Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketika agama menjadi macet disebabkan etnis, nasionalisme atau modernisasi
dan beberapa kesalahpahaman umum sekitar paradigma sekularisasi yang menduganya
dengan penyebaran atheisme. Para ahli sosiologi mengkaji hubungan antara agama dan
perubahan sosial. Sehingga terkesan bahwa agama menghambat perubahan sosial.
Pandangan ini tercermin dalam sebuah ungkapan bahwa agama adalah candu
masyarakat, bahwa karena ajaran agamalah maka rakyat menerima begitu saja nasib
buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan.
Pandangan ini ditentang oleh sosiologi yang lain yang menunjukkan bahwa dalam
masyarakat kaum agama merupakan kaum revolusioner yang memimpin gerakan sosial
untuk mengubah masyarakat.
Bahwasannya kita mengetahui pada realitasnya sistem islam di dunia saat ini
telah berkembang dan bermunculan sistem-sistem baru yang diterapkan. Sistem itu
semisal sekularisme, dimana sistem ini sebenarnya bertentangan dengan paham islam,
karena disistem ini memisahkan antara pengetahuan dan syariat islam. Pada
pembahasan kali ini akan menjelaskan tentang sejarah munculnya sistem sekularisme
ini, karena dibeberapa tempat dibelahan dunia telah menerapkan sistem sekularisme
sebagai ideologinya.
Islam adalah agama yang memuat nilai-nilai dasar dan norma-norma
asasi,prinsip-prinsip ilmu serta pemberitahuan Tuhan tentang masa lalu dan masa depan
umat manusia seperti yang tercantum dalam al-quran, yang diperjelas kemudian oleh
rosul-Nya Muhammad melalui sunah beliau. Dengan adanya dasar tersebut dapat kita
ketahui bahwa sistem sekularisme tidak sejalan dengan ajaran islam. Akan tetapi
dibelahan dunia lain yang menganut sisitem ini telah mengembangkan sistem nilai
sendiri yang di anggapnya mutlak benar dan final
1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini agar mahasiswa mengerti apa perbedaan paham
Islam dan Sekulerisme dan contoh kasus pada paham sekulerisme
1.3. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan dunia tentang islam dan sekulerisme?
1

2. Contoh kasus sekulerisme dalam islam di dunia

BAB II
ISI
2.1. Ekonomi Dalam Pandangan Islam
Sejarah
Sesungguhnya telah sepuluh abad sebelum orang-orang Eropa menyusun teoriteori tentang ekonomi, telah diturunkan oleh Allah SWT di daerah Arab sebuah analisis
tentang ekonomi yang unggul, karena analisis ekonomi tersebut tidak hanya
mencerminkan keadaan bangsa Arab pada waktu itu sehingga hanya bermanfaat untuk
bangsa Arab saat itu, tetapi juga untuk seluruh dunia. Struktur ekonomi yang ada
dalam firman Allah dan sudah sangat jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah
dilaksanakan dengan baik oleh umat pada waktu itu. Sistem ekonomi tersebut adalah
suatu susunan baru yang bersifat universal, bukan merupakan ekonomi nasional bangsa
Arab. Sistem ekonomi tersebut dinamakan ekonomi Islam.
Berbagai pemikiran dari para sarjana ataupun filosof zaman dahulu mengenai
ekonomi tersebut juga sudah ada. Diantaranya adalah pemikiran Abu Yusuf (731 798
M), Yahya Ibnu Adam (meninggal 818 M), Al Farabi (870 950 M), Ibnu Sina (980
1037 M), El-Hariri (1054 1122 M), Imam Al Ghozali (1058 1111 M), Tusi (1201
1274 M), Ibnu Taimiyah (1262 1328 M), Ibnu Khaldun (1332 1406 M), dan lainlain. Sumbangan Abu Yusuf terhadap keuangan umum adalah tekanannya terhadap
peranan negara, pekerjaan umum dan perkembangan pertanian yang bahkan masih
berlaku sampai sekarang ini.
Gagasan Ibnu Taimiyah tentang harga ekuivalen, pengertiannya terhadap
ketidaksempurnaan pasar dan pengendalian harga, tekanan terhadap peranan negara
untuk menjamin dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat dan gagasannya
terhadap hak milik, memberikan sejumlah petunjuk penting bagi perkembangan
ekonomi dunia sekarang ini. Ibnu Khaldun telah memberikan definisi ekonomi yang
lebih luas dengan menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu pengetahuan yang
positif maupun normatif. Maksudnya mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dan bukan kesejahteraan individu saja. Ibnu Khaldun juga
menyatakan adanya hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekonomi, politik, sosial,
etika, dan pendidikan. Dia memperkenalkan sejumlah gagasan ekonomi yang mendasar
seperti pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja dalam teori

nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan,


sistem harga dan sebagainya.
Secara keseluruhan para cendekiawan tersebut pada umumnya dan Ibnu
Khaldun pada khususnya dapat dianggap sebagai pelopor perdagangan fisiokrat dan
klasik (misalnya Adam Smith, Ricardo, Malthus) dan neo klasik (misalnya Keynes).
Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebutan ekonomi Islam melahirkan kesan
beragam. Bagi sebagian kalangan, kata Islam memposisikan Ekonomi Islam pada
tempat yang sangat eksklusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai
tatanan bagi semua manusia. Bagi lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai
ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis, sehingga ciri khas spesifik
yang dimiliki oleh Ekonomi Islam itu sendiri hilang.
Sebenarnya Ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan
ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya ekonomi Islam merupakan satu sistem yang
dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan ciri
khasnya, ekonomi Islam dapat menunjukkan jati dirinya dengan segala kelebihannya
pada setiap sistem yang dimilikinya.
Ekonomi Rabbani menjadi ciri khas utama dari model Ekonomi Islam. Chapra
menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai
divine economics. Cerminan watak Ketuhanan ekonomi Islam bukan pada aspek
pelaku ekonominya sebab pelakunya pasti manusia tetapi pada aspek aturan atau
sistem yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada
keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah
kepunyaan Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan (QS
3: 109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak
mungkin, tetapi tetap dalam batas koridor aturan main..Dialah yang memberi
kelapangan atau membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki (QS 42: 12; 13: 26).
Atas hikmah Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama
ia tidak menolak untuk mendapatkannya (11: 6). Namun Allah tak pernah menjamin
kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha.
Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam meminjam istilah
dari Ismail Al Faruqi mempunyai sumber nilai-nilai normatif-imperatif, sebagai
acuan yang mengikat. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan
manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas

dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal
memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.
Ekonomi Islam pernah tidak populer sama sekali. Kepopuleran ekonomi Islam
bisa dikatakan masih belum lama. Oleh karena itu, sering muncul pertanyaan, apakah
ekonomi Islam adalah baru sama sekali? Jika melihat pada sejarah dan makna yang
terkandung dalam ekonomi Islam, ia bukan sistem yang baru. Argumen untuk hal ini
antara lain:
1. Islam sebagai agama samawi yang paling mutakhir adalah agama yang dijamin oleh
Allah kesempurnaannya, seperti ditegaskan Allah dalam surat Al-Maidah (5):3. Di
sisi lain, Allah SWT juga telah menjamin kelengkapan isi Al-Quran sebagai
petunjuk bagi umat manusia yang beriman dalam menjalankan perannya sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firmannya QS
Al-Anam (6):38,

