Anda di halaman 1dari 17

D

I
S
U
S
U
N
OLEH :

NAMA

: INIKE YULIA PUTRI

KELAS

: XI IPA 1

PELAJARAN

: SENI BUDAYA

GURU PEMBIMBING : RAMLANI, SE

SMA NEGERI 1 PINTU RIME GAYO


KECAMATAN PINTU RIME GAYO
KABUPATEN BENER MERIAH
TAHUN AJARAN 2013-2014
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil Alamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang
kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat,

taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul ADAT ISTIADAT DAN KEBUDAYAAN GAYO.

Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan segenap
keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar.
Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,
namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar skripsi ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini
bermanfaat bagi semua pembaca.

Sp. Lancang , 2 Juni 2014

Penulis,
Inike Yulia Putri

ADAT ISTIADAT

Kebudayaan Gayo timbul sejak orang Gayo bermukim di wilayah ini dan mulai
berkembang sejak kerajaan Linge Pertama abad ke X M. atau abad ke IV H, meliputi aspek
kekerabatan, komunikasi sosial, pemerintahan, pertanian kesenian dan lain lain. Adat istiadat
sebagai salah satu unsur Kebudayaan Gayo Menganut Prinsip Keramat Mupakat, Behu Berdedale
( Kemulian karena Mufakat, Berani Karena Bersama ), Tirus lagu gelas belut lagu umut rempak
lagu resi susun lagu belo ( Bersatu Teguh ) Nyawa sara pelok ratep sara anguk (kontak Batin ) atau
tekad yang melahirkan kesatuan sikap dan perbuatan, banyak lagi kata kata pelambang yang
mengandung kebersamaan dan kekeluargaan serta keterpaduan. Pemerintah dan ulama saling harga
menghargai serta menunjak pelaksanaan agama.

Sistem Nilai Budaya Gayo


Di masa lalu masyarakat Gayo telah merumuskan prinsip prinsip adat yang disebut
kemalun ni edet. Prinsip adat ini menyangkut harga diri (malu) yang harus dijaga, diamalkan, dan
dipertahankan oleh kelompok kerabat tertentu, kelompok satu rumah (sara umah), klen (belah), dan
kelompok yang lebih besar lagi.
Prinsip adat meliputi empat hal berikut ini :
1. Denie terpancang adalah harga diri yang menyangkut hak hak atas wilayah.
2. Nahma teraku adalah harga diri yang menyangkut kedudukan yang sah.
3. Bela mutan ialah harga diri yang terusik karena ada anggota kelompoknya yang disakiti atau
dibunuh.
4. Malu tertawan ialah harga diri yang terusik karena kaum wanita dari anggota kelompoknya
diganggu atau difitnah pihak lain.

Skema Sistem Nilai Budaya Gayo


Keterangan:
M > mukemel ( harga diri ) Tp > tertip (tertib) St > setie (setia) Sg > semayang Gemasih (kasih
sayang ) Mt > mutentu (kerja keras) An > amanah (amanah) Gm > genap mupakat (musyawarah) At
> alang tulung (tolong menolong) Bs > bersikemelen ( kompetitif)

Skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem nilai budaya Gayo terbagi menjadi nilai
utama yang disebut harga diri (mukemel=M). untuk mencapai harga diri itu, seorang harus
mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai lain, yang disebut nilai penunjang. Nilai nilai
penunjang itu adalah : tertib (Tp), setia (St), kasih sayang (Sg), kerja keras(Mt), amanah
(An), musyawarah(Gm), tolong- menolong(At). Untuk mewujudkan nilai nilai ini dalam
mencapai harga diri mereka harus berkompetisi. Kompetisi itu sendiri merupakan sebuah nilai,
yaitu nilai kompetitif (Bs) yang merupakan nilai penggerak

SUKU GAYO
Suku Gayo

Pengantin Pria Gayo Jaman dulu


Jumlah populasi
kurang lebih 85.000.
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues

Bahasa
Bahasa Gayo
Agama
Islam

Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami pegunungan di tengah Aceh yang
populasinya berjumlah kurang lebih 85.000 jiwa. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di
kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Suku Gayo beragama Islam dan mereka
dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.

SEJARAH

Pada abad ke-11, Kerajaan Linge didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan
Sultan Makhdum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui
dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin
yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial
Belanda.
Raja Linge I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama
Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali Syah), Meurah Johan (Johan Syah) dan
Meurah Lingga (Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal
dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan
kerajaannya yang bernama Lam Krak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamuri atau
Kesultanan Lamuri. Ini berarti Kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan
Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun.
Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Meurah
Mege sendiri dikuburkan di Wih ni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah.
Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja
Linge lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain
lebih memilih untuk mengembara.[1]

DINASTI LINGGA
1. Adi Genali Raja Linge I di Gayo
a. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
b.

