Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pembahasan umum mengenai keselamatan dan kesehatan kerja meliputi
beberapa hal, antara lain :
2.1.1 Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja atau Occupational Safety, dalam istilah sehari-hari
sering disebut dengan safety saja, secara filosofi diartikan sebagai suatu pemikiran
dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun
rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil
budaya dan karyanya. Dari segi keilmuan diartikan sebagai suatu pengetahuan dan
penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan
penyakit akibat hubungan kerja. Pengertian Kecelakaan Kerja (Accident) adalah
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan yang merugikan manusia,
merusak harta benda atau kerugian terhadap proses. Pengertian hampir celaka,
yang dalam istilah safety disebut dengan insiden (Incident), ada juga yang
menyebutkan dengan istilah Near-Miss atau Near-Accident, adalah suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan dimana dengan keadaan yang
sedikit berbeda akan mengakibatkan bahaya terhadap manusia, merusak harta
benda atau kerugian terhadap proses. (www.sp.itb.ac.id. 2009)
2.1.2 Kesehatan Kerja
Pengertian sehat senantiasa digambarkan sebagai suatu kondisi fisik,
mental dan sosial seseorang yang tidak saja bebas dari penyakit atau gangguan
kesehatan, melainkan juga menunjukan kemampuan untuk berinteraksi dengan
lingkungan dan pekerjaannya. Paradigma baru dalam aspek kesehatan
mengupayakan agar yang sehat tetap sehat dan bukan sekedar mengobati,
merawat atau menyembuhkan gangguan kesehatan atau penyakit. Oleh karenanya,
perhatian utama dibidang kesehatan lebih ditujukan ke arah pencegahan terhadap
kemungkinan timbulnya penyakit serta pemeliharaan kesehatan seoptimal
mungkin. (www.sp.itb.ac.id. 2009)
5

Status kesehatan seseorang, menurut Blum (1981) ditentukan oleh empat


faktor yakni :
1. Lingkungan, berupa lingkungan fisik (alami, buatan), kimia (organik /
anorganik, logam berat, debu), biologik (virus, bakteri, microorganisme)
dan sosial budaya (ekonomi, pendidikan, pekerjaan).
2. Perilaku yang meliputi sikap, kebiasaan, dan tingkah laku.
3. Pelayanan kesehatan : promotif, perawatan, pengobatan, pencegahan
kecacatan, rehabilitasi.
4. Genetik,

yang

merupakan

faktor

bawaan

setiap

manusia.

pekerjaan mungkin berdampak negatif bagi kesehatan akan tetapi


sebaliknya pekerjaan dapat pula memperbaiki tingkat kesehatan dan
kesejahteraan pekerja bila dikelola dengan baik. Demikian pula status
kesehatan pekerja sangat mempengaruhi produktivitas kerjanya. Pekerja
yang sehat memungkinkan tercapainya hasil kerja yang lebih baik bila
dibandingkan

dengan

pekerja

yang

terganggu

kesehatannya.

(www.sp.itb.ac.id. 2009)
Kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan/kedokteran beserta
prakteknya yang bertujuan agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat
kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial dengan usaha
preventif atau kuratif terhadap penyakit/gangguan kesehatan yang diakibatkan
oleh faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum.
Konsep kesehatan kerja dewasa ini semakin banyak berubah, bukan sekedar
Kesehatan pada sektor industri saja melainkan juga mengarah kepada upaya
kesehatan untuk semua orang dalam melakukan pekerjaannya (Total Health Of All
At Work). (Amerasari, Karmila Febrian. 2008)
2.1.3 Faktor Risiko di Tempat Kerja
Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan kerja,
seperti disebutkan diatas, dalam melakukan pekerjaan perlu dipertimbangkan
berbagai potensi bahaya serta resiko yang bisa terjadi akibat sistem kerja atau cara
kerja, penggunaan mesin, alat dan bahan serta lingkungan disamping faktor
manusianya. Istilah hazard atau potensi bahaya menunjukan adanya sesuatu yang
6

potensial untuk mengakibatkan cedera atau penyakit, kerusakan atau kerugian


yang dapat dialami oleh tenaga kerja atau instansi. Sedang kemungkinan potensi
bahaya menjadi manifest, sering disebut risiko. Baik Hazard maupun Risiko
tidak selamanya menjadi bahaya, asalkan upaya pengendaliannya dilaksanakan
dengan baik. Ditempat kerja, kesehatan dan kinerja seorang pekerja sangat
dipengaruhi oleh:
1. Beban Kerja berupa beban fisik, mental dan sosial sehingga upaya
penempatan

pekerja

yang

sesuai

dengan

kemampuannya

perlu

diperhatikan.
2. Kapasitas kerja yang banyak tergantung pada pendidikan, keterampilan,
kesegaran jasmani, ukuran tubuh, keadaan gizi dan sebagainya.
3. Lingkungan kerja sebagai beban tambahan, baik berupa faktor fisik, kimia,
biologik, ergonomik, maupun aspek psikososial. (www.sp.itb.ac.id. 2009)
2.1.4 Hal-Hal Yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (K3) pada Proyek


Ada beberapa hal penting yang harus mendapatkan perhatian sehubungan
dengan pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) perkantoran/proyek,
yang pada dasarnya harus memperhatikan 2 (dua) hal yaitu indoor dan outdoor,
dan jika diuraikan seperti dibawah ini :
a. Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap
bahaya kebakaran serta kode pelaksanaannya.
b.

Jaringan elektrik dan komunikasi.

c. Kualitas udara.
d. Kualitas pencahayaan.
e.

Kebisingan.

f. Display unit (tata ruang dan alat).


g.

Hygiene dan sanitasi.

h. Psikososial.
i.

Pemeliharaan.

j.

Penggunaan komputer. (www.depkes.go.id/index.php?. 2009)

2.1.5 Permasalahan Dan Rekomendasi


Konstruksi gedung :
Desain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari tahap perencanaan).
Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan yang membahayakan seperti
asbes, dll. Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya, misalnya penggunaan
warna yang disesuaikan dengan kebutuhan. Tanda khusus dengan pewarnaan
kontras/kode khusus untuk objek penting seperti perlengkapan alat pemadam
kebakaran, tangga, pintu darurat, dll. Peta petunjuk pada setiap ruangan/unit
kerja/tempat yang strategis, misalnya dekat lift, dekat tangga, dll. Lampu darurat
menuju exit door. (www.depkes.go.id/index.php?. 2009)
Kualitas Udara :
Kontrol terhadap temperatur ruangan dengan memasang termometer ruangan.
Kontrol terhadap polusi dengan pemasangan "Exhaust Fan" (perlindungan terhadap
kelembaban udara). Pemasangan stiker dan poster "dilarang merokok". Sistem
ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam ruangan (lokasi udara masuk, ekstraksi
udara, filtrasi, pembersihan dan pemeliharaan secara berkala filter AC) minimal
setahun sekali. Kontrol mikrobiologi serta distribusi udara untuk pencegahan penyakit
"Legionairre Diseases ". Kontrol terhadap lingkungan (kontrol di dalam/diluar
kantor), misalnya untuk indoor : penumpukan barang-barang bekas yang
menimbulkan debu, bau, dll. Outdoor : desain dan konstruksi tempat sampah yang
memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan, dll. Perencanaan jendela sehubungan
dengan pergantian udara jika AC mati. Pemasangan fan di dalam lift.
(www.depkes.go.id/index.php?. 2009)
Kualitas Pencahayaan (penting mengenali jenis cahaya) :
Mengembangkan sistem pencahayaan yang sesuai dengan jenis pekerjaan
untuk membantu menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan aman (secara berkala
diukur dengan Luxs Meter). Membantu penampilan visual melalui kesesuaian warna,
dekorasi, dll. Mengembangkan lingkungan visual yang tepat untuk kerja dengan
kombinasi cahaya (agar tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan mata). Perencanaan
jendela sehubungan dengan pencahayaan dalam ruang. Penggunaan tirai untuk
pengaturan

cahaya

dengan

memperhatikan

warna

yang

digunakan.

Penggunaan

lampu

emergensi

(Emergency

Lamp)

di

setiap

tangga.

