Anda di halaman 1dari 71

KATA PENGANTAR

Tulisan ini diperuntukan bagi mahasiswa program sarjana


guna memahami teori sosiologi klasik. Tokoh yang berperan
membangun teori sosiologi klasik diantaranya Auguste Comte,
Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, Georg Simmel, Herbert
Spencer. Tokoh-tokoh ini telah memberikan sumbangan besar
terhadap perkembangan sosiologi sebagai ilmu. Teori Sosiologi
Klasik merupakan dasar untuk mempelajari mata kuliah teori
sosiologi kontemporer, pemikiran dari para tokoh teori sosiologi
klasik banyak mempengaruhi bahkan menjadi dasar berpijak dari
munculnya teori-teori dari para tokoh yang kemudian
dikategorikan dalam teori sosiologi kontemporer. Pemikiranpemikiran serta konsep-konsep para tokoh sosiologi klasik dapat
dikatakan sampai kapan pun akan terus menjadi payung
munculnya teori-teori baru di kemudian hari.
Dalam teori sosiologi klasik akan
dibahas latar belakang dari perkembangan
teori sosiologi dan riwayat hidup dari para
tokoh

sosiologi

klasik

serta

pemikiran-

pemikiran mereka. Kajian para tokoh sosiologi


klasik

tersebut

awalnya

mengenai

masyarakat Eropa yang sedang beralih dari


struktur

agraris

Kemunculan

ke

tokoh-tokoh

struktur

industri.

klasik

tersebut

hampir bersamaan pada abad 19, tepatnya


ketika

benua

Perancis.

Eropa

Selanjutnya

terjadi

revolusi

kajian-kajian

di

yang

terjadi di Eropa tersebut dicari relevansinya


dengan benua-benua lain dalam batas-batas
generalisasi

yang

wajar.

Krakteristik

pemikiran para tokoh sosiologi klasik pada


umumnya pandangannya bersifat makro atau
umum,

yang

berbeda

dengan

teoritisi

selanjutnya yang lebih bersifat mikro.


Untuk itu pemahaman mengenai teori sosiologi klasik ini
sangat penting bagi siapapun yang ingin mendalami sosiologi,
karena selain teori sosiologi klasik merupakan embrio bagi
perkembangan teori sosiologi, teori sosiologi klasik juga
mengandung konsep-konsep yang sangat berguna dalam rangka
membangun wawasan dan memudahkan dalam
menginterpretasi terhadap kenyataan sosial yang ada dalam
masyarakat. Jadi tidak lengkap jika para pecinta sosiologi tidak
mendalaminya.
Seorang sosiolog kondang dari Inggris yaitu Anthony
Giddens yang menulis buku capitalism and modern social theory
(1971) menegaskan bahwa tiga serangkai Karl Mrx, Emile
Durkheim, dan Max Weber merupakan bapak-bapak pendiri
sosoiologi yang memiliki sumbangan besar dalam menentukan
obyek kajian, landasan metodologi, bangunan teori sosiologi
sebagai body of social science. Selanjutnya perjuangan ketiga
serangkai tersebut dalam mewujudkan sosiologi sebagai ilmu
sangat signifikan. Mempelajari pemikiran beberapa tokoh
tersebut oleh Giddens diibaratkan menyelam ke dalam lautan,
artinya begitu luasnya pengetahuan yang dibentuk oleh tiap-tiap
tokoh tersebut sehingga untuk mempelajarinya tidak dapat
secara serampangan, namun harus penuh konsentrasi.
Semoga tulisan ini dapat memberi rangsangan positif bagi
mahasiswa guna terus mencari referensi lain yang memperkuat
kemampuan berteori atau memahami teori, khususnya teori
sosiologi klasik.
Raba-Bima,
2008
Penyusun

Abd. Karim,
M.Si

BAB I
A. PERUBAHAN SOSIAL EROPA DAN PERKEMBANGAN
TEORI SOSIOLOGI
Perubahan sistem politik, ekonomi, dan budaya yang
terjadi pada masyarakat Eropa pada awal abad 18 dan 19
telah mengundang beberapa ahli sosiolog untuk melakukan
riset, seperti Auguste Comte (Perancis), Karl Marx (Jerman),
Max Weber (Inggris), Emile Durkheim (Perancis), dan George
Simmel. Beberapa peristiwa penting yang terjadi di Eropa,
antara lain;
1. Revolusi Politik (Perancis)
Rentetan panjang revolusi politik yang dihantarkan oleh
Revolusi Perancis 1789 dan revolusi yang berlangsung
sepanjang abad 19 merupakan faktor yang paling besar
perannya dalam perkembangan teori sosiologi. Dampak
revolusi politik terhadap masyarakat sangat dahsyat dan
banyak perubahan positif yang telah dihasilkannya. Tetapi,
yang menjadi sasaran perhatian kebanyakan ahli teori itu
bukan konsekuensi positifnya, tetapi efek negatifnya. Para
pemikir merasa prihatin dengan munculnya chaos dan
kekacauan yang ditimbulkan revolusi, terutama di Perancis.
Mereka bertekad untuk berupaya memulihkan ketertiban
masyarakat. Sejumlah pemikir yang lebih ekstrem saat itu
benar-benar ingin kembali ke keadaan seperti Abad
Pertengahan yang penuh kedamaian dan ketertiban.
Pemikir yang lebih canggih menyadari bahwa ada
kemungkinan untuk menciptakan perubahan sosial yang
dapat mengembalikan kepada keadaan yang didambakan
itu. Oleh karenanya mereka mencoba menemukan
landasan tatanan baru dalam masyarakat yang telah
dijungkirbalikkan oleh revolusi politik abad 18 dan 19.
Perhatian terhadap masalah ketertiban sosial ini menjadi

salah satu perhatian utama teoritisi sosiologi klasik,


terutama Comte dan Durkheim.

2. Revolusi Industri (Inggris) dan kemunculan kapitalisme


Revolusi industri yang melanda masyarakat Eropa
terutama abad 19 dan awal abad 20 merupakan faktor
langsung yang memunculkan teori sosiologi. Setelah
Revolusi Industri banyak orang meninggalkan usaha
pertanian dan beralih ke pekerjaan industri yang
ditawarkan oleh pabrik yang berkembang. Dipihak lain
kekuatan kapitalisme semakin menguat dalam menguasai
pasar dengan produknya, sementara buruh semakin
dieksploitasi tenaganya;upah rendah, PHK. Kondisi ini
mendorong lahirnya pergolakan kaum buruh terhadap
kapitalisme.
3. Kemunculan Sosialisme
4.
5. Jerman

Di Jerman pun, industrialisasi dan pergolakan politik


menambah usaha orang untuk mengerti masyarakat dan
perubahan sosial. Suatu segi yang penting dalam
perubahan sosial yang menarik perhatian seoarng ahli teori
Jerman, yakni Max Weber adalah pengaruhnya yang
semakin bertambah dari bentuk-bentuk organisasi sosial
hirarkis yang rasional sifatnya.
Perubahan-perubahan sosial tersebut memunculkan cara
baru dalam melihat dunia dan dalam memperoleh
pengetahuan mengenai dunia, terutama adanya suatu
orientasi ilmiah yang sedang menggantikan orientasi
agama. Akumulasi dan analisa mengenai data empirik
menggantikan kepercayaan akan wahyu supranatural dan

tradisi-tradisi yang sudah mapan sebagai sumber utama


untuk kebenaran dan pengetahuan.
Comte adalah tokoh dari Perancis yang mengkaji tentang
perkembangan masyarakat melalui karyanya The
Philosophy of positive, Karl Marx, adalah tokoh dari Perancis
yang mengkaji tentang perkembangan masyarakat melalui
karyanya The Philosophy of positive, Karl Marx, adalah
tokoh dari Perancis yang mengkaji tentang perkembangan
masyarakat melalui karyanya The Philosophy of positive,
Karl Marx, adalah tokoh dari Perancis yang mengkaji tentang
perkembangan masyarakat melalui karyanya The
Philosophy of positive, Karl Marx, adalah tokoh dari Perancis
yang mengkaji tentang perkembangan masyarakat melalui
karyanya The Philosophy of positive, Karl Marx, adalah
tokoh dari Perancis yang mengkaji tentang perkembangan
masyarakat melalui karyanya The Philosophy of positive,
Model-model teoritis yang dikembangkan oleh beberapa
tokoh tersebut beragam,
Pada awal abad kesembilan belas, metode ilmiah sudah
mengalami kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan fisik.
Dalam ilmu fisika dan astronomi sudah diakui bahwa bendabenda fisik, seperti binatang, batu-batu yang jatuh, dapat
dijelaskan menurut kekuatan-kekuatan ini dapat ditemukan
dengan menggunakan pikiran manusia untuk menganalisa
data empiris yang sudah dikumpulkan dengan cermat dan
sistematis. Hasilnya akan merupakan penemuan hukumhukum deterministik yang kadang-kadang diungkapkan
secara matematis.
Perubahan-perubahan sosial yang pesat dan melausnya
dalam struktur sosial dan pergeseran budaya yang mendasar
dalam orientasi intelektual yang berkaitan dengan perilaku
manusia dan masyarakat mendorong munculnya perpespektif

sosiologis. Perubahan-perubahan ini menghasilkan refleksi


yang sadar akan isu-isu dalam sosiologi dan mendorong
untuk menatasinya dengan analisa-analisa ilmiah.
Akibatnya beberapa teoritisi, yang salah satunya adalah
Auguste Comte, mengembangkan model-model mengenai
perubahan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip ini
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa bentuk-bentuk
masyarakat modern dan kompleks (seperti masyarakat Barat)
merupakan kulminasi dari suatu proses evolusi yang lama,
yang mulai dengan masyarakat sederhana dan primitif. Selain
Auguste Comte, terdapat teoritisi lainnya, seperti Simmel,
Spencer, Karl Marx, Max Weber, dan lainnya. Para teoritisi
tersebut mengembangkan teorinya dengan memahami
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat di
zamannya.
B. PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI
Mempelajari kehidupan masyarakat merupakan pekerjaan
yang rumit, karena kehidupan masyarakat itu sendiri selalu
mengalami perubahan dan perkembangan. Sosiologi memiliki
kekayaan teoritis luar biasa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan teori
sosiologi, diantaranya;
Revolusi politik di Perancis
Revolusi industri di Inggris
Revolusi Intelektual di Eropa
Kemajuan Teknologi
Modernisasi
Demokratisasi
Skema perkembangan teori sosiologi
Pada awalnya kemunculan sosiologi banyak perdebatan,
apakah sosiologi merupakan ilmu pengetahuan atau gerakan
untuk perbaikan masyarakat. Perdebatan tersebut selalu
dihadirkan oleh berbagai kalangan. Pendapat yang
menyebutkan bahwa sosiologi merupakan suatu aksi

perbaikan masyarakat banyak mendapat dukungan , karena


pada awalnya teori-teori yang muncul digunakan untuk
melakukan aksi-aksi sosial yang bertujuan mendapat
kehidupan yang lebih baik. Dalam pandangan tersebut
sosiologi dipandang sebagai cara untuk mendiagnosis dan
membahas sejumlah patologi, serta memperbaiki fungsi
organ-organi tersetntu dalam masyarakat.
Sedangkan pendapat yang menyebut sosiologi sebagai
ilmu pengetahuan belum mendapat pengakuan dari banyak
kalangan, karena belum jelas karakteristiknya sebagai suatu
disiplin yang ilmiah. Banyak kalangan yang menyindir
sosiologi bukan ilmu tetapi masuk dalam ruang lingkup seni.
Selain itu muncul juga tuduhan bahwa untuk mempelajari
perilaku masyarakat tidak perlu dengan teori, namun cukup
dengan nalar-sebab bebrbeda dengan fenomena alam.
Pernyataan-pernyataan tersebut adalah bentuk sinisme kaum
positivis yang selalu ingin mengukur atau mempelajari
fenomena sosial dengan fenomena alam.
Istilah sosiologi sendiri pertama kali digunakan oleh
Auguste Comte sekitar tahun 1800-an melalui karyanya yang
berjudul positive of philosophy, melalui karya besar Comte
tersebut, sosiologi kemudian diakui sebagai ilmu
pengetahuan dan Comte kemudian sering disebut sebagai
bapak sosiologi. Menurut Comte bahwa sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan berdasarkan pengamatan yang sistematis dan
mengklasifikasikan perilaku manusia.
Lalu pada 1876, Herbert Spencer di Inggris menerbitkan
teks sosiologi pertama, diikuti oleh Lester F Wrd dengan
bukunya yang berjudul Dynamic Sociology di Amerika pada
tahun 1883. Langkah-langkah tersebut diikuti oleh Max Weber
di Jerman, Emile Durkheim di Perancis, dan William Graham
Sumner, Charles Horton, dan Albion W Small di Amerika
Serikat.

