Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Karsinoma Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung,
berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi
anteroposterior 3 cm. Mukosa nasofaring dilapisi oleh pseudostratified columnar
respiratory type epithelium dan non keratinizing stratified squamous epithelium.
Dinding anterior nasofaring dibentuk oleh koana dan ujung posterior septum
nasi. Lantai nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap
dan dinding posterior nasofaring dibentuk oleh daerah yang menyatu berupa
permukaan melandai yang dibatasi oleh badan sphenoid, dasar oksiput dan
vertebra cervical I dan II sampai ke batas palatum mole. Di dinding lateral
nasofaring terdapat muara tuba eustachius (Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006).

Gambar 1. Anatomi Nasofaring (Forastiere & Marur, 2008)


Pada daerah barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF jarang dengan
insiden sekitar 0,5/100.000 dengan angka 1-2% dari seluruh kanker kepala dan

Universitas Sumatera Utara

leher. Di Amerika Utara terdapat keratinizing squamous cell carcinoma pada


60% kasus, sementara di timur tengah lebih 95% merupakan WHO tipe 2-3.
Insidensi WHO tipe 3 juga tinggi di Eskimo, Alaska dan juga meningkat di
Malaysia, Afrika Utara dan Eropa Selatan (Cotrill & Nutting, 2003). Karsinoma
nasofaring jarang ditemukan pada orang kulit putih, India dan Jepang tapi
banyak ditemukan di Asia pada ras Mongoloid (Punagi, 2007).
Karsinoma nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10 besar
tumor ganas di seluruh tubuh, sedangkan di bagian penyakit telinga, hidung dan
tenggorok, kanker nasofaring menempati urutan pertama. Hampir 60% tumor
ganas kepala dan leher merupakan kanker nasofaring (Punagi, 2007). Data
kanker pada Depkes (2007), KNF termasuk 10 jenis kanker terbanyak di
Indonesia pada tahun 2004-2006 dan terus mengalami peningkatan jumlah
penderita selama periode tersebut, dimana pada tahun 2004 dijumpai 1.039
penderita dari 25.055 seluruh penderita keganasan (proporsi 4,15%) dan pada
tahun 2006 meningkat menjadi 1.633 penderita dari 31.155 seluruh penderita
(proporsi 5,24%). Dari sejumlah 2.007 kasus keganasan di bidang Telinga
Hidung Tenggorok-Kepala Leher (THT-KL) yang dikumpulkan antara tahun
1990-2001 di bagian THT-KL FK UI RSCM Jakarta, tercatat karsinoma
nasofaring sebanyak 1.247 (62,13%) penderita (Munir, 2007). Tan (2010)
melaporkan bahwa insidensi KNF di Indonesia mengalami peningkatan menjadi
6 per 100.000 penduduk setiap tahunnya dengan rata-rata 12.000 kasus baru per
tahun. Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan
mencapai puncak pada dekade empat dan lima. Pada daerah resiko rendah usia

Universitas Sumatera Utara

terbanyak pada dekade lima dan enam tapi masih terdapat insidensi yang
signifikan pada usia dibawah 30 tahun sehingga didapati distribusi usia bimodal
dengan puncak awalnya antara usia 15-25 tahun. Karsinoma nasofaring lebih
sering dijumpai pada pria, dengan perbandingan pria dan wanita 3:1 (Cottrill &
Nutting, 2003). Umur penderita bervariasi mulai kurang dari 10 tahun hingga
lebih 80 tahun, dengan puncak insiden pada usia 40-50 tahun (Lee, 2003)
ataupun 40-60 tahun (Thompson, 2005). Ditemukan kecendrungan penderita
KNF laki-laki lebih banyak dari wanita. Insiden KNF di Malaysia Juli 2007
sampai Februari 2008 antara laki-laki dengan wanita berbanding 3:1 (Pua et al,
2008). Penelitian case series, di RSUP dr. M. Djamil Padang dan RSUD dr.
Achmad Muchtar Bukittinggi selama tahun 2006-2008 ditemukan 45 kasus KNF
dengan 32 kasus laki-laki dan 13 kasus wanita dengan kelompok umur tersering
pada umur 51-60 tahun (Yenita, 2009).
Penyebab pasti dan spesifik KNF sampai saat ini masih belum diketahui,
namun faktor genetik dan lingkungan, seperti infeksi Epstein Barr virus dan
konsumsi ikan asin diyakini sebagai penyebab (Zou, 2007).
Tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik dan nasofaring
merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosa
saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya. Nasofaring
banyak memiliki suplai limfatik, sehingga metastasis servikal sering dijumpai
pada tampilan awal (Plant, 2009). Gejala yang sering timbul pada penderita KNF
dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan
saraf kranial dan pembesaran kelenjar limfe leher (Wei, WI & Kwong DL,