(www.depkes.go.id/index.php?. 2009)
Jaringan elektrik dan komunikasi (penting agar bahaya dapat dikenali) :
Jaringan elektrik dan komunikasi terdiri dari faktor internal dan eksternal.
Faktor internal antara lain : over voltage, hubungan pendek, induksi arus berlebih,
korosif kabel, kebocoran instalasi, dan campuran gas eksplosif. Sedangkan faktor
eksternal antara lain : faktor mekanik, faktor fisik dan kimia, angin dan pencahayaan
(cuaca), binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan sehingga terjadi hubungan
pendek, manusia yang lengah terhadap risiko, dan bencana alam atau buatan manusia.
(www.depkes.go.id/index.php?. 2009)
Hal-hal tersebut diatas dapat diatasi dengan penggunaan central stabilizer
untuk menghindari over/under voltage. Penggunaan stop kontak yang sesuai dengan
kebutuhan (tidak berlebihan) hal ini untuk menghindari terjadinya hubungan pendek
dan kelebihan beban. Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel
yang sesuai dengan syarat kesehatan dan keselamatan kerja. Perlindungan terhadap
kabel dengan menggunakan pipa pelindung. (www.depkes.go.id/index.php?. 2009)
Kontrol terhadap kebisingan :
Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara. Di depan pintu
ruang rapat diberi tanda " Harap tenang, ada rapat ". Dinding isolator khusus untuk
ruang genset. Hal-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung
dan tata ruang. (www.depkes.go.id/index.php?. 2009)
Display unit (tata ruang dan letak) :
Petunjuk desain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas untuk
perubahan posisi, pemeliharaan dan adaptasi. Konsep desain dan letak furniture (1
orang/2 m). Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang elektromagnetik. Ergonomik
aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya. Tempat untuk istirahat dan sholat.
Pantry dilengkapi dengan lemari dapur. Ruang tempat penampungan arsip sementara.
Workshop Station (bengkel kerja). (www.depkes.go.id/index.php?. 2009)
Hygiene dan Sanitasi :
Untuk area ruang kerja dapat dilakukan pemeliharaan kebersihan ruang dan
alat kerja serta alat penunjang kerja secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di

up grade. Toilet/Kamar mandi disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair,
Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk, larangan berupa
gambar dan sebagainya, penyediaan bak sampah yang tertutup, dan lantai kamar
mandi diusahakan tidak licin. Kantin harus memperhatikan personal hygiene bagi
pramusaji (penggunaan tutup kepala, celemek,

sarung tangan),

penyediaan air

mengalir dan sabun cair, lantai tetap terpelihara, penyediaan makanan yang sehat dan
bergizi seimbang, pengolahannya tidak

menggunakan minyak goreng secara

berulang, penyediaan bak sampah yang tertutup. Secara umum di setiap unit kerja
dibuat poster yang berhubungan dengan pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja.
Psikososial Petugas keamanan ditiap lantai. Reporting System (komunikasi) ke satuan
pengamanan. (www.depkes.go.id/index.php?. 2009)
Mencegah budaya kekerasan ditempat kerja yang disebabkan oleh :
Budaya nerimo atau pasrah, sistem pelaporan macet, ketakutan melaporkan,
dan tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar. Semua hal diatas dapat diatasi
melalui pembinaan mental dan spiritual secara berkala minimal sebulan sekali,
penegakan disiplin ditempat kerja, olah raga di tempat kerja sebelum memulai kerja
dan menggalakkan olah raga setiap hari Jumat. (www.depkes.go.id/index.php?. 2009)
Pemeliharaan :
Melakukan walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester, dengan
memperhitungkan risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi dan kemungkinan
terjadinya. Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan
ketentuan. Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai. Pelatihan
investigasi terhadap kemungkinan bahaya bom/kebakaran/demostrasi/bencana alam
serta Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) bagi satuan pengaman. Aspek
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada perkantoran/proyek (tentang
penggunaan komputer). Pergunakan komputer secara sehat, benar dan nyaman. Halhal yang harus diperhatikan : memanfaatkan kesepuluh jari, istirahatkan mata dengan
melihat kejauhan setiap 15-20 menit, istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja, lakukan
peregangan, udut lampu 45, hindari cahaya yang menyilaukan, cahaya datang harus
dari belakang, sudut pandang 15, jarak layar dengan mata 30-50 cm, kursi ergonomis
(adjusted chair), jarak meja dengan paha 20 cm, dan senam waktu istirahat.
(www.depkes.go.id/index.php?. 2009)

10

Rekomendasi :
Perlu membuat leaflet/poster yang berhubungan dengan penggunaan
komputer disetiap unit kerja. Mengusulkan pada Pusat Promosi Kesehatan untuk
membuat poster/leaflet. Penggunaan komputer yang bebas radiasi (Liquor Crystal
Display).
Dalam pelaksanaan K3 perkantoran perlu memperhatikan 2(dua) hal penting
yakni indoor dan outdoor. Baik perhatian terhadap konstruksi gedung beserta
perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode
pelaksanannya maupun terhadap jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas udara,
kualitas pencahayaan, kebisingan, display unit (tata ruang dan alat), hygiene dan
sanitasi, psikososial, pemeliharaan maupun aspek lain mengenai penggunaan
komputer. Hal diatas tidak hanya meningkatkan dari sisi kesehatan maupun sisi
keselamatan karyawan/pekerja dalam melakukan pekerjaan di tempat kerjanya.
Harapannya rekomendasi ini dapat dijadikan sebagai acuan ataupun perbandingan
dalam

rangka

meningkatkan

pelaksanaan

K3

khususnya

di

perkantoran.

(www.depkes.go.id/index.php?. 2009)

2.2 Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia atau human resources mengandung dua macam
pengertian, yaitu:
a. Sumber daya manusia mengandung pengertian usaha kerja yang dapat
disumbangkan dalam proses produksi yaitu sumber daya manusia yang
mampu bekerja untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Kelompok penduduk yang
mampu bekerja berhubungan dengan usia aau umur, pendidikan,
keterampilan, dan pengalaman serta pendidikan spesialisasinya. Yang
dimaksud dengan tenaga kerja adalah bagian penduduk yang berusia 15
tahun sampai 64 tahun di dalam suatu negara atau bangsa.
b. Sumber daya manusia mengandung pengertian tenaga manajerial atau
faktor dispositif yang dimaksudkan dari sumber daya manusia itu. Faktor
dispositif yang dimaksudkan dari sumber daya manusia itu adalah berupa:
-

Kepemimpinan untuk berpresasi,


11

Perencanaan kegiaan berprestasi,

Pengendalian kegiatan produksi. (Sihotang, A. 2007)

Pembangunan Nasional Indonesia adalah dalam rangka membangun


manusia Indonesia seutuhnya, dalam arti meningkatkan pembangunan jasmani
dan rohani yang berkualitas. Adapun kualias yang dimaksud dari sumber daya
manusia antara lain:
a. Berstamina kuat dan mampu kerja keras,
b. Tangguh, cerdas, terampil, produktif,
c. Mandiri dan memiliki rasa tanggung jawab,
d. Kreatif, inovatif, berdisiplin tinggi, berbudi luhur, dan berorientasi ke masa
depan yang lebih baik. (Sihotang, A. 2007)
2.2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
Pada hakikatnya manajemen sumber daya manusia merupakan gerakan
pengakuan terhadap pentingnya unsur manusia sebagai sumber daya yang cukup
potensial dan sangat dominan pada setiap organisasi. Oleh sebab itu perlu
dikembangkan, sehingga mampu memberi kontribusi yang maksimal terhadap
pencapaian tujuan organisasi maupun pencapaian tujuan pribadi sumber daya
manusia sendiri. (Sihotang, A. 2007)
Manajemen sumber daya manusia adalah keseluruhan proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan terhadap kegiatan pengadaan
seleksi,

pelatihan,

penempatan,

pemberian

kompensasi,

pengembangan,

pengintegrasian, pemeliharaan, dan pelepasan sumber daya manusia untuk


tercapainya berbagai tujuan individu, masyarakat, pelanggan pemerintah, dan
organisasi yang bersangkutan. (Sihotang, A. 2007)
Fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia terdiri dari dua jenis
fungsi, yaitu:
a. Fungsi manajemen yang terdiri dari:
-

Perencanaan,

Pengorganisasian,

Pengarahan,

Pengkoordinasian,
12

Pengawasan.

b. Fungsi operasional yang terdiri dari:


-

Pengadaan,

Seleksi dan tes penyaringan,

Pelatihan pra tugas,

Analisa pekerjaan,

Penempatan,

Pemberian kompensasi,

Pengembangan,

Pengintegrasian,

Pemeliharaan dan kompensasi,

Pelepasan sumber daya manusia atau separation. (Sihotang, A. 2007)

Mempraktekkan dan mengaplikasikan manajemen sumber daya manusia


selalu menghubungkan lima fungsi manajemen terhadap masing-masing fungsi
operasional yang bersangkutan. Sebagai contoh untuk melaksanakan kegiatan
pengadaan sumber daya manusia harus dibuat:
-

Perencanaan pengadaan,

Pengorganisasian pengadaan,

Pengarahan pengadaan,

Pengkoordinasian pengadaan,

Pengawasan. (Sihotang, A. 2007)

Demikian juga untuk melaksanakan fungsi seleksi penyaringan calon


karyawan, harus dimulai dengan pembuatan:
-

Pelaksanaan seleksi penyaringan karyawan,

Pengorganisasian seleksi karyawan,

Pengarahan pada petugas seleksi,

Pengkoordinasian atas aktivias pelaksanaan seleksi. (Sihotang, A.


