Bahan Buat PAK de
Bahan Buat PAK de
Penelitian ini sebagian besar menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik
(BPS), dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam industri pengolahan, yang diperoleh
melalui browsing internet, koran-koran, majalah, dan sumber-sumber lain. Penulisan dan
analisis dalam makalah ini bersifat umum (market research) yaitu memberikan informasi
secara garis besar dalam suatu industri, bukan marketing research dimana analisis yang
diberikan secara lebih mendetail tentang suatu industri. Tujuan dari penulisan makalah ini
untuk memberikan gambaran umum tentang sektor-sektor industri pengolahan yang ada di
Indonesia, dan diharapkan sebagai titik tolak untuk penelitian yang lebih mendalam dan
terperinci di masa yang akan datang baik oleh penulis sendiri maupun peneliti-peneliti
lainnya.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber, Penulis akan
menganalisis kinerja industri industri pengolahan kemudian membuat proyeksi kinerja
industri industri tersebut untuk lima tahun mendatang dengan menggunakan metode yang
paling sederhana dengan metode regresi linier (J. Fred weston and Thomas E. Copeland,
hal.323), sebagai berikut:
Y = ax + b
Slope a =
n (xy) (x)(y)
n(x) (x)
Intercept b =
y a (x)
n
HASIL PEMBAHASAN
2. Sub Sektor Tekstil, Pakaian dan Kulit
Industri yang terlibat dalam sub sektor ini ada sekitar 14 industri. Indonesia pernah
mengalami kejayaan dalam sektor ini. Namun demikian selama lima tahun terakhir, tingkat
pertumbuhan semakin menurun dan tingkat kontribusi industri terhadap PDB juga
menurun tajam. Jika pada tahun 2003 tingkat pertumbuhan PDB dari sektor ini masih
sekitar 6,2 persen, maka pada tahun 2007 diperkirakan hanya tumbuh sekitar 1,2 persen.
Banyak perusahaan tekstil mengurangi produksinya dan jumlah tenaga kerja, karena
naiknya biaya produksi dan bahan baku, sedangkan daya beli masyarakat semakin
menurun, sehingga masyarakat menunda pengeluaran untuk produk ini. Produktifitas
kurang optimal karena mesin-mesin tekstil sudah tua. Import barang jadi, khususnya dari
China, meningkat tajam karena harga yang jauh lebih murah. Meski produksi tekstil secara
keseluruhan menurun, export masih menunjukkan peningkatan selama lima tahun terakhir.
Hal ini didorong oleh berkurangnya quoto export Cina dan Vietnam ke negara Amerika dan
negara-negara Eropa juga berkembangnya negara tujuan export ke Brazil dan Emirat arab.
Pada tahun 2003, total export untuk tekstil, pakaian, kulit dan alas kaki sekitar US$ 8,7
milyar, dan meningkat pada tahun 2007 mencapai lebih dari US$ 10 milyar, hampir 10
persen dari total export Indonesia. Tarif pajak yang dikenakan untuk Indonesia oleh negara
pengimpor lebih rendah daripada yang diperoleh China dan Vietnam, karena adanya tarif
anti dumping. Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap praktek pengapalan
ilegal , dimana barang China diekspor dengan dokumen asal Indonesia. Kredit lunak
diperlukan untuk pembelian mesin-mesin baru. Larangan export kulit mentah diterapkan
sejak tahun 2006, dapat membantu ketersediaan bahan baku untuk sepatu, dimana kualitas
sepatu dari Indonesia lebih bagus. Pameran dan promosi perlu ditingkatkan sehingga
ekspor bisa terus meningkat karena sektor ini menyerap banyak tenaga kerja.
Perkiraan sumbangan GDP dari sektor tekstil untuk lima tahun kedepan adalah
sebagai berikut.
(Dalam Trilyun rupiah, harga konstan)
Tahun
GDP
2007
2008
2009
2010
2011
2012
56,341 57,449 58,557 59,666 60,774 61,882
Pertumbuhan industri tekstil, produk tekstil dan kulit meningkat dari Rp 56,3
trilyun pada tahun 2007 menjadi Rp 61,88 trilyun tahun 2012 atau total pertumbuhan
sebesar 9,8 persen.