Raja Meurah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)

c.

Meurah Silu anak dari Meurah Sinabung (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan

2. Raja Linge II alias Marah Lingga di Gayo


3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh. Pada tahun 1533 terbentuklah
Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja
Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan
Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau
(Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat rajarajanya tapi hanya dua era
1. Raja Sendi Sibayak Lingga (pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

KEHIDUPAN SOSIAL

Rumah Adat Gayo Pitu Ruang


Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong
dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin
oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat,
terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).
Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan
unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili
rakyat.
Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota
suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan
hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan
adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap).
Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga
inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah
panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu
belah (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa
lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan
adat istiadat mata pencaharian yang rumit.
Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka
juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata

pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik
dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu
daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga
banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.

SENI BUDAYA

Budaya tradisional orang Gayo


Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian,
yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian
Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk
hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan,
sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di
samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten
(seni meratap dalam bentuk prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).
Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya
sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong,
dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen,
yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini
diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian,
kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat
setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

SENI DAN TARIAN


1. Didong
2. Didong Niet

3. Tari Saman
4. Tari Bines
5. Tari Guel
6. Tari Munalu
7. Tari Sining
8. Tari Turun ku Aih Aunen
9. Tari Resam Berume
10. Tuah Kukur
11. Melengkan
12. Dabus
Didong

Makanan Khas
Masam Jaeng
Gutel
Lepat
Pulut Bekuah
Cecah
Pengat
Gegaloh

Tari Saman

Tari Guel

TEMPAT WISATA DAERAH GAYO


1. Danau Laut Tawar

Danau Laut Tawar, yang menjadi kebanggaan masyarakat Takengon. Sebagian aktivitas
masyarakat sekitar danau adalah sebagai nelayan. Ikan Depik [Rasbora Tawarensis], merupakan
ikan khas danau laut tawar Aceh Tengah.Banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang
datang ke Takengon, mengunjungi dan menginap di sekitar Danau Laut Tawar. Penduduk asli
Takengon adalah Suku Gayo. Mereka merupakan keturunan dari Batak Karo di Sumatera Utara.
Bahasa daerahnya pun berbeda dengan bahasa daerah penduduk Aceh pada umumnya. Kota
Takengon berhawa sejuk dengan keindahan alamnya yang luar biasa, dan berada di kawasan
dataran tinggi Gayo. Komoditi-komoditi unggulan yang dipasarkan di Kota Takengon adalah
komoditi-komoditi yang berasal dari dataran tinggi Gayo, seperti kopi Gayo (kopi arabika) yang
terkenal yang diekspor ke Jepang, Amerika dan Eropa, tomat, markisa, sayur-sayuran, jagung, cabe
dan kentang. markisa, tomat, cabe, jagung, sayur-sayuran, jeruk keprok Gayo, alpukat, tembakau
dan dammar

2. Batu Belah

Batu Belah (Atu Belah) Bahasa Gayo, Salah Satu Obyek Wisata yang ada di Kampung
Penaron Kecamatan Linge Takengon Aceh Tengah.
Atu Belah bermakna batu belah. Legendanya sudah menjadi cerita rakyat, apakah Atu Belah ini
fakta atau mitos belum ada yang bisa memastikannya, sebahagian masyarakat percaya kalau Atu
belah tersebut benar benar ada dan sebagian masyarakat lainnya mengangap atu belah itu hanya
cerita rakyat. Legenda Atu Belah itu menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pada masa
dahulu di desa Penerun Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah, hidup satu keluarga miskin. Keluarga
itu mempunyai dua orang anak, yang tua berusia tujuh tahun dan yang kecil masih kecil. Ayah
kedua anak itu hidup sebagai petani, pada waktu senggangnya ia selalu berburu rusa di hutan

