Anda di halaman 1dari 2

Jakarta, 5 Juni 2014.

Selama lima bulan berjalan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih


menemukan adanya potensi fraud dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola
Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Celah ini, dinilai masih terbuka akibat
rekomendasi yang dihasilkan sebelumnya, belum dijalankan secara optimal.

Demikian disampaikan Wakil Ketua KPK, Zulkarnain di Auditorium Gedung KPK,

Jakarta , di

hadapan Dirjen Linjamsos Kementerian Sosial Andi ZA Dulung; Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
Andin Hadiyanto; Irjen Kementerian Kesehatan Yudi Prayudha Iskak Djuarsa, Direktur Pengawasan
khusus dan Penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sumarjono, Ketua Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) Chazali Situmorang dan Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris.
Zulkarnain menyebut ada lima celah. Pertama, masih ada permasalahan dalam kepesertaan.
Persoalan ini merentang, mulai dari rendahnya akurasi data peserta penerima bantuan iuran (PBI),
proses perpindahan kepesertaan dari PT Jamsostek (saat ini BPJS ketenagakerjaan) ke BPJS
kesehatan (PT Askes) yang tidak lancar , hingga terjadinya tumpang tindih kepesertaan BPJS
Kesehatan dengan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Kedua, kelemahan sistem Indonesia Case Based Groups (INA CBGs). Dari sini, ditemukan sejumlah
kasus bahwa RS dan dokter yang melakukan perubahan terhadap diagnosis atau dokumen medis
lainnya untuk memperbesar tarif yang didapatkan dari sistem INA-CBGs.
Ia menyayangkan, beberapa perwakilan BPJS Kesehatan di RS tidak diperbolehkan mengakses
rekam medis dari pasien untuk menilai kewajaran diagnosis yang dibuat oleh dokter. Kelemahan ini
juga memungkinkan RS membuat pasien harus melakukan rawat jalan lanjutan sehingga Rumah
Sakit mendapatkan klaim berkali -kali, katanya.
Ketiga, ketidaksiapan kebijakan dalam mengelola dana kapitasi. Keempat, potensi konflik
kepentingan dalam operasional BPJS dan faskes (puskesmas). Verifikator yang ditempatkan di RS
berpotensi kuat bekerja sama untuk meloloskan klaim yang tidak benar, atau mengubah data
peserta agar terdaftar di faskes tersebut dengan tujuan meningkatkan dana kapitasinya.
Kelima, pengawasan/audit layanan medis yang belum jelas, baik sisi regulasi, kelembagaan dan
operasionalnya. Menurut Zulkarnain, hal ini disebabkan, belum adanya payung hukum untuk
melaksanakan audit medis yang harus dilaksanakan secara rutin dalam layanan ini. Lembaga yang
bertanggung jawab dan berkompetensi dalam melakukan pengawasan/audit medis, juga belum ada.
Tak hanya itu, program JKN juga berisiko terjadinya ketidakadilan dalam distribusi manfaat. Peserta
pada kelas I dan kelas II yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan peserta pada kelas III,
menggunakan dana jaminan yang jauh lebih besar dari iuran yang dibayarkan. Hal ini berarti peserta
dari kelas I dan kelas II yang relatif mampu menggunakan dana peserta dari kelas III yang relatif
kurang mampu.
Misalnya, di salah satu RS di Aceh, premi yang diperoleh pada kelas I selama Januari-April hanya
sebesar 24,5 juta rupiah, namun jumlah klaim pada kelas ini lebih dari 13 miliar rupiah sepanjang
Januari-Maret, paparnya.

Menanggapi hal ini, Fahmi Idris mengaku memang masih banyak kekurangan dalam
pelaksanaannya. Meski begitu, ia berterima kasih atas sejumlah temuan itu yang merupakan
peringatan dini dalam upaya mencegah korupsi. Kalau ada temuan yang mengarah pada tindak
pidana korupsi, Akan kami adukan dan kami minta bantuan ke KPK, kata Idris.
(Humas)

Anda mungkin juga menyukai