3. Sub Sektor Kayu, Bambu, dan rotan
Untuk industri-industri kayu, pertumbuhan PDB nya menurun. Jika pada tahun
2003, PDB dari kayu tumbuh 1,2 persen, mulai tahun 2004 turun 2,1 persen, tahun 2005
turun 0,9 persen, tahun 2006 turun 0,7 persen dan tahun 2007 diperkirakan turun 0,4
persen. Seiring dengan turunnya produksi, maka export juga mengalami penurunan. Export
yang signifikan berasal dari plywood, dimana pada tahun 2002 export mencapai US$ 1,7
milyar dan menurun menjadi US$ 1,45 milyar tahun 2007. Negara tujuan yang utama
adalah Jepang, Amerika Serikat, Korea, China, Saudi Arabia dan Taiwan. Produksi
plywood mengalami penurunan karena mismanagement dalam pengelolaan hutan, kondisi
industri hilirnya yang lesu, seperti properti, kondisi sosial politic, maraknya plywood asal
China yang murah di pasar lokal, meningkatnya penetrasi pasar plywood Malaysia di
Jepang, padahal bahan bakunya berasal dari Indonesia baik secara legal maupun illegal,
sehingga export Indonesia ke Jepan semakin menurun. Jika pada tahun 2002, exspor ke
Jepang mencapai US$ 1,2 milyar, maka pada tahun 2007 hanya US$ 0,7 milyar. Selain itu
kondisi mesin yang sudah perlu diupgrade, juga menjadikan produksi kurang efisien.
Produk export kayu lainnya adalah furniture dan lainnya mencapai lebih dari US$ 1,7
milyar pada tahun 2007. Namun demikian, volumenya semakin menurun dari tahun ke
tahun. Indonesia adalah penghasil rotan terbesar, namun ekspor barang jadi, Malaysia lebih
unggul kualitas dan harga. Rotan banyak terdapat di Kalimantan dan Sulawesi, sedangkan
perajin furniture berada di pulau Jawa. Sehingga biaya transportasi lebih mahal
dibandingkan dengan dijual mentah langsung ke Malaysia. Sering terjadi kelangkaan
bahan baku rotan bagi perajin. Untuk pasar Amerika Serikat masih tujuan utama, namun
market sharenya tergeser oleh China dan Vietnam.
Perkembangan sektor kayu dalam konstribusinya terhadap PDB Indonesia di masa
yang akan datang diperkirakan sebagai berikut.
(Rp Trilyun, Harga Konstan)
Tahun
GDP
2007
19,698
2008
19,455
2009
19,212
2010
18,969
2011
18,726
2012
18,483
industri ini, hanya perusahaan-perusahan menengah dan kecil, baik dalam segmen
percetakan ataupun daur ulang. Pangsa pasar untuk industri ini masih dikuasai oleh
pemain-pemain besar atau bersifat oligopoli. Sembilan puluh persen adalah perusahaan
swasta dan 10 persen adalah milik negara.
Meskipun konsumsi dalam negeri meningkat dari 5,3 juta ton tahun 2003 menjadi
sekitar 5,5 juta ton tahun 2007, tetapi tingkat konsumsi kertas per kapita di Indonesia
masih rendah rata-rata 25 kg, dibandingkan dengan Thailand (35kg), Malaysia (106 kg),
Singapore (180 kg).
Perkembangan sektor kertas lima tahun mendatang adalah.
(Rp Trilyun, Harga Konstan)
Tahun
GDP
2007
2008
2009
2010
2011
2012
25,551 26,422 27,292 28,162 29,032 29,902
Berdasarkan analisa regresi linier, sektor ini akan tumbuh sebesar 17,2 persen dari
intensive. Produksi dalam negeri untuk industri yang dikenal dengan petrochemical ini
masih lebih rendah dengan tingkat konsumsi dalam negeri,misalnya untuk produk etylene,
hanya Chandra Asri satu satunya produser dengan kapasitas produksi sebesar 550.000 ton,
sedangkan konsumsi dalam negeri mencapai 900.000 ton. Begitu juga dengan produkproduk seperti polyethylene, methanol dan lainnya. Selama lima tahun terakhir beberapa
investor asing masuk dalam industri ini. Industri petrochemical sangatlah penting, karena
produk-produk tersebut sebagai bahan baku untuk industri lainnya. Investor asing sangat
diperlukan untuk berinvestasi dalam sektor ini karena keterbatasan dana oleh investor
lokal.
Untuk industri pupuk dan pestisida, export mencapai sekitar Rp 1,5 trilyun pada
tahun 2007. Sejak tahun 2005, produksi semakin menurun karena kelangkaan gas dalam
negeri dan naiknya minyak dunia, mengakibatkan harga pupuk melonjak tajam. Selain
disebabkan juga oleh distribusi yang tidak lancar. Industri ini perlu campur tangan
pemerintah dalam hal peraturan pasokan gas, karena mahalnya harga pupuk menyebabkan
hasil pertanian berkurang dan stabilitas pangan terganggu.
Industri lain dalam sektor ini yang menghasilkan export yang besar adalah industri
karet, dimana pertumbuhan produksi tetap tinggi, yang didorong oleh meningkatnya
permintaan otomotif di Indonesia. Produksi ban Indonesia memiliki standar kualitas yang
bagus yang diterima oleh negara-negara Amerika, Eropa dan Timur Tengah. Produksi ban
roda empat tahun 2007 mencapai 50 juta dan expor mencapai US$ 898,1 juta yang tersebar
ke lebih dari 150 negara tujuan.
Perkembangan sektor ini lima tahun mendatang diperkirakan sebagai berikut.