Di samping itu, ia juga banyak menangkap belalang di sawah, untuk dimakan apabila tidak
berhasil memperoleh binatang buruan. Belalang itu ia kumpulkan sedikit demi sedikit di dalam
lumbung. Pada suatu hari ia pergi ke hutan untuk berburu rusa, di rumah tinggal istri dan kedua
anaknya, pada waktu makan, anak yang sulung merajuk, karena di meja tidak ada daging sebagai
teman nasinya. Karena di rumah memang tidak ada persediaan lagi, maka kejadian ini membuat
ibunya bingung memikirkan bagaimana dapat memenuhi keinginan anaknya yang sangat
dimanjakannya itu. Akhirnya si ibu menyuruh anaknya tersebut untuk mengambil belalang yang
berada di dalam lumbung. (padahal sebelumnya siayah memesan kepada sang ibu jangan di buka
lumbung yang berisikan belalang itu), Ketika si anak membuka tutup lumbung, rupanya ia kurang
berhati-hati, sehingga menyebabkan semua belalang itu habis berterbangan ke luar. Sementara itu
ayahnya pulang dari berburu, ia kelihatannya sedang kesal, karena tidak berhasil memperoleh
seekor rusa pun. Kemudian ia sangat marah ketika mengetahui semua belalang yang telah di
kumpulkan dengan susah payah telah habis terlepas.

Kemudian, dalam keadaan lupa diri si ayah memotong sebelah (maaf) payudara istrinya, dan
memanggangnya, untuk dijadikan teman nasinya. Kemudian wanita malang yang berlumuran darah
dan dalam kesakitan itu segera meninggalkan rumahnya. Dalam keadaan keputusasaan si wanita
tersebut pergi ke hutan, di dalam hutan tersebut si ibu menemukan sebongkah batu, dengan
keputusasaan si ibu meminta kepada batu untuk dapat menelannya, agar penderitaan yang di
rasakanya berakhir. Selepas itu si ibu bersyair dengan kata-kata, Atu belah, atu bertangkup nge
sawah pejanyin te masa dahulu, kalau diartikan dalam bahasa indonesia Batu Belah, batu
bertangkup, sudah tiba janji kita masa yang lalu. Kata-kata itu dinyanyikan berkali-kali secara
lirih sekali oleh ibu yang malang itu. Tiba-tiba suasana berubah, cuaca yang sebelumya cerah
mejadi gelap disertai dengan petir dan angin besar, dan pada saat itu pula batu tersebut terbelah
menjadi dua dengan perlahan-lahan tanpa ragu lagi si ibu melangkahkan kakinya masuk ke tengah
belahan batu tersebut. Setelah itu batu yang terbelah menjadi dua tersebut kembali menyatu. Si ayah
dan kedua anaknya tersebut mencari si ibu, tetapi tidak menemukannya, mereka hanya menemukan
beberapa helai rambut diatas sebuah batu besar, rambut tersebut adalah milik siibu yang tertinggal
ketika masuk kedalam atu belah. Kini atu belah sudah hilang populernya hal itu di buktikan
masyarakat Gayo khususnya generasi sekarang masih banyak yang tidak tau cerita dari legenda atu
belah dan di kwatirkan cerita rakyat ini dengan waktu berlalu makin hilang dengan sendirinya.
Tempat wisata atu belah sudah tidak terawat lagi dan para wisatawan pun tidak pernah lagi kesana,
apakah karena jauh dari pusat kota takengon ataupun karena sudah tidak populer lagi di masyarakat.
3. Umah Edet Pitu Ruang

Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) bahasa Gayo, adalah peninggalan raje
Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin sudah berdiri sejak pra-kemerdekaan. Rumah adat itu
adalah bukti sejarah orang Gayo yang masih ada, tapi sayang tampaknya tidak ada yang peduli
dengan peninggalan sejarah tersebut.