2007)

Demikian selanjutnya terhadap setiap fungsi operasional selalu diikuti


dengan fungsi manajemen secara keseluruhan. (Sihotang, A. 2007)

13

2.2.2 Perencanaan Sumber Daya Manusia


Perencanaan

sumber

daya

manusia

adalah

keseluruhan

kegiatan

mempertemukan atau menghubungkan tipe-tipe sumber daya manusia sebagai


angkatan kerja dengan kesempatan kerja atau lowongan kerja dan jabatan kerja
yang terbuka pada sector-sektor ekonomi Negara atau bangsa sehingga dapat
meningkatkan produktivitas nasional. (Sihotang, A. 2007)
Perencanaan sumber daya manusia nasional pada prinsipnya merupakan
segala upaya membantu setiap orang anggota masyarakat angkatan kerja untuk
menentukan lowongan pekerjaan yang tepat dan sesuai dengannya pada waktu
yang tepat pula. (Sihotang, A. 2007)
Berdasarkan pengertian perencanaan sumber daya manusia di atas dapat
dikemukakan empat kegiatan pokok yang terkandung dalam perencanaan sumber
daya manusia, yaitu:
a. Besarnya jumlah sumber daya manusia yang ada dan tersedia sekarang
dalam organisasi,
b. Permalan (forecasting) terhadap penawaran tenaga kerja dari angkatan
kerja dengan permintaan (demand) sumber daya manusia dari lapangan
kerja pada waku yang akan dating,
c. Mempersiapkan perencanaan yang akurat dalam rangka mempersiapkan
jumlah sumber daya manusia yang berkualitas untuk mengisi jabatan
pekerjaan yang terbuka di dalam organisasi,
d. Perlu ditumbuhkan mekanisme pengawasan dan evaluasi terutama
terhadap klasifikasi jabatan pekerjaan yang tersedia mengapa sampai
kosong atau lowongan dan tidak diisi dengan sumber daya manusia yang
masih banyak menganggur. (Sihotang, A. 2007)
Dari hasil evaluasi yang menunjukkan ketidakcakapan sumber daya
manusia dengan jabatan pekerjaan, maka dapat direkomendasikan pelatihan atau
pendidikan yang perlu diikuti dan diselesaikan oleh sumber daya manusia yang
masih menganggur, agar dihasilkan sumber daya manusia yang siap pakai.
(Sihotang, A. 2007)

14

2.2.3 Pengembangan Sumber Daya Manusia


Pengembangan sumber daya manusia masih sangat perlu dilakukan
karena ternyata dari hasil penilaian menunjukkan masih banyak kekurangan dan
kelemahan yang perlu diperbaiki, terutama dibidang pengetahuan, kemampuan,
dan keterampilan yang sesuai dengan target-target organisasi. (Sihotang, A:2007)
Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya
manusia adalah suatu proses kegiatan yang harus dilaksanakan organisasi untuk
meningkatkan pengetahuan (knowledge), kemampuan (ability), dan keterampilan
(skill) sumber daya manusia yang sudah tersedia untuk memenuhi tuntutan
pekerjaan yang sedang dihadapi. (Sihotang, A. 2007)
Untuk dapat mengembangkan pengetahuan para karyawan, maka cara-cara
yang dapat dilakukan antara lain adalah:
a. Karyawan diberikan berbagai buku, brosur, surat edaran untuk dibaca dan
dipelajari
b. Sering mengikuti ceramah pengarahan melalui siaran radio dan televisi,
c. Sering dipanggil dan diikutsertakan dalam diskusi, seminar, dan lokakarya,
d. Dilibatkan secara aktif pada acara-acara yang dilaksanakan organisasi
perusahaan,
e. Mengikuti pendidikan yang lebih tinggi seperti kuliah sore dan kursus
pelatihan penjenjangan,
f. Sering melakukan komunikasi dengan serikat pekerja. (Sihotang, A. 2007)
Pengembangan sumber daya manusia yang dimaksudkan ditujukan pada
materi pengembangan yang dominan pada bobot pekerjaan atau jabatan karyawan
yang dimaksud. (Sihotang, A. 2007)
2.3 Hubungan Individu dengan Karyawan
Hubungan-hubungan antara semua pihak yang berkepentingan pada
organisasi usaha sebenarnya adalah hubungan industry yang diupayakan secara
serasi dan harmonis. (Sihotang, A. 2007)
Hal-hal yang meliputi hubungan individu dengan karyawan antara lain :
15

2.3.1 Pemeliharaan Hubungan Industrial


Pemeliharaan hubungan industrial dalam rangka keseluruhan proses
manajemen sumber daya manusia berkisar pada pemikiran bahwa hubungan yang
serasi dan harmonis antara majikan dan pekerja yang terdapat dalam organisasi
usaha mutlak perlu ditumbuhkan dan dipelihara demi kepentingan semua pihak
pada organisasi usaha yang bersangkutan. (Sihotang, A. 2007)
Hubungan kerja biasanya dilakukan secara tertulis ataupun dengan lisan
asalkan kedua belah pihak secara jujur melaksanakan kewajiban dan hak masingmasing selaku mitra kerja. Saling menghormati antara majikan dan pekerja untuk
melaksanakan tugas, kewajiban, dan hak masing-masing pihak yang berhubungan
kerja adalah nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan merupakan filosofi
Hubungn Industrial Pancasila. (Sihotang, A. 2007)
2.3.2 Berbagai Nilai yang Bersaing dalam Sumber Daya Manusia
Pengaruh lingkugan terutama nilai-nilai yang ditimbulkan oleh kondisi
ekonomi, politik, dan sosial budaya sangat besar pengaruhnya pada manajemen
sumber daya manusia. Pengaruh nilai-nilai dalam masyarakat lingkungan sangat
dirasakan pada berbagai bentuk aktivitas manajemen sumber daya manusia sejak
akivitas rekrutmen, seleksi, pelatihan, penempatan, pengembangan, sampai
aktivitas penjatuhan sanksi pemberhentian pegawai yang belum saatnya pension.
(Sihotang, A. 2007)
Berbagai macam nilai yang saling bersaing dalam manajemen sumber
daya manusia terdiri dari :
1. Politis (responsiveness), berkaitan dengan kebutuhan dan persoalan yang
betul-betul hendak diatasi.
2. Efisiensi, berkaitan dengan biaya yang akan dikorbankan dibandingkan
dengan hasil yang akan diperoleh.
3. Nilai efektivitas, berhubaungan dengan pencapaian tujuan yang sudah
ditetapkan.
4. Keadilan sosial, merupakan nilai yang baru mendapat perhatian sejak tahun
1970-an terutama pada lapangan kerja sektor publik.

16

5. Affirmative action, adalah nilai-nilai yang menjadi manifestasi dari keadilan


sosial berupa reward, insentif, dan pekerjaan dalam suatu instansi yang harus
dialokasikan secara adil dan proporsional atas dasar karakteristik sosial
demografi yang ada. (Sihotang, A. 2007)
2.4 Hak-Hak Karyawan
Hak untuk karyawan harus dibicarakan dan disetujui oleh pengusaha dan
pekerja sehingga menguntungkan bagi kedua belah pihak.
2.4.1 Hak-Hak Karyawan Secara Umum
Di era yang semakin mengglobal ini, perusahaan semakin menyadari
bahwa penghargaan dan jaminan atas hak karyawan merupakan faktor yang
menentukan kelangsungan dan keberhasilan bisnis suatu perusahaan. Hak
karyawan itu dapat berupa:
a. Hak atas upah yang adil dan layak, adil disini bukan berarti karyawan
mendapat upah yang merata semuanya, namun juga didasarkan pada
tingkat pengalaman kerja, lamanya bekerja, tingkat pendidikan, serta
perusahaan atau organisasi harus memenuhi upah minimum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Layak berarti besarnya upah tidak boleh
dibawah upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah (UMR).
b. Hak atas kesejahteraan, perusahaan diwajibkan untuk memberikan
kesejahteraan kepada karyawannya seperti pemberian tunjangan hari raya,
pendidikan dan pelatihan kerja, atau pemberian cuti hamil dan melahirkan.
c. Hak untuk berserikat dan berkumpul, para pekerja selayaknya disediakan
wadah untuk menampung aspirasi mereka, untuk memperjuangkan
kepentingannya.
d. Hak untuk mendapat perlindungan dan jaminan kesehatan. Setiap
perusahaan atau organisasi wajib menyediakan jaminan kesehatan dan
melindungi