Kalangan universitas di Amerika memunculkan sosiologi


pada tahun 1890 dan menerbitkan American Journal of
sociology pada tahun 1895. Organisasi yang menghimpun
pada sosiolog muncul pada tahun 1905 dengan dibentuknya
American Sociological Association. Di Indonesia sarjana
pertama kali mengajar sosiologi adalah Soenario Kolopaking.
Ia mengajar sosiologi pada tahun 1948 di Akademisi Ilmu
Politik di Yogyakarta (sekarang melebur pada Universitas
Gadjah Mada). Tokoh yang pertama kali menulis buku
sosiologi dalam bahasa Indonesia adalah Djody
Gondokusumo. Bukunya berjudul Sosiologi Indonesia.
Kemudian muncul buku tulisan Hasan Shadily dengan judul
sosiologi untuk masyarakat Indonesia. Ahli-ahli sosiologi yang
muncul berikutnya adalah Selo Soemarjan, SMP
Tjondronegoro, Sajogyo, Soerjono Soekanto, dan lainya.
Perkembangan sosiologi berlangsung pesat sejalan
dengan perkembangan masyarakat yang menjadi obyek
telaahnya. Perkembangan sosiologi memunculkan berbagai
cabang sosiologi. Cabang-cabang sosiologi tersebut antara
antara lain sosiologi pedesaan, sosiologi perkotaan, sosiologi
pembangunan, sosiologi pertanian. Perkembangan sosiologi
juga tidak terlepas dari perkembangan ilmu-ilmu lainnya,
sehingga memunculkan cabang-cabang sosiologi seperti,
sosiologi pembangunan, sosiologi ekonomi, sosiologi hukum,
sosiologi agama, dan sosiologi agama.
Selain itu, perkembangan sosiologi sesuai lokalitas, dan
bergeser dari kajian makro ke mikro. Namun secara umum
sosiologi tumbuh dari 3 rumah salin, yaitu jerman inggris dan
amerika. Ketiga rumah salin inilah yang dominan
mempengaruhi beberapa universitas pada beberapa negara
berkembang, termaksud indonesia. Asal-usulnya yang

berbada tempat ini menunjukan adanya beberapa kemejuan


intelektual yang secara radikal bertentangan.
Di perancis di tandai dengan personalitas Emile Durkheim
melelui pendekatanya yang eksplikatif dan obyektif, lewat
inskripsi (terjemahan) sosiologi dalam bidang ilmu
pengetahuan umum dengan menggunakan model ilmu
pengetahuan alam. Sebaliknya konsepsi jerman bersifat
dualitis. Konsepsi ini secara jelas membedakan ilmu
pengatahuan alam dengan ilmu pengatahuan alam dengan
ilmu pengatahuan kejiwaan, penjelasan serta cakupanya.
Sosiologi Jerman dengan dua bapak pendirinya yaitu Max
Weber dan Georg Simmel kemudian menjadi bersifat
komprehensif. Dalam pandangan Durkheim di anggap
peristiwa (tindakan) sosial, sementara bagi Max Weder di
sebut dengan aktivitas sosial. Para perintis sosiolpgi
Amerika memiliki visi yang jauh lebih pragmatis dalam
disiplin mereka karena bertujuan untuk mengintervensi dan
membahas permasalahan yang konkrit secara emprimis.
Albion Small (Chicago) membangun sejumlah laboratorium,
meluncurkan berbagai program penelitian. Mempublikasikan
buku-buku penuntun dan menerbitkan majalah.

URGENSI TEORI SOSIOLOGI

Teori

adalah

pernyataan

seperangkat
yang

secara

pernyataansistematis

berhubungan atau sering dikatakan bahwa


teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan
proposisi

yang

saling

kait-mengait

yang

menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas


fenomena yang ada dengan menunjukkan
hubungan yang khas di antara variabelvariabel

dengan

maksud

memberikan

eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada


yang

menyatakan

sekumpulan

bahwa

pernyataan

teori

yang

adalah

mempunyai

kaitan logis, yang merupakan cermin dari


kenyataan

yang

ada

mengenai

sifat-sifat

suatu kelas, peristiwa atau suatu benda.

Teori harus mengandung konsep, pernyataan


(statement), definisi, baik itu definisi teoretis
maupun operasional dan hubungan logis yang
bersifat teoretis dan logis antara konsep
tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa

dalam

terdapat

teori

konsep,

di

definisi

dalamnya
dan

harus

proposisi,

hubungan logis di antara konsep-konsep,


definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang
dapat

digunakan

untuk

eksplorasi

dan

prediksi.

Suatu

teori

dapat

diterima

dengan

dua

kriteria pertama, yaitu kriteria ideal, yang


menyatakan bahwa suatu teori akan dapat
diakui jika memenuhi persyaratan. Kedua,
yaitu kriteria pragmatis yang menyatakan
bahwa ide-ide itu dapat dikatakan sebagai

teori

apabila

kerangka

pikir,

mempunyai

paradigma,

konsep-konsep,

variabel,

proposisi, dan hubungan antara konsep dan


proposisi.

Teori berperan sebagai pisau analisis, artinya jika


seorang pendidik memiliki kekayaan teori maka
akan memudahkan dalam memahami dan
menganalisis fakta-fakta sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Dalam hal ini teori sosiologi
berfungsi sebagai alat untuk membuat analisis
yang teratur dan sistematis tentang fakta-fakta
sosial.
Kekayaan teoritis yang dimiliki oleh kita akan
memberikan kemudahan dalam menganalisis.
Teori-teori dalam sosiologi sangat beragam hanya
saja sangat tergantung pada kita untuk
menggunakannya. Berbagai teori dalam sosiologi
antara lain, teori pertukaran, teori interaksionisme
simbolik, teori konflik, teori sistem, teori integrasi,
teori gender, teori postmodern, teori kritis, dan
lainnya.
KEDUDUKAN TEORI
Dalam memahami pendidikan Habermas membagi
paradigma ilmu sosial dalam tiga jenis. Pertama,
ilmu sosial sebagai instrumental knowledge,
pengetahuan lebih dimaksudkan untuk
menaklukkan dan mendominasi objeknya. Ilmu
sosial diperlakukan sebagai ilmu alam, yang
menganut positivisme, mensyaratkan pemisahan
fakta dan nilai dalam rangka menuju pada
pemahaman objektif atas realitas sosial. Kedua,

hermeneutic knowledge, ilmu sosial yang


dimaksudkan untuk memahami realitas sosial
secara sungguh-sungguh, jadi lebih kepada kajian
filosofis. Ketiga, critical/emancipatory knowledge,
ilmu sosial dipahami sebagai proses katalisasi
untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan.
PERAN SOSIOLOG
Kalau Durkheim dan Marx, misalnya, secara berturutan
menganjurkan sosiolog untuk berperan sebagai
insinyur sosial (social engineer) dan pembela
bagi yang tertindas (advocate for the oppressed),
Weber lebih menginginkan agar sosiolog menjadi
seorang ilmuwan yang sejauh mungkin terbebas
dari misi politik dan aktivitas lain yang
berhubungan langsung dengan perubahan sosial
dalam masyarakat (Arvidson, 2005). Sejarah juga
menyaksikan bahwa bila sebagian besar sosiolog
Eropa dini berasal dari bidangbidang ilmu murni,
seperti sejarah, ekonomi politik atau filsafat,
kebanyakan sosiolog Amerika beranjak atau
berkaitan dengan ranah praktis, seperti pekerja
sosial (social worker) dan pendeta, dan hampir
semuanya berasal dari perdesaan (Horton dan
Hunt, 1984).

Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan


paradigma dalam disiplin sosiologi. Ritzer
memetakan tiga paradigma besar dalam
disiplin sosiologi. Yakni; paradigma fakta
sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.
Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial
memusatkan perhatiannya pada fakta sosial
atau struktur dan institusi sosial berskala
makro. Model yang digunakan teoritisi fakta
sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama
The Rules of Sociological Method dan Suicide.
Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial
sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur
sosial (social structure) dan pranata sosial
(social institution). Pendahulu Durkheim,
August Comte, Bapak Sosiologi dan
pencetus positivisme dalam ilmu-ilmu sosial
memiliki pengaruh besar dalam
pengembangan paradigma ini. Terutama
dalam usaha menerapkan rumus-rumus
ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian
ilmu-ilmu sosial.
Teori-teori yang mendukung paradigma fakta
sosial ini adalah: Teori Fungsionalisme
Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan
Teori Sosiologi Makro. Teori Fungsionalisme
Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton.
Teoritisi struktural fungsional cenderung
melihat fakta sosial memiliki kerapian antar
hubungan dan keteraturan yang sama
dengan yang dipertahankan oleh konsensus
umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung

menekankan kekacauan antar fakta sosial,


serta; gagasan mengenai keteraturan
dipertahankan melalui kekuasaan yang
memaksa dalam masyarakat.Teori sistem
(Parson) juga termasuk dalam paradigma ini.
Paradigma kedua adalah Definisi Sosial.
Analisa Max Weber tentang tindakan sosial
(social action) adalah model yang
menyatukan para penganut paradigma ini.
Bagi Weber, pokok persoalan sosiologi adalah;
bagaimana memahami tindakan sosial dalam
interaksi sosial, dimana tindakan yang penuh
arti itu ditafsirkan untuk sampai pada
penjelasan kausal. Untuk mempelajari
tindakan sosial, Weber menganjurkan metode
analitiknya melalui penafsiran dan
pemahaman (interpretative understanding)
atau menurut terminologinya disebut dengan
verstehen.6 Selain Teori Aksi (Weber), Teori
Fenomenologis (Alfred Schutz),
Interaksionalisme Simbolis (diantaranya; G. H.
Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk
dalam aliran ini. Juga, eksistensialisme.
Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model
bagi penganut aliran ini adalah B. F. Skiner.
Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange
adalah pendukung utama behaviorisme
sosial ini. Sosiologi model ini menekuni
perilaku individu yang tak terpikirkan. Fokus
utamanya pada rewards sebagai stimulus

berperilaku yang diinginkan, dan punishment


sebagai pencegah perilaku yang tidak
diinginkan. Berbeda dengan paradigma fakta
sosial yang cenderung menggunakan
interview-kuesioner dalam metodologinya,
juga definisi sosial dengan observasi,
paradigma perilaku sosial menggunakan
metode eksperimen. Ada dua teori yang
masuk dalam behaviorisme sosial, yakni;
sociology behavioral, dan teori pertukaran.
Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan
paradigma integratif. Menggabungkan semua
paradigma, dengan unit analisis meliputi
semua tingkatan realitas; makro-obyektif
(masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur,
teknologi, dan bahasa), makro-subyektif
(nilai, norma, dan budaya), mikro-obyektif
(pola perilaku, tindakan, dan interaksi), dan
mikro-subyektif (persepsi, keyakinan;
berbagai segi konstruksi sosial tentang
realita). Integrasi paradigma ini bukanlah
murni pemikiran Ritzer. Sejumlah
pendahulunya, Abraham Edel (1959) dan
George Gurvitch (1964) telah mengupayakan
pengintegrasian makro-mikro ini. Integrasi
paradigma Ritzer sebagian dimotivasi oleh
kebutuhan untuk membangun sebuah model
analisis yang lebih sederhana berdasarkan
pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan kontinum
mikro-makro (tingkat horizontal model
Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan

tindakan individual ke sistem dunia.7 Dalam


karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of
the Global Credit Card Society, ia
menggunakan gagasan C. Wright Mills (1959)
tentang hubungan antara persoalan personal
tingkat mikro dan personal publik tingkat
makro untuk menganalisis persoalan yang
ditimbulkan oleh kartu kredit.8
Kritik Multi-Paradigma Ritzer
Penempatan perspektif konflik dalam paradigma
yang sama dengan struktural fungsional oleh
Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain.
Struktural konflik yang mengasumsikan
bahwa masyarakat senantiasa dalam konflik
menuju perubahan- berlawanan dengan
struktural fungsional yang mengasumsikan
masyarakat terdiri dari substruktursubstruktur dengan fungsinya masing-masing
yang saling terkait dan aktif, dan senantiasa
membawa masyarakat menuju
keseimbangan. Pendekatan konflik lebih
menekankan pada pertentangan dan
perubahan sosial, sementara strukturalfungsional pada stabilitas. Kelemahan meta
teori Ritzer bermula dari pengabaian
terhadap gejolak filsafat ilmu di abad ke-20.
Pengabaian inilah yang menyebabkan adanya
kontradiksi antar teori dalam satu paradigma,
dan di sisi lain, menempatkan secara terpisah
antar teori yang berakar pada filsafat yang

sama, misalnya; antara fungsionalisme


dengan teori pertukaran.9
Selain itu, paradigma integratif sebagai konsensus
antar paradigma, atau sebagai paradigma
yang lebih lengkap sehingga lebih akurat
sebagai perspektif sosiologi- patut
diperdebatkan. Merumuskan teori
berparadigma integratif sama halnya
memaksakan berbagai aliran untuk
bersepakat. Tentu hal ini mendistorsi teoriteori yang ada, dari berbagai paradigma.
Karena itu, lebih tepat menempatkan
paradigma integratif ini sebagai paradigma
tersendiri yang berbeda dengan paradigmaparadigma sebelumnya. Atau, menempatkan
sebagai paradigma ke-empat setelah;
paradigma fakta sosial, paradigma definisi
sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Metateori Ritzer tak mampu menampung
tumbuhnya berbagai teori alternatif baru
dewasa ini. Kemunculan teori-teori kritis
dengan ragam alirannya, tak mampu
ditampung dalam kerangka metateori Ritzer.
Karena itu, pemetaan Ritzer tak lagi tepat
untuk menggambarkan perkembangan teori
saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin
menampakkan bahwa pendekatan tripartit
(konflik, struktural-fungsional, dan interaksi
sombolik) tak lagi relevan.10