2. Sejarah mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai zaman keemasan, yang tidak
dapat disangkal siapapun. Dalam masa itu, sangat banyak kontribusi sarjana muslim
yang tetap sangat diakui oleh semua pihak dalam berbagai bidang ilmu sampai saat
ini, seperti matematika, astronomi, kimia, fisika, kedokteran, filsafat dan lain
sebagainya. Sejarah juga membuktikan, bahwa sulit diterima akal sehat sebuah
kemajuan umat dengan begitu banyak kontribusi dalam berbagai lapangan hidup
dan bidang keilmuan tanpa didukung lebih awal dari kemajuan di lapangan
ekonomi.
3. Sejarah juga mencatat banyak tokoh ekonom muslim yang hidup dan berjaya di
zamannya masing-masing, seperti Tusi, Al-Farabi, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyyah, AlMaqrizi, Syah Waliyullah, Ibnu Khaldun dan lain-lain.[14] Bahkan yang disebut
terakhir (Ibnu Khaldun) diakui oleh David Jean Boulakia[15] sebagai berikut: Ibn
Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few
centuries before their official births. He discovered the virtues and the necessity of
a division of labor before (Adam) Smith and the principle of labor before Ricardo.
He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the
state in the economy before Keynes. The economist who rediscovered mechanisms
that he had already found are too many to be named. . . . although Ibn Khaldun

is the forerunner of many economist, he is an accident of history and has no


consequence on the evolution of economic thought.
Ketiga argumen dan indikator di atas dapat dipakai sebagai pendukung yang
amat meyakinkan bahwa sistem ekonomi Islam bukanlah hal baru sama sekali. Namun
patut diakui bahwa sistem yang pernah berjaya ini pernah tenggelam dalam masa yang
cukup lama, dan sempat dilupakan oleh sementara pihak, karena kuatnya dua sistem
yang pernah berebut simpati dunia yaitu sistem kapitalisme dan sosialisme.
Sistem ekonomi Islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era
modern. Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, ada
empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu:
1. Tahapan Pertama
Dimulai ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki pendidikan formal dalam
bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan
sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga.
Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu haram dan kaum muslimin harus
meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan konvensional. Mereka
mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu membahu mendirikan
lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah dan bukan pada
bunga. Yang menonjol dalam pendekatan ini adalah keyakinan yang begitu teguh
haramnya bunga bank dan pengajuan alternatif. Masa ini dimulai kira-kira apada
pertengahan dekade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir
dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan bank
Islam lokal ayang beroperasi bukan pada bunga. Sementara itu di Mesir juga
didirikan lembaga keuangan yang beroperasi bukan pada bunga pada awal dasa
warsa 1960-an. Lembaga keuangan ini diberi nama Mit Ghomir Local Saving yang
berlokasi di delta sungai Nil, Mesir.
Tahapan ini memang masih bersifat prematur dan coba-coba sehingga
dampaknya masih sangat terbatas. Meskipun demikian tahapan ini telah membuka
pintu lebar bagi perkembangan selanjutnya.
2. Tahapan kedua
Dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan ini para ekonom
Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di
Amerika Serika dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu
dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi terhadap larangan
6

riba (bunga) dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga.
Serangkaian konferensi dan seminar internasional tentang ekonomi dan keuangan
Islam digelar beberapa kali dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik
muslim maupun non-muslim. Konferensi internasional pertama tentang ekonomi
Islam digelar di Makkah al-Mukarromah pada tahun 1976 yang disusul kemudian
dengan konferensi internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional yang
baru di London pada tahun 1977. Setelah itu digelar dua seminar tentang Ekonomi
Moneter dan Fiskal dalam Islam di Makkah pada tahun 1978 dan di Islamabad pada
tahun 1981. Kemudian diikuti lagi oleh konferensi tentang Perbankan Islam dan
Strategi kerja sama ekonomi yang diadakan di Baden-Baden, Jerman pada tahun
1982 yang kemudian diikuti Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi
Islam di Islamabad pada tahun 1983.
Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan
seminar ini digelar yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang
Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Khurshid Ahmad,
kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar tadi
adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang
penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang hukum
bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma para ulama masa kini, tetapi
juga memberikan pedoman bagaimana menghapuskan riba dari perekonomian.
Pada tahapan kedua ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal di
seluruh dunia Islam anatara lain Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan sebagai
bapak ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. M. A. Mannan, Dr. Omar Zubair,
Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M. Nejatullah Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr. Munawar
Iqbal, Dr. Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka adalah ekonom
muslim yang dididik di Barat tetapi memahami sekali bahwa Islam sebagai way of
life yang integral dan komprehensif memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika
diterapkan dengan baik akan mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang
berwibawa di mata dunia.
3. Tahapan ketiga
Ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan perbankan dan
lembaga-lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam
sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual
dan material para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan
7

muslim yang memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada


tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis
non-riba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih
mapan. Bank Islam yang pertama kali didirikan adalah Islamic Development Bank
(IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasa
sama antara negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi
Islam (OKI). Tidak lama kemudian disusul oleh Dubai Islamic Bank. Setelah itu
banyak sekali bank-bank Islam bermunculan di mayoritas negara-negara muslim
termasuk di Indonesia.
4. Tahapan keempat ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif
dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam
terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.
Pengertian dan Prinsip Dasar
Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbedabeda, akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M.
Abdul Mannan,ekonomi Islam adalah sosial science which studies the economics
problems of people imbued with the values of Islam.[16] Menurut Khursid Ahmad,
ekonomi Islam adalah a systematic effort to try to understand the economic problem
and mans behavior in relation to that problem from an Islamic perspective. Sedangkan
menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah the muslim thinkers
response to the economic challenges of their times. This response is naturally inspired
by the teachings of Quran and Sunnah as well as rooted in them.[17]
Dari berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam
adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti,
dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara
yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam).[18] Sedangkan prinsip-prinsip
dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra[19] adalah sebagai berikut:

Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala
apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT,
bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang
memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia
yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.

Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali
dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara
efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan
universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4)
kebebasan manusia.

Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi
dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumbersumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan
yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.

Metodologi Ekonomi Islam


Para pakar ekonomi Islam (seperti Masudul Alam Choudoury, M Fahim Khan,
Monzer Khaf, M. Abdul Mannan, dan lain-lain) telah merumuskan metodologi ekonomi
Islam secara berbeda, tetapi dapat ditarik garis persamaan bahwa semunya bermuara
pada ajaran Islam.Metodologi Ekonomi Islam, dapat diringkaskan sebagai berikut[25]:

Ekonomi Islam dibentuk berdasarkan pada sumber-sumber wahyu, yaitu al-Quran


dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap dua sumber tersebut mestilah mengikuti garis
panduan yang telah ditetapkan oleh para ulama muktabar, bukan secara membabi
buta dan ngawur.[26]

Metodologi ekonomi Islam lebih mengutamakan penggunaan metode induktif.

Ilmu Usul tetap mengikat bagi metodologi ilmu ekonomi Islam. Walaupun begitu
pemikiran kritis dan evaluatif terhadap ilmu usul sangat diperlukan karena pada
dasarnya ilmu usul adalah produk pemikrian manusia.

Penggunaan metode ilmiah konvensional atau metodologi lainnya dapat


dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Ekonomi Islam dibangun di atas nilai dan etika luhur yang berdasarkan Syariat
Islam, seperti nilai keadilan, sederhana, dermawan, suka berkorban dan lain-lain.

Kajian ekonomi Islam bersifat normatif dan positif.

Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat.

Pada dasarnya metodologi yang bersumber dari metode ilmiah memiliki peluang
untuk menghasilkan kesimpulan yang sama dengan yang bersumber dari ilmu usul.
Ilmu usul untuk ayat qauliyah dan metode ilmiah untuk ayat kauniyah

Ekonomi Islam Membentuk Islamic Man


Berbeda dengan ekonomi konvensional yang mengasumsikan manusia sebagai
rational economic man, ekonomi Islam membentuk manusia menjadi islamic man.
Faham rational economic man dalam ekonomi konvensional menuai berbagai kritik. Di
antara kritik-kritik terhadap rasionaliti dalam ekonomi konvensional adalah sebagai
berikut:
1.

Terlalu demanding, karena menganggap setiap agen ekonomi pasti memiliki informasi
lengkap. Ini tentu anggapan yang tidak realistik. Di samping itu terlalu terbatas,
karena memahami self interest secara sangat sempit.

2.

Tidak menggambarkan tingkah laku manusia yang sesungguhnya yaitu apa yang
diasumsikan oleh ekonomi konvensional tidak mewakili perilaku manusia yang
sebenarnya dan mengabaikan sama sekali emosi dan perasan. Clive Hamilton
mengungkapkan bahwa ilmu ekonomi berkait dan bersepakat dengan kehidupan
manusia, sedangkan manusia adalah makhluk yang berperasaan selain berakal, oleh
karena

itu

ekonomi

modern

yang

mengabaikan

perasaan

(moral/etika)

danspirituality merupakan kesalahan yang sangat telak. Memahami sesuatu dengan


hanya berdasarkan akal semata merupakan pemahaman yang tidak lengkap.[27]
3.