Universitas Sumatera Utara

2010). Gejala hidung berupa epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan
yang terjadi berjumlah sedikit dan bercampur ingus serta timbul berulang-ulang
(Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting, 2003; Aziza et al, 2005). Gangguan pada
telinga biasanya merupakan gejala dini yang timbul karena asal karsinoma
nasofaring dekat dengan mura tuba Eustachius (Roezin, 1995). Lokasi khas
penyebaran karsinoma nasofaring ke kelenjar getah bening leher adalah daerah
yang terletak di bawah angulus mandibula di dalam otot sternokleidomastoideus.
Keluhan saraf yang paling sering ditemukan adalah keluhan diplopia, keluhan
baal di pipi dan wajah yang biasanya unilateral dan sakit kepala hebat. Organ
yang sering terkena akibat metastase jauh adalah tulang, paru dan hati (Aziza et
al, 2005).

Gambar 2: Penyebaran karsinoma nasofaring dan gejala yang ditimbulkan


(Dhingra, 2011)

Universitas Sumatera Utara

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan pada pasien


dengan keluhan pada telinga, hidung dan tenggorok, khususnya pasien dari
populasi dengan peningkatan insiden KNF (Her, 2001; Jeyakumar, 2006).
Konfirmasi pasti diagnosis KNF diperoleh dari hasil biopsi positif yang diambil
dari tumor di nasofaring (Chew, 1997; Wei, 2006).
Klasifikasi histopatologi KNF yang diajukan oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 1978 mengklasifikasikan KNF menjadi 3
kelompok, yaitu:
Tipe 1: keratinizing squamous cell carcinoma, dengan jembatan interseluler,
mirip dengan yang ditemukan pada saluran pernapasan atas.
Tipe 2 : non keratinizing squamous cell carcinoma, sel tumor menunjukkan
maturasi, dimana diferensiasi skuamosa tidak terlihat jelas.
Tipe 3 : undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki batas sel tidak jelas
dengan inti sel yang hiperkromatik.
WHO tipe 2 dan 3 paling banyak dijumpai di daerah endemik KNF,
seperti di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Utara. Sementara WHO tipe 1
lebih sering dijumpai di Eropa dengan prognosis yang lebih buruk (Licitra et al,
2003; Guigay et al, 2006). KNF tipe 2 dan tipe 3 memiliki hubungan dengan
Virus Epstein-Barr

(Wei, 2006; Lutzky et al, 2008 ). Penelitian tentang

karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu Harahap (2009)


menemukan tipe 2 adalah tipe tersering (50%), begitu juga dengan Hidayat
(2009) menemukan tipe 2 adalah tipe tersering (63,6%). Hasil yang berbeda di
dapatkan oleh Zahara (2007) yaitu jenis histopatologi terbanyak WHO tipe 3

Universitas Sumatera Utara

(58,3%), diikuti WHO tipe 2 (37,5%) dan WHO tipe 1 (4,2%), diikuti Delfitri M
(2007) mendapatkan WHO tipe 3 sebesar 54,6%, diikuti WHO tipe 1 (29,1%)
dan WHO tipe 2 (16,4%).
Pemeriksaan radiologi yang lebih baik untuk KNF adalah CT-Scan
dengan kontras dan MRI dengan enhancement (Jayekumar et al, 2006 ).
Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama
bertahun-tahun. Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan dengan struktur
penting dan sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap tumor primer
sulit dilakukan. KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap
radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya
(Guigay et al, 2006; Wei, 2006). Pemberian radioterapi telah berhasil
mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 5075% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada pasien dengan N0 dan
N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3
(Wei, 2006). Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitisizer dan membantu
dalam mengurangi metastase jauh (Mould & Tai, 2002; Wei, 2006).
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Pembedahan
penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring
atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew, 1997; Wei, 2003; Wei, 2006;
Lutzky et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara

2.2.