Jurgen Habermas; Empiris-analitis, Historishermeneutis, dan Emansipatorik


Habermas membagi menjadi tiga aliran
berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis,
interpretatif, dan kritis. Positivisme untuk
kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis,
humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis
hermeneutis, dan emansipatoris untuk ilmuilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari
perkembangan filsafat ilmu. Positivisme
berakar pada filsafat rasionalisme (Plato)
yang dipadukan empirisme (Aristoteles).
Humanisme mengambil epistemologi
transedental (Immanuel Kant). Sedangkan
kritis, bermula dari upaya mencari jalan
keluar dari perdebatan panjang positivisme
dan humanisme ilmu sosial (Felix Weil,
Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl
Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab
Frankfurt).11 Dalam metodologi, ilmu sosial
positivisme menggunakan metode empirisanalitis; menggunakan logika deduksi, teknikteknik penelitian survai, statistika, dan
berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme
ilmu sosial menggunakan metode historishermeneutis; mencakup logika induktif, dan
metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis
mencakup pendekatan emansipatorik;
penelitian partisipatorik dan metode kualitatif.
Positivisme

Plato menganggap bahwa pengetahuan murni


dapat diperoleh dari rasio itu sendiri (a priori).
Penerus gagasan ini diantaranya adalah Rene
Descartes. Sedangkan Aristoteles
menganggap empiris berperan besar
terhadap obyek pengetahuan (aposteriori).
Filsafat empirisme ini semakin berkembang
berkat Thomas Hobbes dan John Locke.
Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh
besar terhadap perkembangan ilmu alam
murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai
pure science, ilmu alam dapat melepaskan
diri dari kepentingan-kepentingan, sehingga
menjadi obyektif.
Adopsi saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial
dilakukan oleh Auguste Comte (1798-1857).
Gagasannya tentang fisika sosial yang
berlanjut ke penemuan istilah ilmu sosiologi
menandai positivisme awal ilmu sosial.12
Sosiologi yang bebas nilai adalah ciri utama
pemikiran Comte. Karena itu, positivisme ilmu
mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai,
obyektif, terlepas dari praktik sosial dan
moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari
kepentingan praktis. Teori untuk teori bukan
praksis. Dengan terpisahnya teori dari
praksis, ilmu pengetahuan akan menjadi suci
dan universal, dan tercapailah pengetahuan
yang excellent. Selain Comte, Durkheim
(1858-1917) adalah tokoh yang berpengaruh

terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi


positivistik, terutama sumbangannya tentang
fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan
bahwa pemikran positivisme pada dasarnya
mempunyai pijakan; logiko empirisme,
realitas obyektif, reduksionisme,
determinisme, dan asumsi bebas nilai.13
Humanisme
Berbeda dengan positivis yang berusaha
memproduksi hukum sosial yang berlaku
abadi, teori interpretatif (humanis) mencoba
memahami tindakan sosial pada level makna
yang relatif, plural, dan dinamis. Semestinya,
sosiologi bukan mencoba untuk menjadi mirip
fisika sosial, melainkan harus berusaha
menemukan makna yang dijalin orang melalui
tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini
berakar dari epistemologi Kant yang
menjelaskan refleksi atas syarat-syarat
kemungkinan dari pengetahuan, perkataan
dan tindakan kita sebagai subyek yang
mengetahui, berbicara dan bertindak, dan
bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian
yang tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia
subyektif yang mengikuti konteks dan proses
historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak
rumusan positivis yang mengasumsikan
masyarakat sebagai benda yang diamati
(obyek). Penentangan saintisme ilmu ini
dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm

Dilthey.14 Kemudian disusul Alfred Schutz


dengan sosiologi fenomenologinya.
Weber menekankan pada fenomena spiritual atau
ideal manusia, yang merupakan khas
manusia, dan tak dapat dijangkau oleh ilmuilmu alam. Karena itu, sosiologi perlu
menekuni realitas kehidupan manusia,
dengan cara memahami dan menafsirkan
atau verstehen. Sedangkan Dilthey
memusatkan perhatiannya pada usaha
menemukan struktur simbolis atau makna
dari produk-produk manusiawi, seperti;
sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi.
Sementara Schutz memfokuskan pada
pengalaman manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Dunia sehari-hari adalah dunia
yang terpenting dan paling fundamental bagi
manusia, sekaligus sebagai realitas yang
memiliki makna subyektif. Perkembangan
fenomenologi Schutz berimplikasi pada
lahirnya etnometodologi (Harold Garfinkel),
interaksionisme simbolik (Herbert Blumer),
dramaturgi (Erving Goffman), dan konstruksi
sosial (Peter L. Berger).15
Kritis
Kunci dari teori kritis terletak pada upaya
pembebasan (pencerahan). Ilmuwan tidak
selayaknya mengacuhkan masyarakat demi
mengejar obyektivitas ilmu. Ilmuwan haruslah

menyadari posisi dirinya sebagai aktor


perubahan sosial. Karena itu, teori kritis
menolak tegas positivisme, dan ilmuwan
sosial wajib mengkritisi masyarakat, serta
mengajak masyarakat untuk kritis. Sehingga,
teori kritis bersifat emansipatoris. Emansipasi
mutlak diperlukan, untuk membebaskan
masyarakat dari struktur yang menindas.
Kesadaran palsu senantiasa ada dalam
masyarakat, dan itu harus diungkap dan
diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis
adalah interdispliner.
Ben Agger menyebutkan ciri-ciri teori kritik sebagai
berikut:
a. Teori kritis berlawanan dengan positivisme. Pengetahuan
bukanlah refleksi atas dunia statis di luar sana, namun
konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat
asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari
sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Selain itu, jika
positivis mengharuskan untuk menjelaskan hukum alam,
maka kritis percaya bahwa masyarakat akan terus
mengalami perubahan.
b. Teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini,
yang secara umum ditandai oleh dominasi, eksploitasi, dan
penindasan. Oleh karena itu, ilmuwan kritis harus
berpartisipasi untuk mendorong perubahan.
c. Teori kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural.
Tugas teori sosial kritis adalah mengungkap struktur itu,
guna membantu masyarakat dalam memahami akar global
dan rasional penindasan yang mereka alami.

d. Pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa


struktur didominasi oleh kesadaran palsu manusia,
dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs),
hegemoni (Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse),
dan metafisika keberadaan (Derrida).
e. Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai
dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, misalnya;
seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja. Disini, teori
sosial kritis menghindari determinisme dan mendukung
voluntarisme.
f. Mengikuti pemikiran Marx, teori sosial kritis
menggambarkan hubungan antara struktur manusia secara
dialektis.
g. Teori sosial kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah
ujung jalan panjang yang dapat dicapai dengan
mengorbankan kebebasan dan hidup manusia. Di sisi lain,
kritis juga menolak pragmatisme revolusioner.
Humanisme: Antara Positivisme dan Kritis
Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih
dekat kepada teori positif atau kritis,
tergantung pada bidang apa orang
memberikan tekanan (Agger, 2003: 62).
Teoritisi interaksionisme simbolis dari Mazhab
Iowa memberikan konsepsi sosiologi
interpretatif sebagai struktur berharga dari
survai kuantitatif. Bahkan, teori interpretatif
dapat memberi kontribusi bagi pemahaman
atas keajegan kalau dilakukan secara cukup
terarah. Namun konsepsi ini ditentang keras
oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan

konstruksionis sosial, yang menyatakan


sosiologi interpretatif sebagai counter atas
penelitian survai. Penelitian survai gagal
memahami makna yang dijalin masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
penelitian survai sebagai turunan dari
positivis lebih sebagai ilmu sosial yang
bermazhab ilmu fisika prediktif, sehingga hal
itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme.
Jauh berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin dan
Patricia Clough berpandangan bahwa teori
interpretatif telah melebur bersama cultural
studies (kajian budaya) dan teori feminis.
Menurutnya, teori interpretatif adalah cabang
dari teori kritis. Clough juga Smith (1987)melacak keterkaitan antara kehidupan seharihari dan struktur sosial politik. Hasilnya,
kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan
dalam rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari
struktur sosial politik yang menaunginya.16
Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif
maka semakin kritis (politis)
kecenderungannya. Masih menurut Ben
Agger, persamaan fundamental antara
humanisme dengan kritis terletak pada upaya
penentangannya pada positivisme eksistensi
hukum sosial. Sementara perbedaan
fundamentalnya terletak dalam menyikapi
kesadaran palsu. Interpretatif
berpandangan bahwa sangat arogan bagi

analisis sosial untuk mengandaikan bahwa


masyarakat memiliki kesadaran palsu atau
sejati. Sedang kritik secara tegas
menjelaskan masyarakat memiliki kesadaran
palsu yang mesti dilawan dan dihancurkan.
Metodologi
Epistemologi yang berbeda menjadikan setiap
aliran memiliki metodologi yang berbeda.
Secara kasar; positivis menggunakan teknikteknik kuantitatif, interpretatif dengan
kualitatif, dan kritis dengan kualitatifemansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial
positivisme menggunakan metode empirisanalitis; menggunakan logika deduksi, teknikteknik penelitian survai, statistika, dan
berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme
ilmu sosial menggunakan metode historishermeneutis; mencakup logika induktif, dan
metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis
mencakup pendekatan emansipatorik;
penelitian partisipatorik dan metode kualitatif.
Walaupun begitu, secara spesifik masing-masing
sosiolog memiliki penekanan yang berbedabeda walau masuk dalam satu aliran.
Terlebih dalam humanisme dan kritik.
Walaupun sama-sama menekuni makna,
Garfinkel menggunakan etnometodologi yang
memiliki perbedaan dengan fenomenologi
Schutz. Berger, yang membidik makna dalam

skala lebih luas, menggunakan studi sejarah


sebagai bagian dari metodologinya.
Posisi Teori Berger
Perspektif Berger tak dapat dilepaskan dari situasi
sosiologi Amerika era 1960-an. Saat itu,
dominasi fungsionalisme berangsur menurun,
seiring mulai ditanggalkannya oleh sosiolog
muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif
konflik (kritis) dan humanisme. Karena itu,
gagasan Berger yang lebih humanis (Weber
dan Schutz) akan mudah diterima, dan di sisi
lain mengambil fungsionalisme (Durkheim)
dan konflik (dialektika Marx). Berger
mengambil sikap berbeda dengan sosiolog
lain dalam menyikapi perang antar aliran
dalam sosiologi. Berger cenderung tidak
melibatkan dalam pertentangan antar
paradigma, namun mencari benang merah,
atau mencari titik temu gagasan Marx,
Durkheim dan Weber. Benang merah itu
bertemu pada; historisitas. Selain itu, benang
merah itu yang kemudian menjadikan Berger
menekuni makna (Schutz) yang menghasilkan
watak ganda masyarakat; masyarakat
sebagai kenyataan subyektif (Weber) dan
masyarakat sebagai kenyataan obyektif
(Durkheim), yang terus berdialektika (Marx).
Lalu, dimana posisi teori Berger? Masuk
dalam positif, humanis, atau kritis?

Dalam bab kesimpulan di bukunya; Konstruksi


Sosial atas Kenyataan: sebuah Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan, Berger secara
tegas mengatakan bahwa sosiologi
merupakan suatu disiplin yang humanistik.
Hal ini senada dengan Poloma yang
menempatkan teori konstruksi sosial Berger
dalam corak interpretatif atau humanis.
Hanya saja, pengambilan Berger terhadap
paradigma fakta sosial Durkheim menjadi
kontroversi ke-humanis-annya. Pengambilan
itu pula yang membuat Douglas dan Johnson
menggolongkan Berger sebagai Durkheimian:
Usaha Berger dan Luckmann merumuskan
teori konstruksi sosial atas realitas, pada
pokoknya merupakan usaha untuk memberi
justifikasi gagasan Durkheim berdasarkan
pada pandangan fenomenologi (Hanneman
Samuel, 1993: 42). Selain itu, walaupun
Berger mengklaim bahwa pendekatannya
adalah non-positivistik, ia mengakui jasa
positivisme, terutama dalam mendefinisikan
kembali aturan penyelidikan empiris bagi
ilmu-ilmu sosial (Berger dan Luckmann, 1990:
268).
Upaya yang paling aman (lebih tepat) dalam
menggolongkan sosiolog tertentu, rupanya
adalah dengan menempatkan sosiolog dalam
posisinya sendiri. Dengan mendasari dari
pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa
setiap orang adalah spesifik dan unik.

Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang


manusia, tentu memiliki pemikiran yang unik
dan spesifik. Namun hal ini bukan
menempatkan sosiolog terpisah dan tidak
tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang
lebih tepat dilakukan adalah dengan mencari
jaringan pemikiran (teori) antar sosiolog,
bukan menggolong-golongkan. Dalam kasus
Berger, maka pemikiran sosiolog sebelumnya
yang kentara mempengaruhi teorinya adalah
(sebagaimana disinggung di atas): Max
Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan
Schutz, serta George Herbert Mead. Pengaruh
Weber nampak pada penjelasannya akan
makna subyektif yang tak bisa diacuhkan
ketika mengkaji gejala yang manusiawi.
Tentang dialektika (individu adalah produk
masyarakat, masyarakat adalah produk
manusia) Berger rupanya meminjam gagasan
Marx. Sedang masyarakat sebagai realitas
obyektif yang mempunyai kekuatan
memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial,
adalah sumbangan Durkheim. Schutz rupanya
lebih mewarnai dari tokoh lainnya, terutama
tentang makna dalam kehidupan sehari-hari
(common sense). Secara umum, dalam
masalah internalisasi, termasuk tentang I
and me dan significant others, Mead
menjadi rujukan Berger.
http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11/teori
-konstruksi-sosial-peter-l-berger/

BAB II
TEORI SOSIOLOGI KLASIK
Pada bab ini menjelaskan mengenai tokoh, riwayat,
pemikiran dan sumbangan terhadap sosiologi. Beberapa tokoh
tersebut, antara lain; Auguste Comte, Karl Marx, Emile
Durkheim, Max Weber, Georg Simmel, Herbert Spencer,
Ferdinand Tonnies, dan V. Pareto.
A. Comte sebagai Pendiri dan Bapak Auguste Sosiologi
1. Riwayat Hidup (1798-1857),
Auguste Comte lahir di Mountpelier Perancis, 19 Januari
1798. Ia merupakan pendiri atau Bapak Sosiologi. Pada
tahun 1817 Comte pernah menjadi sekretaris Saint Simon.
Ia terkenal karena memiliki daya ingat yang kuat. Selain
dikenal sebagai Bapak Sosiologi juga filsuf. Beberapa
karyanya banyak yang mengandung pemikiran filsafatnya.
Comte dikenal juga sangat taat terhadap agamanya
(Katolik), bahkan ia menghayalkan dirinya sebagai pendeta
agama baru kemanusiaan. Comte memiliki pengaruh besar
di Perancis dan negara lainya.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
Barat saat itu membuat Comte tertarik untuk mencari
jawaban atas pertanyaan secara ilmiah: apa yang
membuat tatanan berubah, apa yang mempersatukan
masyarakat kembali. Jawaban atas pertanyaan tersebut,
akhirnya Comte menemukan pada perlunya sebuah
metode ilmiah pada kehidupan sosial, sebagaimana ilmu
alam. Comte menamakan ilmu baru tersebut sosiologi
artinya studi masyarakat (dari kata yunani logis, (studi
mengenai, dan kata latin Socius,teman atau bersama
orang lain studi masyarakat)
2. Karya dan pemikirannya
a. The Philosophy of Positive
Comte adalah orang pertama yang
menggunakan istilah sosiologi. Pengaruhnya besar

sekali terhadap pada teoritisi sosiologi selanjutnya


(terutama Herbert Spencer dan Emile Durkheim). Ia
yakin bahwa studi sosiologi akan menjadi ilmiah
sebagaimana keyakinan teoritisi klasik dan
kebanyakan sosiologi kontemporer.
Selanjutnya Comte mangembangkan pandangan
ilmiahnya, yakni Positivisme atau filsafat positif,
Untuk memberantas sesuatu yang dianggap sebagai
filsafat negatif dan destruktif dari abad pencerahan.
Positivisme sendiri adalah sebuah metodologi yang
didasarkan pada penjelasan ilmiah, dan tunduk pada
pangetahuan tentang tindakan serta pada percobaan
atau pengamatan emprimis. Doktrin ini mengklaim
bahwa pengetahuan yang sebenarnya harus
terbebas dari spekulasi-spekulasi dan kepercayaan.
b. Hukum Tiga Tahap
Menurut Comte, bahwa masyarakat berkembang
ditentukan menurut cara berfikir yang dominan,
selanjutnya Comte membagi tahapan perkembangan
masyarakat, yaitu; teologis, metafisik dan positif.
Menurut Comte bahwa tiga tingkatan intelektual
inilah yang dilalui dunia sepanjang sejarahnya.
Beberapa karekteristik khusus dari ketiga tahap
tersebut, yakni;
1) Fase teologis (fiktif)
Yaitu masa kanak- kanaknya kemanusian. Jiwa
atau semangat manusia mencari penyebab dari
timbulnya fenomena-fenomena, baik
menghubungkanya dengan benda-benda yang
dimaksud (fetishisme atau memuja benda seperti
jimat) atau dengan meganggap adanya mahkluk
ghaib (agama polities) atau dengan satu Tuhan
saja (monoteisme). Jiwa manusia menghadirkan

gambaran bahwa fenomena dihasilkan lewat


perbuatan kekuatan ghaib (supranatural) yang
jumlahnya sedikit atau banyak secara langsung
dan terus menerus. Masa ini adalah masa
kepercayaan magis, percaya pada jimat, roh dan
agama.
2) Fase teologis (abstrak)
Yaitu masa remaja pemikiran manusia. Agenagen ghaib di ganti oleh kekuatan abstrak; yaitu
alamnya Spionoza, Tuhan geometrinyanya
Descartes, materinya Diderot atau akal sehatnya
Abad pencerahan. Masa ini dianggap sebagai
kemajuan jika dikaitkan dengan pemikiran
antropomorfis sebelumnya. Namun demikian
pemikiran orang masih terbelenggu oleh konsep
filosofis yang abstrak dan universal. Tahap ini oleh
Comte meganggap sebagai metode filsuf
3) Fase Positif
Yaitu keadaan inteligensia kita yang berani.
Semangat pencarian positif menyingkirkan
pencarian menyangkut pertanyaan
hakikimengapayang terkait dengan segala
sesuatu dalam memikirkan tentang perbuatan,
yaituhukum-hukum efektif berupa hubungan
suksesi dan kesamaan yang tidak berubah.
Comte menyatakan segala hal adalah relatif, dan
inilah satu-satunya yang absolut. Pendeknya
positivise berupaya meninggalkan spekulasi dan
konsep tak barguna yang berasal dari imajinasi
agar berpegang pada obyektivitas ilmu
pengetahuan yang disusun dari pengalaman,
observasi peristiwa dan penalaran.

c. Agama Humanitas
Comte sangat keras mengkritiksemangat
teologi masa kuno meskipun ia merasa bahwa
agama ikut bertanggungjawab sebagai semen
perekat sosial. Industrialisasi dan Revolusi Prancis
telah mengacaukan Rezim Lama serta ikut memberi
kontribusi dalam menghancurkan ikatan-ikatan lama
yang mempersatukan manusia diantara mereka
(Gereja, perserikatan atau korporasi dan aturan
Rezim Lama). Hasilnya adalah sebuah masyarakat
yang tereduksi menjadi sekumpulan individu yang
tak terorganisir.
Dengan demikian harus ditemukan pengganti
dewa-dewa lama di dunia yang baru muncul ini.
Agama yang sudah kuno harus diganti dengan
Mahluk Agung yang baru yaitu Kemanusiaan.
Untuk itu, Comte pada tahun 1847 memproklamirkan
terciptanya sebuah agama kemanusiaan, yaitu
agama ilmu pengetahuan terutama ilmu sosial yang
menjadi dogma-dogmanya, para ilmuwan manjadi
pendetanya. Oleh karenanya Comte mengungkapkan
bahwa para ilmuwan tidak cukup memiliki
inteligensia, namun harus memiliki cinta dan kasih
sayang.
B. Karl Marx :

Struktur Ekonomi, Pertentangan Kelas

dan Perubahan Sosial


1. Riwayat Hidup
Karl Marx lahir di Trier, Prusia 5 Mei 1818. Marx
adalah seorang fisafat, ayahnya seorang pengacara
yang juga pendeta yahudi. Pemikirannya sangat
dipengaruhi oleh Hegel-meskipun akhirnya Marx juga
sangat mengkritik Hegel. Pada tahun 1845, Marx

pernah di usir dari tanah kelahiranya Prusai karena


dianggap radikal. Lalu ia pindah ke Brusal dan
bergabung dengan Engels dalam Liga Komunis.
Karyanya berupa manifesto komunis merupakan bukti
kebersamaan Marx dan Engels. karyanya tersebut berisi
tentang slogan-slogan politik, misalnya kaum buruh
seluruh dunia, bersatulah!!!
Tahun 1849 ia pindah ke London dengan menarik
diri dari aktivitas revolusioner dan beralih ke kegiatan
riset yang lebih rinci tentang perang sistem kapitalis.
Studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku Das
kapital yang di terbitkan tahun 1868. Tahun 1864 ia
terlibat kembali dalam gerakan politik buruh
internasional dan menonjol dalam gerakan tersebut. Ia
meninggal pada tahun 1883 seteleh menderita
penyakit uang di deritanya.
2. Karya dan Pemikiranya
a. Filsafat Materialisme
Menurut Marx bahwa perilaku manusia
ditentukan oleh kedudukan materinya, bukan pada
idea. Pendapat Marx ini bertolak belakang dengan
pendapat hegel. Penekanan Marx pada sektor
materi menyebabkan pemikiranya sejalan dengan
pemikiran kelompok ekonomi (seperti Adam Smith
dan David Ricardo).
Tekanan materialisme Marx awalnya
sebagai reaksi terhadap interpretasi idealistik
Hegel mengenai sejarah. Filsafat sejarah ini
menganggap bahwa suatu peranan yang paling
menentukan adalah yang berasal dari evolusi idiide. Marx menolak filsafat sejarah Hegel ini karena
menghubungkannya dengan evolusi ide-ide

sebagai suatu peranan utama yang berdiri sendiri


dalam perubahan sejerah lepas dari hambatanhambatan dan keterbatasan-keterbatasan situasi
material atau hubungan-hubungan sosial yang di
buat orang dalam menyesuikan dirinya dengan
situasi material.
Konsepsi materialis Marx dijelaskan dalam the
german idealogi, disusun bersama Engels. Tema
pokok dalam karya ini adalah bahwa perubahan
dalam bentuk-bentuk kesadaran, ideologi-ideologi,
atau asumsi-asumsi filosofis mencerminkan, bukan
menyebabkan perubahan dalam kehidupan sosial
dan materil manusia. Kondisi-kondiisi materil
bergantung pada sumber-sumber alam yang ada
dan kegiatan manusia yang produktif. Manusia
berbeda dari binatang dalam kemampuannya
untuk menghasilkan kondisi-kondisi materil untuk
kehidupannya.
Marx menempatkan ideologi sebagai
keseluruhan ide yang dominan dan diusung oleh
sebuah masyarakat sebagai kelompok sosial dan
bingkai superstruktur masyarakat. Ideologi ini
dikondisikan oleh bingkai atau batas ekonomi dan
menjadi refleksi atas bingkai itu. Dengan demikian
kaum borjuis yang semakin menanjak telah
menentukan pemikiran-pemikiran tentang
kebebasan, hak asasi manusia, kesetaraan
dihadapan hukum. Mereka ini cenderung
memindahkan apa yang menjadi ekspresi
kepentingan kelasnya menjadi nilai-nilai universal.
Selanjutnya, Marx menganalisis mengenai
kesadaran palsu yang sudah terbentuk dalam

masyarakat sejak awal. Marx menempatkan agama


sebagai suatu ideologi yang menyebabkan
kesadaran palsu-struktur ekonomi dalam
masyarakat feodal pra-industri, pembagian kerja
antara tuan tanah, penggarap dan petani dilihat
sebagai suatu takdir merupakan sesuatu yang tak
dapat dirubah, oleh Marx merupakan sesuatu yang
menyesatkan. Untuk itu, Marx meganggap
agama sebagai candu bagi masyarakat . Marx
juga mengambil kesimpulan yang sama, pada
kebijakan-kebijakan negara yang berusaha
menghindari konflik antara kelas tidak lain tidak
hanya memberi kesempatan pada kelompok
tertentu untuk tetap mengusai kegiatan
perekonomian suatu negara.
b. Cara-cara

produksi

dan hubungan-

hubungan produksi
Tekanan yang dikemukakan Marx bahwa
struktur ekonomi masyarakat (yaitu alat-alat
produksi dan hubungan-hubungan sosial dalam
produksi) merupakan dasar dari sebuah sistem
sosial budaya, baik politik, pendidikan, agama,
keluarga, kebudayaan dan semua instusi lainya.
Hubungan-hubungan sosial di antara pihakpihak yang terlibat dalam proses produksi
mengakibatkan kontradiksi antara pihak-pihak
yang terlibat, sehingga berakibat pada hancurnya
hubungan sosial dan hancur hubungan sosial
tersebut akan menggerakan perubahan sosial
tahap demi tahap.
Dalam hal ini Marx memberikam gambaran
mengenai hubungan antara buruh dengan majikan
yang selalu berakibat pada penderita bagi buruh