setiap

pekerjanya,

terutama

untuk

perusahaan

yang

mengandung resiko cukup tinggi. Upaya perusahaan dapat berupa


penyediaan masker dan helm pelindung, memelihara lingkungan tempat

17

kerja, penyediaan alat pemadam kebakaran serta memberikan jaminan


asuransi kesehatan.
e. Hak untuk diproses hokum secara sah dan PHK tanpa sebab. Proses
hokum secara sah diberlakukan pada karyawan yang dianggap melakukan
pelanggaran, maka dia berhak diberi kesempatan untuk membuktikan diri
dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemutusan hubungan kerja
(PHK) merupakan putusnya hubungan kerja karena dipandang sudah tidak
mampu lagi memberikan produktivitas kerja lagi atau karena kondisi
perusahaan yang tidak memungkinkan lagi sehingga hak dan kewajiban
karyawan dan pengusaha berakhir. Perusahaan tidak boleh mem-PHK
karyawannya tanpa sebab yang jelas.
f. Hak atas rahasia pribadi, merupakan hak individu untuk menentukan
seberapa banyak informasi mengenai dirinya yang boleh diungkapkan
kepada pihak lain, artinya pekerja dijamin haknya untuk tidak
mengungkapkan sesuatu yang dianggap sangat pribadi, namun dengan
catatan tidak membahayakan kepentingan orang lain.
(Ernawan, Erni R. 2007)
Sebaliknya, karyawan juga mempunyai kewajiban terhadap perusahaan
yang berupa:
a. Kewajiban ketaatan, karyawan harus taat kepada atasannya, karena ada
ikatan kerja antara keduanya. Namun tentunya taat disini bukan berarti
harus selalu mematuhi semua perintah atasan, jika perintah tersebut
dianggap tidak bermoral dan tidak wajar, maka pekerja tidak wajib
memauhinya.
b. Kewajiban konfidensialitas, kewajiban untuk menyimpan informasi yang
bersifat rahasia, karena berkaitan dengan profesinya. Perusahaan sangat
keberatan jika informasi rahasia jatuh ke pihak lain khususnya pesaing.
c. Kewajiban loyalitas, karyawan harus mendukung dan merealisasikan
tujuan-tujuan yang telah ditetapkandan tidak melakukan sesuatu yang
merugikan kepentingan perusahaan. (Ernawan, Erni R. 2007)

18

2.4.2 Contoh Hak-Hak Karyawan Menurut Serikat Pekerja Seluruh


Indonesia
Adapun contoh hak-hak karyawan menurut Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia antara lain sebagai berikut:
2.4.2.1 Pengaturan Hak-Hak
Pasal 4
PENGAKUAN HAK-HAK PENGUSAHA DAN SERIKAT PEKERJA
1. Pengusaha mengakui Serikat Pekerja yang sah dalam perusahaan dan dengan
demikian mewakili seluruh pekerja yang menjadi anggotanya, baik secara
bersama-sama (kolektif) dalam masalah ketenagakerjaan atau dal hal-hal
yang berhubungan dengan hubungan kerja dan syarat-syarat bagi para
pekerja.
2. Serikat Pekerja tidak tiadak akan mencampuri dan menghalangi hak
Pengusaha dalam menjalankan pengelolaan, pengawasan dan pengamanan
jalannya perusahaan, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku maupun merugikan pekerja.
(Kesepakatan Kerja Bersama. 1999. Halaman 6)
Pasal 5
FASILITAS UNTUK SERIKAT PEKERJA
1. Pengusaha menyediakan ruangan untuk secretariat Serikat Pekerja.
2. Pengusaha menyediakan papan tempat pengumuman yang sudah ada, kepada
Serikat Pekerja untuk memasang atau menempelkan pengumumannya dengan
persetujuan pengusaha.
3. Pengusaha memberikan bantuan kepada Serikat Pekerja untuk memungut
iuran dari anggotanya (chek off system) sesuai dengan peraturan yang berlaku.
(Kesepakatan Kerja Bersama. 1999. Halaman 6)

19

2.4.2.2 Pelatihan dan Pendidikan


Pasal 10
PELATIHAN DAN PENDIDIKAN
1. Dalam rangka meningkatkan kualitas pengetahuan, keterampilan dan perilaku
pekerja,

pengusaha

dan

Serikat

Pekerja

menyadari

pentingnya

penyelenggaraan program-program pendidikan dan pelatihan sebagai sarana


pengembangan sumber daya manusia.
2. Pengusaha berwenang untuk menentukan program-program pendidikan dan
pelatihan yang harus diikuti oleh pekerja, sesuai dengan kebutuhan
perusahaan.
(Kesepakatan Kerja Bersama. 1999. Halaman 10)
2.4.2.3 Pengupahan, Tunjangan, dan Jamsostek
Pasal 15
SISTEM PENGUPAHAN
1. Komponen upah terdirir dari:
1.1 Gaji pokok
1.2 Tujangan jabatan
1.3 Tunjangan keluarga (tujangan istri dan anak)
1.4 Tunjangan transport
1.5 Insentif kehadiran
(Kesepakatan Kerja Bersama. 1999. Halaman 14)
Pasal 16
KEWAJIBAN MEMBAYAR IURAN JAMSOSTEK
1. Semua pekerja diasunrasikan ke asunransi social tenaga kerja.
2. Kewajiban membayar iuran atau premi kepesertaan, untuk setiap bulannya,
ditentukan sebagai berikut:
2.1 Jaminan Hari Tua (JHT), dibayar : 2,0% x (gaji pokok x110%)
ditanggung oleh pengusaha.
2.2 Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Iuran Jaminan Kematian
(JK), ditanggung oleh pengusaha.
20

2.3 Bilamana

dalam

ketentuan

program

JAMSOSTEK

mengalami

perubahan oleh yang berwenang, maka iuran atau premi kepesertaan


diatas akan disesuaikan.
(Kesepakatan Kerja Bersama. 1999. Halaman 18)
Pasal 17
PEMBAYARAN UPAH SELAMA PEKERJA SAKIT
1. Dalam hal pekerja tidak masuk bekerja secara terus-menerus oleh karena
menderita sakit dengan surat keterangan dokter, maka pembayaran upah
dilaksanakan sebagai berikut:
1.1 1 sampai dengan 3 bulan lamanya : 100% x upah
1.2 4 sampai dengan 6 bulan lamanya : 75% x upah
1.3 7 sampai dengan 9 bulan lamanya : 50% x upah
1.4 10 sampai dengan 12 bulan lamanya : 25% x upah
Dasar perhitungan upah terdiri atas:
a. Gaji pokok,
b. Tunjangan jabatan,
c. Tunjangan keluarga.
2. Pekerja ynag menderita sakit terus-menerus sehingga tidak dapat melakukan
tugas pekerjaan kurang dari 12 bulan dapat mengajukan surat permohonan
untuk dipensiun dipercepat.
(Kesepakatan Kerja Bersama. 1999. Halaman 14)
2.4.2.4 Kesejahteraan Yang Diberikan Oleh Pengusaha
Pasal 22
MAKAN
1. Pengusaha memberikan fasiltas makan dan minum kepada para pekerja yang
masuk bekerja, sekali sehari pada saat jam istirahat di kantin perusahaan.
2. Bagi pekerja yang melakukan tugas pekerjaannya berturut-turut atau lembur
lebih dari 3 (tiga) jam (termasuk 1 jam istirahat), maka pengusaha akan
memberikan makan kepada pekerja sekali lagi.

21

3. Kepada pekerja yang menjalankan ibadah puasa pada bulan ramadhan dan
atau pada saat kantin perusahaan tidak dapat menyediakan makan, maka
pengusaha akan memberikan uang sebagai penggantinya.
(Kesepakatan Kerja Bersama. 1999. Halaman 24)
Pasal 23
PERATURAN PEMERIKSAAN KESEHATAN, PENGOBATAN DAN
PERAWATAN (FASILITAS KESEHATAN UNTUK PEKERJA)
1. Ketentuan umum :
1.1 Pengusaha dan Serikat Pekerja menyadari, bahwa kondisi kesehatan dari
para pekerja maupun keluarga yang menjadi tanggungan pekerja perlu
mendapatkan perhatian yang cukup dan wajar. Pengusaha menunjuk
dokter maupun apotik untuk menjadi dokter maupun apotik perusahaan
untuk pelayanan tersebut.
1.2 Setiap pekerja berkewajiban menjaga kondisi kesehatan dan bila
diperlukan pengusaha akan melakukan pemeriksaan terhadap semua
pekerja secara kolektif, setiap pekerja diwajibkan untuk mengikuti.
(Kesepakatan Kerja Bersama. 1999. Halaman 24)
Pasal 25
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
1. Pengusaha dan Serikat Pekerja secara bersama-sama berusaha untuk
meningkatkan kondisi kerja yang menjamin keselamatan dan kesehatan kerja
dengan pedoman ke peraturan perundang-undang yang berlaku.
2. Usaha-usaha untuk mewujudkan kondisi kerja dimaksud pasal 25 ayat (1)
diatas antara lain melalui berbagai kegiatan dalam wadah Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
(Kesepakatan Kerja Bersama. 1999. Halaman 31)