Pilihan perlu konsisten. Individu diandaikan rasional jika memilih pilihannya yang
senantiasa konsisten dan mengabaikan perbedaan cita rasa individu. Di samping
itu, dalam setiap pilihannya, setiap individu tidak hanya mempertimbangkan
apakah pilihannya itu memenuhi utilitinya, akan tetapi juga mempertimbangkan
mestikah memilih pilihan itu. Misalnya, pertanyaannya bukan hanya, Dapatkah
benda ini dibeli? Tetapi juga Haruskah minuman keras ini dibeli?. Oleh karena
itu Viktor J. Vanberg[28] menyatakan bahwa karena tidak mungkin mencapai
konsisten yang terus menerus dalam pilihan rasional, beliau menyatakan perlu ada
sebuah teori yang disebut dengan theory of behavioural adaptation.

4.

Terlalu materialistik. Teori ilmu ekonomi konvensional menganggap manusia


senantiasa ingin mencapai keuntungan material yang lebih tinggi sedangkan
sebenarnya ada batasan dalam kehendak manusia. Dalam kenyataannya keinginan
manusia tidak hanya dibatasi oleh budget constrain/level of income, tingkat harga,
atau tingkat modal yang dipunya, tetapi juga oleh hukum, peraturan perundangan,
tradisi, nilai-nilai/ajaran agama, nilai moral, dan tanggung jawab sosial.[29]
Secara

konseptual

terdapat

perberbedaan

mendasar

antara

ekonomi

konvensional dan ekonomi Islam dalam memandang manusia. Ekonomi konvensional


10

mengasumsikan manusia sebagai rational economic man, sedangkan ekonomi Islam


hendak membentuk manusia yang berkarakterkan Islamic man (Ibadurrahman), (QS
25:63). Islamic man dianggap perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsipprinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya
mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan
kesuksesan hidup.
Islamic man dalam mengkonsumsi suatu barangan tidak semata-mata
bertujuan memaksimumkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu
halal atau haram, israf atau tidak, tabzir atau tidak, memudaratkan masyarakat atau
tidak dan lain-lain. Ketakwaannya kepada Allah dan kepercayaannya kepada hari
kiamat membuatnya senantiasa taat kepada rules Allah dan Rasul-Nya.
Islamic man tidak materialistik, ia senantiasa memperhatikan anjuran syariat
untuk berbuat kebajikan untuk masyarakat, oleh karena itu ia baik hati, suka menolong,
dan peduli kepada masyarakat sekitar. Ia ikhlas mengorbankan kesenangannya untuk
menyenangkan orang lain. (QS 2: 215; QS 92: 18-19). Motifnya dalam berbuat
kebajikan kepada orang lain, baik dalam bentuk berderma, bersedekah, menyantuni
anak yatim, maupun mengeluarkan zakat harta, dan sebagainya, tidak dilandasi motif
ekonomi sebagaimana dalam doctrine of social responsibility, tetapi semata-mata
berharap keridhaan Allah SWT.
Dalam ekonomi Islam, tindakan rasional termasuklah kepuasan atau
keuntungan ekonomi dan rohani baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan dalam
ekonomi konvensional cakupan tujuannya terbatas hanya pada kepuasan atau
keuntungan ekonomi saja. Oleh karena itu, dimensi

waktu dalam ekonomi Islam

adalah lebih luas dan menjadi perhatian tersendiri pada tingkat agen-agen ekonomi di
dalam Islam. Dalam ekonomi Islam, di dalam menjalankan perekonomian tidak hanya
berasaskan pada logika semata-mata, akan tetapi juga berasaskan pada nilai-nilai moral
dan etika serta tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk dari Allah SWT.
Manusia perlu bertindak rasional karena ia mempunyai beberapa kelebihan
dibanding ciptaan Allah yang lainnya. Manusia dianggap bertindak rasional apabila
.individu tersebut mengarahkan perilakunya untuk mencapai tahapan maksimum sesuai
dengan norma-norma Islam.[30] Individu rasional adalah individu yang berusaha
memaksimumkan al-falahdibanding memaksimumkan kepentingan diri sendiri.
2.2. Sejarah Kemunculan Sekulerisme
11

Perkataan sekular berasal daripada bahasa Latin yang bererti tiada agama atau
duniawi. Terjemahannya dalam bahasa Arab ialah al-Ilmaniah. Orang Arab yang
beragama Kristian coba mengelirukan umat Islam dengan mendakwa kononnya ia
daripada perkataan ilmu. Terjemahan yang sebenar al-Ilmaniah ialah duniawi.
Alasannya ajaran ini didakwa bersumberkan ilmu dunia yang memberi kemajuan
kepada manusia.Ideologi ini berasal daripada perbalahan hebat antara

pemimpin-

pemimpin kerajaan dengan paderi-paderi gereja.


Begitu juga perbalahan antara sains (ilmu duniawi) dengan paderi-paderi di
gereja. Paderi-paderi gereja memegang kuasa dan mementingkan diri sendiri lalu
mereka bertarung dengan pemerintah dan juga ahli-ahli ilmu duniawi yang dianggap
sebagai penghalang. Perbalahan berakhir dengan melahirkan suatu fahaman yang
membawa ajaran supaya memisahkan agama dengan urusan duniawi. Kemudian, ajaran
ini bertindak memisahkan agama dengan politik supaya politik bersih daripada
pengaruh agama.Ajaran ini diasaskan oleh orang-orang Yahudi pada Revolusi Perancis
1789. Kemudian ia berkembang ke seluruh benua Eropa bagi menyekat pengaruh
gereja dalam pemerintahan dan urusan duniawi dalam kehidupan masyarakat.Tokohtokoh yang menghidupkan ajaran ini dinamakan ahli falsafah atau ahli fikir seperti
Dikart, Spinuza (beragama Yahudi), Rosu dan lain-lain. Pada umumnya sekularisme
telah muncul di Eropa. Lebih khusus dan tepat, sebenarnya sekularisme telah bermula
di Itali pada abad pertengahan. Abad ini adalah merupakan detik yang banyak
membawa perubahan terhadap perkembangan Eropah di dalam segala aspek,
termasuklah perubahan sikap tehadap agama dan keagamaan masyarakat Eropah itu
sendiri.
Kelahiran sekularisme di saat-saat perubahan ke atas pembaharuan semula ini
sememangnya telahpun diramalkan oleh beberapa orang ahli fikir dan ahli falsafah
Eropah pada masa itu. Prancis Auguste Comte,salah seorang failasuf- sosiologi abad
pertengahan telah meramalkan bahawa akan terjadinya suatu pertambahan ilmu dan
keruntuhan agama. Manakala seorang penyair German, Fredrich Nietzsche telah
meramalkan melalui tokohnya Zarahustra bahawa setidak- tidaknya untuk dunia Barat
Tuhan telah mati . Pendek kata para failasuf, penyair-penyair dan pengarangpengarang barat telah menyakini akan datangnya suatu peristiwa pembebasan dari
tuhan dan tanpa ikatan agama sama sekali.
Oleh kerana kedatangan suasana ini telah diyakini oleh para cendikiawan barat
pada masa itu, mereka mula merasakan bahawa umat Kristian tidak akan dapat
12

melarikan diri dari krisis agama yang akan timbul kesan daripada sekularisme. Sebagai
langkah awal untuk mengelakkan dari berlakunya masalah yang mencabar masyarakat
mereka ini,maka terdapat di kalangan mereka telah coba untuk mencarai jalan bagi
menyesuaikan agama Kristian dengan sekularisasi yang akan melanda mereka.
Akhirnya mereka telah mendakwa bahwa sekularisme sememangnya telah ada dalam
kepercayaan kitab Injil dan merupakan salah satu daripada ajaran kitab Injil itu sendiri.
Failasuf Denmark, Soren Kiergard telah berkata. Kita selalu menjadi orang Kristian
sebagai tindakan penyesuaian dengan suasana yang akan melanda mereka beliau amat
menyokong proses konseptualisasi kembali ajaran Kristian dan pendefinisian kembali
konsep mereka tentang Tuhan.
Golongan ini telah berusaha mendapatkan dasar di dalam tafsiran-tafsiran Injil
untuk menyokong dakwaan mereka. Akhirnya mereka telah menganuti satu versi
Kristian yang telah disekularkan Jika diteliti secara mendalam, sebenarnya detik inilah
yang merupakan titik pertama lahirnya sekularisme. Perbuatan para cendikiawan
Eropah ini jelas menunjukkan sikap mereka sendiri yang secular. Sebelum arus
sekularisasi yang sebenar menimpa mereka , mereka awal-awal lagi telah menjadi
masyarakat secular. Mereka telah sanggup mengetepikan soal-soal maruah agama
mereka semata-mata untuk menyesuaikan agama mereka dengan keadaan yang akan
berlaku sehingga mereka telah menyeleweng dari ajaran Injil yang mereka sendiri
mengagungkannya dan mengikuti ajarannya di masa sebelumnya.
Antara penyebab yang menguatkan wujudnya pengaruh sekularisme adalah:
1. Pergolakan Dan perubahan Di Gereja
Pergolakan yang terjadi di gereja adalah merupakan salah satu factor yang
amat penting yang telah membawa sekularisme di Dunia Barat. Sebagaimana yang
telah dijelaskan bahawa sekularisme adalah suatu fahaman yang menjauhi nilainilai agama dari segala aspek kehidupan, maka dengan mengkaji pergolakan yang
tejadi di gereja-gereja Kristian di dunia barat, dapatlah dibongkar sebab-sebab yang
membawa

kepada

timbulnya

sekularisme.