(memperoleh posisi buruh). Pemilik modal dengan


kekuatan manajemenya selalu dapat mengatur
kembali posisi buruh dalam hal ini dianggap
sebagai alat produksi atau suku cadang peralatan
produksi, dan buruh tidak pernah dilihat sebagai
personal. Pemerintah yang semula yang
diharapkan sebagai penengah tidak mampu
memberikan kekuatan, namun justru memihak
pada legal sistem

sehingga buruh tidak

pernah mendapatkan posisi tawar yang


menguntungkan bagi nasibnya.
Hubungan-hubungan sosial dengan orang lain
dalam usaha mencoba memenuhi kebutuhankebutuhan dasarnya (makanan, tempat tinggal,
pakaian, dan seterusnya), menimbulkan
pembagian kerja sebagai akibat adanya
kepemilikan akan penguasaan yang berbeda-beda
atas sumber-sumber pokok dan berbagai alat
produksi. Pemilikan dan penguasaan yang
berbeda-beda atas barang milik ini merupakan
dasar yang asasi untuk munculnya kelas-kelas
sosial, sebab sumber-sumber materi yang
dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia
bersifat langka, hubungan-hubungan antara kelaskelas yang berbeda itu menjadi kompetitif dan
antogonis. Untuk itu, menurut pemikiran Marx
bahwa siapa yang menguasai ekonomi akan
berhasil menguasai aspek lainya.
Selanjutnya menurut Marx masyarakat
akan berkembang berawal dari bentuk masyarakat
primitif dan berakhir ketika mencapai kematangan
peradaban yang berada pada posisi scientific

comunism (masyarakat modern tanpa kelas).


Marx menggambarkan masyarakat tanpa kelas
sebagai masyarakat yang memiliki cara hidup
yang sederhana, cara hidup ideal, kepemilikan
bersama, tanpa memiliki nafsu bersaing antar
sesama. Selain itu gambaran lain mengenai
masyarakat tanpa kelas tersebut diantaranya
berfikir rasional dengan logika ilmiah.
c. Teori Nilai Surplus
Marx merumuskan teori nilai surplus. Dalam
teori ini ia menegaskan bahwa keuntungan
kapitalis menjadi basis eksploitasi tenaga kerja.
Kapitalis melakukan muslihat sederhana dengan
membayar upah tenaga kerja kurang dari
selayaknya mereka terima, karena mereka
menerima upah kurang nilai barang yang
sebenarnya mereka hasilkan dalam suatu periode
bekerja. Nilai surplus ini, yang disimpan dan di
investasikan kembali oleh kapitalis, merupakan
basis dari seluruh sistem kapitalis. Sistem
kapitalis tumbuh melalui tingkatan eksploitasi
terhadap tenaga kerja yang terus- menerus
meningkat (dan karena itu jumlah nillai surplus
pun meningkat) dan dengan menginvestasikan
keuntungan untuk mengembangkan sistem.
Selanjutnya, menurut Marx bahwa kapitalisme
pada dasarnya adalah sebuah struktur yang
membuat batas pemisah antara seorang individu
dan proses produksi, produk yang diproses dan
orang lain; dan akhirnya juga memisahkan diri

individu itu sendiri. Inilah makna mendasar dari


konsep alienasi.
d. Perjuangan Kelas

dan

Konflik

Bagi Marx, bahwa adanya kelas sosial sematamata didasarkan pada hubungan seseorang
dengan alat produksi (means of production)peralatan, pabrik, lahan, modal yang digunakan
untuk memproduksi kekayaan. Lebih lanjut Marx
percaya bahwa akar penderitaan manusia terletak
pada konflik kelas, eksploitasi kaum pekerja oleh
mereka yang memiliki alat produksi. Untuk itu
dalam pandangan Marx, perubahan sosial, dalam
bentuk penggulingan kaum kapitalis oleh kaum
pekerja (ploletariat) merupakan sesuatu yang tidak
dapat dihindari. Perjuangan tersebut oleh Marx
lebih dikenal sebagai kesedaran kelas (class
consciousness).
Menurut Marx bahwa pengaruh ideologi
memunculkan kesadaran palsu. Kesadaran
palsu dapat berupa kepercayaan bahwa
kesejahteraan materil orang masa kini dan di masa
yang akan datang terletak pada dalam dukungan
terhadap status-quo politik di mana kepentingan
meteril seseorang sesuai dengan kepentingan
kelas penguasa atau bahwa kelas penguasa benarbenar akan memperhatikan kesejahteraan umum.
Kesedaran palsu menciptakan ilusi yang
mengaburkan kepentingan yang sebenarnya dari
kelompok masyarakat dan mendukung
kepentingan kelas dominan.
Untuk menganalisis kesadaran kelas yang
benar dan kesadaran kelas yang palsu, Marx

memberi contoh pada kesadaran kelas kaum kerja.


Kesadaran palsu kaum pekerja, yakni pekerja
pabrik pada jenjang hirarki organisasi yang paling
bawah percaya bahwa kalau mereka bekerja keras
mereka akhirnya akan memperoleh posisi yang
tinggi. Padahal kenyataanya peluangnya sangat
kecil.
Sementara bagi pekerja yang memiliki
kesadaran kelas yang benar, kaum pekerja
meyakani bahwa kesempatan mereka untuk naik
ke jenjang yang lebih tinggi sangat kecil, untuk itu
mereka membentuk organisasi buruh untuk
mendesak upah dan perekrutan tenaga secara
adil, kondisi kerja yang lebih baik, otonomi yang
lebih luas. Hasil akhir yang menjadi sasaran
perjuangan sengit ini ialah suatu masyarakat tanpa
kelas, yang bebes dari eksploitasi. Untuk itu
dibutuhkan sebuah misi yang sama untuk
membuang rantai-rantai perbudakan mereka.
Menurut Marx guna membendung
perkembangan kapitalisme yang telah mendorong
perkembangan perdagangan, industri dan pusatpusat urban sehingga memunculkan dua kelas
dalam masyarakat (borjuis dan proletar). Kelas
borjuis (bourgeois), yaitu mereka yang memiliki
alat produksi dan telah mendestabilkan rezim
(tatanan) lama dalam memegang tempat yang
dominan. Kelas borguis tersebut mendominasi dan
selalu melakukan eksploitasi terhadap kaum
proletar. Hal ini menjadi fokus kritikan Marx
terhadap kapitalisme.

Adapun kalangan proletar atau rakyat jelata,


yaitu mereka yang bekerja untuk para pemilik alat
produksi, seperti orang miskin dan terdiri dari
sekumpulan tukang di pabrik-pabrik dan para
petani yang terusir dari tanahnya dan kemudian
menjadi tenaga kerja utama dibengkel kerja dan
firma-firma industri besar dan kaum buruh yang
bekerja secara tidak manusiawi-jam.(16 jam/hari),
eksploitasi anak, kemelaratan, kecanduan alkohol
dan degradasi moral yang menimpa kaum buruh.
Menurut analisis Marx, kalangan proletar selalu
mengalami ketertindasan akibat lemahnya posisi
tawar terhadap kaum borjuis.
d. Max Weber dan Rasionalitas
1. Riwayat Hidup
Max Weber, lahir dari kelurga kelas
menengah. Ia merupakan alumni Universitas
Berlin dan mengajar di almamaternya. Awal
perhatianya pada bidang ekonomi dan sejarah,
namun kemudian bergeser ke sosiologi. Ia
menerbitkan salah satu karya terbaiknya, The
Protestant Ethic and the Spirit capitalisme. Selain
itu karyanya yang lain, ekonomy and society,
Weber adalah sosiolog dari jerman yang sejaman
dengan Durkheim, juga menyandang jabatan guru
besar disiplin ilmu baru, sosiologi. Seperti
Durkheim dan Marx. Weber merupakan sosiolog
yang paling berpengaruh karena memberi
sumbangan berupa metodologi serta analisisnya
perihal masyarakat modern, khususnya tentang
konsep rasionalitas.

2. Karya dan Pemikiranya


a. Rasionalitas
Karya Weber yang sangat terkenal adalah
tentang rosionalitas. Weber tertarik pada
masalah umum seperti mengapa institusi sosial
di dunia Barat berkembang semakin rasional
sedangkan di belahan bumi lain kurang bisa
berkembang. Weber mengembangkan teorinya
dalam konteks studi perbandingan sejarah
masyarakat Barat, Cina, dan India. Dalam
studi ini ia mencoba melukiskan faktor yang
membantu mendorong atau merintangi
perkembangan rasionalisasi. Berdasarkan hal
tersebut, Weber berkeyakinan bahwa
masyarakat adalah produk dari tindakan
individu-individu yang berbuat dalam kerangka
fungsi nilai, motif dan kalkulasi rasional.
Menurut Weber terdapat tiga tipe besar
aktivitas atau tindakan manusia yaitu:
1). Tindakan tradisional yang terkait dengan
adat-istiadat. Aktivitas sehari-hari seperti
makan dengan menggunakan tanpa garpu.
2). Tindakan afektif yang di gerakan nafsu,
contohnya, para rentenir dan penjudi
bbertindak pada level ini.
3). Tindakan rasional yang merupakan alat
(instrumen), di tunjukan ke arah nilai atau
tujuan yang bermanfaat dan berimplikasi
pada kesesuaian antara tujuan dengan cara.
Stategi (militer atau ekonomi) termasuk
dalam kategori ini. Strategi ini bersifat
rasional dalam hal penyusaian efektivitas
tindakan yang lebih baik dan di arahkan

ketujuan materil (misalnya penaklukan


sebuah wilayah) atau di orientasikan lewat
nilai-nilai ( misalnya kemenangan).
Menurut Weber tindakan rasional menjadi
ciri masyarakat modern : yaitu mewujudkan
dirinya sebagai pengusaha kapitalis, ilmuwan,
konsumen atau pegawai yang bekerja dan
bertindak sesuai logika tersebut. Lebih lanjut
menurut Weber bahwa jarang sekali aktivitas
sosial yang berorientasi pada salah satu jenis
aktivitas, namun bisa saja saling berpengauhmisalnya aktivitas konsumen. Biasanya
konsumen memilih produk yang disesuaikan
dengan penghasilan (tindakan rasional), namun
bisa juga didorong memilih karena kebiasaan
konsumsinya (tindakan tradisional) atau karena
keinginan yang tak tertahankan lagi ( tindakan
afektif).
Selain itu, menurut Weber bahwa kekuatan
pokok perubahan sosial adalah ada pada
agama. Weber berteori bahwa sistem
kepercayaan Katolik Roma mendorong
penganutnya untuk berpegang pada cara hidup
tradisonal, sedangkan sistem kepercayaan
Protestan mendorong anggotanya untuk
merangkul perubahan. Kaum Katolik Roma
percaya bawa mereka berada di jalan menuju
syurga karena mereka telah dibaptis dan
menjadi anggota gerja.
Namun kaum Protestan tidak memiliki
kepercayaan demikian. Kaum Protestan dari
tradisi Calvisnis diberitahu bahwa mereka tidak
akan tahu apakah mereka telah diselamatkan

sampai tibanya hari kiamat. Karena mereka


merasa tidak nyaman dengan hal ini, mereka
mulai mencari tanda bahwa mereka berada
di jalan Tuhan. Akhirnya, mereka
mengimpulkan bahwa keseuksesan finansial
merupakan tanda utama bahwa Tuhan berada
di pihak mereka. Untuk menghadirkan tanda
ini dan menerima kenyamanan spiritual,
mereka mulai menjalani kehidupan yang
hemat, menabung uang dan
menginventarisasikan surplusnya agar
mendapatkan lebih banyak lag. Hal inilah yang
dimaksud oleh Weber sebagai etika Protestan
(Protestan Ethic).
Menurut Weber, Etika protestan tersebut
telah mendorong lahirnya kapitalisme-yang
memungkinkan terjadinya proses rasionalisasi
dunia, penghapusan usaha magis yaitu suatu
manipulasi kekuatan supernatural sebagai alat
untuk mendapatkan keselamatan. Untuk
menguji teorinya, Weber membandingkan
luasnya kapatalisme di negara-negara Katolik
Roma dan Protestan. Sejalan dengan teorinya,
ia menemukan bahwa kapatalisme sangat
kontroversial saat dibuat, dan masih terus
diterus diperdebatkan hingga sekarang.
b. Jenis jenis Otoritas
Weber memasukan diskusinya mengenai
otoritas dalam membahas berbagai jenis
hubungan sosial yang berbeda - beda terutama
bentuk bentuk dominasi politik. Weber
membedakan tiga bentuk ideal tipe otoritas,
diantaranya :