Rumah tua Umah Edet Pitu Ruang (Rumah Adat Tujuh Ruang) bukti sejarah orang Gayo
tersebut letaknya di sebuah kampung pinggiran Danau Lut Tawar tepatnya di Kampung Toweren,
Kecamatan Laut Tawar Aceh Tengah siapa saja boleh melihatnya, tetapi rumah tesebut warnanya
mulai pudar bahkan nyaris hilang dimakan waktu seakan akan tidak ada yang perduli, padahal
rumah itu adalah bukti sejarah yang masih ada di Dataran Tinggi Gayo yang benar-benar asli
peninggalan tidak seperti rumah adat di Linge dan Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon
yang hanya copyan dari bentuk aslinya. Beberapa bagian lantai rumah adat tersebut sudah mulai
lapuk. Begitu juga dengan 27 tiang penyangga dari kayu pilihan dan diukir dengan pahatan
kerawang Gayo sudah mulai bergeser dan tidak lagi tegak lurus. Beberapa batu gunung dipakai
sebagai alas tiang utama agar posisi rumah tetap stabil. Beberapa warga (Petua Kampung) Toeren
tersebut mengatakan saat kami wawancarai, Rumah adat Umah Pitu Ruang Toweren memang
dibuat dari kayu pilihan. Diameter tiang penyangganya pun seukuran dekapan dewasa. Tidak
diketahui tahun berapa rumah itu dibangun, tetapi menurut cerita, bangunannya sudah berdiri
sebelum kolonial Belanda masuk ke Dataran Tinggi Gayo. Umah Edet Pitu Ruang Gayo tersebut
tidak mengunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu dan bermacam-macam ukiran di setiap kayu.
Ukiran tersebut bentuk nya berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan dan ada yang berbetuk seni
kerawang Gayo yang di pahat khusus. Walaupun tidak mengunakan paku tapi kekuatan rumah adat
pitu ruang tersebut sangatlah kuat apalagi bahan kayu yang sangat bermutu pada zaman duhulu,
tetapi bagaimana pun kuatnya tanpa adanya perawatan bangunan tersebut akan roboh dengan
sendirinya di makan zaman. Luas Umah Edet Pitu Ruang itu, panjangnya 9 meter dengan lebar 12
meter. Berbentuk rumah panggung dengan lima anak tangga, menghadap utara. Sementara di
dalamnya terdapat empat buah kamar. Selain empat kamar, ada dua lepo atau ruang bebas di arah
timur dan barat. Semua sambungan memakai ciri khas tersendiri menggunakan pasak kayu. Hampir
semua bagian sisi dipakai ukiran kerawang yang dipahat, dengan berbagai motif, seperti puter tali
dan sebagainya. Di tengah ukiran kerawang terdapat ukiran berbentuk ayam dan ikan yang
melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Sementara ukiran naga merupakan lambang kekuatan,
kekuasaan dan kharisma. Peninggalan Raja Baluntara, bukan hanya bangunan tua yang bertengger
usang di Kampung Toweren Uken, tetapi aset bersejarah lain masih tersimpan rapi oleh pihak
keluarga seperti Bawar. Bawar adalah sebuah tanda kerajaan yang diberikan oleh Sultan Aceh
kepada Raja Baluntara. Selain Bawar yang masih disimpan oleh keluarga keturunan raja itu, ada
piring, pedang, cerka dan sejumlah barang peninggalan yang sangat bersejarah. Di belakang rumah
adat tersebut dahulunya ada rumah dapur di bagian Selatan yang ukurannya sama dengan ruang
utama yang berukuran 9 x 12. Ruangan dimaksud telah hancur. Selain itu, juga ada mersah, kolam
dan roda, alat penumbuk padi dengan kekuatan air yang semuanya juga sudah musnah. Reje
Baluntara merupakan seorang raja yang juga mengusai kawasan hutan sehingga disebut sebagai

Reje Baluntara (raja belantara- red). Menurut cerita yang berkembang foto Reje Baluntara,
ditemukan oleh salah seorang keluarga Reje Baluntara yang bekerja di Jakarta, almarhum Reje
Amat Banta. Dalam sebuah kesempatan ke Belanda, Reje Amat Banta menemukan foto Reje
Baluntara yang dibuat oleh Belanda, kemudian dibawa pulang ke Takengon, kemudian dibuat
lukisannya sesuai foto aslinya. Sekeliling rumah pitu ruang tersebut pada tahun 1990 dubuat pagar
kawat oleh Suaka Sejarah dan Peninggalan Purbakala Banda Aceh, kini rumah itu tidak lagi di
tempati oleh keluarga reje baluntara.
4. Gua Putri Pukes

GOA Putri Pukes merupakan salah satu objek wisata di Kabupaten Aceh Tengah. Ceritanya
diriwayatkan sebagai legenda antara mitos dan fakta. Betul tidaknya legenda Putri Pukes, hingga
sekarang belum ada yang bisa memastikannya. Gua Putri Pukes tempat legenda itu diceritakan, kini
sudah menjadi tempat wisata, tetapi sangat di sayangkan gua tempat manusia yang menjadi batu itu
sudah disemen dan ditambah-tambah sehingga tidak lagi alami. Di dalam gua Putri Pukes tersebut
terdapat batu yang dipercayai adalah Putri Pukes yang telah menjadi batu, sumur besar, kendi yang
sudah menjadi batu, tempat duduk untuk bertapa orang masa dahulu, alat pemotong zaman dahulu.
Abdullah, penjaga gua, Batu putri pukes tersebut membesar karena kadang-kadang batu tersebut
menangis sehingga air mata yang keluar tersebut menjadi batu dan makin lama batu tersebut makin
membesar. Sementara sumur besar kata Abdullah, setiap tiga bulan air di sumur tersebut kering dan
tidak ada air nya, bila ada air orang pintar akan datang untuk mengambil air tersebut. Sedangkan
kendi yang telah menjadi batu tersebut pernah dibawa oleh orang, tetapi dikembalikan lagi karena
dilanda resah setelah mengambilnya. Sedangkan tempat bertapa itu di gunakan oleh orang zaman
dahulu untuk melakukan bertapa guna mencari ilmu dan alat pemotong (pisau) peninggalan