Mitogen Activated Protein Kinase


MAPK (mitogen-activated protein kinase) adalah enzim yang berperan
dalam rangsangan ekstraseluler seperti perpindahan hormon pertumbuhan ke
nukleus dan juga berfungsi mengatur ekspresi hampir pada seluruh gen pada
tubuh manusia. MAPK berperan dalam pertumbuhan sel seperti proliferasi,
diferensiasi, dan apoptosis, terutama berperan dalam ekspresi gen. MAPK
mempunyai 3 jalur dalam proses transduksi yaitu ERK, JNK dan p38 (Guiyuan,
Minghua, Xiayu & Xiaoling, 2009). Mitogen-activated protein kinase kinase 4
(MKK4) adalah anggota dari kelompok MAP kinase yang secara langsung
memposporilasi dan mengaktifkan c-Jun N-terminal kinase (JNK) yang berperan
stress selular dan sitokin pro inflamasi. MKK4, seperti MKK3 juga
memposporilasi dan mengaktifkan p38/HOG kinase. MKK4 mengaktifkan
mitogen-activated protein kinases (MAPKs) yang berperan dalam transduksi
sinyal ekstraseluler untuk faktor pertumbuhan yang menghasilkan pertumbuhan
dan diferensiasi sel. MKK4 mRNA dilaporkan banyak diekspresikan dalam
jaringan, termasuk otot rangka dan otak, ekspresi lebih rendah ditemukan pada
jantung, ginjal, hati, pankreas dan dalam sitoplasma dan inti dari epitel lambung
normal. Delesi dan mutasi gen MKK4, dilaporkan pada paru-paru, pankreas,
payudara, testis dan kanker kolorektal, yang menunjukkan bahwa MAPK
mungkin berperan sebagai supresor dari tumorigenesis atau metastasis.
Jalur p38 adalah salah satu cabang dari jalur MAPK, yang berperan baik
dalam proses fisiologi maupun proses patologi seperti inflamasi, cell stress,
apoptosis, siklus sel dan pertumbuhan sel. Rangsangan ekstraseluler yang

Universitas Sumatera Utara

bervariasi menyebabkan reaksi rantai fosforilasi dari sistem MAPK dan reaksi
ini mengatur proliferasi, diferensiasi, apoptosis dan interaksi sel, berdasarkan
fungsi MAPK tersebut beberapa peneliti menduga adanya peran MAPK dalam
pertumbuhan kanker (Ji, Ren, & Xu, 2010).
p38 MAPK menghubungkan signal ekstraseluler ke intraseluler yang
mengatur segala proses seluler. p38 MAPK bersamaan dengan c-Jun N-terminal
kinase (JNK) dikenal sebagai stress-activated protein kinase (SAPK), diaktifkan
oleh stress lingkungan dan sitokin yang memicu inflamasi. Reaksi inflamasi
yang berlebihan menyebabkan beberapa penyakit pada manusia, hal ini
menyebabkan MAPK sebagai target terapi anti inflamasi (Kaminska B. 2005).

2.3

Jalur p38 MAPK


p38 MAPK berawal dari stimulasi lipolisakarida sel monosit yang
memodulasi produksi tumour necrosis factor alpha (TNF).

p38 MAPK

mempunyai 4 bentuk isoform yaitu , , and yang banyak ditemukan pada


jaringan, dimana ekspresinya berbeda pada tiap jaringan yang mempunyai sifat
activator dan efektor. Isoform-isoform tersebut mempunyai beberapa perbedaan,
p38 dan p38 diekspresikan pada banyak jaringan dan sensitif terhadap
inhibitor pyridinyl imidazole, sedangkan p38 dan p38 diekspresikan dengan
pola yang terbatas dan tidak sensitive terhadap inhibitor. Isoform yang bervariasi
telah ditemukan di kompartemen yang berbeda pada sel yang sama, dimana
masing-masing variasi dapat mempunyai efek yang berlawanan jika disatukan
dengan substrat yang sama dan memliki jalur yang berbeda-beda. Bagaimanapun