1. Otoritas tradisonal
Otoritas ini didasarkan pada legitiminasi
karena ciri sakralitas tradisi yang melekat
padanya. Kekuasaan patriarkis ditengah
tengah kelompok penghuni ruang domestik
dan kekuasaan para tuan tanah dalam
masyarakat feodal termasuk dalam kategori
ini. Contoh lain, seorang pemimpin yang
berkuasa karena garis keturunan atau suku.
Weber juga membuat analisis rinci dan
canggih tentang rasionalisasi fenomena,
seperti agama, hukum, kota, dan bahkan
musik. Kita dapat melukiskan cara berfikir
Weber dengan satu contoh lain-rasionalisasi
institusi ekonomi. Diskusi ini tertuang dalam
analisis Weber yang lebih luas tentang
hubungan antara hukum dan kapitalisme.
Dalam studi sejarah bercakupan luas, weber
beruapaya memahami mengapa sistem
ekonomi rasional (kapitalisme) berkembang
di Barat dan mengapa gagl berkembang di
masyarakat lain. Dalam studi ini Weber
mengakui peran sental agama. Agama telah
memainkan peran kunci dalam
perkembangan kapatalisme tentang
hubungan
2. Otoritas Karismatik
Merupakan dominasi suatu personalitas
tertentu dan dikaruniai aura khusus.
Peminpin Kharismatik mendasarkan
kekuasaanya pada kekuatan untuk
meyakinkan dan kapasitasnya untuk

mengumpulkan dan memobilisasi banyak


orang. Ketaatan terhadap pemimpin
semacam ini terkait faktor faktor
emosional yang berhasil dibangkitan,
dipertahankan dan dikuasainya.
3. Otoritas Legal Rasional
Otoritas ini bertumpu pada kekuatan
hukum formal dan impersonal (bukan pada
satu orang saja) dominasi ini terkait dengan
fungsi, dan bukan pada person. Kekuasaan
dalam organisasi meodern dijustifikasi lewat
kompetensi, rasionalitas pilihan dan bukan
pada kekuatan sihir. Otoritas rasional legal
atau legal-birokratis ini berlangsung melalui
kepatuhan terhadap sebuah kitab hukum
fungsional, seperti kitab UU sipil.
Organisasi birokratis merupakan tipe murni
otoritas legal. Kekuasaan yang didasarkan
pada kompetensi dan bukan pada asal-usul
sosial masuk kedalam bingkai peraturan
impersonal. Pelaksanaan (eksekusi) tugas
terbagi menjadi beberapa fungsi yang
dikhususkan dengan konturkontur (garis
keliling) yang ditentukan secara metodis.
Karier diatur dengan kriteriakriteria
kualifikasi dan rentang waktu obyektif
kedinasan dan sebagainya, dan bukan
dengan kriteria yang sifatnya individual.
Weber meyakinkan bahwa cara
organisasi ini bukan ciri khas administrasi
publik namun merupakan ciri perusahaan
perusahaan kapitalis, bahkan hal ini juga

terdapat dalam tatanan keagamaan


tertentu. Birokrasi ditandai dengan sebuah
cara pengaturan (misalnya tata buku
analitis) dan cara organisasi pekerjaan
sebagaimana yang mulai dipraktekkan (oleh
Taylor, Foyal).
D.

Emile Dukheim : Sosiologi sebagai ilmu tetang

Integrasi
1. Riwayat Hidup
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis, 15 April 1858.
Ia keturunan pendeta yahudi. Emile Durkheim (1858-1917),
dibesarkan di Prancis dan merupakan salah seorang
akademisi yang sangat mapan dan sangat berpengaruh. Ia
berhasil dalam melembagakan sosiologi sebagai satu disiplin
akedemisi yang sah. Pengaruh Dukheim pada
perkembangan sosiolagi di Amerika masa kini, sangatlah
besar, baik dalam metodologi maupun teori. Kajiannya
mengenai kenyataan gejala sosial yang berbeda dari gejala
individu, analisanya mengenai tipe struktur sosial, dasar
solidaritas serta integrasinya, maupun pemecahan
sosiologinya mengenai gejala seperti penyimpangan, bunuh
diri dan individualisme, serta studi statistiknya yang cermat
mengenai angka bunuh diri membuatnya menjadi pemikir
yang banyak memberikan sumbangan terhadap sosiologi
sebagai ilmu.
Selain itu pengaruh Durkheim sangat menyolok dalam
aliran fungsionalisme sosiologi modern. Fungsionalisme juga
menekankan integrasi dan solidaritas, dan juga pentingnya
memisahkan analisa tentang konsekuensi konsekuensi
sosial dari gejala sosial, dari analisa tentang tujuan dan
motivasi yang sadar dari individu. Durkheim meninggal pada
15 November 1917. Karya diantaraya : The devision of

society, the rules of sociological method, the elementary


forms of religious life, dan the structure of social action.
2. Karya dan Pemikirannya
a. Pokok Kajian dan Metode Sosiologi
Dalam The Rule of Sociological Method (1895/1982)
Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi adalah
mempelajari apa yang dia sebut sebagai fakta fakta sosial.
Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari
pendekatan Dukheim terhadap individu serta perilakunya
adalah bahwa fakta fakta sosial itu riil dan mempengaruhi
kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari
karakteristik psikologi, biologis atau karakteristik individu
lainya. Selain itu fakta fakta sosial dapat dipelajari dengan
metode metode empirik, karena fakta fakta sosial
merupakan benda dan harus diperlakukan sebagaimana
benda.
Menurut Durkheim bahwa fakta sosial merupakan
kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa
individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berkala luas
ini misalnya, hukum yang melembaga dan keyakinan
moral bersama-dan pengaruhnya terhadap individu menjadi
sasaran studi banyak teoritas sosiologi dikemudian hari
(misalnya persons). Dalam bukunya yang berjudul Sucide
(1897/1951) Durkheim berpendapat bahwa bila ia dapat
menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri itu
dengan sebab sebab sosial (fakta sosial) maka ia akan
dapat menciptakan alasan meyakinkan tentang pentingnya
disiplin sosiologi.
Durkheim berpegang pada metode variasi yang terjadi
pada waktu yang sama (korelasi krelasi) dengan
membangun rangkaian rangkaian mulai dari peristiwa
yang harus terseleksi. Ia memisahkan sejumlah variabel
berupa umur, seks, situasi sipil, keanggotaannya pada suatu

agama dan tingkat pendidikan yang dibandingkan dengan


angka kematian.
Durkheim memperlihatkan analisisnya tentang
kekuatan sosial mempengaruhi perilaku manusia. Durkheim
melaksanakan penelitian secara cermat, setelah
membandingkan angka bunuh diri pada beberapa Negara di
Eropa. Durkheim (1897/1966) menemukan bahwa angka
bunuh diri di satu negara berbeda dengan negara lain, dan
bahwa dari tahun ke tahun, tiap angka tetap stabil secara
mencolok. Sebagai contoh, angka bunuh diri dari kaum
Protestan, pria, dan mereka yang tidak menikah lebih tinggi
dari pada di kalangan oarang katolik, Yahudi, perempuan
dan mereka yang sudah menikah. Dari sini. Durkheim
menarik kesimpulan mendalam bahwa bunuh diri bukanlah
semata mata pada individu yang memutuskan bunuh diri
karena alasan pribadi. Faktor sosial memberi peran
melandasi tindakan bunuh diri, dan hal ini membuat angka
setiap kelompok cukup konstan dari tahun ke tahun.
Durkheim mengindentifikasi integrasi sosial, derajat
keterikatan manusia pada kelompok sosialnya, sebagai
faktor sosial kunci dalam tindakan bunuh diri. Faktor inilah
katanya, yang menjelaskan mengapa orang protestan yang
pria dan orang yang tidak menikah mempunyai angka
bunuh diri yang lebih tinggi. Argumen Durkheim adalah
Protestanisme mendorong kebebasan lebih besar dalam
berfikir dan bertindak, pria lebih mandiri dari pada
perempuan. Begitupun halnya dengan perang atau depresi
ekonomi dapat menciptakan perasaan depresi kolektif yang
selanjutnya dapat meningkatkan angka bunuh diri. Dengan
kata lain, karena integrasi sosial mereka lebih lemah,
anggota kelompok tersebut memiliki lebih sedikit ikatan
sosial yang mencegah orang untuk melakukan bunuh diri.

Selain itu Durkheim juga memahami fenomena pada


masyarakat industri ; yang mengalami hilangnya batas atau
bingkai sosial, krisis nilai serta kepercayaan kolektif
sehingga memungkinkan untuk melakukan bunuh diri,
dibanding dengan masyarakat kuno yang memiliki
solidaritas mekanis berupa kepercayaan kolektif.
b. Karakteristik dan Tipe Fakta Sosial
Menurut Durkheim bahwa fakta sosial memiliki
karakteristik, pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap
individu, misalnya bahasa, sistem moneter, norma norma,
profesional. Kedua, bersifat memaksa individu. Dalam hal ini
individu dipaksa, dibimbing, diyakini, didorong, atau dengan
cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam
lingkungan sosialnya. Ketiga, bersifat umum atau terbesar
secara meluas dalam satu masyarakat. Dengan kata lain, fakta
sosial itu merupakan milik bersama ; bukan sifat individu
persorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil
penjumlahan beberapa fakta sosial lainnya, anatara lain,
angka perkawinan, angka bunuh diri, dan angka mobilitas.
Dalam The Rule Of Sociolocal Method ia membedakan
antara dua tipe fakta sosial : material dan non-material. Meski
ia membahas keduanya dalam karyanya, perhatian utamanya
lebih tertuju pada fakta sosial non material (misalnya kultur,
instrusi sosial) ketimbang pada fakta sosial material (birokrasi,
hukum). Perhatiannya tertuju pada upaya membuat analisis
komparatif mengenai apa yang membuat masyarakat bisa
dikatakan berada dalam keadaan primitif atau modern. Ia
menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan
terutama oleh fakta sosial non-material, khususnya oleh
kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa yang ia sebut
sebagai kesadaran kolektif yang kuat. Tetapi, karena
kompleksitas masyarakat modern, kekuatan kesadaran itu

telah menurun. Dalam Les former elementaire de levie


religieuse (bentuk bentuk dasar kehidupan religius). Dalam
karyanya ini Durkheim membahas masyarakat primitif untuk
menemukan akar agama. Durkheim yakin bahwa ia akan dapat
secara lebih baik menemukan akar agama itu dengan
membandingkan masyarakat primitif yang sederhana
ketimbang dalam masyarakat modern yang kompleks.
Temuannya adalah bahwa sumber agama adalah masyarakat
itu sendiri. Masyarakatlah yang menentukan bahwa sesuatu itu
bersifat sakral dan yang lainnya bersifat profan, khusnya
dalam kasus yang disebut tetomisme. Dalam agama primitif
(totemisme) ini benda benda seperti tumbuh tumbuhan dan
binatang didewakan. Selanjutnya totemisme dilihat sebagai
tipe khusus fakta sosial nonmaterial, sebagai bentuk
kesadaran kolektif. Akhirnya Durkheim menyimpulkan bahwa
masyarakat dan agama (atau lebih umum lagi, kesatuan
kolektif ) adalah satu sama. Agama adalah cara masyarakat
memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial
nonmaterial.
Durkheim menyimpulkan bahwa : agama
sesungguhnya adalah masalah sosial. Dan ia juga meyakini
bahwa : agama adalah hal paling primitif dari segala
fenomena sosial. Semua manifestasi lain dalam aktivitas
kolektif berasal dari agama dan melalui berbagai transformasi
secara berturutturut : antara lain mengangkut hukum, moral,
seni, bentuk politik. Bahkan ikatan keluarga merupakan salah
satu ikatan yang bersifat religius.
c.