22

1.5 Profesionalisme Karyawan atau Perseorangan


Langkah-langkah untuk menentukan profesionalisme seorang karyawan
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
2.5.1 Seleksi Sumber Daya Manusia
Seleksi sumber daya manusia dimulai setelah surat-surat lamaran kerja
diperiksa dan diteliti sampai diputuskan untuk diterima atau ditolak sebagai
pegawai.
Kegiatan seleksi ini sangat penting di dalam proses manajemen sumber
daya manusia, karena kalau kurang teliti dan kurang cermat dalam seleksi ini
kemungkinan akan terjadi penerimaan pegawai yang tidak sesuai dan tidak cocok
dengan jabatan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya, sehingga dia tidak bisa
bekerja secara efisien dan efektif dan kemungkinan harus dikeluarkan biaya dan
waktu yang cukup lama untuk mengikutkannya pada tugas belajar dan pelatihan.
Maka dari itulah seleksi harus benar-benar sanga teliti untuk menghindari segala
cara kolusi dan nepotisme yang akan merugikan organisasi usaha. (Sihotang, A.
2007)
2.5.2 Faktor-Faktor Pertimbangan Seleksi
Proses seleksi sumber daya manusia tidak mungkin berdiri sendiri tanpa
pertimbangan dan faktor yang harus diperhitungkan agar seleksi itu dapat
menghasilkan penerimaan pegawai yang paling tepat dan sesuai.
Adapun faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam seleksi adalah :
a. Analisis pekerjaan yang akan dipercayakan kepada pelamar tersebut.
b. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh pekerja agar mampu
c.
d.
e.
f.

memangku jabatan yang dimaksud.


Prestasi kerja yang harus dicapai.
Perencanaan sumber daya manusia yang telah ditetapkan organisasi.
Hasil rekrutmen.
Dan yang terakhir perlu ditekankan disini adalah karakter untuk loyalitas dan
produktivitasnya. (Sihotang, A. 2007)

2.5.3 Langkah-Langkah Proses Seleksi Sumber Daya Manusia


Setiap sumber daya manusia yang mempunyai tanggungjawab dan
profisional selalu berusaha melakukan proses seleksi untuk mencari dan
menemukan tenaga kerja yang berkualitas tinggi untuk mengisi lowongan yang
tersedia. Untuk mencapai maksud itu maka seleksi hendaknya menggabungkan
dua hal, yaitu tentang pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja tersebut bila dia
23

berhasil diterima dan kedua adalah gambaran yang lebih jelas tentang sosok diri
pelamar yang akan diseleksi. (Sihotang, A. 2007)
Maka perlu diuraikan langkah-langkah yang biasanya ditempuh dalam
proses seleksi sumber daya manusia sebagai berikut :
a. Penerimaan surat lemaran kerja.
b. Pemanggilan pelamar untuk mengikuti ujian.
c. Menyelenggarakan tes ujian dan pelaksanaan.
d. Psikotes.
e. Tes wawancara.
f. Pengecekan latar belakang pelamar dengan karakter dan penampilannya.
g. Evaluasi kesehatan dari dokter.
h. Wawancara dengan calon atasannya langsung didalam organisasi.
i. Pengenalan pada pekerjaan.
j. Keputusan atas pelamar untuk penempatan.
(Sihotang, A. 2007)
2.5.4 Pelaksanaan Penempatan Sumber Daya Manusia
Penempatan sumber daya manusia adalah suatu proses kegiatan yang
dilakukan manajer sumber daya manusia untuk menentukan posisi jabatan, lokasi
kerja seorang karyawan untuk melakukan tugas pekerjaannya didalam organisasi.
(Sihotang, A. 2007)
Proses penempatan sumber daya manusia ini tidak hanya bagi pegawai
baru yang diseleksi tetapi juga berlaku bagi pegawi lama yang dimutasikan dan
dipromosikan dari jabatannya yang lama. (Sihotang, A. 2007)
Perbedaan kedua penempatan sumber daya manusia itu adalah :
a. Penempatan sumber daya manusisa baru adalah setelah mereka lulus dari
seleksi penerimaan pegawai dan diangkat pada jabatan dengan pangkat baru
untuk memulai pekerjaan yang dipercayakan kepadanya.
b. Penempatan sumber daya manusia lama berarti dipindahkan tugas kerjanya
pada jabatan baru dan lokasi kantornya juga bisa jadi kantor yang baru.
Pada dasarnya hakikat dan sasaran penempatan adalah untuk :
a. Mengisi lowongan pekerjaan yang terjadi pada unit-unit organisasi
b. Agar pegawai-pegawai tidak merasa terombang-ambing menunggu
penempatan yang diinginkan
c. Menempatkan pegawai yang sesuai pada jabatan pekerjaan yang tepat (the
right man on the right job)
d. Agar perusahaan atau organisasi bertindak efektif memanfaatkan tenaga
sumber daya manusia secara berdaya guna dan berhasil guna.

24

Penempatan sumber daya manusia yang tepat dalam arti the right man on
the right job place akan dapat menguntungkan bagi organisasi atau perusahaan
dan juga menguntungkan pada diri sendiri. (Sihotang, A. 2007)
2.6 Occupational Health and Safety Assessment System (OHSAS 18001:2007)
OHSA 18001 bersifat generic dengan pemikiran untuk dapat digunakan
dan dikembangkan oleh berbagai organisasi sesuai dengan sifat, skala kegiatan,
resiko serta lingkup kegiatan organisasi. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 59)
2.6.1 Persyaratan Umum
Setiap organisasi harus memiliki suatu kesisteman keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) yang baik. Oleh karena itu, OHSAS 18001 mensyaratkan
organisasi untuk membuat pernyataan umum mengenai penetapan dan
pengembangan sstem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) dalam
organisasi. Bagi organisasi yang sama sekali belum memiliki sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3), terlebih dahulu harus menetapkan
posisi penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam organisasi melalui
suatu tinajauan awal sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3).
(Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 65)
Elemen implementasi dari sistem manajemen K3 menurut OHSAS 18001
adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan K3.
b. Identifikasi

bahaya,

penilaian

resiko,

dan

menentukan

pengendaliannya.
c. Persyaratan hukum dan lainnya.
d. Objektif K3 dan program K3.
e. Sumberdaya, peran, tanggungjawab, akuntabilitas, dan wewenang.
f. Kompetensi, pelatihan, dan kepedulian.
g. Komunikasi, partisipasi, dan konsultasi.
h. Pendokumentasian.
i. Pengendalian dokumen.
25

j. Pengendalian operasi.
k. Tanggap darurat.
l. Pengukuran kerja dan pemantauan.
m. Evaluasi kesesuaian.
n. Penyelidikan insiden, ketidaksesuaian, tindakan koreksi, dan langkah
pencegahan.
o. Pengendalian rekaman.
p. Internal audit.
q. Tinjauan manajemen.
Sebagai suatu kesisteman, semua elemen tersebut saling terkait dan
berhubungan sehingga harus dijalankan secara terpadu agar kinerja K3 yang
diinginkan dapat tercapai. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 67)

26

27

SIKLUS OHSAS 18001

a. Kebijakan K3

Perencanaan
b. Itenfikasi bahaya,
penilaian, dan
pengendalian.
PLAN
q.
Tinjauan
ACT Dari
Gambar
2.1Manajemen
Elemen
Implementasi
Sistem Manajemen Keselamatan
danlegal dan
Peningkatan
berkelanjutan
c. Persyaratan
Kesehatan Kerja Menurut OHSAS 18001
lainnya.
d. Objektif dan Program
2.6.2 Lingkup Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
K3 (SMK3)
CHEK
Pemeriksaan
OHSAS 18001 tidak mensyaratkan
bagaimana lingkup penerapan
DO
l. Pengukuran kinerja dan
Implementasi dan Operasi
keselamatan
masingpemantauan.dan kesehatan kerja (K3), tergantung kondisi dan
e. kebijakan
Sumberdaya,
peran,
m. Evaluasi
pemenuhan
jawab,
masing
organisasi.
Karena itu, lingkup sistem manajemen tanggung
keselamatan
dantanggung
n. Penyelidikan insiden,
gugat, dan wewenang.
kesehatan
kerja (SMK3) harus
acuan pelatihan,
bagi
ketidaksesuaian,koreksi,
dan ditetapkan oleh manajemenf. sebagai
Kompetensi,
pencegahan
dandan
kepedulian.
semua
pihak-pihak terkait. Lingkup sistem manajemen keselamatan
kesehatan
o. Pengendalian rekaman
g. Komunikasi, partisipasi,
kerja
(SMK3)
dapat ditetapkan berdasarkan lokasi kegiatan, proses,
atau lingkup
p. Audit
internal
dan konsultasi.
Dokumentasi.
kegiatan. Misalnya, manajemen untuk tahap awal h.atau
hanya akan
i. Pengendalian Dokumen.
mengembangkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja (SMK3)
j. Pengendalian
Operasi.
k. Tanggap
Darurat
untuk unit produksi atau pada lokasi kerja tertentu yang dinilai
memiliki
risiko
tinggi atau strategis. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 68)
2.6.3 Tinjauan Awal
Tinjauan awal dapat dilakukan melalui suatu observasi, daftar periksa,
wawancara, inspeksi lapangan atau kajian dokumen yang ada. Hasil tinjauan awal
ini merupakan titik awal pengembangan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja (SMK3). (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 69)
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan tinjauan awal antara
lain :
a. Persyaratan perundangan dan persyaratan lainnya yang relevan dengan
kegiatan organisasi. Makin ketat persyaratan perundangan tentunya semakin
28