Universitas Sumatera Utara

fungsi spesifik dari isoform-isoform pada proses fisiologi dan patologi belum
dapat ditemukan. Pada tikus, ablasi genetik dari p38 dan p38 menyebabkan
kematian embrio pada saat embrio berusia 10.5-11.5 hari, gangguan
pertumbuhan plasenta, angiogenesis abnormal pada yolk sak dan embrio (Jiang
et al, 1997; Raman et al. 2007; Cuenda & Rousseau, 2007).
p38 MAPK dapat di fosforilasi oleh berbagai rangsangan ekstraseluler
melalui jalur klasik MAPK kinase kinase (MAP3K)-MAP kinase kinase (MKK).
p38 MAPK belum aktif pada saat keadaan non-fosforilasi, dan diaktifkan dengan
cepat melalui jalur MKK-dependent yang memfosforilasi Thr-Gly-Tyr yang
ditemukan pada siklus di subdomains VII dan VIII. Fosforilasi ini menyebabkan
perubahan pada protein, ATP dan substrat untuk berikatan. MKK menyebabkan
fosforilasi dari p38 MAPK tergantung dari rangsangan seluler dan tipe sel.
MKK3 dan MKK6 memfosforilasi p38 MAPK beberapa menit setelah diaktivasi
oleh sinyal. Lamanya fosforilasi sangat penting dalam menentukan nasib sel,
fosforilasi yang panjang biasanya sering dihubungkan dengan kejadian
apoptosis, sebaliknya fosforilasi yang singkat berhubungan dengan faktor
pertumbuhan yang menginduksi ketahanan sel (Owens & Keyse, 2007;
Coulthard, White, Jones, McDermott & Burchill, 2009).
Durasi sinyal diatur oleh enzim phosphate, termasuk phospatase 1,
protein phosphatase 2A atau phosphatase MAPK. Enzim-enzim ini diaktifkan
oleh p38 MAPK yang difosforilasi, yang menyebabkan umpan balik negatif
pada siklus yang mengatur p38 MAPK. Interaksi antara berbagai jalur sinyal
juga mempengaruhi kinetik sinyal p38 MAPK yang mempengaruhi pada nasib

Universitas Sumatera Utara

sel. p38 MAPK yang difosforilasi mengaktifkan substrat spektrum luas, yang
termasuk didalamnya faktor transkripsi, protein kinase, protein nukleus dan
sitoplasma, sehingga p38 MAPK ini berhubungan respon inflamasi, diferensiasi
sel, fase istirahat siklus sel, apoptosis, produksi sitokin dan mengatur pemisahan
RNA (Coulthard, White, Jones, McDermott & Burchill, 2009).

2.4

p38 MAPK pada Keganasan


Fenotipe karsinoma ditandai oleh adanya kegagalan apoptosis, replikasi
yang tidak terbatas, invasi dan metastase, angiogenesis, perkembangan resistansi
obat. Sinyal MAPK berpengaruh pada proses-proses tersebut, dimana jalur p38
MAPK paling sering dikaitkan dengan fungsi anti apoptosis dan aktif nya jalur
p38MAPK menyebabkan transformasi sel (Han & Sun, 2007).
Aktivitas anti apoptosis dari p38 MAPK sangat banyak dikaitkan dengan
efek inhibisi dari isoform p38 dan p38 pada sikus sel fase G0, G1/S, dan
G2/M, untuk proliferasi sel dan menggagalkan apoptosis. Jalur p38 MAPK yang
aktif akan mendorong transformasi selulular dengan mengatur secara negative
ketahanan dan proliferasi. Hipotesis ini didukung oleh meningkatnya potensi
tumorigenik pada fibrolast tikus, dimana MKK3, MKK6 atau p38 MAPK telah
rusak dan ketergantungan transformasi sel-sel pemicu Ras pada penekanan dari
fungsi p38 MAPK (Coulthard, White, Jones, McDermott & Burchill, 2009).
Mengingat p38 MAPK diperkirakan memiliki fungsi anti apoptosis,
maka

aktivasinya

akan

meningkatkan

fenotipe

keganasan.