Solidaritas dan Tipe Struktural Sosial


Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan
antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang
diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini

lebih mendasar dari pada hubungan kontraktual yang dibuat


atas persetujuan rasional. Hubunganhubungan serupa itu
mengandalkan sekurangkurangya satu tingkat/derajat
konsensus terhadap prinsip prinsip moral yang menjadi dasar
kontrak itu, sekaligus berusaha menjelaskan asal mula
keadaan menurut persetujuan kontraktual yang dirembuk
individu untuk kepentingan pribadi mereka selanjutnya.
Penjelasan Durkheim mengenai solidaritas diperoleh
dalam bukunya The Division of Labour in Society. Dalam
karyanya tesebut Durkheim menganalisa pengaruh
kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur
dan perubahanperubahan yang diakibatkanya dalam bentuk
bentuk pokok solidaritas sosial. Singkatnya, pertumbuhan
dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam
struktur sosial dari solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Pembedaan antara solidaritas mekanik dan organik
merupakan salah satu sumbangan Durkheim yang paling
terkenal. Menurut Durkheim, solidaritas mekanik terbentuk
atas dasar kesadaran kolektif, yang menunjuk pada totalitas
kepercayaankepercayaan dan sentimensentimen bersama
yang rata rata ada pada warga yang sama itu. Ciri khas yang
penting dari solidaritas mekanik adalah suatu tingkat
homogenetik yang tinggi dalam kepercayaan atau sentimen
dengan tingkat pembagian kerja yang sangat minim.
Sedangkan solidaritas organik, muncul atas dasar
pembagian kerja bertambah besar dan saling ketergantungan
yang sangat tinggi. Menurut Durkheim, kuatnya solidaritas ini
ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan
dari pada yang bersifat represif. Dalam solidaritas organik
memberikan ruang otonomi bagi individu sehingga membuat
individu menjadi terpisah dari ikatan sosialnya. Namun bagi
solidaritas organik bahwa kesadaran kolektif menjadi penting

ketika dalam kelompok kerja dan profesi, karena memilki


keseragaman kepentingan. Secara ringkas perbedaan antara
solidaritas mekanik dan organik, sebagai berikut :

Solidaritas Mekanik
a). Pembagian Kerja Rendah

Solidaritas Organik
a). Pembagian Kerja Rendah

b.) Kesadaran Kolektif Kuat

b.) Kesadaran Kolektif Lemah

c). Hukum represif dominan

c). Hukum represif dominan

d). Individualitas rendah

d). Individualitas tinggi

e). Konsensus terhadap pola

e). Konsensus pada nilai nilai

pola normatif penting

abstrak dan umum itu

f). Keterlibatan komunitas


dalam menghukum orang

penting
f). Badan badan kontrol

yang menyimpang

sosial yang menghukum

g). Saling Ketergantungan

orang yang menyimpang

rendah

g). Saling Ketergantungan

h). Bersifat primitif atau

tinggi

pedesaan

h). Bersifat industrial


perkotaan

d.

Integrasi Sosial dan Angka Bunuh Diri ( Suicide)


Durkheim memandang bunuh diri sebagai fakta sosial,
bukan fakta individu. Proposisi dasar yang digunakan dalam
bunuh diri adalah bahwa angka bunuh diri berbedabeda
menurut tingkat integrasi sosial. Durkheim membedakan 3
(tiga) jenis tipe bunuh diri, diantaranya :
1). Bunuh Egoistik
Merupakan hasil dari suatu tekanan yang berlebihlebihan pada individualisme atau kurangnya ikatan sosial
yang cukup dengan kelompok sosial. Jadi orang protestan
memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi dari pada
katolik, karena kepercayaan mereka mendorong
inviduslisme yang lebih besar, dan ikatan komunal dalam
gereja Protestan lebih lemah. Sama halnya, orang orang
yang tidak kawin mempunyai angka bunuh diri yang lebih
tinggi dari pada orang yang sudah kawin: dan orang orang
yang kawin tanpa anak, mempunyai angka bunuh diri yang
lebih tinggi dari pada mereka yang menpunyai anak.
2). Bunuh diri anomik
Muncul dari tidak adanya pengaturan bagi tujuan dan
aspirasi individu. Dalam kondisi yang normal dan stabil
keinginan individu. Dalam kondisi yang normal dan stabil
keinginan individu dijamin oleh normanorma yang sesuai
dengan prinsip-prinsip moral yang umum. Normanorma
pengatur ini mejamin bahwa keinginan individu dan
aspirasinya pada umumnya sebanding dengan alat-alat
yang tersedia. Karena itu, individu berjuang untuk dan
menerima imbalan yang sesuai seperti diharapkanya. Kalau
norma-norma pengatur ini tidak berdaya lagi, maka
akibatnya adalah bahwa keinginan individu tidak dapat
dipenuhi lagi; keinginan ini lalu meledak di luar

kemungkinan untuk mencapainya, dan idividu itu terusmenerus mengalami frustasi. Contoh, krisis ekonomi.
3). Bunuh diri Altruitik
Merupakan hasil dari suatu intergritas sosial yang
terlampau kuat. Tingkat integrasi yang tinggi itu menekan
individualitas pada titik dimana individu kedudukannya
sendiri. Sebaliknya, individu itu diharapkan tunduk
sepenuhnya terhadap kebutuhan-kebutuhan atau tuntutantuntutan kelompok yang menempatkan setiap keinginan
individu pada posisi lebih rendah yang mengurangi
kesejahteraan kelompok dan mengganggu kehidupannya.
Kalau tingkat solidaritas itu cukup tinggi, sang individu itu
tidak kesal terhadap ketaatan pada kelompok ini, malah
sebaliknya merasa sangat puas dan mengorbankan diri
untuk kebaikan kelompok yang lebih besar.
Bunuh diri altruitik dapat merupakan hasil salah satu
dari dua kondisi. Pertama, norma-norma kelompok mungkin
menuntun pengorbanan kehidupan-kehidupan individu.
Sebagai contoh, bunuh diri di kalangan pilot-pilot yang
bertugas dalam angkatan Udara Jepang selama perang
Dunia II. Kedua, norma-norma kelompok itu dapat menuntut
pelaksanaan tugas-tugas yang begitu berat untuk dapat
dicapai sehingga

individu-individu itu

mengalami kegagalan walaupun sudah menunjukan usaha


yang paling optimal. Contohnya, para perwira militer yang
menderita kekalahan mempunyai angka bunuh diri yang
tinggi, dan lebih tinggi dalam kenyataanya dibandingkan
dengan serdadu-serdadu bawahannya, karena identifikasi
mereka dengan kemiliteran.
e.

Agama dan Masyarakat


Durkheim merasa bahwa agama dan masyarakat saling
ketergantungan. Bukunya yang berjudul Teh Elementary

Form Life memberi suatu analisa terperinci mengenai


kepercayaan-kepercaayan dan ritual-ritual agama totemik
orang arunta, suku bangsa primitif di Autralia Utara.
Organisasi sosial dalam suku-suku bangsa ini didasarkan
pada klan sebagai satuan sosial yang primer. Analisa
Durkheim, yang terjalin dalam uraian deskriftif yang luas
terperinci, dimaksudkan untuk memperlihatkan hubungan
yang erat antara tipe-tipe organisasi sosial dan tipe totemik
ini.
Corak umum dari agama apa saja dalam pandangan
Durkheim adalah berhubungan dengan suatu Dunia yang
suci (Sacred realm). Durkheim mendefinisikan agama
sebagai suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaankepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan
benda-benda suci dalam bentuk simbol yang riil ( kanguru,
kerbau).
Agama merupakan salah satu kekuatan untuk
menciptakan integrasi sosial. Didalam masyarakat primitif,
agama merupakan suatu sumber kuat bagi kepercayaankepercayaan agama dan praktek praktek agama
mempunyai pengaruh menahan egoisme, untuk membuat
orang cenderung berkorban dan tidak ingin mempunyai
kepentingan.
Selain itu kepercayaan dan ritus agama juga
memperkuat ikatan - ikatan sosial dimana kehidupan
kolektif bersandar. Hubungan antara agama dan masyarakat
memperlihatkan saling ketergantungan yang sangat erat.
Menurut Durkheim, kepercayaan-kepercayaan totemic (atau
tipe-tepe kepercayaan agama lainnya) memperlihatkan
kenyataan masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis.
Ritus totemic mempersatukan individu dalam kegiatan
bersama dengan satu tujuan bersama dan memperkuat

kepercayaan, perasaan dan komitmen moral yang


merupakan dasar struktural sosial.
Perasaan meluap-luap dalam acara seremonial dan
kegairahan emosional menurut Durkheim sebagai ritus
agama. Lebih lanjut Durkheim sebagai menjelaskan
anggota-anggota komunitas berkumpul bersama untuk
memperkuat kembali nilai-nilai dasar atau memperingati
peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah mereka bersama.
Contohnya memperingati hari natal bagi kaum nasrani.
Hubungan antara agama dan masyarakat dapat di analisis
juga, dalam permainan sepak bola tradisional yang
menggunakan lambang ikan, lumba-lumba dan rajawali
sebagai simbol pemersatu.
f. Asal-usul bentuk-bentuk pengetahuan dalam masyarakat
Menurut Durkheim, pengetahuan merupakan dasar
sosial dan semua pengetahuan sangat tergantung pada
bahasa. Bahasa merupakan produk sosial, bukan ciptaan
individu. Pada tingkat yang lebih mendalam, Durkheim
mengemukakan bahwa kategori-kategori berfikir yang
mendasar (waktu, ruang, kelas, kekuatan, sebab, dan lainlain) muncul dari kehidupan sosial dan mencerminkan
struktur sosial. Konsep waktu, misalnya, muncul mula-mula
dalam dunia primitif karena adanya kebutuhan untuk
mengatur siklus kehidupan individu dan kehidupan kolektif.
Ruang sebagai sutau kategori akal budi yang bersifat umum
tumbuh dari dan mencerminkan persebaran anggotaanggota kelompok menurut ruang dalam suatu daerah
geografis tertentu. Konsep kelas muncul dari pembagian
sosial dalam kelompok itu. Durkheim mengemukakan bahwa
konsep kekuatan akhirnya didasarkan pada kesadaran
subyektif mengenai kekuasaan kelompok yang memaksa
setiap anggotanya yang dimilikinya.

Berhubungan dengan ini konsep-konsep tumbuh dari


pengalaman bersama yang terdapat pada individu-individu
mengenai tindakan-tindakan yang ditampilkannya yang
menghasilkan suatu akibat tertentu dalam kehidupan
emosional mereka secara kolektif.
E. Georg Simmel : Masyarakat sebagai Interaksi
1. Riwayat Hidup
Georg Simmel adalah seorang sosiolog dan filsuf Jerman
yang hidup di tahun 1858-1928. Ia merupakan salah satu
Faunding Father Sosiologi. Simmel terkenal dengan
karyanya tentang masalah-masalah skala kecil, terutama
tindakan dan interaksi individual. Simmel melihat bahwa
salah satu tugas utama sosiologi adalah memehami
interaksi antara individu. Akan tetapi, sejumlah besar
interaksi dalam kehidupan sosial mustahil akan dapat dikaji
tanpa peralatan konseptual tertentu. Simmel merasa bahwa
ia dapat memisahkan sejumlah terbatas bentuk-bentuk
interaksi yang dapat ditemukan dalam sejumlah besar
situasi sosial. Jadi dengan berbekal peralatan konseptual, dia
dapat menganalisis dan memahami situasi interaksi yang
berbeda.
Karyanya berpengaruh besar terhadap interkasionisme
simbolik yang memusatkan perhatian pada interaksi.
Karyanya yang terkenal Philosphy of Monoy membuat
karyanya menarik teoritisi yang berminat terhadap kultur
dan masyarakat. Dalam menganalisi interaksi, menurut
Simmel sosiologi peting jika sekelompok yang beranggota
dua orang diubah menjadi tiga orang karena tuntutan pihak
ketiga itu. Kemungkinan-kemungkinan sosial yang muncul
dalam kelompok dua orang. hal ini jelas dalam analisisnya
mengenai hubungan antara dua orang (dyad) dan hubungan

tiga orang (triad). Hubungan-hubungan ini memunculkan


struktur yang berskala luas.
Karya Simmel tentang Philosphy of Monoy merupakan
pusat perhatiannya pada kemunculan uang dalam
masyarakat modern yang terpisah dari individu dan
mendominasi individu. Kajian ini selanjutnya menjadi bagian
yang lebih luas diantaranya karya Simmel tentang dominasi
kultur sebagai suatu keseluruhan terdadap individu. Menurut
Simmel, kultur dalam masyarakat modern dan seluruh
komponennya yang beraneka ragam itu (termasuk ekonomi
uang) akan berkembang, dan begitu sudah berkembang
maka arti penting (peran) individu mulai menururn,
misalnya, begitu teknologi industri berkembang maka
ketrampilan individual menjadi kurang penting.
2. Karya dan Pemikirannya
a. Konsep Sosiasi
konsep sosiasi merupakan gagasan murni dari Simmel
yang dianggap penting dalam sosiologinya. Sosiasi
merupakan pengelompokan sadar dari manusia. Sosiasi
meliputi interaksi timbal balik. Melalui proses ini individu
saling berhubungan dan saling mempengaruhi, yang
akhirnya masyarakat itu sendiri muncul. Proses sosiasi
sangatlah bermacam -macam, mulai dari pertemuan
sepintas lalu antara orang-orang asing tempat-tempat
umum sampai pada ikatan persahabatan yang lama dan
intim atau hubungan keluarga.
Menurut Simmel bahwa sosiasi sendiri terdapat isi dan
bentuk. Pertama, isi yang meliputi : insting erotik,
kepentingan obyektif, dorongan agama, tujuan membela
dan menyerang, bermain, keuntungan, bantutan atau
intruksi, dan tidak terbilang lainnya yang menyebabkan
orang untuk hidup bersama dengan orang lainnya, untuk
bertindak terhadap mereka, bersama mereka, melawan

