TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga
hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi
occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada
dinding samping dan pada bagian
berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan samping
dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa
Rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft
palatum2,16,17.
2.2. Histologi
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type2,18. Setelah
10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel
nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone)19.
Mukosa membentuk invaginasi membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan
limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan
dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak
epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga
dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung2.
2.3. Epidemiologi
Karsinoma nasofaring
sebagian besar populasi di Asia tenggara dan hanya sedikit pada Afrika Utara4.
Walaupun jarang karsinoma nasofaring dapat dijumpai pada anak-anak1.
Insiden meningkat setelah usia 30 tahun dan usia puncak pada 40-60 tahun5.
Apabila kita melihat distribusi penyakit ini di seluruh dunia, maka
karsinoma nasofaring paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping
Mediteranian. Di Hongkong tercatat sebanyak 24 pasien karsinoma nasofaring
per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan angka rata-rata di Cina bagian
selatan berkisar antara 20 per 100.000 penduduk. Bandingkan dengan negara
Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka kejadian 1 per 100.000
penduduk per tahun20.
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7
kasus baru per tahun per 100.000 penduduk. Catatan dari berbagai rumah sakit
menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menduduki urutan ke empat setelah
kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian
THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan
karsinoma nasofaring pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini.
Dijumpai lebih banyak pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3
orang pria dibandingkan 1 wanita20. Penelitian Fachiroh di Yogyakarta
menyatakan insiden penderita karsinoma nasofaring 3,9 orang per 100.000
penduduk. Di bagian THT FK-UI RSCM selama periode 1988-1992 didapati
511 penderita baru karsinoma nasofaring. Di RSUP H. Adam Malik Medan
pada tahun 1998-2000 ditemukan 130 penderita karsinoma nasofaring dari 1370
pasien baru onkologi kepala dan leher. Sementara pada periode 1 juli 2005-30
juni 2006 ditemukan 79 orang penderita baru karsinoma nasofaring21.
Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura
,persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5
per 100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan
terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000)20.
2.4.Etiologi
Penyebab dari karsinoma nasofaring ini adalah gabungan antara genetik,
faktor lingkungan dan virus Epstein Barr2,4,6,16,22.
2.4.1.Genetik
Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLAA2, HLA-B17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen
ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring19.
Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring
dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan
HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan
HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang
meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring23.
2.4.2.Lingkungan
Selama beberapa tahun,
karsinoma
nasofaring dilaporkan
Epstein Barr . Yang menarik, ekspresi dari Epstein Barr Virus Early
Antigen (EA) berhubungan positif dengan konsumsi makanan bergaram
dan makanan yang diawetkan , menunjukkan bahwa dijumpainya Virus
Ebstein Barr positif dapat berhubungan dengan kebiasaan diet dan
berhubungan dengan studi epidemiologi pada karsinoma nasofaring25.
Lesi premalignant pada epitel nasofaring juga menunjukan adanya
virus Epstein Barr, yang memperlihatkan infeksi terjadi pada fase awal
karsinogenesis. Specific EBV latent gene dijumpai terekspresi pada
karsinoma nasofaring dan pada lesi displastik. Hubungan latent viral
protein (latent membrane protein 1 dan 2) memiliki peranan penting pada
pertumbuhan tumor, menyebabkan
karsinoma26.
Beberapa strain dari Virus Epstein Barr telah diidentifikasi yaitu
EBV tipe A dan EBV tipe B berdasarkan pada variasi rangkaian dari
Ebstein Barr Virus Nuclear Antigen (EBNA) dan LMP1 30-bp deletion
variant (del-LMP1) yang menunjukkan 10-amino acid deletion dalam
terminal carboxyl-nya. Distribusi dari subtipe EBV dilaporkan pada
berbagai penyakit dan berbagai organ yang terlibat. Pada karsinoma
nasofaring, pada keturunan Cina dijumpai dominan EBV tipe A, dimana
pada keturunan
Alaska
2.6.Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
2.6.1.Gejala
Menurut Formula Digby, setiap gejala mempunyai nilai diagnostik
dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring.
Tabel 2.6.1. Formula Digby
Gejala
Nilai
25
15
15
bilateral
Gangguan neurologik syaraf
otak
Eksopthalmus
Limfadenopati leher
25
kemampuan
2.6.4.Serologi
Pada tumor, DNA Epstein Barr
halus pada
( yang
pada
nonkeratinizing
squamous
cell
carcinoma
dan
undifferentiated carcinoma6.
2.6.5.Pemeriksaan Patologi
2.6.5.1.Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening
servikalis.
Sejumlah
kasus
karsinoma
nasofaring
diketahui
2.6.5.2.Biopsi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan
dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas
tumornya ( blind biopsy). Kunam
kasus
dengan
tidak
dijumpainya
lesi
secara
Sekitar separuh
pasien
memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari
kelenjar getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling
sering dijumpai2,6. Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena
mirip dengan infeksi saluran nafas atas. Gejala klinik pada stadium dini
meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini terjadi karena
tumor masih
unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring.
Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui
perlu diwaspadai sebagai karsinoma nasofaring24,29. Pada karsinoma nasofaring
stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada umumnya telah dirasakan
oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah meluas ke organ
sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah
bening servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan
pada syaraf otak karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran
kelenjar leher2,24,29. Tumor yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen
laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak III, IV dan
VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis abdusen)
dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit.
Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal)
pada pipi dan wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga
syaraf penggerak mata terkena. Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan
tekanan intrakranial24,29.
Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkan
timbulnya
pembesaran
kelenjar
getah
bening
bagian
samping
pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala
utama yang dikeluhkan oleh pasien24,29.
squamous
cell
carcinoma
terdiri
atas
differentiated
(1)
2.9.Makroskopis
Tumor dapat berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki
permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau
massa yang menggantung dan infiltratif2,22. Namun terkadang tidak dijumpai
lesi pada nasofaring2.
2.10.Mikroskopis
2.10.1. Sitologi
2.10.1.1. Sitologi squamous cell carcinoma
Pada pemeriksaan sitologi, inti squamous cell carcinoma bentuknya
lebih "spindel" dan lebih memanjang dengan khromatin inti yang padat
dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari inti dan membran inti lebih
jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas dalam derajat
khromasia di antara inti yang berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam
besar dan jumlahnya. Sitoplasma lebih padat, berwarna biru dan batas sel
lebih mudah dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan nukleolus adalah
inti lebih kecil. Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat
dipercaya sebagai tanda adanya diferensiasi ke arah squamous cell. Bila
keratisasi tidak terlihat maka dijumpainya halo pada sitoplasma di sekitar
inti dan kondensasi sitoplasma pada bagian pinggir sel merupakan
penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai
squamous cell carcinoma30.
Gambar 3. Squamous cell carcinoma, inti polimorfis, khromatin kasar, batas sel
jelas, sitoplasma kebiruan (Dikutip dari: Lubis M. ND. (2009). Peran IHC dan ICC
dalam Pemeriksaan Sitologi dan Histopatologi Karsinoma Nasopharyx. Simposium
Telinga Hidung Tenggorok, Medan).
regional33.
2.10.2.Histopatologi
2.10.2.1. Keratinizing Squamous cell carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell
carcinoma memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi
lainnya2,6.
Dijumpai adanya diferensiasi dari sel skuamous dengan
intercellular bridge atau keratinisasi5,24. Tumor tumbuh dalam bentuk
pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan
infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang
bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal dan stratified. Batas antar
sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian
tengah
pulau
menunjukkan
sitoplasma
eosinofilik
yang
banyak
menonjol2.
b. Undifferentiated Type
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan
gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval
dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat
tumpang tindih24. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai
infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga
dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel
radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid dan multinucleated
giant cell (walaupun jarang)4,5.
Gambar 8. Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-sel yang membentuk sarangsarang padat ( Regaud type). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans
Surgical Pathology,Volume I, Philadelphia: Mosby, 2004(9)).
hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh
dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus
dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in
situ atau invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas2.
2.11.Stadium Klinik
Untuk karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai berikut :
T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya
TX : Tumor primer tidak bisa dinilai
TO :Tidak ditemukan bukti adanya tumor primer. Tumor dijumpai insitu
T1 : Tumor terbatas pada nasofaring
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a : Tumor meluas ke orofaring dan atau kavum nasi tanpa perluasan ke
parafaring
T2b : Dengan perluasan ke parafaring
T3 : Invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai syaraf otak, fossa
infratemporal, hipofaring atau orbita
: Tis, N0, M0
Stadium I
: T1, N0, M0
2.12.Penatalaksanaan
Pengobatan standar dengan menggunakan
2.13.Prognosis
Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien
usia muda), staging klinik dan lokasi dari metatase regional ( lebih baik pada
yang homolateral dibandingkan pada metastase kontralateral dan metastase
yang terbatas pada leher atas dibandingkan dari leher bawah)27. Studi terakhir
dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate
untuk stage I 98%, stage II A-B 95%, stage III 86%, dan stage IV A-B 73%24.
Secara mikroskopis, prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell
carcinoma dibandingkan dengan yang lainnya. Untuk nonkeratinizing
squamous cell carcinoma, prognosis buruk bila dijumpai :
1.Anaplasia dan atau plemorfism.
2.Proliferasi sel yang tinggi ( dihitung dari mitotik atau dengan proliferasi
yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia ).
3.Sedikitnya jumlah sel radang limfosit.
4.Tingginya densitas dari S-100 protein yang positif untuk sel-sel dendritik.