Pada

sel

rabdomiosarkoma, overekspresi p38 MAPK menyebabkan terpicunya proliferasi

Universitas Sumatera Utara

dan menghambat diferensiasi terminal. Namun, kemampuan p38 MAPK untuk


memicu pertumbuhan tumor tidak selalu berhubungan dengan proliferasi sel atau
kegagalan apoptosis, akan tetapi selalu sejalan dengan peran-peran anti apoptosis
alternatif untuk p38 MAPK yang memodulasi migrasi sel dan implantasi. Sejalan
dengan fungsi anti apoptosisnya, kegagalan apoptosis oleh kemoterapi yang
resisten, sebagian dipengaruhi melalui aktivasi p38 MAPK. hal ini
mengisyaratkan bahwa dengan hadirnya penghambat jalur p38 MAPK bisa
menentukan strategi generik baru untuk mendorong keberhasilan dari beberapa
terapi konvensional. Keberhasilan dari strategi demikian akan tergantung pada
apakah sel-sel kanker lebih rentan terhadap p38 MAPK perantaraan apoptosis
daripada sel-sel non-neoplastik. Maka dari itu, aktivitas p38 MAPK dilaporkan
menjadi meningkat pada beberapa tipe tumor dibandingkan dengan yang ada
pada jaringan normal dan SCIO-469 adalah suatu penghambat molekul kecil
pada p38 MAPK yang sekarang sedang dilakukan penelitian tahapan II dari
multiple myeloma. Namun, penelitian lebih luas mengenai p38 MAPK,
isoformnya yang berbeda dan fungsi-fungsi khususnya pada tumor manusia
diperlukan untuk ditetapkan apabila hal ini merupakan jalur anti apoptosis pada
keganasan (Junttila et al, 2007; Estrada et al, 2009).
Huang et al (2000) menemukan peningkatan aktivitas p38 MAPK
endogen berhubungan dengan sifat invasif dan metastase pada karsinoma
payudara. Mereka menduga bahwa jalur p38 MAPK berkaitan dengan protein
BT549 yang menyebabkan sifat invasif dan metastase pada karsinoma payudara.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian di Houston tahun 2011, menemukan peningkatan ekspresi


PPAR- melalui ekspresi p38 MAPK pada karsinoma paru yang menyebabkan
metastasis dan invasi sel tumor, dengan memberikan supresor p38 MAPK maka
terjadi penurunan ekspresi PPAR- akan berakibatnya berkurangnya invasi dan
metastase sel tumor (Ahn et al, 2011).
Ekspresi p38 MAPK mengalami peningkatan pada karsinoma gaster,
dimana dari 30 sampel karsinoma gaster ditemukan overekspresi p38 MAPK
sebanyak 14 sampel dan level protein yang ditemukan lebih tinggi ditemukan
pada jaringan karsinoma gaster dibandingkan dengan mukosa normal. Penelitian
ini juga menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara p38 MAPK
dengan umur, jenis kelamin, stadium klinis dan tipe histopatologi. Pada Kelenjar
Getah Bening (KGB) tidak ditemukan perbedaan level protein p38 MAPK yang
signifikan dengan mukosa normal ataupun jaringan karsinoma gaster (p>0,05)
(Liang et al, 2005).
Sullivan, Wang & Redmond (2009) melakukan penelitian pada sel
adenokarsinoma yang diberikan p38 MAPK inhibitor secara in vitro dan in vivo.
Secara in vitro setelah diberikan p38 MAPK inhibitor menyebabkan peningkatan
apoptosis dan mengurangi proliferasi dimana jalur VEGF diduga terlibat dalam
proses ini, sebaliknya secara in vivo setelah diberikan p38 MAPK inhibitor
menyebabkan pembesaran ukuran tumor primer.
TGF- dapat menyebabkan terjadinya invasi dan metastase pada
karsinoma payudara melalui peningkatan p38 MAPK dan ERK, dimana
ditemukan hubungan yang signifikan penurunan ekspresi TGF- dengan

Universitas Sumatera Utara

penurunan ekspresi p38 MAPK dan ERK (p<0,05) setelah diberikan inhibitor
TGF- (Gomez et al, 2012). Penelitian pada karsinoma payudara juga dilakukan
oleh Sivarama et al (1997) yang menemukan overekspresi p38 MAPK pada
tumor primer dan metastase KGB.
Penelitian di Beijing tahun 2009 menemukan p38 MAPK terlibat
terhadap resistensi terapi cisplatin pada karsinoma ovarium, dimana terjadi
peningkatan ekspresi dari p38 MAPK pada sel epitel karsinoma ovarium (Wang,
Zhou, Zhang, Wu, 2009).
Wang et al (2011) melakukan penelitian pada karsinoma sel skuamosa
paru di Hangzhou, menemukan ketidakseimbangan p38 MAPK dengan ERK
memegang peranan penting dalam perkembangan karsinoma sel skuamosa dan
kedua molekul ini dapat menjadi target terapi dan prognosis pada karsinoma sel
skuamosa.
Penelitian Shu dan Xu (2007), menemukan peningkatan expresi COX-2
melalui jalur p38 MAPK setelah diaktifasi oleh Epidermal Growth Factor
Receptor (EGFR) pada keganasan glioma, efek yang ditimbulkan adalah
peningkatan angiogenesis, penurunan apoptosis dan meningkatkan resistensi
terhadap obat sitotoksik (Xu & Shu, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3: jalur pengaktifan COX-2 oleh EGF dan EGFR melalui jalur p38
MAPK pada Glioma