tinggi standar keselamatan yang disyaratkan. Dalam melakukan tinjauan awal


ini dapat dilihat, apakah organisasi sudah memenuhi berbagai persyaratan
yang berlaku.
b. Hasil identifikasi bahaya dan resiko yang telah dilaksanakan. Potensi bahaya
dan resiko yang terdapat dalam organisasi akan berperan dalam menentukan
kedalaman penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
yang akan dikembangkan.
2.6.4 Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Kebijakan merupakan persyaratan utama dalam semua sistem manajemen
seperti Manajemen Lingkungan, Manajemen Mutu dan lainnya. Kebijakan
merupakan roh dari semua sistem, yang mampu memberikan spirit dan daya gerak
untuk keberhasilan suatu usaha. Karena itu, OHSAS 18001 mensyaratkan
ditetapkannya kebijakan keselamaan dan kesehatan kerja (K3) dalam organisasi
oleh manajemen puncak. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 70)
Kebijakan K3 (OH&S Policy) merupakan perwujudan dari komitmen pucuk
pimpinan yang memuat visi dan tujuan organisasi, komitmen dan tekad untuk
melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), kerangka dan program
kerja. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 71)
Oleh karena itu, kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sangat
penting dan menjadi landasan utama yang diharapkan mampu menggerakkan
semua partikel yang ada dalam organisasi sehingga program keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) yang diinginkan dapat berhasil dengan baik. (Ramli,
Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS
18001. 2010. Halaman 71)
2.6.4.1 Kriteria Kebijakan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3)
Suatu kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang baik
disyaratkan memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Sesuai dengan sifat dan skala risiko keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) organisasi.
29

Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah perwujudan dari


visi dan misi suatu organisasi, sehingga harus disesuaikan dengan sifat dan skala
organisasi. Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tentu berbeda antara
suatu organisasi dengan organisasi lainnya, tergantung sifat dan skala risiko
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang dihadapi, serta strategi bisnis
organisasi. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 68)
2. Mencakup komitmen untuk peningkatan berkelanjutan.
Dalam kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) harus tersirat adanya
komitmen untuk peningkatan berkelanjutan. Aspek keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) tidak statis, karena berkembang sejalan dengan
teknologi, operasi dan proses produksi. Karena itu, kinerja keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) harus terus-menerus ditingkatkan selama organisasi
beroperasi. Komitmen untuk peningkatan berkelanjutan akan memberikan
dorongan bagi semua unsur dalam organisasi untuk terus-menerus
meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dalam organisasi.
(Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 72)
2.6.4.2 Proses Pengembangan Kebijakan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
(K3)
Banyak organisasi yang memiliki kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) yang indah dan tertulis rapi dalam bingkai kaca. Namun, kebijakan ini
sering kali hanya berupa slogan kosong yang tidak tercermin dalam pelaksanaan
dan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja (K3) organisasi. Salah satu faktor
penyebab antara lain karena pengembangan kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) tidak melalui proses yang baik. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 74)
Pengembangan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) harus
mempertimbangkan faktor berikut :

Kebijakan dan objektif organisasi secara korporat.

30

Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) harus sejalan atau


mendukung kebijakan umum atau strategi bisnis yang ditetapkan. Sering
kebijakan tidak bisa diimplementasikan karena tidak sejalan atau tidak
mempertimbangkan kebijakan organisasi secara menyeluruh, misalnya
rencana pengembangan produk, jasa, teknologi, dan bisnis.

Risiko dan potensi bahaya yang ada dalam organisasi.


Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada dasarnya adalah untuk
merespon risiko keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang ada dalam
organisasi. Karena itu dalam mengembangkan kebijakan keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) harus mempertimbangkan faktor risiko. (Ramli,
Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS
18001. 2010. Halaman 74)

2.6.5 Perencanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja


(SMK3)
Proses berikutnya dalam sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) menurut OHSAS18001 adalah perencanaan (planning). OHSAS 18001
mewajibkan organisasi untuk membuat prosedur perencanaan yang baik. Tanpa
perencanaan, sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak akan
berjalan dan memberikan hasil optimal. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 77)
Perencanaan ini merupakan tindak lanjut dan penjabaran kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang telah ditetapkan oleh manajemen
puncak dengan mempertimbangkan hasil audit yang pernah dilakukan dan
masukan dari berbagai pihak termasuk hasil pengukuran kinerja keselamatan dan
kesehatan kerja (K3). Hasil dari perencanaan ini selanjutnya menjadi masukan
dalam pelaksanaan dan operasional keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
(Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 77)
31

2.6.5.1 Manajemen Risiko


Keberadaan bahaya dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan atau
insiden yang membawa dampak terhadap manusia, peralatan, material, dan
lingkungan. Risiko menggambarkan besarnya potensi bahaya tersebut untuk dapat
menimbulkan insiden atau cedera pada manusia yang ditentukan oleh
kemungkinan dan keparahan yang diakibatkannya. (Ramli, Soehatman. Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman
78)
Adanya bahaya dan risiko tersebut harus dikelola dan dihindarkan melalui
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang baik. Karena manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) memiliki kaitan yang sangat erat dengan
manajemen risiko. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 78)
Sesuai persyaratan OHSAS 18001, organisasi harus menetapkan prosedur
mengenai Identifikasi Bahaya (Hazards Identification), Penilaian Risiko (Risk
Assesment) dan menentukan Pengendaliannya (Risk Control) atau disingkat
HIRARC. Keseluruhan proses ini disebut juga manajemen risiko (Risk
manajement). (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 79)
Hasil dari HIRARC menjadi masukan untuk penyusunan objektif dan
target keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang akan dicapai, yang dituangkan
dalam program kerja. Dari alur di bawah terlihat bahwa HIRARC merupakan titik
pangkal dari pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Jika HIRARC
tidak dilakukan dengan baik maka penerapan keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) akan salah arah (misguided), acak atau virtual karena tidak mampu
menangani isu pokok yang ada dalam organisasi. (Ramli, Soehatman. Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman
79)
2.6.5.2 Perundangan dan Persyaratan Lainnya
OHSAS 18001 mensyaratkan organisasi untuk melakukan identifikasi
semua perundangan, peraturan atau standar yang terkait dengan bisnis atau
32

operasinya sebagai landasan dalam menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja


(K3). Persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tentunya tidak sama
untuk setiap organisasi, misalnya untuk industri kimia berbeda dengan industri
manufaktur, migas atau konstruksi. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 114)
Di Indonesia banyak dikeluarkan perundangan berkaitan dengan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Sebagai paying hokum adalah Undangundang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Selanjunya pemerintah
melalui departemen teknis mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan,
misalnya ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang berlaku di sektor
pertambangan, kelautan, industry kimia, kesehatan dan perkebunan, jasa
konstruksi, dan lainnya. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 114)
Semua perundangan dan persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) tersebut harus dikomunikasikan dan disosialisasikan agar semua pihak dalam
organisasi memahami dan menjalankannya di lingkungan masing-masing. (Ramli,
Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS
18001. 2010. Halaman 115)
2.6.5.3 Objektif dan Program K3
Tujuan utama pembahasan ini adalah untuk memastikan bahwa organisasi
telah menetapkan objektif keselamatan dan kesehatan kerja (K3) untuk memenuhi
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Tanpa objektif keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) yang jelas dan terarah, implementasi sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) tidaka akan berhasil dengan baik.
Objektif keselamatan dan kesehatan kerja (K3) harus memiliki kaitan dengan hasil
identifikasi bahaya yang telah dilakukan dan selaras dengan kebijakan organisasi
serta strategi bisnis yang dijalankan. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 116)
Objektif keselamatan dan kesehatan kerja (K3) harus memenuhi keriteria
sebagai berikut :

33

Sederhana (simple), tidak terlalu rumit dan mudah dipahami oleh semua
pihak sampai ke level terendah dalam organisasi.