Sepanjang

abad-abad

sebelum

menjelangnya abad keenam belas gereja merupakan satu institusi agama yang amat
dihormati di kalangan masyarakat Kristian. Segala peraturan yang dikeluarkan oleh
pihak Gereja tetap akan dihormati di kalangan masyarakat Kristian. Perundangan
gereja berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Paus dan Majlis Agung. Manakala
golongan gereja

pula dianggap sebagai golongan yang paling mulia di dalam

masyarakat. Keadaan ini telah berubah sama sekali apabila menjelangnya abad
13

keenam

belas. Sikap golongan gereja telah berubah dan penyelewengan-

penyelewengan telah berleluasa dengan ketara sekali sehingga telah menjatuhkan


maruah golongan gereja di kalangan masyarakat umum Kristian.Dalam suasana
keruntuhan imej gereja ini, raja, putera-putera, paus, abbot, dan pendeta-pendeta
Kristian telah mula mengetepikan soal-soal agama Kristian semata-mata untuk
mendapatkan kekayaan.Perkembangan kemajuan binaan telah menarik minat ahliahli gereja kepada kehidupan secular. Mereka lebih cenderung menggalakkan
perkembangan pengetahuan-pengetahuan baharu serta membina tugu-tugu uang
tersergam indah dari meninggikan agama Kristian. Tegasnya kemerosotan institusi
gereja pada permulaan abad keenam belas ini adalah suatu factor yang penting
menyebabkan kelahiran sekularisme di dunia Barat
2. Perkembangan Teknologi dan Pembangunan Masyarakat Pada abad keenam belas
perkembangan teknologi, khususnya teknologi binaan dan proses pembangunan
masyarakat telah berkembang pesat. Perkembanagan ini telah memberi pengaruh
yang besar terhadap kelahiran sekularisme di kalangan masyarakat Kristian di dunia
Barat pada masa itu.Masyarakat barat di waktu itu telah mula berlumba-lumba
mengejar harta kekayaan dan serentak dengan itu mereka telah melupakan nilainilai agama Kristiian sedikit demi sedikit. Keadaan ini bukan sahaja mempengaruhi
masyarakat awam, malah golongan gereja juga turut dipengaruhi dengan teruk
sekali sehingga mereka harus melupakan tanggungjawab mereka tehadap agama
Kristian.
3. Selain daripada senibina , seni drama juga telah berkembang dalam masa yang
sama. Masyarakat Kristian termasuk para penditanya terus leka menimati nilai
estetik yang baru muncul itu tanpa mengambil kira pandangan agama terhadap
bentuk-bentuk kesenian yang mereka nikmati itu. Akhirnya mereka telah
melupakan tangguangjawab mereka terhadap agama. Lorenzo De Medici
merupakan seorang pendita Kristian yang sangat ketara menggemari kesenian
drama dan seni bina.Beliau telah membelanjakan sejumlah besar wang untuk
membina semula Gereja St. Peter di Rom agar lebih menarik. Tindakan ini
menimbulkan banyak tanda Tanya di kalangan masyarakatnya. Beliau terus
membina pejabat-pejabat gereja yang baru kemudiannya menjualkannya dengan
sewenang-wenangnya . Beliau juga mengambil kesempatan untuk mendapatkan
14

wang melalui surat kurnia dan cukai-cukai biasa. Maruah agama terus digadai demi
mendapatkan kekayaan dan kemuliaan. Ramai Bishop dan Aabot. mengabaikan
tugas malah sebahagian dari pendita-pendita Kristian masyur sebagai ahli politik
dan pencari wang yang suka menindas dan suka berbelanja dengan boros. Robert
Eargang, pengarang buku Europe From the Renaissance To Waterloo juga ada
menyebutkan di dalam buku karangannya itu bahwa faktor-faktor yang disebutkan
tadi adalah diantara faktor-faktor yang telah memberi peluang kebangkitan
sekularisme di dunia Barat.
4. Perkembangan Ekonomi di Zaman Pembaharuan
Perkembangan ekonomi yang pesat berikutan proses pembaharuan yang
berlaku pada abad pertengahan sedikit sebanyak memainkan peranannya yang
tersendiri dalam membangkitkan sekularisme di dunia barat. Robert Eagang
mengatakan di dalam bukunya Europe From The Renaissance to Waterloo
bahawa sikap perekonomian masyarakat eropah yang materialistik yang diwarisi
turun temurun dan sebati dengan kehidupan mereka adalah satu faktor yang penting
yang menyebabkan lahirnya sekularisme di barat. Sikap ini terus mendapat
rangsangan dari kebangkitan ekonomi yang pesat menyebabkan masyarakat dunia
barat mengenepikan nilai-nilai agama mereka. Kedudukan Itali yang strategik di
Medeterenian sangat menggalakakn perkembangan perdagangan antarabangsa
5. Seluruh masyarakat Kristian dari berbagai lapisan termasuklah golongan agama
Kristian terus hanyut di dalam arus perkembangan sosio-ekonomi yang pesat tanpa
kawalan agama. Kelahiran Ilmu Pengaetahuan Baru Ilmu pengetahuan berkembang
dengan pesatnya di dunia barat ketika berlaku pembaharuan Renaissance.
Berbagai-bagai bidang ilmu pengetahuan telah dikembangkan sepanjang tempoh
itu. Kombinasi pengajaran terhadap ilmu-ilmu pengetahuan baharu, resapan-resapan
pengajian klasik dan penghargaan terhadap faham berhala purba telah
6. Pengaruh Kapitalisme

Di saat-saat perkembangan, pembaharuan dan pembangunan yang pesat di


dunia barat, suatu fahaman yang dikenali sebagai fahaman kapitalis telah muncul di

15

dalam masyarakat. Perasaan mementingkan diri mendapat keuntungan dan


kebendaan meluap-luap di jiwa masyarakat dunia barat di waktu itu. Dengan tidak
segan silu lagi masyarakat ini sanggup menyelewengkan penggunaan wang dan
harta kekayaan gereja. Gejala ini amat ketara di kalangan pendita Kristian sendiri.
Mereka mendakwa bahawa harta kekayaan gereja hendaklah digunakan untuk
mendapatkan kekayaan.Masyarakat ini tidak lagi mempunyai perasaan dan
kesedaran untuk memperbaiki keadaan maruah agama mereka sendiri.Bahkan
segala tanggungjawab mengenai agama telah dilupakan oleh sebahagian dari
golongan gereja sendiri.
Sebagimana yang diketahui sekularisme ialah ideologi bahawa urusan
keduniaan seperti politik, pentadbiran dan undang-undang harus dipisahkan dari
urusan

keagamaan.