5.Dijumpai banyak pembuluh darah kecil.
6.Dijumpai ekspresi c-erb B-24.
2.14.Matrix metalloproteinases
Matrix metalloproteases ( matrix metalloproteinases, MMPs) atau
matrixin merupakan zinc dependent endopeptidase yang merupakan protein
utama
yang berperan
dalam
degradasi
matriks
ekstraselular.
Matrix
dalam
berbagai
encephalomyelitis dan
penyakit
termasuk
arthritis,
ulkus
kronik,
terjadi melalui degradasi dari matrik ekstraselular dan peningkatan ekspresi dari
matrix metalloproteinase.
Matrix metalloproteinase berhubungan dengan invasi dan metastase dari
tumor ganas dengan asal histogenetik yang berbeda. Secara umum, matrix
metalloproteinase memiliki satu sinyal peptide, satu propeptida, satu katalitik
domain dengan ikatan kuat dengan zinc dan satu domain hemopexinlike yang
berhubungan dengan domain katalitik pada region hinge8.
fokus pada berbagai penelitian dengan kerusakan pada jaringan ikat ( seperti
rheumatoid atritis, kanker dan penyakit-penyakit periodontal). Leukosit
terutama
makrofag,
metalloproteinases
merupakan
(MMPs).
sumber
Matrix
utama
penghasil
metalloproteinase
(MMPs)
matrix
yang
radang.
Opdenakker
menunjukkan
bahwa
kerja
matrix
sel-sel
angiogenesis
bagian
et
al
telah
melaporkan,
untuk
merangsang
matrix
tanpa
Gambar 12. Gambaran hubungan antara EMMPRIN, MMP ,sel tumor dan sel host.
Sel tumor menggunakan EMMPRIN yang ada pada permukaan sel untuk merangsang
kontak dengan sel-sel fibroblast disekitarnya.(1), menyebabkan fibroblast memberi
sinyal untuk mengeluarkan MMPs (2). MMPs disekresi oleh sel-sel fibroblast yang
separuh akan memecah EMMPRIN yang ada dipermukaan sel dan menghasilkan
EMMPRIN yang terlarut (sEMMPRIN). Molekul sEMMPRIN akan merangsang baik
sel-sel disekitar tumor atau dapat bekerja pada tempat yang jauh untuk merangsang
pembentukan MMP dan merangsang sel-sel tumor untuk migrasi dan invasi. (Dikutip
dari: Tang Y. Kesavan P. Nakada MT. Yan L. Tumor-Stroma Interaction: Positive
Feedback Regulation of Extracellular Matrix metalloproteinase Inducer (EMMPRIN)
Expression and Matrix metalloproteinase-Dependent Generation of
Soluble
EMMPRIN. Molecular Cancer research. 2004; 2: 73-80.)
Dalam metastase yang pertama terjadi adalah meregangnya sel tumor, hal ini
disebabkan oleh karena perubahan pola ekspresi molekul perekat sel. Dimana
fungsi E cadherin lenyap pada semua kanker epitel, baik akibat mutasi
inaktivasi gen E cadherin maupun oleh aktivasi gen cathenin.
Degradasi lokal membrane basal dan jaringan ikat interstitium. Sel tumor
sendiri akan mengeluarkan enzim proteolitik atau menginduksi sel penjamu
(misalnya. fibroblas) untuk mengeluarkan protease. Disini berperan beberapa
enzim penghancur yang disebut dengan metalloproteinase termasuk gelatinase,
kolagenase dan stromelisin.
Pada tahap akhir proses invasi dalah sel tumor berjalan menembus membran
basal yang telah rusak dan matriks yang telah mengalami lisis. Migrasi
tampaknya diperantarai oleh berbagai sitokin yang yang berasal dari sel tumor,
selain itu juga diperantarai oleh produk penguraian matriks (misalnya. kolagen,
laminin) dan sebagian faktor pertumbuhan ( misalnya, insulin like growth factor
I dan II) yang memiliki aktivitas kemotaktik untuk sel tumor dan sel stroma
juga menghasilkan efektor parakrin untuk motilitas sel6.
matrix
metalloproteinases
(MMPs),
terutama
matrix
Matrix
aktivasi pada
MMP2/9
terjadinya
angiogenesis8.
2.18.Matrix Metaloproteinase- 9
Matrix
metalloproteinase-9
(MMP-9)
92-Kd
Type
IV
activator/Plasmin
Regulasi
(PA/plasmin).
dari
plasminogen
aktivitas
matrix
Osteopoitin dan
Tumor
dijumpai pada
Fungsi
utama
dari
matrix
metalloproteinase-9
(MMP-9)
adalah
disekresikan
oleh
sel-sel
stroma
dan
sel-sel
tumor.
2.21.Kerangka Konsepsional
Undifferentiated carcinoma
Tipe Regaud
Tipe Schmincke