(Rp Trilyun, Harga Konstan)
Tahun
GDP
2007
66,590
2008
70,650
2009
74,710
2010
78,769
2011
82,829
2012
8,6889
produksi mencapai 40 juta ton. Sedangkan konsumsi dalam negeri hanya sekitar 34 juta,
sehingga terjadi surplus dan diekspor. Namun demikian harga semen diluar negeri murah
sehingga kurang menarik dibandingkan dengan dalam negeri. Meskipun terjadi surplus,
sering terjadi kelangkaan semen karena ulah para spekulator. Harga semen di dalam negeri
sangat sensitive dengan harga minyak dan gas. Saat ini, industri bersifat oligopoli karena
industri ini capital intensive sehingga barrier entri nya tinggi, hanya investor yang
bermodal besar yang mampu. Saat ini Semen Gresik Group menguasai pangsa pasar 45
persen, Indocement 30 persen, Holcim Indonesia 15 persen dan sisanya 10 persen oleh
Semen Andalas, Semen Baturaja, Semen Bosowa, dan Semen Kupang.
7. Sub Sektor Industri Baja
Industri-industri yang masuk dalam sektor ini adalah industri besi dan baja, dan
industri logam bukan besi, seperti aluminium, kuningan, tembaga dan lainnya, juga
industri
mengalami penurunan selama lima tahun terakhir. Untuk industri baja, produksi
mengalami penurunan yang signifikan dari 1.821 juta ton menjadi 1.744 juta ton (4%),
pipa dari 779.181 ton menjadi 642.832 ton (21,2%), lembaran baja menurun 14,5% dari
835.493 ton menjadi 729.670 ton. Penurunan produksi tersebut akibat turunnya produksi
HRC di pabrik Krakatau, sebagai produsen baja terbesar di Indonesia. Tarif masuk impor
untuk baja rendah, berkisar 0 sampai 5 persen berdasarkan free trade agreement. Sehingga
pada saat produksi dalam negeri menurun, baja dari China membanjiri pasar dengan harga
yang jauh lebih murah. Sebaliknya, biaya produksi baja dalam negeri semakin mahal
seiring dengan naiknya harga minyak dan gas. Kebutuhan meningkat seiring dengan
pertumbuhan di industri otomotif, konstruksi pabrik-pabrik dan gedung. Untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, maka import meningkat tajam, yaitu mencapai US$ 3,78 milyar
pada tahun 2007.
Sebaliknya untuk industri logam bukan besi dan baja, menunjukkan produksi yang
meningkat akibat permintaan dari industri hilir. Export meningkat tajam dari US$ 955 juta
pada tahun 2003 menjadi US$ 2,69 milyar tahun 2006. Sedangkan import juga meningkat
dari US$ 188,8 juta menjadi US$ 473,5 juta pada periode yang sama.
8. Sub Sektor Produk-Produk yang Terbuat dari Logam
Selama tahun 2007, dalam industri kendaraan roda empat, penjualan mencapai
434.449 unit, naik dibandingkan tahun 2006 yang mengalami penurunan dibandingkan
2005 hanya 318.904 unit karena melonjaknya harga minyak pada akhir tahun 2005. Astra
menguasai pangsa pasar sekitar 40 persen. Pada tahun 2004 dan 2005 produksi kendaraan
roda empat mencapai 483.295 dan 534.000 units, naik dari tahun 2003 yang hanya 354.333
unit. Sehingga selama lima tahun terakhir kinerja industri kendaraan roda empat bagus
dengan meningkatnya produksi seiring dengan meningkatnya permintaan dalam negeri.
Impor lebih besar daripada export yang hanya mencapai sekitar Rp 15 trilyun, dengan
komoditas utamanya adalah sparepart dan accessories sekitar 68 persen dari total ekspor.
Tujuan utama ekspor adalah Jepang (22,38%), Thailand (14,38%), Amerika Serikat
(13,65%), Malaysia (10,6%), China (7,33%). Impor mencapai Rp 21,7 trilyun pada tahun
2007, dengan komoditas utamanya juga sparepart dan accessories. Import berasal dari
Jepang (52,26%), Thailand (20,09%), Australia (5,04%).
Sedangkan untuk penjualan kendaraan roda dua, penjualan mencapai 4,98 juta unit
tetapi masih rendah dibandingkan tahun 2005 yang mencapai 5,1 juta unit. Pangsa pasar
masih dikuasai oleh Astra Honda around 50 persen. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi
sebagai alasan tumbuhnya industri ini. Rendahnya pajak impor juga menyebabkan semakin
maraknya motor asal China di dalam negeri.
Proyeksi pertumbuhan PDB sebagai berikut.
(Rp Trilyun, Harga Konstan)
Tahun
GDP
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1487,303 1898,976 2310,649 2722,322 3133,995 3545,669
Total pertumbuhan sampai tahun 2012 adalah 138,3 persen.