Sekularisme

juga

boleh

bermaksud

fahaman

yang

menggalakkan idea atau nilai sekular dalam ruang awam atau peribadi. Mereka
yang berpegang kepada fahaman ini adalah dipanggil golongan sekularis. Secara
ringkasnya sekularisme adalah memperjuangkan hak untuk bebas dari peraturan dan
ajaran agama, dan kebebasan dari ajaran agama yang dipaksakan oleh pemerintah
ke atas rakyat, Sekularisme juga dapat difahami sebagai sebuah negara yang
bersifat neutral dalam hal-hal keagamaan, dan juga tidak memberi keistimewaan
terhadap mana-mana agama. Dengan kata lain, sekularisme merujuk kepada
kepercayaan bahawa kegiatan dan keputusan yang dibuat oleh manusia,
terutamanya yang berkaitan politik, harus berdasarkan bukti dan fakta bukannya
pengaruh agama. Tujuan dan alasan menyokong sekularisme adalah pelbagai. Kini
Di Eropah, sekularisme disokong kerana ia adala suatu pergerakan ke arah
modernisasi. Sekularisme jenis ini, pada tahap sosial dan falsafah, masih
mengekalkan agama rasmi negara atau sokongan rasmi yang lain. Di Amerika
Syarikat, sesetengah orang berpendapat sekularisme melindungi agama daripada
diganggu kerajaan, dan pada masa yang sama di peringkat sosial sekularisme tidak
meluas. Di kebanyakan negara pula, pergerakan politik yang berlainan menyokong
sekularisme kerana pelbagai alasan.
Sehubungan ini, fahaman terhadap sekularisme ini telah sebati dengan diri
masyarakat Eropah; ia telah membawa pengaruh yang amat mendalam dalam
pelbagai aspek kehidupan manusia. Dalam rangkuman aspek-aspek tersebut; aspek
kehidupan manusia dan aspek pegangan agama menjadi perkara yang asas dalam
mamahami pengaruh sekularisme kini. Dalam aspek kehidupan banyak perkara
16

yang dapat dijadikan contoh berkenaan pengaruh sekularisme ini, contohnya ialah
manusia tidak lagi memandang tinggi aspek keagamaan dalam kehidupan seharian
malah ia dipandang mudah. Perlakuan ini adalah tidak menjurus kepada dunia
masyarakat di dunia barat sahaja, bahkan penduduk yang berada di negara yang
mendukung undang-undang Islam pun sudah terpengaruh dengan ideologi
sekularisme. Bagi pandangan mereka hak-hak keagamaan adalah menjadi suatu
penghalang bagi mereka untuk menjalankan aktiviti harian mereka. Contohnya
dapat dilihat dalam dunia barat dimana hanya segelintir sahaja penganut-penganut
kristian yang mengunjungi gereja-gereja untuk beribadat yang mana ia adalah
menjadi suatu identiti dalam kehidupan beragama. Contoh dalam masyarakat Islam
pula: pengaruh sekularisme secara umum kini dapat dilihat apabila ada kesan yang
menunjukkan bahawa ada segelintir umat islam yang melanggar perintah-perintah
Allah yang mana menjadi satu kewajipan untuk meninggalkannya atau pun
menghindarinya; seperti gejala tidak berpuasa di bulan Ramadhan yang mana
berpuasa itu merupakan suatu kewajipan yang dituntut dalam agama Islam. Ini
menunjukkan bahawasanya individu mukallaf yang meningalkan seruan itu adalah
berfikiran sekular kerana meremeh-temehkan hal-hal keagamaan. Ini membuktikan
bahawasanya bagi mereka berpuasa adalah menjadi suatu beban dan tidak perlu
dilaksanakan. Ini menepati dengan salah satu daripada ciri-ciri sekularisme iaitu
memisahkn hal-hal keagamaan dengan hal-hal dunia. Sedangkan dalam agama
Islam semua perkara yang berkaitan dengan keagamaan adalah berhubung kait
dengan aktiviti kehidupan manusia dan tidak boleh dipisahkan.
2.3. Pandangan Islam Terhadap Sekularisme
Inti dari faham sekularisme menurut An-Nabhani (1953) adalah pemisahan
agama dari kehidupan (falud-din anil-hayah). Menurut Nasiwan (2003), sekularisme
di bidang politik ditandai dengan 3 hal, yaitu: (1). Pemisahan pemerintahan dari
ideologi keagamaan dan struktur eklesiatik, (2). Ekspansi pemerintah untuk mengambil
fungsi pengaturan dalam bidang sosial dan ekonomi, yang semula ditangani oleh
struktur keagamaan, (3). Penilaian atas kultur politik ditekankan pada alasan dan tujuan
keduniaan yang tidak transenden.
Tahun yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya sekularisme adalah 1648.
Pada tahun itu telah tercapai perjanjian Westphalia. Perjanjian itu telah mengakhiri
Perang Tiga Puluh Tahun antara Katholik dan Protestan di Eropa. Perjanjian tersebut
17

juga telah menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan
dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp,
1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itulah aturan main kehidupan
dilepaskan dari gereja yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Asumsinya adalah bahwa
negara itu sendirilah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya, sehingga
negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya. Sementara itu, Tuhan atau
agama hanya diakui keberadaannya di gereja-gereja saja.
Awalnya sekularisme memang hanya berbicara hubungan antara agama dan
negara. Namun dalam perkembangannya, semangat sekularisme tumbuh dan berbiak ke
segala lini pemikiran kaum intelektual pada saat itu. Sekularisme menjadi bahan bakar
sekaligus sumber inspirasi ke segenap kawasan pemikiran. Paling tidak ada tiga
kawasan penting yang menjadi sasaran perbiakan sekularisme, sebagaimana yang akan
diungkap dalam tulisan ini:
1. Pengaruh Sekularisme di Bidang Aqidah
Semangat sekularisme ternyata telah mendorong munculnya libelarisme dalam
berfikir di segala bidang. Kaum intelektual Barat ternyata ingin sepenuhnya membuang
segala sesuatu yang berbau doktrin agama (Altwajri,1997). Mereka sepenuhnya ingin
mengembalikan segala sesuatunya kepada kekuatan akal manusia. Termasuk
melakukan reorientasi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hakikat manusia,
hidup dan keberadaan alam semesta ini (persoalan aqidah).
Altwajri memberi contoh penentangan para pemikir Barat terhadap faham
keagamaan yang paling fundamental di bidang aqidah adalah ditandai dengan
munculnya berbagai aliran pemikiran seperti: pemikiran Marxisme, Eksistensialisme,
Darwinisme, Freudianisme dsb., yang memisahkan diri dari ide-ide metafisik dan
spiritual tertentu, termasuk gejala keagamaan. Pandangan pemikiran seperti ini
akhirnya membentuk pemahaman baru berkaitan dengan hakikat manusia, alam
semesta dan kehidupan ini, yang berbeda secara diametral dengan faham keagamaan
yang ada. Mereka mengingkari adanya Pencipta, sekaligus tentu saja mengingkari misi
utama Pencipta menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Mereka lebih
suka menyusun sendiri, melogikakannya sediri, dengan kaidah-kaidah filsafat yang
telah disusun dengan rapi.
2. Pengaruh Sekularisme di Bidang Pengaturan Kehidupan

18

Pengaruh dari sekularisme tidak hanya berhenti pada aspek yang paling
mendasar (aqidah) tersebut, tetapi terus merambah pada aspek pengaturan kehidupan
lainnya dalam rangka untuk menyelesaikan segenap persoalan kehidupan yang akan
mereka hadapi. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari ikrar mereka untuk
membebaskan diri dari Tuhan dan aturan-aturanNya. Sebagai contoh sederhana yang
dapat dikemukakan penulis adalah:
-

Di Bidang Pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan, yang dianggap sebagai pelopor pemikiran
modern dalam bidang politik adalah Niccola Machiavelli, yang menganggap bahwa
nilai-nilai tertinggi adalah yang berhubungan dengan kehidupan dunia dan
dipersempit menjadi nilai kemasyhuran, kemegahan dan kekuasaan belaka. Agama
hanya diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung
agama itu sendiri (Nasiwan, 2003). Disamping itu muncul pula para pemikir
demokrasi seperti John Locke, Montesquieu dll. yang mempunyai pandangan
bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan konstitusional yang mampu
membatasi dan membagi kekuasaan sementara dari mayoritas, yang dapat
melindungi kebebasan segenap individu-individu rakyatnya. Pandangan ini
kemudian melahirkan tradisi pemikiran politik liberal, yaitu sistem politik yang
melindungi kebebasan individu dan kelompok, yang didalamnya terdapat ruang
bagi masyarakat sipil dan ruang privat yang independen dan terlepas dari kontrol
negara (Widodo, 2004). Konsep demokrasi itu kemudian dirumuskan dengan sangat
sederhana dan mudah oleh Presiden AS Abraham Lincoln dalam pidatonya tahun
1863 sebagai: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Roberts &
Lovecy, 1984).

