Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang penularannya
terutama melalui hubungan seksual. Sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di
negara berkembang. Insiden maupun prevalensi yang sebenarnya diberbagai
negara tidak diketahui dengan pasti. Sejak tahun 1998 istilah STD mulai berubah
menjadi STI (Sexually Trnasmitted Infection), agar dapat menjangkau penderita
asimptomatik.
Menurut WHO, terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba (bakteri, virus,
dan parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling
sering

ditemukan

adalah

infeksi

gonorrhoeae,

chlamydia,

syphilis,

trichomoniasis, chancroid, herpes genitalis, infeksi Human Immunodeficiency


Virus (HIV) dan hepatitis B. Beberapa diantaranya, yakni HIV dan sypilis, dapat
juga ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan dan kelahiran, dan melalui
darah serta jaringan tubuh..1
Dekade terakhir ini, insidens Infeksi Menular Seksual (IMS) di Indonesia
mengalami peningkatan yang cukup cepat. Peningkatan insidens IMS dipengaruhi
oleh berbagai faktor antara lain perubahan demografi, fasilitas kesehatan yang
tersedia kurang memadai, pendidikan kesehatan dan pendidikan seksual kurang
tersebar luas, kontrol IMS belum dapat berjalan baik serta adanya perubahan sikap
dan perilaku masyarakat terutama dalam bidang agama dan moral.
Peningkatan kasus IMS dari waktu ke waktu akan menimbulkan
permasalahan kesehatan yang sangat serius dan berdampak besar pada masa yang
akan datang, apabila tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang intensif.1
Masalah lain bahwa penyakit menular seksual sangat berpotensi meningkatkan
resiko penularan HIV melalui hubungan seksual, yang sekarang menjadi perhatian
dan komitmen global dalam pencegahan dan penanganannya karena peningkatan
angka kejadiannya yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Jumlah penderita
1

HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung es, yaitu jumlah


penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah sebenarnya. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia yang sebenarnya
belum diketahui secara pasti.

Diperkirakan lebih dari 340 juta kasus baru dari IMS yang terjadi setiap
tahunnya pada laki-laki dan perempuan usia 15-49 tahun. Secara epidemiologi
penyakit ini tersebar di seluruh dunia, angka kejadian paling tinggi tercatat di Asia
Selatan dan Asia Tenggara, diikuti Afrika bagian Sahara, Amerika Latin, dan
Karibean. Tahun 2013 terdapat 35 juta orang hidup dengan HIV di seluruh dunia
yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah
infeksi baru HIV tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan
240.000 anak berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta
yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak <15 tahun. Di Indonesia HIV
AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987. Hingga saat ini HIV/AIDS
sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia.2
Ditjen PP dan PL KEMENKES melaporkan bahwa penderita AIDS di
Indonesia paling banyak berasal dari kelompok ibu rumah tangga. Jumlah
kumulatif penderita HIV di Indonesia sejak 1987 hingga September 2014
sebanyak 150.296 orang, hal ini terus mengalami peningkatan bila dilihat sejak
tahun 1987. Sedangkan untuk kasus AIDS menunjukkan kecenderungan
meningkat secara lambat bahkan sejak 2012 jumlah kasus AIDS mulai turun,
dengan total penderita sebanyak 55.799 orang sejak 1987. DKI Jakarta merupakan
provinsi dengan penderita HIV terbanyak yaitu 32.782 orang sejak 1987 hingga
September 2014. Jawa Tengah sendiri menduduki peringkat ke tujuh dengan total
kasus infeksi HIV sebanyak 9.032 kasus dengan HIV dan 3.767 kasus AIDS,
terbanyak ke 6.2
Untuk wilayah Kota Semarang, salah satu program PKBI (Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia) Kota Semarang yang telah dilakukan sejak tahun
2002 dalam rangka mengatasi permasalahan IMS bersama dengan HIV / AIDS
adalah melalui Griya ASA. Salah satu

kegiatan Griya ASA adalah

menyelenggarakan klinik IMS, yaitu klinik induk yang berlokasi di resosialisasi

Sunan Kuning, dan klinik satelit di Kedung Mundu. Dalam pelayanannya, klinik
IMS juga melakukan pendampingan kelompok risiko tinggi, antara lain dengan
mewajibkan wanita pekerja seks (WPS) yang bekerja di resosialisasi Sunan
Kuning melakukan skrining IMS setiap 2 minggu sekali, yang disertai dengan
pengobatan dan edukasi mengenai IMS. Melalui deteksi dini, penatalaksanaan,
dan usaha pencegahan IMS yang efektif diharapkan penyebaran penyakit IMS
dapat ditekan sehingga prevalensinya berkurang, mencegah timbulnya komplikasi
dan mengurangi penyebarannya di masyarakat. Oleh sebab itu, laporan ini
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai screening IMS di resosialisasi
Sunan Kuning.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian IMS pada


WPS di resosialisasi Sunan Kuning Gang 4 -6

2. Tujuan Khusus

Mengetahui permasalahan terkait faktor pelayanan klinik IMS Griya


ASA, pengaruh lingkungan, peran mucikari dan pengurus resosialisasi,
serta perilaku WPS yang mempengaruhi kejadian IMS pada WPS di
resosialisasi Sunan Kuning Gang 4 -6

Menentukan alternatif pemecahan masalah terkait faktor-faktor yang


mempengaruhi kejadian IMS pada WPS di resosialisasi Sunan Kuning
Gang 4 6.

C. SASARAN
Sasaran kegiatan kali ini adalah petugas Klinik IMS Griya ASA serta
WPS, mucikari, dan pengurus resosialisasi yang berada di Resosialisasi Sunan
Kuning Gang 4 6.

Anda mungkin juga menyukai