mereka. Kedua, bentuk-bentuk sosiasi, diantaranya :


superordinasi (dominasi) dan subordinasi (ketaatan),
kompentensi, konflik, isolasi, pembagian kerja,
pembentukan partai, perwakilan, solidaritas ke dalam
disertai dengan sifat menutup diri terhadap orang luar.
Bentuk-bentuk ini bisa dimanifestasikan dalam negara,
komunitas agama, komplotan, asosiasi ekonomi, sekolah
kesenian, keluarga. Sedangkan bentuk lain dari sosiasi
adalah sosiabilitas. Sosiabilita adalah bentuk interaksi
yang terpisah dari isinya dan bersifat sementara (seperti,
silaturrahmi).
Selanjutnya perhatian Simmel yakni mengenai prosesproses sosial yang lebih kompleks; contohnya diferensiasi
sosial, perubahan dari basis organisasi sosial, perubahan
dari basis organisasi sosial yang bersifat lokal ke yang
fungsional, perubahan dari kriteria eksternal atau mekanik
sebagai dasar untuk suatu organisasi sosial ke kriteria
yang lebih rasional, dan memisahkan bentk dari isi, dan
munculnya bentuk sebagai sesuatu yang bersifat otonom.
b. Superordinasi dan Subordinasi
Subordinasi sebagai suatu keadaan yang menekan,
menyangkal atau mengediakan kebebasan subordinat.
Perilaku superordinat, menurut Simmel bukan
merupakan manifestasi dari karakteristik pribadi atau
kemauan individu; perilaku itu mencerminkan
tenggelamnya sebagian kepribadian pada pengaruh
bentuk sosial. Simmel membedakan subordinasi dalam
tiga jenis. Pertama, subordinasi di bawah seorang
individu. Dalam konteks ini subordinat dapat
dipersatukan dan dapat pula menjadi oposisi, sangat
tergantung pada kondisi. Kedua, subordinasi dibawah
pluralitas individu. Kondisi ini memungkinkan
subordinat mendapat perlakuan yang obyektif, adil dari

superordinat. Hal ini pada masyarakat demoktratis.


Ketiga, Subordinasi dibawah suatu prinsip ideal
(umum): peraturan hati nurani. Hubungan antara
subordinat diatur oleh prinsip-prinsip obyektif atau
hukum-hukum dimana kedua belah pihak itu diharapkan
untuk taat. Contoh pemimpin agama atau moral.
Secara umum, menurut Simmel bahwa
terganggunya hubungan antara superordinat dan
subordinat akan menyebabkan konflik. Konflik menurut
Simmel dapat mempersatukan kelompok minoritas
untuk melawan kelompok yang mayoritas dengan
membentuk aliansi. Untuk mengakhiri konflik dapat
melalui kompromi atau perdamian. Beberapa bentuk
konflik dapat berupa konflik hukum, konflik kelompok,
konflik antar pribadi, dan lainnya.
c. Bentuk bentuk Sosial
Perhatian Simmel yang berhubungan dengan
bentuk-bentuk sosial adalah analisanya mengenai
pentingnya jumlah terhadap hubungan sosial dan
organisasi sosial. Proposisi yang mendasari analisa
Simmel adalah bahwa begitu jumlah orang yang terlibat
dalam interaksi berubah, maka bentuk interaksi mereka
pun berubah dengan teratur dan dapat diramalkan.
Analisa Simmel yang terkenal mengenai bentuk
sosial, yakni analisanya mengenai bentuk duaan (dyad)
dan bentuk tigaan (triad). Beberapa penjelasan tentang
bentuk sosial tersebut :
1) Bentuk Duaan dan Tigaan
Keunikan bentuk duaan bahwa semua orang
percaya rahasia dapat terjaga oleh satu orang
dan pemenuhan kebutuhan dapat lebih intim dan
unik secara emosional.

2) Bentuk Tigaan merupakan satu satuan sosial yang


paling kecil, dimana masing-masing pihak
dikonfrontasikan oleh suatu plularitas, dan
dengan demikan harus menghitungkan tidak
hanya kepribadian satu orang saja, tetapi juga
dua orang yang lainnya. Ini berarti bahwa tidak
mungkin bagi setiap orang untuk mencapai
keakraban yang mungkin dalam suatu kelompok
duaan; setiap orang yang akan merasa terpaksa
untuk memperhatikan persamaan yang terdapat
pada dua orang lainnya. Hadirnya pihak ketiga
dalam hubungan duaan menjadikan suasana
menjadi berubah; konflik, dukung-mendukung,
penengah (obyektif tanpa memutuskan),
persaingan (seperti Bapak-Ibu-Anak), Tertius
Gaudens (pihak ketiga yang menyenangkan ; Dua
pemuda satu gadis ) dan orang yang memecah
bela dan menaklukan (devider and conqueror),
Tertius Gaudens yaitu pihak ketiga yang mencari
keuntungan dari persaingan dan konflik, contoh
dua pemuda-sati gadis), sedangan Devider and
conqueror, yaitu pihak ketiga yang sengaja
membenturkan dengn harapan untuk
memperoleh keuntungan dari kedua belah pihak.
d. Kreativitas Individu dan Budayara Mapan
Dalam The Conflict in modern Culture, Simmel
menjelaskan mengembangkan ide ini dengan
menganalisa sejumlah bentuk mengenai ketegangan
antara bentuk-bentuk budaya mapan dan dorongan
Kreatif subyektif. Dalam seni, misalnya dalam seni,
agama, perkawinana. Dalam analisa tersebut Simmel
menjelaskan bahwa perkembangan kemampuan

kreatif individu menurut untuk menginternalisasi


produk budaya obyektif dan logika serta dinamika
inheren dalam bentuk-bentuk budaya obyektif.

e. Uang, Evolusi Sosial dan Gaya Hidup


Masyarakat
Dengan kuantintasnya yang menjadi alat tukar
umum uang muncul sebagai sebuah alat universal
yang ditujukan untuk semua pemakaian. Uang
membuka berbagai kemungkinan tindakan baru, dan
memungkinkan masing-masing orang merealisasikan
tujuan akhir yang khas, yang disebut Simmel sebagai
rangkaian teologis. Hal ini memberi suatu kreativitas
sekaligus ketidakpastian yang lebih besar kepada
masyarakat.
Penggunaan uang memunculkan kecenderungan
psikologis yang memiliki karakteristik seperti :
ketamakan (jika hanya keinginan akan uang saja
yang dominan); kekikiran, kesukaan berfoya-foya
(jika kesenangan bukan terletak pada obyeknya
melainkan dalam pemborosan itu sendiri);
kemiskinan atau kekurangan (jika berarti adanya
usaha mencari keselamatan jiwa dengan menolak
uang). Sekalipun demikian kedua kecenderungan
yang paling terkait dengan konteks mentropolitan
modern ini merupakan kecenderungan kasar yang
secara sukarela menempatkan nilai pada niatnya dan
apatis ( yang tidak lagi sadar akan perbedaan nilai );
uang yang menjadikan segala benda bisa
diperbandingkan akan memperkuat efek pemerataan
nilai. Terakhir, uang ikut berpartisipasi dalam
pembentukan gaya hidup masyarakat yang oleh
Simmel diberikan ciri melalui tiga buah konsep yaitu
jarak, ritme dan simetri.

f. Herbert Spencer
Pemikir teori sosiologi klasik lainya ; Herbert
Spencer ( 1820-1903). Spencer lahir di Derby, Inggris,
27 April 1820. Salah satu karya spencer adalah
prinsip-prinsip Sosiologi (Prinsiples of
sociology/1896). Spencer tertarik pada teori evolusi
organisnya Darwin dan ia melihat adanya persamaan
dengan teori ovolusi sosial-peralihan masyarakat
melalui serangkaian tahap yang berawal dari tahap
kelompok suku yang homogen dan sederhana ke
tahap masyarakat modern yang kompleks. Spencer
menerapkan konsep yang konsep bahwa yang
terkuatlah yang akan menang. Spencer menamakan
prinsip ini kelangsungan hidup mereka yang
sepadan ( survival of the fittest).
Untuk itu menurut Spencer kehidupan
masyarakat itu harus dibiarkan berkembang sendiri,
lepas dari campur tangan yang hanya akan
memperburuk keadaan. Ia menerima pandangan
bahwa institusi sosial, sebagaimana tumbuhtumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi secara
progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya.
Dalam mengembangkan teorinya dengan
membangun dua perspektif, yaitu :
1. Peningkatan ukuran ( size )
Yakni masyarakat tumbuh melalui
perkembangbiakan individu dan penyatuan
kelompok-kelompok (compounding). Peningkatan
ukuran masyarakat menyebabkan stukturnya
makin meluas dan makin terdiferensiasi serta
meningkatkanya diferensiasi fungsi yang
dilakukanya. Disamping itu pertumbuhan

ukurannya masyarakat berubah melalui


penggabungan, yakni makin lama makin
menyatukan kelompok-kelompok yang
berdampingan. Dalam pembahasan ini Spencer
berbicara tentang gerak evolusioner dari
masyarakat yang sederhana ke penggabungan
tiga kali lipat

(doubly-compund)

dan penggabungan tiga kali lipat (treblycompound).

2. Perkembangan masyarakat militan ke masyarakat


industri
Pada mulanya, masyarakat militan
dijelasakan sebagai masyarakat terstruktur guna
melakukan perang, baik yang bersifat defensif
maupun ofensif. Walaupun Spencer kritis terhadap
peperangan, namun ia menduga pada periode
awal peperangan berfungsi mengumpulkan
masyarakat (misalnya, melalui invasi militer)
menjadi kumpulan masyarakat baru dengan
kuantitas yang dibutuhkan untuk membangun
maasyarakat industri. Bagaimanapun juga,
sejalan dengan semakin tumbuhnya masyarakat
industri, maka fungsi perang sebagai agen
perubahan berakhir dan berubah menjadi
penghambat proses selanjutnya dari evolusi.
Masyarakat industri didasarkan pada
persahabatan, tidak egois elaborasi spesialisasi,
penghargaan terhadap prestasi-bukan pada
karakteristik, bawaan seseorang, dan berdisiplin
tinggi. Masyarakat seperti ini disatukan oleh
kontrak relasi sukarela dan yang lebih penting lag
kualitas moral yang sama. Peran pemerintah
hanya di batasi dan difokuskan pada apa yang
seharusnya todak dilakukan masyarakat.
g. Ferdinand Tonnies
Ia adalah sosiolog berkebangsaan Jerman (18551936). Tonnies tertarik pada bentuk bentuk
kehidupan sosial. Kajianya mengenai bagaimana
warga suatu kelompok mengadakan hubungan

dengan sesamanya. Artinya, dasar hubungan


tersebut yang menentukan bentuk kehidupan sosila.
Tonnies berpendapat bahwa dasar hubungan
tersebut disatu pihak adalah faktor perasaan, simpati
pribadi dan kepentingan bersama. Dipihak lain
dasarnya adalah kepentingan-kepentingan rasional
dan ikatan-ikatan yang tidak permanen sifatnya.
Bentuk kehidupan sosial yang pertama dinamakanya
paguban (gemeinschaft), sedangkan yang kedua
adalah patembayan (gesellschaft).
Paguyuban (gemeinschaft) adalah bentuk
kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya
diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat
alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan adalah
rasa cinta dan rasa persatuan batin yang juga nyata
dan organis. Bentuk paguyuban (gemeinschaft),
dapat ditemukan dalam kehidupan keluarga,
kelompok kekerabatan, rukun tetangga
Sedangkan patembayan (gesellschaft),
merupakan bentuk kehidupan bersama yang
merupakan ikatan lahir yang bersifat ikatan pokok
dan biasanya untuk jangka waktu yang pendek,
strukturnya bersifat mekanis. Bentuk gesellschaft,
misalnya terdapat pada organisasi pedagang,
organisasi suatu pabrik atau organisasi industri.

Anda mungkin juga menyukai