Di Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, mucul tokoh besarnya seperti Adam Smith, yang menyusun
teori ekonominya berangkat dari pandangannya terhadap hakikat manusia. Smith
memandang bahwa manusia memiliki sifat serakah, egoistis dan mementingkan diri
sendiri. Smith menganggap bahwa sifat-sifat manusia seperti ini tidak negatif, tetapi
justru sangat positif, karena akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan secara keseluruhan. Smith berpendapat bahwa sifat egoistis manusia
ini tidak akan mendatangkan kerugian dan merusak masyarakat sepanjang ada
persaingan bebas. Setiap orang yang menginginkan laba dalam jangka panjang
19

(artinya serakah), tidak akan menaikkan harga di atas tingkat harga pasar
(Deliarnov, 1997).
-

Di Bidang Sosiologi
Dalam bidang sosiologi, muncul pemikir besarnya seperti Auguste Comte,
Herbert Spencer, Emile Durkheim dsb. Sosiologi ingin berangangkat untuk
memahami bagaimana masyarakat bisa berfungsi dan mengapa orang-orang mau
menerima kontrol masyarakat. Sosiologi juga harus bisa menjelaskan perubahan
sosial, fungsi-fungsi sosial dan tempat individu di dalamnya (Osborne & Loon,
1999). Dari sosiologi inilah diharapkan peran manusia dalam melakukan rekayasa
sosial dapat lebih mudah dan leluasa untuk dilakukan, ketimbang harus pasrah
dengan apa yang dianggap oleh kaum agamawan sebagai ketentuan-ketentuan
Tuhan.

Di Bidang Pengalaman Agama


Dalam pengamalan agama-pun ada prinsip sekularisme yang amat terkenal
yaitu faham pluralisme agama yang memiliki tiga pilar utama (Audi, 2002), yaitu:
prinsip kebebasan, yaitu negara harus memperbolehkan pengamalan agama apapun
(dalam batasan-batasan tertentu); prinsip kesetaraan, yaitu negara tidak boleh
memberikan pilihan suatu agama tertentu atas pihak lain; prinsip netralitas, yaitu
negara harus menghindarkan diri pada suka atau tidak suka pada agama. Dari
prinsip pluralisme agama inilah muncul pandangan bahwa semua agama harus
dipandang sama, memiliki kedudukan yang sama, namun hanya boleh mewujud
dalam area yang paling pribagi, yaitu dalam kehidupan privat dari pemelukpemeluknya.

3. Pengaruh Sekularisme di Bidang Akademik


Di bidang akademik, kerangka keilmuan yang berkembang di Barat mengacu
sepenuhnya pada prinsip-prinsip sekularisme. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari
kategorisasi filsafat yang mereka kembangkan yang mencakup tiga pilar utama
pembahasan, yaitu (Suriasumantri, 1987): filsafat ilmu, yaitu pembahasan filsafat yang
mengkaji persoalan benar atau salah; filsafat etika, pembahasan filsafat yang mengkaji
persoalan baik atau buruk; filsafat estetika, pembahasan filsafat yang mengkaji
persoalan indah atau jelek.
20

Jika kita mengacu pada tiga pilar utama yang dicakup dalam pembahasan
filsafat tersebut, maka kita dapat memahami bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan
hanya didapatkan dari akal manusia, bukan dari agama, karena agama hanya
didudukkan sebagai bahan pembahasan dalam lingkup moral dan hanya layak untuk
berbicara baik atau buruk (etika), dan bukan pembahasan ilmiah (benar atau salah).
Dari prinsip dasar inilah ilmu pengetahuan terus berkembang dengan berbagai
kaidah metodologi ilmiahnya yang semakin mapan dan tersusun rapi, untuk
menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan yang lebih maju. Dengan prinsip
ilmiah ini pula, pandangan-pandangan dasar berkaitan dengan aqidah maupun
pengaturan kehidupan manusia sebagaimana telah diuraikan di atas, semakin
berkembang, kokoh dan tak terbantahkan karena telah terbungkus dengan kedok ilmiah
tersebut.
Dari seluruh uraian singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
sekularisme telah hadir di dunia ini sebagai sebuah sosok alternatif yang menggantikan
sepenuhnya peran Tuhan dan aturan Tuhan di dunia ini. Hampir tidak ada sudut
kehidupan yang masih menyisakan peran Tuhan di dalamnya, selain tersungkur di sudut
hati

yang

paling

pribadi

dari

para

pemeluk-peluknya

yang

masih

setia

mempertahankannya. Entah mampu bertahan sampai berapa lama?


4. Umat Islam dan Sekularisme
Perkembangan sekularisme di Barat ternyata tidak hanya berhenti di tanah
kelahirannya saja, tetapi terus berkembang dan disebarluaskan ke seantero dunia,
termasuk di dunia Islam. Seiring dengan proses penjajahan yang mereka lakukan ideide sekularisme terus ditancapkan dan diajarkan kepada generasi muda Islam. Hasilnya
sungguh luar biasa, begitu negeri-negeri Islam mempunyai kesempatan untuk
memerdekakan diri, bentuk negara dan pemerintahan yang di bangun ummat Islam
sepenuhnya mengacu pada prinsip sekularisme dengan segala turunannya. Mulai dari
pengaturan pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, termasuk tentunya adalah dalam
pengembangan model pendidikannya. Boleh dikatakan hampir tidak ada satupun bagian
dari penataan negeri ini yang terbebas dari prinsip sekularisme tersebut.
Bahkan di garda terakhir, yaitu di lembaga pendidikan formal Islam di dunia
Islam-pun tidak luput dari serangan sekularisme tersebut. Pada awalnya (di Indonesia
tahun 1970-an), pembicaraan mengenai penelitian agama, yaitu menjadikan agama
(lebih khusus adalah agama Islam) sebagai obyek penelitian adalah suatu hal yang
21

masih dianggap tabu (Mudzhar, 1998). Namun jika kita menengok perkembangannya,
khususnya yang meyangkut metodologi penelitiannya, maka akan kita saksikan bahwa
agama Islam benar-benar telah menjadi sasaran obyek studi dan penelitian. Agama telah
didudukkan sebagai gejala budaya dan gejala sosial. Penelitian agama akan melihat
agama sebagai gejala budaya dan penelitian keagamaan akan melihat agama sebagai
gejala sosial (Mudzhar, 1998).
Jika obyek penelitian agama dan keagamaan hanya memberikan porsi agama
sebatas pada aspek budaya dan aspek sosialnya saja, maka perangkat metodologi
penelitiannya tidak berbeda dari perangkat metodologi penelitian sosial sebagaimana
yang ada dalam episthemologi ilmu sosial dalam sistem pendidikan sekuler. Dengan
demikian ilmu yang dihasilkannya-pun tidak jauh berbeda dengan ilmu sosial lainnya,
kecuali sebatas obyek penelitiannya saja yang berbeda yaitu: agama
Dengan demikian, semakin lengkaplah peran sekularisme untuk memasukkan
peran agama dalam peti matinya. Oleh karena itu tidak perlu heran, jika kita
menyaksikan di sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim, peran agama
(Islam) sama sekali tidak boleh nampak dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat
dan bernegara secara riil, kecuali hanya sebatas spirit moral bagi pelaku penyelenggara
negara, sebagaimana yang diajarkan oleh sekularisme.
Ummat Islam akhirnya memiliki standar junjungan baru yang lebih dianggap
mulia ketimbang standar-standar yang telah ditetapkan oleh Al Qran dan As Sunnah.
Ummat lebih suka mengukur segala kebaikan dan keburukan berdasarkan pada nilainilai demokrasi, HAM, pasar bebas, pluralisme, kebebasan, kesetaraan dll. yang
kandungan nilainya banyak bertabrakan dengan Islam.
5. Pandangan Islam Terhadap Sekularisme
Jika sebuah ide telah menjadi sebuah raksasa yang menggurita, maka tentunya
akan sangat sulit untuk melepaskan belenggu tersebut darinya. Terlebih lagi ummat
Islam sudah sangat suka dan jenak dengan tata kehidupan yang sangat sekularistik
tersebut. Dan sebaliknya, mereka justru sangat khawatir dan takut jika penataan negara
ini harus diatur dengan syariat Islam. Mereka khawatir, syariat Islam adalah pilihan
yang tidak tepat untuk kondisi masyarakat nasional dan internasional saat ini, yang
sudah semakin maju, modern, majemuk dan pluralis. Mereka khawatir, munculnya
syariat Islam justru akan menimbulkan konflik baru, terjadinya disintegrasi,

22

pelanggaran HAM, dan mengganggu keharmonisan kehidupan antar ummat beragama


yang selama ini telah tertata dan terbina dengan baik (menurut mereka).
Untuk dapat menjawab persoalan ini, marilah kita kembalikan satu-per satu
masalah ini

pada bagaimana pandangan Al Quran terhadap prinsip-prinsip

sekularisme di atas, mulai dari yang paling mendasar, kemudian turunan-turunannya.