manusia purbakala kata yang ditemukan di dalam goa putri pukes, jelas Abdullah. Tidak semua
orang Gayo mengetahui cerita legenda Putri Pukes, sebagian dari orang Gayo itu mengetahui
legenda itu tetapi tidak mengetahui bagaimana ceritanya. Menurut cerita dan informasi yang
dikumpulkan dari berbagai sumber yang mengetahui tentang legenda Putri Pukes. Gua Putri Pukes
terletak di sebelah utara, tepatnya di Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah Putri
Pukes merupakan nama seorang gadis kesayangan dan anak satu-satunya yang berasal dari sebuah
keluarga di Kampung Nosar, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah. Suatu hari dia, dijodohkan dengan
seorang pria yang berasal dari Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Aceh Tengah
(sekarang Kabupaten Bener Meriah). Pernikahan pun dilaksanakan, berdasarkan adat setempat.
Mempelai wanita harus tinggal dan menetap di tempat mempelai pria. Setelah resepsi pernikahan di
rumah mempelai wanita selesai, selanjutnya kedua mempelai diantar menuju tempat tinggal pria.
Pihak mempelai wanita diantar yang dalam bahasa gayo disebut munenes ke rumah pihak pria ke
Kampung Simpang Tiga Bener Meriah. Pada acara munenes pihak keluarga mempelai wanita
dibekali sejumlah peralatan rumah tangga seperti kuali, kendi, lesung, alu, piring, periuk dan
sejumlah perlengkapan rumah tangga lainnya. Adat munenes biasanya dilakukan pada acara
perkawinan yang dilaksanakan dengan sistem juelen, dimana pihak wanita tidak berhak lagi
kembali ke tempat orangtuanya. Berbeda dengan sistem kuso kini (kesana kemari) atau angkap.
Kuso kini, pihak wanita berhak tinggal di mana saja, sesuai kesepakatan dengan suami. Sementara
sistem angkap, adalah kebalikan dari juelen, pada sistem perkawinan ini, pihak lelaki diwajibkan
tinggal bersama keluarga pihak wanita, disebabkan pihak wanita yang mengadakan lamaran terlebih
dahulu. Pernikahan ini juga disebabkan beberapa hal antara lain, mempelai pria sebelumnya
meminta atau mengemis kepada wali mempelai wanita untuk dinikahkan dengan putrinya, dengan
alasan sangat mencintainya. Sehingga sebagai persyaratannya, pihak pria harus tinggal bersama
keluarga mempelai wanita. Disinilah detik-detik terjadinya peristiwa sehingga nama Putri Pukes
terkenal hingga sekarang, saat akan melepas Putri Pukes dengan iringan-iringan pengantin, ibu Putri
Pukes berpesan kepada putrinya yang sudah menjadi istri sah mempelai pria. Naksebelum kamu
melewati daerah Pukes yaitu daerah rawa-rawa sekarang menjadi Danau Laut Tawar. Kamu jangan
penah melihat ke belakang, kata ibu Putri Pukes. Sang putri pun berjalan sambil menangis dan
menghapus air matanya yang keluar terus menerus. Karena tidak sanggup menahan rasa sedih,
membuat putri lupa dengan pantangan yang disampaikan oleh ibunya tadi. Secara tak sengaja putri
menoleh ke belakang, dengan tiba-tiba putri pukes langsung berubah menjadi batu seperti yang
sekarang kita jumpai di dalam Gua Putri Pukes. Apakah itu hanya mitos atau memang benar-benar
terjadi, tetapi warga setempat percaya kalau cerita Putri Pukes itu benar ada.

Selain tempat-tempat wisata di atas masih banyak lagi tempat-tempat wisata yang terdapat di Takengon Aceh
Tengah, seperti: Pantan Terong, Burni Kelieten, Gayo Waterpark, Loyang Datu, Gua Loyang Koro dll.

-----> sekian <-----

Anda mungkin juga menyukai