermatitis. Papul dapat menjadi eritematosa,
hal ini dipercaya merupakan respon imun dari infeksi. Pasien dengan sindrom
immunodefisiensi dapat memperlihatkan lesi yang besar dan ekstensif baik di daerah genital
maupun ekstra genital.[1]

15

Penatalaksanaan
Pada umumnya penyakit ini dapat sembuh sendiri tanpa komplikasi pada pasien
imunokompeten. Sebelum melakukan penatalaksanaan sebaiknya mendiskusikan terlebih
dahulu dengan keluarga pasien mengenai resiko dan keuntungan pengobatan. Banyak ahli
menggunakan cabtharidin 0,7% atau 0,9% liquid untuk pengobatan MK. Cabtharidin
merupakan ekstrak dari serangga, Cantaharis vesicatoria, yang merangsang vesikulasi pada
dermoepidermal ketika dioleskan secara topikal pada kulit. Obat ini harus dioleskan dengan
hati-hati dan dicuci

sekitar dua sampai enam jam kemudian. Tidak dianjurkan untuk

penggunaan pada wajah atau daerah genital, dan keluarga harus dikonseling berhubungan
dengan resiko ringan dari reaksi ekstrim atau bekas luka. Pengobatan tradisional, yaitu
kuretase dan kriptoterapi, meskipun kedua pengobatan ini memberi rasa sakit, penggunaan
anastesi topikal dapat menghilangkan rasa sakit. Kebanyakan pasien memilih pengobatan
cantharidin topikal sebab dirasakan paling efektif dan tidak sakit. Pengobatan terapi topikal
lainnya yaitu retinoid cream, Imiquimod cream, asam salisilat, cidofovir, pasta silvernitrat
dan tape stripping. Cimetidine oral telah menunjukkan kesuksesan. Analisis dari Cochrane

16

database menunjukkan hanya lima terapi yang berkualitas tinggi, ditemukan hasil tidak ada
satupun intervensi yang meyakinkan efektifitas dari pengobatan moluskum kontagiosum. [1]
Marsal JS dkk melakukan penelitian yang menunjukkan KOH dapat berpotensi
menjadi pengobatan yang efektifdan aman bagi MC pada penanganan utama dan mengurangi
rujukan ahki kulit dan rumah sakit. Sebagai tambahan KOH menjadi pengobatan alternatif
yang murah dan sah untuk pengobatan invasif saai ini. [6]
KONDILOMA AKUMINATA
Kondiloma akuminatum ialah vegetasi oleh human papilloma virus tipe tertentu,
bertangkai dan permukaannya berbenjol..
Etiologi
Virus penyebabnya adalah virus papilloma humanus (VPH)ialah virus DNA yang
tergolong dalam keluarga virus papova. Sampai saat ini telah dikenal sekitar 60 tipe VPH
namun tidak seluruhnya dapat menyebabkan kondiloma akuminatum. Tipe yang pernah
ditemui pada kondiloma akuminatum adalah tipe 6, 11, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39, 41, 42, 44,
51,dan 52.
Gejala klinik
Penyakit ini terutama terdapat didaerah lipatan yang lembab, misalnya didaerah
genitalia eksterna. Pada pria tempat predileksinya diperineum dan sekitar anus, sulkus
koronarius, glans penis, muara uretra ksterna, korpus dan pangkal penis. Pada wanita
didaerah vulva dan sekitarnya, introitus vagina, kadang pada porsio uteri. Ada wanita yang
banyak mengeluarkan flour albus atau wanita yang hamil pertumbuhan penyakit lebih cepat.
Kelinan kulit berupa vegetasi yang bertangkai dan berwarna kemerahan kalau masih baru,
jika telah lama akan kehitaman. Permukaannya berbenjol (papilomatosa) sehingga pada
vegetasi yang besar dapat dilakukan percobaan sondase. Jika timbiul infeksi sekunder warna
kemerahan akan berubah menjadi keabu-abuan dan berbau tidak enak.
Vegetasi yang besar disebut sebagi glant condyloma (Buschke) yang pernah
dilaporkan menimbulkan degenerasi maligna, sehingga harus dilakuakan biopsi.

17

Pengobatan
1. Kemoterapi
a. Podofilin
Yang digunakan adalah tingtur pedofilin 25%. Kulit disekitarnya dilindungi dengan
vaselin atau pasta agar tidak terjadi iritasi, setelah 4-6 jam dicuci. Jika belum ada
penyembuhan bisa diulangi setelah 3 hari. Setiap kali pemberian jangan melebihi 0,3
cc karena akan diserap dan bersifat toksik. Gejala tosisitas berupa mual, muntah,
nyeri abdomen, gangguan saluran napas, dan keringat yang disertai kulit dingin.
b. Asam triklorasetat
Digunakan larutan dengan konsentrasi 50% dioleskan tiap minggu. Pemberiannya
harus hati-hati karena dapat menimbulkan ulkus yang dalam. Dapat diberikan pada
wanita hamil.
c. 5-flourourasil
Konsentrasinya antara 1-5% dalam krim, dipakai terutama pada lesi di meatus uretra.
Pemberiannya setiap hari sampai lesi hilang. Sebaiknya penderita tidak miksi selama
2 jam setelah pengobatan.
d. Imunoterapi
Pada penderita dengan lesi yang luas dan resisten terhadap pengobatan dapat
diberikan pengobatan bersama imunostimulator.

HERPES SIMPLEKS
Infeksi yang disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe I atau tipe II yang
ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok diatas kulit yang sembab dan eritematosa
pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekurens.
Gejala klinis
Infeksi VHS ini berlangsung dalam 3 tingkat.
1. Infeksi primer
Tempat predileksi VHS tipe 1di daerah pinggang keatas terutama didaerah mulut an
hidung. Biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara
kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter, pada orang yang sering

18

menggigit jari. Virus ini juga sebagi penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer VHS
tipe II mempunyai tempat predileksi terutama didaerah genitalia.
Infeksi primer berlansung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering
disertai gejala sistemik misalnya demam, malese dan anoreksia.
Kelainan klinis yang dapat dijumpai berupa vesikel eritematosa, berisi cairan jernih
dan kemudian menjadi seropurulen dapat menjadi krusta dan kadang mengalami
ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Umumnya didapati pada
orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks.
2. Fase laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi vhs dapat
ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsali dalam keadaan tidak aktif, dengan
mekanisme pacu jadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis.
Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur,
hubungan seksual, dan sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi),
dab dapat pula timbul akibar jenis makanan dan minuman yang merangsang.
Pengobatan
Pada lesi yang dini dapat digunakana obat topikal berupa salap/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara aplikasi,
yang sering dengan interval beberapa jam. Preparat asiklovir yang dipakai secara topikal
tampaknya memberikan masa depan yang lebih cewrah. Asiklovir ini cara kerjanya
mengganggu replikasi DNA virus. Jika timbul ulserasi dapat dikompres. Pengobata oral
berupa asiklovir tampaknya m,emberikan hasil yang baik, penyakit berlangsung lebih singkat
dan masa reurensnya lebih panjang. Dosisnya 5x200 mg sehari selama 5 hari.

HERPES ZOOSTER
Herpes zoster merupakan penyakit infeksi oleh virus varisela zoster yang menyerang
kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi sebagai reaktivasi virus
varisela zoster yang masuk melalui saraf kutan selama episode awal cacar air, kemudian
menetap di ganglion spinalis posterior. Herpes zoster umumnya terjadi pada orang dewasa,

19

terutama orang tua dan individu yang mengalami imunitas tubuh yang kurang. Adapun faktor
penting yang mempengaruhi penyakit ini adalah Umur,obat imunosupresif, limfoma,
kelelahan, gangguan emosional, danterapi radiasi yang berdasarkan hasil penelitian terbukti
juga dapat terlibat dalam pengaktifan kembali virus herpes, yang kemudian perjalanan
kembali kesaraf sensorik dan menginfeksi. (1,5)
Varisella-zoster virus (VZV) saat pertama kali menyerang kulit dan mukosa manusia
sebagai suatu infeksi akut primer akan memberikan gambaran berupa ruam vesikuler yang
simetris bilateral pada sebagian besar bagian tubuh terutama dibagian sentral tubuh, disertai
rasa gatal, dengan penyembuhan yang cepat, dan sebagian besar terkena pada anak-anak.
Setelah virus ini menyerang manusia sebagai virus penyebab cacar air kemudian virus
mengalami reaktivasi dan menyebabkan penyakit herpes zoster dengan gambaran berupa
ruam vesikuler yang berbatas pada satu dermatom disertai dengan keluhan nyeri.Pemberian
antivirus secara dini sangat penting, karena mampu meminimalisir resiko komplikasi berat
akibat penyakit herpes zoster. (1,5)
ETIOLOGI
VZV adalah anggota keluarga virus herpes. 23 spesies lainnya patogen bagi manusia
termasuk HSV-l dan HSV-2, sitomegalovirus, Epstein-Barr, human herpes virus-6 (HHV-6)
dan HHV-7, yang menyebabkan roseola, dan sarkoma Kaposi yang terkait virus herpes yang
disebut HHV-8.Virus varisella zoster ini mengandung kapsid yang berbentuk isokahedral
dikelilingi dengan amplop lipid yang menutupi genom virus, dimana genom ini mengandung
molekul linear dari double-stranded DNA.Diameternya 150-200 nm dan memiliki berat
molekul sekitar 80 million. Meskipun virus ini memiliki kesamaan structural dan fungsional
dengan virus herpes simpleks, namun keduanya memiliki perbedaan dalam representasi,
ekspresi, dan pengaturan gen, sehingga keduanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan gen.
(1,10)

Varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama, yang disebut sebagai
Virus varicella-zoster .Varisela merupakan infeksi primerdengan tahap viremik setelah virus
menetap di dalam sel saraf ganglion sensoris yang menular pada paparan awal dan biasanya
terjadi pada anak-anak. Sedangkan virus herpes zoster adalah reaktivasi dari sisa virus laten.
Virus ini memasuki host melalui sistem pernapasan (nasofaring) infiltrat pada sistem

20

retikuloendotelial dan akhirnya masuk kedalam aliran darah. Bukti viremia bermanifestasi
sebagai lesi pada tubuh yang menyebar.(1)
GEJALA KLINIS
Penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase pre-eruptif, fase eruptif akut dan
fase kronis (neuralgia post herpetik).(2,5)
i.

Fase pre-eruptif atau preherpetik neuralgia


Gejala prodomal yang timbul ialah rasa terbakar, gatal dan nyeri yang terlokalisir

mengikut dermatom atau belum timbul erupsi difus setelah 4-5 hari berikutnya. Tanda-tanda
prediktif pada herpes zoster ialah adanya hiperesthesi pada daerah kutaneus pre erupsi yang
lunak sejajar dengan dermatom.Disertai juga gejala demam, nyeri kepala dan malaise yang
terjadi beberapa hari sebelum gejala lesi timbul, limfadenopati regional juga bisa terjadi pada
pasien. Nyeri segmental dan gejala lain secara bertahap mereda apabila erupsi mulai
muncul .Gejala prodromal mungkin tidak didapatkan pada anak-anak. (5)
ii.

Fase eruptif
Erupsi pada kulit diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian

makulopapular muncul secara dermatomal.Lesikulit yang sering dijumpai adalah vesikel


herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral.Kemudian, vesikel-vesikel
ini terumblikasi dan rupture sebelum menjadi krusta yang terjadi dalam waktu 2 hingga 3
minggu. Dalam 12-24 jam tampak lesi jernih, biasanya timbul di tengah plake ritematosa,
dalam masa 2-4 hari vesikel bersatu, setelah 72 jam akan terbentuk pustul. Vesikel baru akan
tumbuh terus dan berlangsung selama 1-7 hari. Biasanya pada penderita lansia dan memiliki
daya imunitas lemah, masa perbaikan lebih lama

dan erupsinya lebih luas, vesikel

hemoragik, ada nekrosis kulit, infeksi sekunder bakteri atau skar yang biasa berubah menjadi
keloid dan hipertrofik. (1,5)
Erupsi pada kulit

boleh

terjadi

pada

satu

atau

dua

dermatom

yang

berdekatan.Kadang-kadang, beberapa vesikel muncul di garis tengah dan erupsi pada


dermatom jarang terjadi simestris bilateral atau asimetris. Sebanyak 50% penderita dengan
uncomplicated zosterterjadi viremia dengan gambaran 20 hingga 30 vesikel tersebar
dipermukaan kulit dan diluar dermatom. (4,7)

21

Bagian sering terkena adalah dada (55%), kranial (20% dengan keterlibatan
N.Trigeminal), lumbal (15%) dan sakral (5%). Erupsi yang sedikit dapat mencapai
keseluruhan dermatom. (4,7)
Pada kondisi parah, rasa nyeri dapat didiagnosis salah yaitu sebagai infark miokard,
pleuritis. Kadang rasa nyeri tidak diikuti oleh erupsi kulit herpes zoster dan manifestasi klinis
ini dikenal sebagai zoster sine herpete(yaitu zoster tanpa ruam). Dalam beberapa kasus,
wajah, leher, kulit kepala atau ekstremitas mungkin terlibat. (2)
Gambar1.papuleritematosa

Gambar 2 .Vesikel(1)

22

iii.

Gambar 3. Jaringan Nekrotik (1)


Fase kronis atau fase neuralgia post herpetik
Fase ini ditandai dengan adanya nyeri menetap setelah semua lesi menjadi krusta

atau setelah infeksi akut atau sering rekurens yang berlangsung selama sebulan.Keterlibatan
N.Trigeminal sering terjadi pada penderita berumur diatas 40 tahun.Nyerinya dapat di bagi
menjadi 2 tipe yaitu rasa terbakar terus menerus dengan hyperaesthesia dan tipe shooting
spasmodic.Allodinia adalah nyeri akibat dari stimuli yang tidak berbahaya dan disebabkan
oleh simptom stress.(3)

23

Variasi dari sindroma zoster tergantung dorsal root yang terkena, dan intensitasnya
tergantung reaksi inflamasi yang terjadi pada motor root dan anterior horn cells. Nyeri
abdominal, pleura atau gangguan elektrokardiografi yang disebabkan keterlibatan viseral.
Beberapa sindrom yang disebabkan oleh Herpes Zoster, yaitu:
a. Keterlibatan motorik
Onset terjadinya pada 5% kasus dengan penderita yang tua dan melibatkan nervus
spinalis.Erupsi dan nyeri diikuti dengan penurunan motorik. Biasanya mengikuti dermatom
yang disebabkan oleh virus dan bias juga terjadi pada segmen dermatom yang berbeda.
Herpes zoster pada anogenital bisa menyebabkan adanya gangguan defekasi dan urinasi. (3)
b. Herpes zoster trigeminal
Pada kasus herpes zoster trigeminal yang biasa terjadi adalah sebanyak dua pertiga
kasus terjadi pada bagian mata, jika ada vesikel pada hidung akan melibatkan N.nasosiliar
(hutchinsons sign). Komplikasi yang terjadi pada okularadalah uveitis, keratitis,
konjunctivitis, edema konjunctiva (chemosis), palsy ototokular, proptosis, skleritis, oklusi
vaskular pada retina dan ulkus, skar dan bias terjadi nekrosis pada kelopak mata. Keterlibatan
ganglia siliaris dapat menyebabkanArgyll-Robertson pupil.Jika terjadi pada bagian maksilaris
terdapa vesikel pada uvula dan tonsil.Vesikel pada lidah, basal mulut dan mukosa buccal
menunjukkan adanya keterlibatan divisi mandibularis.Pada Zoster orofasial, sakit gigi adalah
petandanya.(3)

Gambar 4. Herpes Zoster oftalmikus (5,9)


c. Herpes zoster otikus

24

N. fasialis merupakan saraf yang utama berjalan dengan fiber-fibersensoris vestigial


pada telinga bagian eksternal (pinna dan meatus) dan fossa tonsilaris. Biasa menyebabkan
rasa nyeri dan vesikel biasanya terdapat pada daerah meatus auditorius eksterna saja, jarang
melibatkan bagian lebih yang dalam. Adapun faktor tertekannya N.fasialis merupakan salah
satu factor terjadinya facial palsy disertai dengan nyeri pada telinga dan yang berkaitan
dengan sindroma Ramsay-Hunt. Tertekannnya N.vestibulokoklearis menyebabkan gangguan
pendengaran sensorineural, vertigo dan keterlibatan N.intermedius mengakibatkan gangguan
pengecapan padadua pertiga lidah dan mengubah system lakrimasi. (3)

Gambar 5.Bells Palsy.(4)


d. Sindroma Ramsay-Hunt
Sindrom ini adalah akibat dari gangguan N.fasialis dan otikus, sehingga memberikan
gejala paralisis otot muka (bells palsy), kelainan kulit sesuai dengan perjalanan saraf,
tinnitus, vertigo, gangguan p endengaran, nistagmus dan nausea,juga gangguan pengecapan.
(3,14)

e. Reaktivasi

VZV

pada

penderita

dengan

system

imun

yang

rendah

(immunocompromised).
Herpes zoster pada penderita immunokompromais dapat mengakibatkan keterlibatan
organ dalam.Organ yang biasa terkena adalah paru, lambung, hati, otak dan terjadi
Disseminated

Intravascular

Coagulopathy.Lesi

kulit

yang

atipik,

hiperkeratotik,

verukosa,dan ektima sering dijmpai pada pasien AIDS.(5)


PENGOBATAN

25

1. Terapi topical
Pada herpes zoster fasa akut, aplikasi kompresi dingin, losen calamine, tepung
jagung, atau soda bikarbonat mampu mengurangi gejala luka dan mempercepat pengeringan
pada lesi vesikuler.Salep yang oklusif, krem, atau losen yang mengadungi glukokortikoid
tidak boleh diaplikasikan pada lesi herpes zoster. Lidocaine patch 10 cm x 14 cm
mengandungi 5% basa lidocaine, adhesive, dan bahan-bahan lain. Selain mudah digunakan,
tidak disertai dengan efek toksisitas sistemik. Pemberian lidocaine patch bisa mencapai
maksimal 3 kali sehari pada bagian yang terkena lesi herpes selama 12 jam sehari. (1)
2. Antivirus
Tujuan utama terapi herpes zoster adalh (1) mengurangkan ekstensi, durasi, dan
severitas nyeri dan ruam pada dermatom primer; (2) megelakkan terjadinya penyakit di
bagian tubuh yang lain; (3) mengelakkan dari terjadinya post-herpetic neuralgia.Asiklovir
yang diperkenalkan pada awal 1980, saat ini menjadi standard pengobatan untuk herpes
zoster dewasa.setelah itu dikembangkan pengobatan generasi kedua yang memperbaiki
faramakokinetik dan farmakodinamik yaitu famsiklovir dan valasiklovir. Ketiga pengobatan
ini tentunya memperbaiki penyembuhan kulit, yang slenajutnya berdampak baik terhadap
nyeri herpes zozter, yang disebut juga zoster associated pain. Nyeri ini bersifat akut dan
kronis, walaupun tidak ada satu obatpun yang bisa mengurangi nyeri pasca herpes zoster
yang menetap. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, sifat lipofilik harus ditingkatkan,
sehingga obat ideal mampu mengeradikasi replikasi awal virus pada ganglia basalis. (1,7)
Pada pasien yang normal, pemberian asiklovir oral (800 mg 5 kali sehari selama 7
hari), famsiklovir (500 mg setiap per 8 jam untuk 7 hari), dan valasiklovir (1 g 3 kali sehari
selama 7 hari) mampu mempercepat proses penyembuhan lesi dan durasi serta severitas nyeri
akut yang dialami oleh pasien herpes zoster (pasien dengan umur kurang dari 50 tahun)
yang dirawat dalam jangka waktu 72 jam selepas timbulnya gejala pada kulit. Pasien dengan
umur lebih dari 50 tahun dan disertai dengan lesi herpes zoster pada bagian oftalmikus pula
diberikan pengobatan seperti berikut, asiklovir (800mg peroral sebanyak 5 kali sehari selama
7 hari), atau valasiklovir (1g peroral setiap per 8 jam selama 7 hari) atau famsiklovir (500mg
peroral setiap per 8 jam selama 7 hari). Pengobatan ini diberikan pada pasien yang dirawat
dalam jangka waktu 72 jam selepas timbulnya gejala pada kulit. (1)

26

Pada pasien dengan penurunan tingkat imunitas yang ringan atau pasien HIV,
diberikan asiklovir (800 mg peroral sebanyak 5 kali sehari selama 7-10 hari) atau valasiklovir
atau famsiklovir. Pada pasien dengan penurunan tingkat imunitas yang berat, diberikan
asiklovir (10 mg/kg secara intravena setiap per 8 jam selama 7-10 hari). (1)
Asiklovir, famsiklover, dan valasiklovir adalah analog nukleosida yang menghambat
replikasi virus herpes, termasuk VZV. Bila diberikan secara oral, obat ini mngurangi durasi
pelepasan virus, mempercepat, mengurangi keparahan dan rasa nyeri yang akut serta
mengurangi resiko untuk menjadi post-herpetic neuralgia. (13)
3. Kortikosteroid
Tingkat nyeri hebat yang tinggi merupakan factor yang dapat menyebabkan
terjadinya post herpetic neuralgia dan nyeri akut juga menyebabkan sensitisasi sentral serta
genesis untuk terjadinya nyeri yang kronik. Oleh sebab itu nyeri pada herpes zoster harus
dikontrol secara agresif.Tingkat nyeri hebat ditentukan dengan menggunakan skala nyeri
yang standar dan mudah. Analgetik yang diberikan adalah analgetik yang opioid dan nonopioid dengan tujuan untuk membatasi nyeri di bawah skala 3 atau 4 dari skala 0 smpai 10
serta tidak mengganggu siklus tidur pasien. Pilihan pengobatan, dosis, dan waktu pemberian
analgetik adalah berdasarkan tingkatan nyeri, penyakit yang menyertai dan respon terhadap
obat.Apabila nyeri masih tidak berkurang, anastesi regional atau lokal bisa dilakukan untuk
mengontrol nyeri akut.

(1)

Prednison memiliki manfaat dalam mereduksi nyeri dalam waktu jangka pendek
tetapi menghilang dalam waktu jangka panjang. Prednison menigkatkan jumlah pasien yang
sembuh dari nyeri herpes pada bulan pertama (resiko relatif 2.28), dan tidak didasari dengan
pemberian asiklovir atau tidak.Asiklovir dan prednison memberikan efek yang signifikan
terhadap pasien agar kembali beraktifitas seperti biasa.Kortikosteroid dapat segera diberikan
pada pasien dengan nyeri sedang hingga berat setelah diagnosa ditegakkan.Pasien dengan
kontraindikasi pemberian kortikosteroid seperti hipertensi, diabetes, gastritis, osteoporosis,
dan psikosis harus dievaluasi dengan teliti.Terapi kortikosteroid hanya diberikan dengan
kombinasi obat antiviral.(15)
Adapun kortikosteroid yang bisa diberikan adalah sebagai berikut: (15)

27

Analgesik opiod (oxycodone) diberikan dengan dosis permulaan 5 mg setiap 4 jam


dan diberikan apabila diperlukan. Dosis bisa ditambahkan 5 mg sebanyak 4 kali
sehari setiap 2 hari.

Tramadol diberikan dengan dosis permulaan 50 mg sebanyak sekali atau dia kali per
hari. Dosis bisa ditambahkan 50 mg hingga 100 mg setiap hari dalam dosis yang
terbagi pada setiap 2 hari.

Gabapentin diberikan sebanyak 300 mg setiap kali sebelum tidur malam hari atau
100 mg atau 300 mg sebanyak 3 kali sehari. Dosis bisa ditambahkan 100 mg hingga
300 mg 3 kali sehari setiap 2 hari.

Pregabalin diberikan dengan dosis permulaan sebanyak 75 mg pada waktu sebelum


tidur atau dua kali sehari. Dosis bisa ditambahkan sebanyak 75 mg 2 kali sehari
setiap setiap 3 hari.

Antidepresi trisiklik (terutamanya nortryptilin) diberikan dengan dosis permulaan


sebanyak 25 mg pada waktu sebelum tidur. Dosis bisa ditambah sebanyak 25 mg
setiap hari setiap 2 atau 3 hari.

Kortikosteroid oral (Prednison) diberikan dengan dosis permulaan 60 mg setiap hari


selama 7 hari. Selepas pemberian 60 mg setiap hari selama 7 hari, dosis siturunkan
sehingga 30 mg setiap hari selama 7 hari, kemudia diturunkan lagi sehingga 15 mg
selama 7 hari. Setelah itu pengobatan dihentikan.

Pengobatan HIV
Penemuan obat anti retroviral yang kuat pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi
dalam perawatan ODHA di Negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit
dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat,
namun secara dramatis menunjukan angka kematian dan kesakitan, peningkatan kualitas
hidup ODHA.
Tujuan pengobatan ARV

28

1.
2.
3.
4.
5.

Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat


Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV
Memperbaiki kualitas hidup ODHA
Memulihkan/ memelihara fungsi kekebalan tubuh.
Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus.

2.6. Obat Anti Virus (Anti Retro Viral)


Terapi antiretroviral berarti mengobati HIV dengan obat-obatan. Obat terebut disebut
obat Anti Retro Viral (ARV) tetapi tidak dapat membunuh virus itu. Meskipun demikian, obat
tersebut dapat memperlambat pertumbuhan virus. ARV sebagai treatment untuk HIV sudah
dikenal sejak 1980, yaitu dengan menggunakan nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI), zidovudine (azidothymidine : AZT, ZDV) dan demonstrasi obat ini saat itu sangat
baik mengurangi simptomp yang ada.7
Saat ini terdapat obat baru yang telah dikembangkan yaitu golongan nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI) dan protease inhibitor (PI).7
NRTI dan NNRTI dipakai secara bersama-sama agar tubuh semakin kuat menghambat
perkembangan virus. Kedua golongan ini bekerja pada tahap awal perkembangan virus yaitu
menghambat terbentuknya RNA, saat proses perubahan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA)
menjadi Ribo Nucleic Acid (RNA). Sedangkan PI berfungsi menghambat terbentuknya
protein baru yang akan menjadi virus baru.7
Pemberian ARV pada umumnya diberikan dalam bentuk kombinasi, karena dapat
menurunkan kejadian resistensi dan kemungkinan efek samping kecil. Dari beberapa
penelitian juga didapatkan bahwa kombinasi 3 obat ARV bermakna dalam peningkatan CD 4
dibandingkan hanya mengkombinasikan 2 obat

10

. Kombinasim yang poten dari tiga atau

lebih dikenal dengan nama highly active antiretroviral therapy (HAART).6


Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada kesediaan pasien untuk mengikuti
komplek regimen obat yang direkomendasikan serta didasarkan pada parameter imunologik
dan virologik. Pasien dengan jumlah limfosit t-cd4 kurang dari 500/mm3 dan hiv rna viral
load lebih dari 10.000 kopi/ml.6
Efek samping NRTI yaitu : Nausea, vomiting, abdominal pain, diarrhoea,
pancreatitis, lactic acidosis, hepatotoxicity, cough, dyspnoea, bone marrow suppression,
fatigue, arthralgia, myalgia, headache, insomnia, fever.11

29

Efek NNRTI Biochemical hepatitis Insomnia, nightmares, depression Clinical and


biochemical hepatitis. 11
Efek samping PPI : Lipohypertrophy especially with NRTIs, dyslipidaemia, insulin
resistance, hyperglycaemia, anorexia, nausea, diarrhoea, vomiting, abdominal pain,
flatulence, hepatotoxicity, pancreatitis, blood dyscrasias, insomnia, fatigue, headache,
dizziness, neurotoxicity, myositis, rhabdomyolysis, osteonecrosis, dysgeusia, anaphylaxis. 11
2.7. NRTI (Nucleocide Reverse Transcriptase Inhibitor)
1.

Zidovudine (AZT)

Sediaan dan dosis

: 250 - 300 mg setiap 12 jam Dosis 250 mg dapat diberikan tanpa


mengurangi efektifivatas AZT dengan kemungkinan timbulnya efek
samping yang lebih rendah. Dosis 250 mg sementara tidak tersedia
di Indonesia. 11

Efek Samping

: Perlu dilakukan Pemantauan efek samping supresi sumsum tulang


(anemi makrositik atau netropeni), Efek Samping lain: asidosis laktat
dengan steatosis hepatitis (jarang); intoleransi gastrointestinal; sakit
kepala; sukar tidur; miopati; pigmentasi kulit dan kuku. 11

2.

Stavudine (d4T)
30 mg; diberikan tiap 12 jam. 11

Sediaan dan dosis

Efek Samping

: Neuropati perifer, lipodistrofi dan laktat asidosis merupakan efek


samping yang sering timbul. Pemeriksaan ketiga gejala tersebut
diatas perlu dilakukan secara terus menerus Efek Samping lain lain:
Pankreatitis. 11

3.

Lamivudine (3TC)

Sediaan dan dosis

150 mg; diberikan tiap 12 jam atau 300 mg setiap 24 jam. 11

Efek Samping

Toksisitas rendah Efek samping asidosis laktat dengan steatosis

hepatitis (jarang). 11
4.

Didanosine (ddI)

Sediaan dan dosis

250 mg ( BB < 60 mg) dan 400 mg ( BB > 60 mg): diberikan

single dose setiap 24 jam (tablet bufer atau kapsul enteric coated). 11

30

Efek Samping

Didanosine merupakan obat dari golongan d drugs bersama

dengan d4T dan ddC. ddI tidak dapat digunakan bersama dengan
d4T karena memperkuat timbulnya efek samping seperti pankreatitis,
neuropati, asidosis laktat, lipoatrofi. Efek samping lain: asidosis
laktat dengan steatosis hepatitis (jarang); mual; muntah; diare.
ddI tidak boleh digunakan bersama dengan Tenovofir karena
interaksi obat yang menyebabkan kadar Tenofovir dalam darah turun
sehingga menyebabkan kegagalan pengobatan .
ddI juga tidak direkomendasikan untuk digunakan bersama dengan
Abacavir karena data pendukung yang tidak cukup.11
5.

Abacavir (ABC)

Sediaan dan dosis

300 mg; diberikan tiap 12 jam ATAU 600 mg setiap 24 jam. 11

Efek Samping

Abacavir mempunyai efek samping hipersensitivitas dengan

insiden sekitar 5 8 % (dapat fatal). Demam, ruam, kelelahan, mual,


muntah, tidak nafsu makan Gangguan pernafasan (sakit tenggorokan,
batuk) asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang). Penggunaan
Abacavir harus dihentikan jika terjadi reaksi alergi dan TIDAK boleh
digunakan lagi (re-start). Efek samping abacavir sama dengan efek
samping Nevirapine dan kotrimoksasol sehingga penggunaan
Abacavir bersama dengan Nevirapine merupakan kontra indikasi
Pada negara maju, pemeriksaan HLA*B5701 sebelum memberikan
Abacavir, jika HLA*B5701 negatif maka Abacavir dapat digunakan
Penggunaan Abacavir dapat menyebabkan cardiomiopati, terjadi
terutama jika viral load > 100,000 copies/ml. 11
6. Emtricitabine (FTC)
Sediaan dan dosis

200 mg setiap 24 jam. 11

Efek Samping

Merupakan turunan dari 3TC, dapat digunakan pada Hepatitis B.

11

2.8. NNRTI (No Nucleocide Reverse Transcriptase Inhibitor)


1.

Tenofovir (TDF)

31

Sediaan dan dosis

300 mg; diberikan single dose setiap 24 jam (Catatan: interaksi

obat dengan ddI, tidak lagi dipadukan dengan ddI). 11


Efek Samping

Insufisiensi fungsi ginjal, sindrom Fanconi, sehingga perlu

dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal sebagai data awal (baseline


data). Astenia, sakit kepala, diare, mual, muntah, perut kembung;
Penurunan bone mineral density; Osteomalasia. 11
2.

Nevirapine

Sediaan dan dosis

: 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12


jam. 11

Efek Samping

Efek samping pada nevirapine adalah dose dependent, sehingga

untuk 2 minggu pertama dilakukan eskalasi dosis 200mg/dosis


tunggal dan 200 mg /12 jam pada hari ke 15 dan seterusnya. Jika
Nevirapine digunakan untuk mengganti (substitusi) Efavirense maka
nevirapine langsung diberikan dengan dosis penuh tanpa escalating
dosis. Efek samping nevirapine lainnya yang perlu diperhatikan
adalah hepatotoksik. Nevirapine dihentikan jika terjadi kenaikan
SGPT > 5 kali dari baseline. Nevirapine dihentikan jika terjadi
steven Johnson sindrom dan tidak boleh di ulang kembali.
Pemberian nevirapine pada wanita dengan CD4 > 250 dan pria
dengan CD4 > 400 perlu dilakukan. Pemantauan ketat terhadap
timbulnya reaksi alergi. Nevirapine TIDAK boleh digunakan untuk
Post

Exposure

Prophylaxis

(PEP).

Nevirapine

dapat

dipertimbangkan untuk digunakan bersama dengan Rifampisin jika


Efaviren merupakan kontraindikasi. 11
3.

Efavirenz

Sediaan dan dosis

600 mg; diberikan single dose 24 jam (malam) hari. 10

Efek Samping

Gejala SSP: pusing, mengantuk, sukar tidur, bingung, halusinasi,

agitasi, seperti susah konsentrasi, insomnia, vivid dream, depresi,


skizofrenia,

peningkatan

kadar

transaminase,

hiperlipidemi,

ginekomasti, ruam kulit. Potensi teratogen merupakan obat pilihan


utama pada ko-infeksi TB/HIV. Mempunyai profile efek samping

32

yang sama dengan nevirapine dengan insiden yang lebih rendah.


Pemantauan efek samping pada gangguan mental. Pada wanita
hamil, Efavirenz diberikan setelah trimester pertama, Dilaporkan
menyebabkan

false

benzodiazepine.

11

positif

pada

skrining

cannabis

dan

2.9. Protease Inhibitor (PI)


1.

Lopinavir/ ritonavir (LPV/ r)

Sediaan dan dosis

Tablet heat stable lopinavir 200 mg + ritonavir 50 mg: 400

mg/100 mg setiap 12 jam

Untuk pasien dalam terapi TB yang

mengandung Rifampisin digunakan LPV 800 mg + RTV 200 mg dua


kali sehari, dengan pemantauan ketat keadaan klinis dan fungsi hati.
11

Efek Samping

: Efek samping metabolik seperti hiperglikemia (diabetes),


hipercholestrolemi, lipoakumulasi perlu dimonitor pada penggunaan
jangka

panjang

Intoleransi

gastrointestinal,

mual,

muntah,

peningkatan enzim transaminase. Kontra indikasi relatif untuk


digunakan bersama dengan Rifampisin karena adanya interkasi obat
yang menyebabkan kadar LPV/r hilang hingga 90%. 11
Lini Pertama

2 NRTI + 1 NNRTI

Tabel 3.2.1. Obat yang dapat digunakan sebagai berikut 11:


AZT + 3TC + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) +

(Zidovudine + Lamivudine +
Nevirapine)
(Zidovudine + Lamivudine +
Efavirenz)
(Tenofovir + Lamivudine

ATAU
ATAU
ATAU

33

NVP
TDF + 3TC (atau FTC) +
EFV

(atau Emtricitabine) +
Nevirapine)
(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz

Tabel 3.2.2. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV 11
Populasi Target

Pilihan yang
direkomendasikan

Catatan
Merupakan pilihan paduan

Dewasa dan anak

AZT atau TDF + 3TC (atau yang sesuai untuk sebagian


FTC) + EFV atau NVP

besar pasien
Gunakan FDC jika tersedia
Tidak boleh menggunakan

Perempuan hamil

AZT + 3TC + EFV atau NVP EFV pada trimester pertama


TDF bisa merupakan pilihan
Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat

Ko-infeksi HIV/TB

AZT atau TDF + 3TC (FTC) ditoleransi (antara 2 minggu


+ EFV

hingga 8 minggu) Gunakan


NVP atau triple NRTI bila
EFV tidak dapat digunakan
Pertimbangkan pemeriksaan

Ko-infeksi HIV/Hepatitis B

TDF + 3TC (FTC) + EFV

kronik aktif

atau NVP

HBsAg terutama bila TDF


merupakan paduan lini
pertama. Diperlukan
penggunaan

2.10.

Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor

(NNRTI)

34

Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama dalam
paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila tidak ditemukan tanda
toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan
selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2
minggu pertama terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga
mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini. 11
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari 14 hari,
maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.
Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI 11:
1.

Hentikan NVP atau EFV

2.

Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian Nevirapine dan
Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah penghentian Efavirenz) kemudian
hentikan semua obat. Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang
dan menurunkan risiko resistensi NNRTI.

1.

Pilihan pemberian Triple NRTI


Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat

ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut 11:


1.

Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin

2.

Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV

3.

Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI


Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah 11:

AZT+3TC +TDF
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu pasien
perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi virologisnya kurang kuat. 11
4.

Penggunaan Protease Inhibitor (PI)


Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk terapi Lini

Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini Pertama hanya bila
pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau

35

Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini
Kedua. mengingat sumber daya yang masih terbatas. 11

Tabel 3.2.3. Panduan obat ARV yang tidak dianjurkan 11


Paduan ARV
Mono atau dual terapi untuk pengobatan
infeksi HIV kronis

Alasan tidak dianjurkan


Cepat menimbulkan resisten
Antagonis (menurunkan khasiat kedua

d4T + AZT

obat)
Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis,

d4T + ddI

hepatitis dan lipoatrofi)


Pernah dilaporkan kematian pada ibu hamil
Bisa saling menggantikan tapi tidak boleh

3TC + FTC
TDF + 3TC + ABC atau
TDF + 3TC + ddI
TDF + ddI + NNRTI manapun

digunakan secara bersamaan


Paduan tersebut meningkatkan mutasi
K65R dan terkait dengan seringnya
kegagalan virologi secara dini
Seringnya kegagalan virologi secara dini

Lini Kedua
Rekomendasi paduan lini kedua adalah 11:

2 NRTI + boosted-PI
1.

Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah
ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis dengan
kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir). 11

36

2.

Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi dosis


dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka dosis yang diperlukan menjadi
tinggi sekali. 11

Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh pemerintah
adalah 11:

TDF atau AZT + 3TC + LPV/r


1.

Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC
atau FTC) sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. 11

2.

Apabila pada lini pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai
dasar NRTI sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. 11
Tabel. Dosis Antiretroviral untuk ODHA dewasa

Abacavir (ABC)

300mg setiap 12 jam


400 mg sekali sehari

Didanosine (ddI)

(250 mg sekali sehari jika < 60)

Lamivudine (3TC)
Stavudine (d4T)

(250 mg sekali sehari bila diberikan bersama TDF)


150 mg setiap 12 jam atau 300mg sekali sehari
40 mg setiap 12 jam

(30 mg setiap 12 jam bila BB <60 kg)


Zidovudine(ZDV atau 300 mg setiap 12 jam
AZT)
Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF)

300 mg sekali sehari (cat: interaksi obat dengan ddI, dosis ddI
perlu dikurangi)

Non-nucleoside RTIs
Efavirenz (EFV)
Nevirapine (NVP)

600 mg sekali sehari


200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12
jam

Protease inhibitors
Indinavir/ritonavir

800 mg/100 mg setiap 12 jamb,c

(IDV/r)
Lopinavir/ritonavir

400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12 jam

(LPV/r)

bila dikombinasi dengan EFV atau NVP)

37

Nelfinavir (NFV)
Saquinavir/ritonafir

1250 mg setiap 12 jam


1000 mg/100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg/200 mg sekali

(SQV/r)
Ritonavir (RTV,r)e

seharic,d
Capsule 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml

2.11.Pencegahan HIV
Cara Pencegahan :

Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan
penyuntikan atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka

Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang
tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan
penularan HIV)

Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko
dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya,
sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.

Ada tiga cara:

Abstinensi (atau puasa, tidak melakukan hubungan seks)

Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia
kepada pasangannya

Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan


melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom

Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau
cukur) harus disterilisasi dengan benar

Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan
orang lain

38

BAB III
KESIMPULAN

HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang
terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus,
namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
Gejala klinis pada awal infeksi, seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam
dan pembengkakan kelenjar getah bening. Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi
selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan
penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang
kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek. Selama fase akhir dari HIV,
yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul
dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
Terapi dewasa ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri atas dua NRTI
ditambah salah satu NNRTI atau Abacavir atau protease inhibitor. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi
kronis terhadap obat, namun secara dramatis menunjukan angka kematian dan kesakitan,
peningkatan kualitas hidup ODHA.

Cara pencegahan penularan hiv yang baik antara lain Abstinensi (atau puasa, tidak
melakukan hubungan seks)

, Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti

pasangan dan saling setia kepada pasangannya , Untuk yang melakukan hubungan seksual
yang mengandung risiko, dianjurkan melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom.

39

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral 2004, Jakarta.
2. Mansjoer, Arif, dkk, Acquired immunodeficiency syndrome dalam Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi ketiga, jilid I Media Aesulapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta : 2001, hal : 573 579.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
4. Baratawidjaja, Karnen, Iris Rengganis. Imunologi Dasar Edisi IX,

Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 2010, hal : 499-512


5. Wolff K, Johnson RA. Seborrheic dermatitis. In: Fitzpatricks color atlas &

synopsis of clinical dermatology. 8th ed. Massachuets: The McGraw-Hill


Companies; 2012. p. 3465-3467
6. Fritsch PO, Reider N. Seborrheic dermatitis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,

Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. USA: Mosby Elsevier; 2008. Chapter
14.p.1166
7. Astari L.eds. Viral Load pada Infeksi HIV (Viral Load in HIV Infection).

2009. [cited.2009. April]. FK UNAIR Jurnal.volume 21. NO 1.


8. Lopez, F.V. and R.J. Hay, Parasitic Worms and Protozoa, in Rook's Textbook

of Dermatology, T. Burns, et al., Editors. 2010, Wiley-Blackwell: Oxford. p.


33.1-33.59
9.

Retnowati.E. correlation between the methods of flowcytrometry, manual


light and fluorescence microscopes for CD4 cell count in normal adult.

40

Airlangga University school of medicine.2004. [cited.2004. September].


Surabaya : folia medica indonesiana journal.Volume.40.No.3
10. Umami NR.eds.Detection and Identification of Human Enteroviruses among

Healthy Children in Antajaya. 2009. [cited.2009.April]. Bogor.UI Jurnal.


Volume.2 No1.
11. Rahmadini Y.eds. Perbandingan Efikasi Beberapa Kombinasi Antiretroviral

Pada Pasien Hiv/Aids Ditinjau Dari Kenaikan Jumlah Cd4 Rata-Rata


(Analisis Data Rekam Medis Di Rsk Dharmais Jakarta Tahun 2005 2006).
2008. [cited.2008.Agustus]: UI Jurnal. Volume 5. No 2.
12. DEPKES RI. Tatalaksana pemberian ARV,in: Bakti Husada,ed. Pedoman

Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang
dewasa.Indonesia.Kemenkes RI:2011.p. 76-79

41

42

Anda mungkin juga menyukai