Terukur (measurable), dapat diukur sehingga mudah dipantau pencapaiannya.


Objektif ini juga dapat digunakan sebagai alat ukur kinerja manajemen,
misalnya menjadi bagian KPI (key performance indicator).

Dapat dicapai (achievement), disesuaiakan dengan kemampuan organisasi,


sumberdaya yang tersedia, teknologi dan sasaran yang diinginkan.

Realistis (realistic), tidak mengada-ngada dan sesuai dengan kebutuhan untuk


mengendalikan risiko yang ada.

Jangka waktu (time table) yang jelas dalam pencapaiannya.


(Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 117)
Untuk mencapai objektif yang telah ditetapkan, organisasi harus menyusun

program kerja yang merefleksikan kebijakan organisasi. Rencana kerja ini disusun
untuk

setiap

tingkat

manajemen

sebagai

landasan

operasional

dengan

mempertimbangkan :
1. Penentuan tanggungjawab dan wewenang untuk pencapaiannya disetiap
tingkatan, fungsi atau departemen. Program keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) sebaiknya diintegrasikan dengan program organisasi secara keseluruhan
sehingga menjadi salah satu aspek dalam pencapaian sasaran organisasi baik
tingkat korporat, fungsi, departemen, seksi atau bagian.
2. Sasaran atau sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai program kerja
yang telah ditetapkan misalnya pendanaan, tenaga, peralatan dan lainnya.
3. Jangka waktu atau jadwal pelaksanaan dan penyelesaian program kerja.
(Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 119)
2.6.5.4 Implementasi dan Operasional
Salah satu elemen penting dalam sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja (SMK3) adalah sumberdaya, peran, tanggungjawab, tanggung
gugat, dan wewenang dalam melakukan atau mengambil tindakan. Oleh karena
34

itu, OHSAS 18001 mensyaratkan organisasi untuk mengelolah aspek ini dengan
baik. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 120)
2.6.5.5 Kompetensi, Pelatihan, dan Kepedulian
Menurut ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sebagian besar
kecelakaan disebabkan atau bersumber dari faktor manusia dengan tindakan tidak
aman (unsafety act). Tindakan tidak aman dari seorang manusia timbul karena tiga
faktor yaitu karena tidak tahu, tidak mampu, dan tidak mau. Oleh karena itu,
banyak pendekata K3 dikembangkan untuk mengendalikan faktor manusia
tersebut. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 128)
Kompetensi merupakan persyaratan penting untuk menjamin agar
pekerjaan dilakukan dengan baik, mengikuti standar kerja yang berlaku serta
memenuhi persyaratan keselamatan. Kompetensi dapat diperoleh melalui
pendidikan, pelatihan, serta pengalaman yang memadai dalam melakukan suatu
tugas atau aktivitas. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 130)
Organisasi harus mengembangkan standar pelatihan bagi seluruh individu
dilingkungannya. Sesuai dengan philosofi keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
dari IASP (Internasional Association of Safety Profesional) pekerja harus dilatih
mengenai keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Pemahaman atau budaya
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dating dengan sendirinya, namun
harus dibentuk melalui pelatihan dan pembinaan. (Ramli, Soehatman. Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman
130)
Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
a. Induksi K3 (safety induction) yaitu pelatihan yang diberikan sebelum
seseorang mulai bekerja atau memasuki suatu tempat kerja. Pelatihan ini
ditujukan untuk pekerja baru, pindahan, mutasi, kontraktor, dan tamu yang
berada di tempat kerja.
35

b. Pelatihan khusus keselamatan dan kesehatan kerja (K3) berkaitan dengan


tugas dan pekerjaannya masing-masing. Misalnya pekerja yang dilingkungan
pabrik kimia harus diberi pelatihan mengenai bahaya-bahaya bahan kimia dan
pengendaliannya.
c. Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)

umum yaitu program

pelatihan yang bersifat umum dan diberikan kepada semua pekerja mulai
level terbawah sampai manajemen puncak. Pelatihan ini umumnya bersifat
awareness yaitu menanamkan budaya atau kultur dikalangan pekerja.
Kompetensi dan kepedulian saja belum mencukupi jika tidak didukung
oleh kepedulian atau perilaku aman dalam bekerja. Kepedulian mengenai aspek
keselamatan dalam pekerjaan atau perilaku sehari-hari merupakan landasan
pembentukan budaya keselamatan (safety culture). Tanpa kepedulian semua
pihak, tentu aspek keselamatan tidak bisa berjalan dengan baik. Oleh karena itu,
aspek kepedulian harus dibina dan dikembangkan di seluruh tingkat pekerja mulai
dari pegawai terendah sampai manajemen puncak. (Ramli, Soehatman. Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman
136)
2.6.5.6 Komunikasi, Partisipasi, dan Konsultasi
Aspek komunikasi sangat penting dalam keselamatan dan kesehatan kerja
(K3). Banyak kecelakaan terjadi akibat kurang baiknya komunikasi sehingga
mempengaruhi kinerja keselamatan dan kesehatan kerja (K3) organisasi. Sebagai
contoh, kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang ditetapkan oleh
manajemen harus dipahami dan dimengerti oleh seluruh anggota organisasi dan
pemangku kepentingan yang terkait dengan kegiatan. (Ramli, Soehatman. Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman
137)
Mengingat pentingnya peran serta tersebut, maka OHSAS 18001
mensyaratkan organisasi untuk mengembangkan, menetapkan, dan menjalankan
berbagai metoda atau cara untuk menggalang peran serta semua pihak dalam
keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

36

OHSAS 18001 mensyaratkan adanya proses konsultasi mengenai


keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dengan semua pihak baik pekerja,
kontraktor, dan pihak eksternal lainnya. Konsultasi ini dimaksudkan untuk
mendapatkan masukan mengenai baerbagai pemberitaan keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) yang timbul sebelum suatu keputusan atau kebijakan
ditetapkaan. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 140)
2.6.5.7 Dokumentasi
Dokumentasi sangat penting dalam setiap sistem manajemen seperti ISO
9000 dan ISO 14000. Sistem dokumentasi yang baik memberikan berbagai
manfaat antara lain :

Memudahkan dalam mencari dokumen jika diperlukan.

Memberikan kesan baik kepada seluruh pihak seperti pekerja, tamu,


kontraktor, pelanggan, dan pejabat instansi pemerintah dan lainnya.
Oleh karena itu, OHSAS 18001 mensyaratkan untuk mendokumentasikan

semua elemen-elemen penting dalam sistem manajemen keselamatan dan


kesehatan kerja (SMK3) dan yang berkaitan dengan elemen-elemen tersebut.
(Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 143)
2.6.5.8 Pengendalian Dokumen
Banyak kecelakaan terjadi karena kurangnya informasi mengenai suatu
peralatan, system atau prosedur di tempat kerja karena dokumen tidak
mendukung. Sering terjadi dokumen yang kadaluarsa masih dipergunakan di
tempat kerja. Gambar atau P&ID (piping and instrumention diagram) yang sangat
diperlukan untuk pengoperasian yang aman tidak pernah di up date terutama jika
terjadi perubahan mendasar. Oleh karena itu, OHSAS 18001 mensyaratkan antara
lain :
1. Semua dokumen harus melalui proses persetujuan sebelum digunakan secara
formal. Proses persetujuan suatu dokumen harus dijabarkan dalam prosedur
tertulis dan diketahui oleh semua pihak dalam organisasi.
37