2.5

p38 MAPK pada Karsinoma Nasofaring


Penelitian ekspresi p38 MAPK pada nasofaring belum banyak dilakukan.
Penelitian ekspresi p38 MAPK pada karsinoma nasofaring lebih banyak
dilakukan dengan PCR bukan dengan immunohistokia, dan hasilnya masih
bersifat dugaan, hal ini disebabkan banyaknya jalur yang terkait dengan
tumorigenesis dan jalur p38 MAPK diduga terlibat didalamnya.
Penelitian Kim et al (2010), menemukan kemungkinan keterlibatan jalur
p38 MAPK untuk meningkatkan reaksi apotosis sel pada kanker rongga mulut
setelah pemberian asam tolfenamic (Kim et al, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Penelitian Fang et al (2008), menemukan adanya keterlibatan beberapa


protein dalam proses apoptosis pada pasien kanker nasofaring seperti p38
MAPK, VEGF dan reseptor sel B. Protein tersebut juga berperan dalam proses
proses pertumbuhan sel, transduksi sinyal dan aktivasi system imunitas. Pada
penelitian ini ditemukan hasil yang signifikan terhadap keterlibatan jalur p38
MAPK terhadap proses apoptosis, dimana ditemukan 19 gen jalur MAPK
dengan pemeriksaan PCR pada pasien kanker nasofaring (Fang et al, 2008).
Karsinoma nasofaring yang disebabkan oleh infeksi laten virus Epstein
Bar, menyebabkan terjadi perubahan pada sel epitel nasofaring. Penelitian Fung
Lo et al (2006) dengan metode Polimerase Chain Reaction (PCR), ditemukan
supresi p38MAPK pada epitel nasofaring yang menyebabkan pertumbuhan sel
kanker (Lo et al, 2006).
Sinyal ekstraseluler menuju nukleus siklus sel melalui jalur sinyal yang
berbeda-beda, dimana jalur MEK/ERK/MAPK adalah jalur yang paling sering
diteliti. Overekpresi BRD7 pada sel NPC merupakan hasil regulasi turun dari cjun, p-MEK sehingga terjadi pertumbuhan tumor. Jalur p38 MAPK juga diduga
berperan dalam metastase NPC ke kelenjar getah bening regional melalui
aktivasi protein ezrin (Minghua, Xiayu, Xiaoling, & Guiyuan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4: Jalur transduksi sinyal dan jaringan komunikasi silang antara gen
tumor supresor yang terlibat pada karsinoma nasofaring

Penelitian di Cina tahun 2010, pada penderita karsinoma nasofaring yang


diberikan terapi Diallyl trisulfide (DATS), menunjukkan adanya keterlibatan p38
MAPK dan caspase-8 dalam proses apoptosis pada sel epitel karsinoma
nasofaring (Ji, Ren & Xu, 2010).
Penelitian aktivitas preklinik obat anti kanker Gefitinib pada karsinoma
nasofaring non keratinizing, menunjukkan supresi epidermal growth factor yang
diinduksi oleh aktivasi p-EGFR, p-MAPK dan p-STAT3 (Ma et al, 2010).
Penelitian Wan et al 2008, tentang jalur MAPK dan protein Aur-A
dengan metode PCR, menemukan bahwa overekspresi MAPK menyebabkan
overekspresi dari protein Aur-A, yang merupakan protein yang menyebabkan
invasi intrakranial dan peningkatan stadium dari karsinoma nasofaring.
Pemberian inhibitor Aur-A menyebabkan penurunan fosforilasi MAPK,
sehingga invasi sel epitel karsinoma nasofaring menurun (Wan, et al., 2008)

Universitas Sumatera Utara

2.6

Kerangka Konsep
Infeksi EBV

Inflamasi

MAPK

JNK

EGFR

ERK

p38 MAPK

NF-B

TNF-

VEGF

COX-2

-angiogenesis
- proliferasi sel
- penurunan apoptosis

KNF
Umur
Jenis Kelamin
Histopatologi
Ukuran Tumor (T)
Ukuran Kelenjar Bening (N)
Stadium klinis

= variable yang akan diteliti

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai