TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karsinoma Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung,
berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi
anteroposterior 3 cm. Mukosa nasofaring dilapisi oleh pseudostratified columnar
respiratory type epithelium dan non keratinizing stratified squamous epithelium.
Dinding anterior nasofaring dibentuk oleh koana dan ujung posterior septum
nasi. Lantai nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap
dan dinding posterior nasofaring dibentuk oleh daerah yang menyatu berupa
permukaan melandai yang dibatasi oleh badan sphenoid, dasar oksiput dan
vertebra cervical I dan II sampai ke batas palatum mole. Di dinding lateral
nasofaring terdapat muara tuba eustachius (Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006).
terbanyak pada dekade lima dan enam tapi masih terdapat insidensi yang
signifikan pada usia dibawah 30 tahun sehingga didapati distribusi usia bimodal
dengan puncak awalnya antara usia 15-25 tahun. Karsinoma nasofaring lebih
sering dijumpai pada pria, dengan perbandingan pria dan wanita 3:1 (Cottrill &
Nutting, 2003). Umur penderita bervariasi mulai kurang dari 10 tahun hingga
lebih 80 tahun, dengan puncak insiden pada usia 40-50 tahun (Lee, 2003)
ataupun 40-60 tahun (Thompson, 2005). Ditemukan kecendrungan penderita
KNF laki-laki lebih banyak dari wanita. Insiden KNF di Malaysia Juli 2007
sampai Februari 2008 antara laki-laki dengan wanita berbanding 3:1 (Pua et al,
2008). Penelitian case series, di RSUP dr. M. Djamil Padang dan RSUD dr.
Achmad Muchtar Bukittinggi selama tahun 2006-2008 ditemukan 45 kasus KNF
dengan 32 kasus laki-laki dan 13 kasus wanita dengan kelompok umur tersering
pada umur 51-60 tahun (Yenita, 2009).
Penyebab pasti dan spesifik KNF sampai saat ini masih belum diketahui,
namun faktor genetik dan lingkungan, seperti infeksi Epstein Barr virus dan
konsumsi ikan asin diyakini sebagai penyebab (Zou, 2007).
Tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik dan nasofaring
merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosa
saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya. Nasofaring
banyak memiliki suplai limfatik, sehingga metastasis servikal sering dijumpai
pada tampilan awal (Plant, 2009). Gejala yang sering timbul pada penderita KNF
dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan
saraf kranial dan pembesaran kelenjar limfe leher (Wei, WI & Kwong DL,
2010). Gejala hidung berupa epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan
yang terjadi berjumlah sedikit dan bercampur ingus serta timbul berulang-ulang
(Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting, 2003; Aziza et al, 2005). Gangguan pada
telinga biasanya merupakan gejala dini yang timbul karena asal karsinoma
nasofaring dekat dengan mura tuba Eustachius (Roezin, 1995). Lokasi khas
penyebaran karsinoma nasofaring ke kelenjar getah bening leher adalah daerah
yang terletak di bawah angulus mandibula di dalam otot sternokleidomastoideus.
Keluhan saraf yang paling sering ditemukan adalah keluhan diplopia, keluhan
baal di pipi dan wajah yang biasanya unilateral dan sakit kepala hebat. Organ
yang sering terkena akibat metastase jauh adalah tulang, paru dan hati (Aziza et
al, 2005).
(58,3%), diikuti WHO tipe 2 (37,5%) dan WHO tipe 1 (4,2%), diikuti Delfitri M
(2007) mendapatkan WHO tipe 3 sebesar 54,6%, diikuti WHO tipe 1 (29,1%)
dan WHO tipe 2 (16,4%).
Pemeriksaan radiologi yang lebih baik untuk KNF adalah CT-Scan
dengan kontras dan MRI dengan enhancement (Jayekumar et al, 2006 ).
Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama
bertahun-tahun. Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan dengan struktur
penting dan sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap tumor primer
sulit dilakukan. KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap
radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya
(Guigay et al, 2006; Wei, 2006). Pemberian radioterapi telah berhasil
mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 5075% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada pasien dengan N0 dan
N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3
(Wei, 2006). Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitisizer dan membantu
dalam mengurangi metastase jauh (Mould & Tai, 2002; Wei, 2006).
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Pembedahan
penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring
atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew, 1997; Wei, 2003; Wei, 2006;
Lutzky et al, 2008).
2.2.
bervariasi menyebabkan reaksi rantai fosforilasi dari sistem MAPK dan reaksi
ini mengatur proliferasi, diferensiasi, apoptosis dan interaksi sel, berdasarkan
fungsi MAPK tersebut beberapa peneliti menduga adanya peran MAPK dalam
pertumbuhan kanker (Ji, Ren, & Xu, 2010).
p38 MAPK menghubungkan signal ekstraseluler ke intraseluler yang
mengatur segala proses seluler. p38 MAPK bersamaan dengan c-Jun N-terminal
kinase (JNK) dikenal sebagai stress-activated protein kinase (SAPK), diaktifkan
oleh stress lingkungan dan sitokin yang memicu inflamasi. Reaksi inflamasi
yang berlebihan menyebabkan beberapa penyakit pada manusia, hal ini
menyebabkan MAPK sebagai target terapi anti inflamasi (Kaminska B. 2005).
2.3
p38 MAPK
fungsi spesifik dari isoform-isoform pada proses fisiologi dan patologi belum
dapat ditemukan. Pada tikus, ablasi genetik dari p38 dan p38 menyebabkan
kematian embrio pada saat embrio berusia 10.5-11.5 hari, gangguan
pertumbuhan plasenta, angiogenesis abnormal pada yolk sak dan embrio (Jiang
et al, 1997; Raman et al. 2007; Cuenda & Rousseau, 2007).
p38 MAPK dapat di fosforilasi oleh berbagai rangsangan ekstraseluler
melalui jalur klasik MAPK kinase kinase (MAP3K)-MAP kinase kinase (MKK).
p38 MAPK belum aktif pada saat keadaan non-fosforilasi, dan diaktifkan dengan
cepat melalui jalur MKK-dependent yang memfosforilasi Thr-Gly-Tyr yang
ditemukan pada siklus di subdomains VII dan VIII. Fosforilasi ini menyebabkan
perubahan pada protein, ATP dan substrat untuk berikatan. MKK menyebabkan
fosforilasi dari p38 MAPK tergantung dari rangsangan seluler dan tipe sel.
MKK3 dan MKK6 memfosforilasi p38 MAPK beberapa menit setelah diaktivasi
oleh sinyal. Lamanya fosforilasi sangat penting dalam menentukan nasib sel,
fosforilasi yang panjang biasanya sering dihubungkan dengan kejadian
apoptosis, sebaliknya fosforilasi yang singkat berhubungan dengan faktor
pertumbuhan yang menginduksi ketahanan sel (Owens & Keyse, 2007;
Coulthard, White, Jones, McDermott & Burchill, 2009).
Durasi sinyal diatur oleh enzim phosphate, termasuk phospatase 1,
protein phosphatase 2A atau phosphatase MAPK. Enzim-enzim ini diaktifkan
oleh p38 MAPK yang difosforilasi, yang menyebabkan umpan balik negatif
pada siklus yang mengatur p38 MAPK. Interaksi antara berbagai jalur sinyal
juga mempengaruhi kinetik sinyal p38 MAPK yang mempengaruhi pada nasib
sel. p38 MAPK yang difosforilasi mengaktifkan substrat spektrum luas, yang
termasuk didalamnya faktor transkripsi, protein kinase, protein nukleus dan
sitoplasma, sehingga p38 MAPK ini berhubungan respon inflamasi, diferensiasi
sel, fase istirahat siklus sel, apoptosis, produksi sitokin dan mengatur pemisahan
RNA (Coulthard, White, Jones, McDermott & Burchill, 2009).
2.4
aktivasinya
akan
meningkatkan
fenotipe
keganasan.
Pada
sel
penurunan ekspresi p38 MAPK dan ERK (p<0,05) setelah diberikan inhibitor
TGF- (Gomez et al, 2012). Penelitian pada karsinoma payudara juga dilakukan
oleh Sivarama et al (1997) yang menemukan overekspresi p38 MAPK pada
tumor primer dan metastase KGB.
Penelitian di Beijing tahun 2009 menemukan p38 MAPK terlibat
terhadap resistensi terapi cisplatin pada karsinoma ovarium, dimana terjadi
peningkatan ekspresi dari p38 MAPK pada sel epitel karsinoma ovarium (Wang,
Zhou, Zhang, Wu, 2009).
Wang et al (2011) melakukan penelitian pada karsinoma sel skuamosa
paru di Hangzhou, menemukan ketidakseimbangan p38 MAPK dengan ERK
memegang peranan penting dalam perkembangan karsinoma sel skuamosa dan
kedua molekul ini dapat menjadi target terapi dan prognosis pada karsinoma sel
skuamosa.
Penelitian Shu dan Xu (2007), menemukan peningkatan expresi COX-2
melalui jalur p38 MAPK setelah diaktifasi oleh Epidermal Growth Factor
Receptor (EGFR) pada keganasan glioma, efek yang ditimbulkan adalah
peningkatan angiogenesis, penurunan apoptosis dan meningkatkan resistensi
terhadap obat sitotoksik (Xu & Shu, 2007).
Gambar 3: jalur pengaktifan COX-2 oleh EGF dan EGFR melalui jalur p38
MAPK pada Glioma
2.5
Gambar 4: Jalur transduksi sinyal dan jaringan komunikasi silang antara gen
tumor supresor yang terlibat pada karsinoma nasofaring
2.6
Kerangka Konsep
Infeksi EBV
Inflamasi
MAPK
JNK
EGFR
ERK
p38 MAPK
NF-B
TNF-
VEGF
COX-2
-angiogenesis
- proliferasi sel
- penurunan apoptosis
KNF
Umur
Jenis Kelamin
Histopatologi
Ukuran Tumor (T)
Ukuran Kelenjar Bening (N)
Stadium klinis