2. Semua dokumen ditinjau ulang secara berkala dan jika diperlukan adanya
perubahan harus didetujui ulang oleh semua pihak terkait.
(Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 146).
2.6.5.9 Pengendalian Operasi
Kegiatan operasi merupakan sumber bahaya paling potensial dalam
organisasi. Sebagian besar kecelakaan atau insiden terjadi dalam kegiatan operasi.
Oleh karena itu, dalam setiap sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
(SMK3), pengendalian operasi merupakan elemen yang sangat penting. OHSAS
18001 secara khusus mensyaratkan sistem pengendalian operasi yang baik.
Pengendalian operasi meliputi :
1. Cara kerja aman (safe working practices)
2. Prosedur operasi aman (safe operating prosedures)
3. Pengadaan dan pembelian
4. Keselamatan kontraktor
(Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 148)
2.6.5.10 Tanggap Darurat
Tanggap darurat merupakan elemen penting dalam system manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3), untuk menghadapi setiap kemungkinan
yang dapat terjadi. Tujuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah untuk
mencegah kejadian atau kecelakaan yang tidak diinginkan. Namun demikian, jika
sistem pencegahan mengalami kegagalan sehingga terjadi kecelakaan, hendaknya
keparahan atau konsekuensi yang ditimbulkan dapat ditekan sekecil mungkin.
(Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 153)
OHSAS 18001 mensyaratkan agar organisasi mengembangkan prosedur
tanggap darurat untuk mengidentifikasi kemungkinan keadaan darurat dan
penanggulannya. Pengembangan suatu sistem tanggap darurat sekurangkurangnya meliputi elemen sebagai berikut :
38

a. Kebijakan.
b. Identifikasi keadaan darurat,
c. Perencanaan awal,
d. Prosedur keadaan tanggap darurat,
e. Organisasi keadaan darurat,
f. Prasarana keadaan darurat,
g. Pembinaan dan pelatihan,
h. Komunikasi,
i. Investigasi dan sistem pelaporan,
j. Inspeksi dan audit.
2.6.6 Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :
2.6.6.1 Pemantauan dan Pengukuran Kinerja
Proses pelaksanaan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
(SMK3) harus dipantau secara berkala dari waktu ke waktu untuk memastikan
bahwa sistem berjalan sesuai rencana. Pemantauan dapat dilakukan melalui
observasi, laporan atau rapat pelaksanaan yang diadakan secara berkala untuk
melihat progress report kemajuan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja
(K3). (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 160)
Pengukuran kinerja keselamatan dan kesehatan kerja (K3), sejalan dengan
konsep manajemen modern, dilakukan sepanjang proses sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) sejak tahap perencanaan sampai
pelaksanaan. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 161)
Pengukuran dilakukan secara konsepsional agar dapat memberikan makna
dan manfaat bagi manajemen. Frank Bird dalam bukunya Loss Control
Manajemen menyesuaikan tahap pengukuran kinerja dengan proses kecelakaan
yang meliputi 3 tahap yaitu pengukuran sebelum kejadian (pre-contact), saat
kejadian (contact), dan sesudah kejadian (post-contact).
39

2.6.6.2 Evaluasi Pemenuhan


Salah satu landasan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
adalah pemenuhan perundangan. Sejalan dengan elemen sebelumnya tentang
persyaratan perundangan, maka organisasi secara berkala harus melakukan
evaluasi terhadap pemenuhan perundangan dan persyaratan lainnya dalam
organisasi. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 166)
OHSAS 18001 mensyaratkan adanya prosedur mengenai pemenuhan
perundangan dan persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tersebut
untuk memastikan bahwa semua persyaratan telah dipenuhi. (Ramli, Soehatman.
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010.
Halaman 166)
Untuk memastikan bahwa semua perundangan dan persyaratan telah
terpenuhi dilakukan evaluasi secara berkala. Melalui evaluasi tersebut, organisasi
dapat mengetahui sejauh mana pemenuhan perundangan dan persyaratan lainnya
telah dicapai dan langkah ke depan untuk memenuhinya. (Ramli, Soehatman.
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010.
Halaman 167)
2.6.7 Penyelidikan Insiden, Ketidaksesuaian, serta Langkah Koreksi dan
Pencegahan
OHSAS 18001 mensyaratkan diadakannya setiap penyelidikan setiap
insiden yang terjadi dalam organisasi. Insiden adalah semua kejadian yang
menimbulkan atau dapat menimbulkan kerugian baik materi, kerusakan atau
cidera pada manusia. Insiden meliputi kecelakaan, kebakaran, penyakit akibat
kerja, kerusakan dan hapir celaka (near miss). (Ramli, Soehatman. Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman
168)
Penyelidikan bertujuan untuk :

Mencari faktor utama penyebab kejadian untuk mencegah terulangnya


kejadian serupa,
40

Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja yang mengalami kecelakaan


dengan melakukan penyelidikan dapat diketahui faktor penyebab utama, dan
tidak menjadikan pekerja sebagai kambing hitam penyebab kecelakaan,

Sebagai bahan laporan kecelakaan kepada institusi terkait termasuk


kepentingan asuransi kecelakaan,
Dalam program keselamatan dan kesehatan kerja (K3), sangat penting

untuk melakukan langkah perbaikan dan peningkatan jika ditemukan adanya


kondisi dibawah standar seperti tindakan dan kondisi tidak aman yang dapat
menjurus terjadinya kecelakaan. Kondisi dibawah standar (substandard condition)
ini dapat ditemukan melalui kegiatan audit, inspeksi, atau assessment. (Ramli,
Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS
18001. 2010. Halaman 172)
OHSAS 18001 mensyaratkan adanya prosedur untuk menangani
ketidaksesuaian ini yang memuat sekurangnya hal sebagai berikut :

Identifikasi ketidaksesuaian dan langkah koreksi yang diperlukan untuk


mengurangi dampak keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang ditimbulkan.

Melakukan penyelidikan atas semua ketidaksesuaian untuk mengetahui


penyebab dasar (root causes) sehingga dapat diambil tindakan koreksi dan
pencegahan yang tepat.

Menentukan tindakan koreksi dan pencegahan agar kondisi serupa tidak


terjadi kembali.

2.6.8 Pengendalian Rekaman


OHSAS 18001 mensyaratkan agar semua rekaman tersebut dikelola dengan
baik mulai dari identifikasi rekaman yang diperlukan, penyimpanan, penarikan,
perlindungan, retensi, dan pemusnahannya. Apa saja dan berapa lama suatu
rekaman diperlukan sangat tergantung pada jenis dan bentuk rekamannya. (Ramli,
Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS
18001. 2010. Halaman 176)

41

Rekaman mengenai keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang banyak


diperlukan dalam sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3)
antara lain :

Rekaman pelatihan dan pendidikan, yang memuat mengenai data pelatihan,


pelaksanaan, peserta, dan evaluasinya.

Laporan inspeksi keselamatan dan kesehatan kerja (K3), yang mencatat


pelaksanaan inspeksi, laporan dan tindak lanjutnya.

Laporan audit sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3),


baik yang dilakukan secara internal maupun pihak ketiga.

Laporan konsultasi mengenai keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Laporan kecelakaan dan insiden.

Laporan indak lanjut hasil penyelidikan kecelakaan.

Laporan dan notulen rapat atau pertemuan keselamatan dan kesehatan kerja
(K3).

2.6.9 Internal Audit


Suatu organisasi memerlukan alat cara untuk menilai apakah pelaksanaan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) telah berhasil atau tidak. Salah satu cara
penilaian adalah dengan melakukan audit keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
sebagai bagian dari siklus Plan-Do-Check-Action. Melalui audit, organisasi akan
mengetahui kelebihan dan kekurangannyasehingga dapat melakukan langkahlangkah

penyempurnaan

berkesimanbungan.

(Ramli,

Soehatman.

Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman


177)
Tujuan internal audit keselamatan dan kesehatan kerja (K3) antara lain :

Untuk memastikan apakah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan


kerja (SMK3) yang dijalankan telah memenuhi prosedur yang telah
ditetapkan dan sesuai dengan persyaratan dan standar OHSAS 18001.

42

Untuk mengetahui apakah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan


kerja (SMK3) tersebut telah berjalan sebagaimana mestinya di seluruh jajaran
sesuai dengan lingkup pelaksanaannya.

Memastikan apakah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja


(SMK3) yang dijalankan elah efektif untuk menjawab semua permasalahan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang ada dalam organisasi guna
menghindarkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3)
yang salah arah, viritual, atau random.

2.6.10 Tinjauan Manajemen


Tinjauan manajemen dilakukan secara menyeluruh dan tidak bersifat detail
untuk permasalahan tertentu. Aspek yang dibahas dalam tinjauan manajemen
antara lain :

Kesesuaian kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang sedang


berjalan.

Penyempurnaan objektif keselamatan dan kesehatan kerja (K3) untuk


peningkatan berkelanjutan.

Kecukupan identifikasi bahaya, penilaian risiko dan proses pengendalian


bahaya.

Tingkat risiko saat ini dan efektifitas dari sistem pengendalian.

Kecukupan sumberdaya yang disediakan.

Evaluasi kecelakaan dalam kurun waktu tertentu.

Evaluasi penerapan prosedur keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Hasil dari audit keselamatan dan kesehatan kerja (K3) baik internal maupun
eksternal dan lainnya.
(Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
OHSAS 18001. 2010. Halaman 183)
Dari hasil tinjauan manajemen ini dapat dirumuskan langkah-langkah

perbaikan dan peningkatan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja (K3) periode
berikutnya. Langkah perbaikan ini harus konsisten dengan hasil kinerja
43

keselamatan dan kesehatan kerja (K3), potensi risiko, kebijakan keselamatan dan
kesehatan kerja (K3), ketersediaan sumberdaya manusia, dan prioritas yang
diinginkan. (Ramli, Soehatman. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja OHSAS 18001. 2010. Halaman 184)

44

Anda mungkin juga menyukai