Kita mulai dari firman Allah dalam Q.S. Al Insan: 2-4:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur,
yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami
jadikan dia mendengar dan melihat
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya dengan jalan yang lurus, ada yang bersyukur
ada pula yang kafir
Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka
yang menyala-nyala
Ayat-ayat di atas memberitahu dengan jelas kepada manusia, mulai dari siapa
sesungguhnya Pencipta manusia, kemudian untuk apa Pencipta menciptakan manusia
hidup di dunia ini. Hakikat hidup manusia di dunia ini tidak lain adalah untuk
menerima ujian dari Allah SWT, berupa perintah dan larangan. Allah juga memberi
tahu bahwa datangnya petunjuk dari Allah untuk hidup manusia bukanlah pilihan bebas
manusia (sebagaimana prinsip HAM), yang boleh diambil, boleh juga tidak. Akan
tetapi, merupakan kewajiban asasi manusia (KAM), sebab jika manusia menolaknya
(kafir) maka Allah SWT telah menyiapkan siksaan yang sangat berat di akherat kelak
untuk kaum kafir tersebut.
Selanjutnya, bagi mereka yang berpendapat bahwa jalan menuju kepada
petunjuk Tuhan itu boleh berbeda dan boleh dari agama mana saja (yang penting tujuan
sama), sebagaimana yang diajarkan dalam prinsip pluralisme agama di atas, maka hal
itu telah disinggung oleh Allah dalam firmanNya Q.S. Ali Imran: 19 & 85:
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam
Barangsiapa mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu) dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang merugi (masuk neraka).
Walaupun Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang diridhai,
namun ada penegasan dari Allah SWT, bahwa tidak ada paksaan untuk masuk Islam.
Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqarah: 256:

23

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang salah.
Jika Islam harus menjadi satu-satunya agama pilihan, yang menjadi
pertanyaan berikutnya adalah, sejauh mana manusia harus melaksanakan agama Islam
tersebut? Allah SWT memberitahu kepada manusia, khususnya yang telah beriman
untuk mengambil Islam secara menyeluruh. Firman Allah SWT, dalam Q.S. Al
Baqoroh: 208:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya dan
janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnaya setan itu musuh yang
nyata bagimu.
Perintah untuk masuk Islam secara keseluruhan juga bukan merupakan pilihan
bebas, sebab ada ancaman dari Allah SWT, jika kita mengambil Al Quran secara
setengah-setengah. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqoroh: 85:
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar kepada sebahagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak akan lengah dari apa yang
kamu perbuat.
Walaupun penjelasan Allah dari ayat-ayat di atas telah gamblang, namun
masih ada kalangan ummat Islam yang berpendapat bahwa kewajiban untuk terikat
kepada Islam tetap hanya sebatas persoalan individu dan pribadi, bukan persoalan
hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Untuk menjawab
persoalan itu ada banyak ayat yang telah menjelaskan hal itu, di antaranya Q.S. Al
Maidah: 48:
Maka hukumkanlah di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan, dan janganlah
engkau mengikuti hawa nafsu mereka (dengan meninggalkan) kebenaran yang telah
datang kepada engkau.
Perintah tersebut menunjukkan bahwa Al-Quran diturunkan juga berfungsi
untuk mengatur dan menyelesaikan perkara yang terjadi di antara manusia. Dan dari
ayat ini juga dapat diambil kesimpulan tentang keharusan adanya pihak yang
mengatur, yaitu penguasa negara yang bertugas menerapkan Al-Quran dan AsSunnah. Hal itu diperkuat dalam Q.S. An Nissa: 59:
Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
24

kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Selain itu juga ada pembatasan dari Allah SWT, bahwa yang berhak untuk
membuat hukum hanyalah Allah SWT. Manusia sama sekali tidak diberi hak oleh
Allah untuk membuat hukum, tidak sebagaimana yang diajarkan dalam prinsip
demokrasi. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al Anam: 57:
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya
dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.
Oleh karena itu tugas manusia di dunia hanyalah untuk mengamalkan apa-apa
yang telah Allah turunkan kepadanya, baik itu menyangkut urusan ibadah, akhlaq,
pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan dsb. Jika manusia termasuk penguasa
enggan untuk menerapkan hukum-hukum Allah, maka ada ancaman yang keras dari
Allah SWT, diantaranya, firman Allah dalam Q.S. Al Maidah: 44, 45 dan 47:
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir (44). orang yang zalim (45). orang
yang fasik (47).
Terhadap mereka yang terlalu khawatir terhadap dengan diterapkannya
syariat Islam, dan menganggap akan membahayakan kehidupan ini, maka
cukuplah adanya jaminan dari firman Allah SWT dalam Q.S. Al Anbiya: 107:
Dan tiadalah Kami mengutusmu kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.
Ayat tersebut menerangkan bahwa munculnya rahmat itu karena diutusnya
Nabi (yang membawa Islam), bukan yang sebalikya, yaitu setiap yang nampaknya
mengandung maslahat itu pasti sesuai dengan Islam. Dengan demikian jika ummat
manusia ingin mendapatkan rahmat dari Tuhannya, tidak bisa tidak melainkan
hanya dengan menerapkan dan mengamalkan syariat Islam. Selain itu, ayat
tersebut juga menegaskan bahwa rahmat tersebut juga berlaku untuk muslim, non
muslim maupun seluruh semesta alam ini. Insya Allah. Wallu alam bishshawab.
2.4. Contoh Kasus: Sekularisme dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial di
Turki
Awal Mula Sekularisme di Turki
25

Sejak runtuhnya kekuasaan Ottoman 1923 silam, Bapak Turki Mustafa Kemal
Attaturk menjadi pengikis pengaruh Islam dalam keseharian masyarakat dan
pemerintahan di Istanbul. Attaturk sengaja menghapuskan simbol-simbol agama. Dia
memaksakan budaya barat dengan mempromosikan sekulerisme.
Cita-cita Attaturk tercapai. Menjadikan Turki sebagai republik, yang bukan
cuma sekuler, tapi juga menolak keberadaan agama. Padahal realisme sosial
menunjukkan, lebih dari 50 persen populasi di Turki hingga hari ini adalah muslim.
Sekularisme pun mencuatkan permusuhan terhadap agama. Lebih dari 90 tahun, Islam
dan sekulerisme adalah persoalan paling emosional di Turki. Sekulerisme menjadikan
Islam sebagai musuh utama negara. Negara memberi benteng tinggi dan tebal,
penghalang nuansa Islam di negara itu. Salah satunya adalah regulasi larangan berjilbab
dan berjanggut panjang.
Negara tidak main-main dengan aturan dan sanksi yang didapat. Seorang
pegawai negeri dan pejabat pemerintah akan dicabut kewarganegaraannya jika
melawan. Pernah pada 1999, anggota parlemen perempuan Merve Kavakci sengaja
menguji keberlakuan hukum itu. Blasteran Turki-Amerika itu melenggang dengan
jilbab menutupi bagian rambut dan lehernya saat sidang perdana. Perdebatan hebat pun
terjadi. Kavakci bukan saja dipecat sebagai anggota legislatif. Atas nama negara,
Kavakci diusir setelah dihapus kewarganegaraannya.
Kembalinya Kejayaan Islam di Turki
Partai Keadilan dan Pembangungan (bahasa Inggris: Justice and Development
Party) , (bahasa Turki: Adalet ve Kalknma Partisi) adalah sebuah partai politik di
negara Turki. Partai Keadilan dan Pembangunan Turki sering juga di singkat JDP,AK
PART, AKP atau PKP dalam Bahasa Indonesia. Partai ini berhaluan kanan moderat
dengan ideologi partai yang konservatif. Saat ini menjadi partai terbesar dengan meraih
327 anggota parlemen Turki. PKP Turki dipimpin oleh Recep Tayyip Erdogan
Kemenangan AKP dalam pemilihan umum 2002 membawa dimensi baru.
Perang melawan sekulerisme dan sikap represif pun dimulai. AKP tidak spontan dengan
visi ke-Islaman. Faksi Islam ini memberi dinamika berdemokrasi yang wajar.
Mengurung Islam dianggap sebagai sikap yang bertentangan dengan paham demokrasi.
AKP menginginkan kepercayaan mayoritas itu menjadi entitas yang harus diakui
keberadaannya.

