LP Halusinasi Elin
LP Halusinasi Elin
SKIZOFRENIA
I. LANDASAN TEORI MEDIS
1. Pengertian
Skizofrenia adalah diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui)
dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis atau deteriorating yang luas serta
sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial
budaya) (Rusdi Maslim, 1997).
Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada
kepribadian, diskripsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya
sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh,
gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya dan
autisme (Mansjoer, 2000).
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi
individu, termasuk berfikir realitas, merasakan dan menunjukkan emosi, dan berperilaku
dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Issacs, 2004).
1.1.2 Penyebab
1. Ketentuan
Berbagai penelitian membuktikan bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9% 1,8%,
bagi saudara kandung 7% 15%, bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita
skizofrenia 40% 68%, kembar 2 telur 2% 15%, kembar 1 telur 61% 86% (Maramis,
1998).
2. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya skizofrenia pada waktu
pubertas kehamilan atau pueperium dan klimakterium, tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
3. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita skizofrenia tampak pucat, tidak sehat, ujung
ekstremitas agar sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun serta pada
penderita dengan stuper katatonik konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam
pembuktian dengan pemberian obat halusinogenik.
4. Susunan Saraf Pusat
Penyebab skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu ditemukan kelainan pada area
orak ganglia, misalnya pelebaran sulkus, fisura serta ventrikel lateral III dan IV, perubahan
asimetri hemisfer serebri dan gangguan dervitas otak, namun tidak ada satupun yang
patogromik atau selalu ditemukan pada pasien skizofrenia.
Menurut pendapat lain, skizofrenia merupakan aktivitas dopamin otak yang berlebihan,
dilaporkan juga bahwa kadar 5-hydroxiindoleacetic acid (SHIAA) menurun pada skizofrenia
kronik dan pada pasien skizofrenia dengan pelebaran ventrikel.
5. Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang tidak dapat
ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada SSP tetapi Meyer
mengakui bahwa suatu saat kontinuitas yang interior atau penyakit badaniah dapat
mempengaruhi timbulnya skizofrenia. Menurut Meyer, skizofrenia merupakan suatu reaksi
yang salah, suatu maladapsi sehingga timbulnya disorganisasi kepribadian dan lama
kelamaan kelainan orang tersebut menjauhkan diri dari kenyataan (autisme).
6. Teori Sigmund Freud
Skizofrenia terdapat (1) kelamahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik
atau somatik, (2) superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan ia yang
berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme dan (3) kehilangan kapasitas untuk
memindahkan (transference) sehingga terapi psikoanalitik tidak mungkin.
7. Eugen Bleuler
Penggunaan istilah skizofrenia menonjolkan segala utama penyakit ini yaitu jiwa terpecah
belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berfikir perasaan dan perbuatan.
Bleuer membagi gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala primer (gangguan proses
pikiran, gangguan emosi, gangguan kemauan dan autisme), gejala sekunder (waham,
halusinasi dan gejala katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).
8. Teori lain
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam
sebab antara lain keturunan, pendidikan yang salah, meladapsi, tekanan jiwa, penyakit
badaniah seperti lues otak, anteriosklerasis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.
Sampai sekarang belum diketahii dasar penyebab skizofrenia, faktor keturunan mempunyai
pengaruh, faktor yang mempercepat yang menjadikan manifestasi atau faktor pencetus seperti
penyakit badaniah atau stress psikologis, biasanya tidak menyebabkan skizofrenia walaupun
pengaruhnya terhadap suatu penyakit skizofrenia yang sudah ada tidak dapat disangkal
(Maramis, 1998).
1.1.3 Klasifikasi SkizofreniA
Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis berdasarkan gejala utama antara lain :
1. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa kedangkalan emosi dan
kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir sukar ditemukan, waham dan halusinasi
jarang didapat, jenis ini timbulnya berlahan-lahan.
2. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau sub-akut dan sering timbul pada masa remaja atau antara
usia 15 25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan
kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personallity. Gangguan psikomotor seperti
mannerium, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat, waham dan
halusinasi banyak sekali.
3. Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali umur15 30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh
stress emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
4. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang mencolok ialah waham primer, disertai dengan waham-waham sekunder dan
halusinasi. Dengan pemeriksaan yang teliti ternyata adanya gangguan proses berfikir,
gangguan afek emosi dan kemauan.
5. Episode Skizofrenia Akut
Gejala skizofrenia timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam keadaan mimpi.
Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar
maupun dirinya sendiri berubah, semuanya seakan-akan mempunyai suatu arti yang khusus
baginya.
6. Skizofrenia Residual
Keadan skizofrenia dengan gejala primernya Bleuer, tetapi tidak jelas adanya gejala sekunder.
Keadaan ini timbul sesudah beberapa hari serangan skizofrenia.
7. Skizofrenia Skizo Afektif
Gejala skizofrenia terapat menonjolo secara bersamaan, juga gejala-gekala depresi (skizo
depresif) atau gejala mania (psiko manik). Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa
defek, tetapi juga mungkin timbul serangan lagi.
II. Manifestasi Klinis
1. Gejala primer
a. Gangguan proses piker
b. Gangguan emosi
c. Gangguan kemauan :
Negativisme
Ambivalensi
Otomatisme
2. Gejala psikomotor
a. Waham
b. Halusinasi
PPDGJ III
1. Gejala amat jelas
Suara-suara halusinasi yang berkomentas terus-menerus
Waham-waham yang menetap
2. Paling sedikit memiliki dua gejala yang terus ada dengan yang :
Halusinasi secara menetap dalam setiap modelitas
Arus pikir terputus-putus atau mengalami sisipan
Perilaku katatonik seperti gaduh gelisah atau fleksi belitas serta negatisme seperti
apatis dan sebagainya.