26

AKP menolak sangkaan hendak mengubah Turki jadi negara Islam. Bagi AKP
perlu memastikan jaminan hak terhadap muslim di negara itu. Dan jilbab adalah salah
satu hak seorang muslim. Larangan berjilbab adalah penderitaan paling pilu bagi
muslim di negara ini.
Erdogan sebenarnya sudah mulai melawan sikap anti-Islam sejak dirinya
memimpin. Erdogan mencabut larangan berjilbab 2011 lalu di teritorial terbatas. Jilbab
pun mulai kembali dikenakan di kampus dan sekolah. Cemoohan dari oposisi terjadi.
Namun Erdogan mengimbangi hal tersebut dengan pembangunan dan kesejahteraan
rakyat Turki.
Kemenangan Erdogan ini membuat kelompok oposisi mulai kehilangan
pengaruh. Anggota Partai Rakyat Republik (CHP) Sezgin Tanrikulu berpendapat bahwa
pencabutan larangan berjilbab adalah diskriminasi terhadap warga negara. Bagi tokoh
oposan ini, AKP tidak paham tentang makna demokrasi. Menurutnya, hal tersebut
adalah sikap untuk kalangan tertentu yang jauh dari makna kebebasan kita Turki.
Islam, Demokrasi, dan Sekularisme
Terdapat kemiripan antara Turki dan Indonesia, dalam hal keduanya sebagai
non-Arabic country yang mayoritas rakyatnya adalah muslim. Tetapi banyak faktor
lain yang membuat Indonesia dan Turki sangat berbeda. Bangsa Turki sangat bangga
akan sejarahnya yang pernah menguasai dunia yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi
keislaman. Di sini jelas sangat berbeda dari Indonesia yang dahulunya pusat HinduBudha dan jadi obyek penjajahan sampai hari ini.
Bangsa dan negara Turki jauh lebih homogen dari sisi agama dan budaya
ketimbang Indonesia. Di sana persaingan politik yang muncul antara kubu militer,
kelompok sekuler dan Islamis. Isu minoritas agama tidak begitu signifikan. Yang ada
adalah gerakan separatis suku Kurdi yang juga menjadi masalah di negara tetangga
Turki.
Begitu kuatnya dan lamanya peran militer dalam mengendalikan negara yang
juga mengklaim sebagai pengawal sekularisme Kemalisme, punya implikasi sangat
signifikan bagi perkembangan Islam di Turki untuk memasuki domain politik. Dalam
hal ini sangat berbeda dari Indonesia, di mana agama dan politik bersimbiosis dengan
konsekuensi plus-minusnya.
Simbol agama tidak boleh masuk ke ranah politik. Tak ada seremoni
keagamaan di lingkungan istana dan ruang-ruang negara. Agama lalu tumbuh dalam
27

wilayah pribadi, keluarga dan, forum pengajian dengan wadah gerakan tarekat dan seni
sebagai preservasinya. Masjid berada di bawah kontrol dan kendali negara, ImamKhatib merupakan pegawai negeri yang digaji pemerintah.
Dengan kemajuan ekonomi yang lebih baik ketimbang Eropa, maka
masyarakat secara swadaya mendirikan masjid yang bermunculan di berbagai pelosok
kota dan desa, yang membawa konsekuensi pemerintah mesti juga mendirikan sekolahsekolah atau perguruan tinggi untuk mendidik Imam-Khatib dan menggajinya.
Jadi, saat ini bermunculan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dalam
bidang keislaman yang ternyata berkembang berbalik dari apa yang dibayangkan
Kemal Attaturk pada awal mulanya. Terlebih lagi dengan kemajuan demokrasi dan
perbaikan ekonomi, banyak alumni sekolah-sekolah keislaman yang melanjutkan studi
ke luar negeri, baik ke Timur Tengah maupun ke Barat, persis fenomena anak-anak
santri Indonesia yang belajar ilmu sosial ke Barat.
Mereka tetap setia berada di atas jalur konstitusi sebagai negara sekuler, lalu
nilai keislaman diartikulasikan dan diekspresikan secara substansial di dalam kinerja
mereka secara profesional. Kondisi ini mendorong kubu Islamis lebih mengedepankan
program dan prestasinya tanpa melekatkan simbol-simbol agama. Oleh karena itu
berbagai pidato politik di Turki tak ada yang mengutip ayat-ayat Alquran atau Hadith,
sehingga kubu militer dan sekuler tak punya alasan memperkarakan kelompok Islamis,
seperti AKP, sebagai penentang Kemalisme-Sekularisme.
Lebih jauh lagi, kekuatan Barat dan Eropa yang tidak senang pada Islam juga
tidak punya alasan kuat untuk memberi cap AKP sebagai anti demokrasi model Barat.
Jadi, Turki telah ikut memperkaya eksperimentasi sejarah Islam bagaimana menjaga
tradisi keislaman dalam sistem demoklrasi sekuler, tanpa kehilangan identitas nasional
dan ghirah keislamannya.

28

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi
yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau
kepercayaan. Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan
manusia, terutama yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti
konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan.
Sekularisme menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu
pengetahuan dan memandang ilmu pengetahuan otonom pada dirinya. Manusia mempunyai
otonomi untuk berbuat bebas sesuai dengan apa yang ia kehendaki berdasarkan rasio. Dalam
perkembangannya selanjutnya sekularisme yang terkristalkan dalam paham filsafat, menjadi
paham ideologi politik dan sosial, dimana negara dan kehidupan sosial terlepas dari
interpensi agama.
Islam memandang sekularisme sebagai paham yang kontradiktif dengan ajaran Islam.
Dalam sekularisme pendiokotomian seluruh aspek kehidupan dengan agama sangat kontras,
karena ia meyakini tidak terdapat hubungan yang signifikan diantara keduanya. Sedangkan
29

Islam merupakan sistem sempurna yang merangkum urusan kehidupan manusia semuanya. Ia
merangkum negara, kerajaan, rakyat, akidah, syariat, akhlak, ekonomi, keadilan, undangundang, ilmu, jihad, dakwah, kemiliteran dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas,

S.M.A.,

1981,

Islam

dan

Sekularisme,

diterjemahkan

oleh:

Karsidjo

Djodjosuwarno, Peneribit Pustaka, Bandung.


Al-Qardhawi, Y., 1997, Islam dan Sekularisme, diterjemahkan oleh: Amirullah Kandu, Lc.,
CV. Pustaka Setia, Bandung.
Hidayat,

Komarrudin.

2013.

Islam,

Demokrasi,

dan

Sekularisme

di

Turki.

(http://paramadina.or.id/2013/11/06/islam-demokrasi-dan-sekularisme-di-turki/, diakses
10 Maret 2016)
Irwan bin Mohd Subri, 2010, Hakikat sekularisme dan Bahayanya, http://www.voaislam.com/trivia/liberalism/2010/01/07/2471/hakikat-sekularisme-dan-bahayanya/,
diakses tanggal 05-12-2010

30

Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMI, 1995, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran,
diterjemahkan oleh: A. Najiyulloh, Al-Ishlahy Press, Jakarta.
Noroyono, Bambang. 2013. Pencabutan Larangan Berjilbab, Berakhirnya Sekularisme di
Turki.
(http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/13/10/09/mueb01pencabutan-larangan-berjilbab-berakhirnya-sekularisme-di-turki, diakses 10 Maret
2016)
Pardoyo, 1993, Sekularisasi dalam Polemik,Pustaka Utama Grafitti, Jakarta.
Praja, J. S., 2010, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Kencana, Jakarta.
Rasjidi, H.M., 1997, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisme, Bulan
Bintang, Jakarta
Solihin, M., 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, CV.
Pustaka Setia, Bandung.
Wikipedia, 2010, Sekularisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme, diakses tanggal 0512-2010

31

Anda mungkin juga menyukai