III. Penatalaksanaan
Farmakoterapi
Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi, karena
75% penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat neuroleptika.
Kontraindikasi meliputi neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti klorpromazin,
molindone, dan thioridazine pada penderita dengan hipertrofi prostate atau glaucoma
sudut tertutup. Antara sepertiga hingga separuh penderita skizofrenia dapat membaik
dengan lithium. Namun, karena lithium belum terbukti lebih baik dari neuroleptika,
penggunaannya disarankan sebatas obat penopang.
klien mengalami penurunan motivasi karena ia merasa tidak mampu melakukan apapun
sehingga akan memunculkan masalah kurangnya perawatan diri klien.
Masalah keperawatan rendah diri yang terjadi pada klien dapat didukung oleh koping
keluarga tidak efektif: kurang pengetahuan, ketidakmampuan merawat klien dan bahkan
menolak klien berada di rumahnya. Hal ini dapat membuat klien kurang mendapat penguatan
terhadap kemampuan yang ia miliki sehinggga klien menganggap dirinya makin tidak
berharga dan mengakibatkan keluarga kurang tepat dalam menanganni klien di rumah atau
regimen therapeutik tidak efektif.
Menurut Towsend & Mary (1995), tanda dan gejala halusinasi adalah sebagai berikut:
1. Berbicara, senyum dan tertawa sendirian.
2. Mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, mengecap dan merasa sesuatu
yang tidak nyata.
3. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
4. Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan hal tidak nyata, serta tidak mampu
melakukan asuhan keperawatan mandiri seperti mandi, sikat gigi, berganti pakaian
dan berhias yang rapi.
5. Sikap curiga, bermusuhan , menarik diri, sulit membuat keputusan, ketakutan, mudah
tersinggung, jengkel , mudah marah, ekspresi wajah tegang, pembicaraan kacau dan
tidak masuk akal, banyak keringat.
Dibawah ini beberapa tipe dari halusinasi (Cancro & Lehman, 2000):
1. Halusinasi Pendengaran
Mendengar suara-suara, sering mendengar suara-suara orang berbicara atau
membicarakannya, suara-suara tersebut biasanya familiar. Halusinasi ini paling sering
dialami klien dibandingkan dengan halusinasi yang lain.
2. Halusinasi Penglihatan
Melihat bayangan yang sebenarnya tidak ada, seperti cahaya atau seseorang yang
telah mati.
3. Halusinasi Penciuman
Mencium bau-bau padahal di tempat tersebut tidak ada bau. Tipe ini sering ditemukan
pada klien dengan dimensia seizure atau mengalami gangguan cerebrovaskuler.
4. Halusinasi Sentuhan
Perasaan nyeri, nikmat atau tidak nyaman padahal stimulus itu tidak ada.
5. Halusinasi Pengecapan
Termasuk rasa yang tidak hilang pada mulut, perasaan adanya rasa makanan dan
berbagai zat lainnya yang dirasakan oleh indra pengecapan klien.
Proses terjadinya halusinasi (Stuart & Laraia, 1998) dibagi menjadi empat fase yang terdiri
dari:
1. Fase Pertama
Klien mengalami kecemasan, stress, perasaan terpisah dan kesepian, klien mungkin
melamun, memfokuskan pikirannnya kedalam hal-hal menyenangkan untuk
menghilangkan stress dan kecemasannya. Tapi hal ini bersifat sementara, jika
kecemasan datang klien dapat mengontrol kesadaran dan mengenal pikirannya namun
intesitas persepsi meningkat.
2. Fase Kedua
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal,
individu berada pada tingkat listening pada halusinasinya. Pikiran internal menjadi
menonjol, gambarn suara dan sensori dan halusinasinya dapat berupa bisikan yang
jelas. Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasinya dengan memproyeksikan
seolah-olah halusinasi datang dari orang lain atau tempat lain.
3. Fase Ketiga
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol. Klien menjadi lebih terbiasa
dan tidak berdaya dengan halusinasinya. Kadang halusinasinya tersebut memberi
kesenangan dan rasa aman sementara.
4. Fase Keempat
Klien merasa terpaku dan tidak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya.
Halusinasi sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah,
memarahi. Klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk
dengan halusinasinya. Klien hidup dalam dunia yang menakutkan yang berlangsung
secara singkat atau bahkan selamanya.
Pohon Masalah
Resiko Perilaku kekerasan (efek)
Perubahan persepsi sensori,Halusinasi pendengaran dan penglihatan (masalah utama)
Intervensi.
Mengidentifikasi jenis halusinasi.
Mengidentifikasi isi halusinasi.
Mengidentifikasi waktu halusinasi.
Mengidentifikasi frekuensi halusinasi.
Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi.
Mengidentifiasi respon klien terhadap halusinasi.
Mengajarkan klien menghardik halusinasi.
Menganjurkan klien memasukan kedalam jadwal kegiatan harian.
SP II P.
Bercakap-cakap dengan orang lain.
Intervensi.
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan
orang lain.
3. Menganjurkan klien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian.
SP III P.
Melakukan kegiatan/ aktifitas.
Intervensi.
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan klien
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara melakukan
kegiatan/aktivitas.
3. Menganjurkan klien memasukan ke dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV P.
Minum obat secara teratur.
Intervensi.
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan klien.
2. Memberian pendidikan kesehatan tentang penggunaan/ minum obat secara
teratur.
3. Menganjurkan klien memasukan ke dalam jadwal kegiatan harian .
SP I K.
Intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumawati Farida & Hartono Yudi, Buku Ajar Keperawatan Jiwa Jakarata :
Salemba Medika, 2010
Stuart & Sudden Buku Saku Keperawatan Jiwa
Budiana Keliat (1999), Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta, EGC
Kaplan & Sadock (1998), Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Jakarta, Widya Medika