Anda di halaman 1dari 25

Bagian Anestesi dan Terapi Intensif

Refarat

Fakultas Kedokteran

Oktober 2015

Universitas Halu Oleo

PENGELOLAHAN JALAN NAPAS

Oleh :
Mei Asrina
K1A2 10 020
Pembimbing :
dr. Hj. Andi Hasnah Suaib, Sp. An.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015

Pedoman Praktek Untuk Manajemen Kesulitan Jalan Napas


Sebuah Laporan yang Diperbarui oleh
American Society of Anesthesiologists
Andi Hasnah Suaib, Mei Asrina
A PENDAHULUAN
Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu
tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi
dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik. Bila terjadi henti nafas
primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa menit dan sisa O 2 yang ada
dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada
korban dengan henti napas atau sumbatan jalan napas dapat mencegah henti jantung. Bila
terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2 yang tersisa dalam organ vital akan
habis dalam beberapa detik. Henti jantung dapat disertai oleh fenomena listri berikut: fibrilasi
ventrikuler takikardi ventrikular, asistole ventrikular atau disosiasi elektromekanis.1
Penilaian terhadap bantuan hidup dasar sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu
posisi, pembukaan jalan napas, napas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau
memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat. Setiap langkah ABC,
resusitasi jantung paru dimulai dengan: penentuan tidak ada respon, tidak ada napas, dan
tidak ada nadi . 1
Begitu mendapati tempat terjadinya kedaruratan, lakukan perkiraan situasi (scene
size-up) untuk menentukan keselamatan, misalnya apakah terjadi cedera atau merupakan
penyakit, dan apakah parah atau minor) serta jumlah korban. Ketika mendekati korban
periksa apa yang salah.identifikasi dan perbaiki setiap keadaan yang mengancam nyawa. Bila
tidak dijumpai tanggapan, hendaknya korban diletakkan dala posisi terlentang dan ABC
bantuan hidup dasar hendaknya dilakukan .12
B DEFINISI
Airway Manajement ialah memastikan jalan napas terbuka. tindakan paling penting
untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan. Dengan tujuan
untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan
oksigenase tubuh.3

Menurut The Commite on Trauma: American College of Surgeon (Yayasan Essentia


Medica, 1983: 20; Hendrotomo, 1986: 497) tindakan paling penting untuk keberhasilan
resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan, yaitu dengan cara: 3
1

Triple manuver
Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:
a

Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher, sedangkan tangan
yang lain pada dahi. Leher diangkat dengan satu tangan dan kepala ditengadahkan ke

belakang oleh tangan yang lain


Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah obtruksi hipofarings
oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini meregangkan jaringan antara larings dan rahang

bawah.
c Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx posterior.
Manuver Heimlich
Manuever Heimlich (The Committee on Trauma: American College of Surgeon

(Yayasan Essentia Medica, 1983: 22) ini merupakan metode yang paling efektif untuk
mengatasi obstruksi saluran pernapasan atas akibat makanan atau benda asing yang
terperangkap dalam pharynx posterior atau glottis.3
C ANATOMI

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju
nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Kedua bagian ini di
pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian bergabung di bagian posterior

dalam faring (gambar 5-1). Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang
memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus.
Bagian depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan
laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi
mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring
dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup
glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat
oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago: tiroid, krikoid, epiglotis, dan
(sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.1
Batas hipofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra cervical.Bila
hipofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau
dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak
dibawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini

merupakan dua buah cekuangan yang

dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan ligamnetum glossoepiglotika lateral


pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil, sebab pada beberapa orang kadangkadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. 4
Dibawah valekula terdapat epiglottis yang berfungsi untuk melindungi glottis ketika
menelan minuman atau bolus makanan. 4
Berikut gambaran anatominya :

Daerah yang sering mengalami sumbatan jalan napas adalah hipofaring, terjadi pada
pasien koma ketika otot lidah dan leher yang lemas tidak dapat mengangkat dasar lidah dari
dinding belakang faring. Ini terjadi jika kepala pada posisi fleksi atau posisi tengah. Oleh

karena itu ekstensi kepala merupakan langkah pertama yang terpenting dalam resusitasi,
karena gerakan ini akan meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah akan
terangkat dari dinding belakang faring. Kadang-kadang sebagai tambahan diperlukan
pendorongan mandibula kedepan untuk meregangkan leher anterior, lebih-lebih jika
sumbatan hidung memerlukan pembukaan mulut. Hal ini akan mengurangi regangan struktur
leher tadi. Kombinasi ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan
mulut merupakan gerak jalan napas tripel. Pada kira-kira 1/3 pasien yang tidak sadar
rongga hidung tersumbat selama ekspirasi karena palatum molle bertindak sebagai katup.
Selain itu rongga hidung dapat tersumbat oleh kongesti, darah atau lendir Jika dagu terjatuh,
maka usaha inspirasi dapat menghisap dasar lidah ke posisi yang menyumbat jalan napas.
Sumbatan jalan napas oleh dasar lidah bergantung kepada posisi kepala dan mandibula serta
dapat saja terjadi lateral, terlentang atau telungkup. Walaupun gravitasi dapat menolong
drainase benda asing cair, gravitasi ini tidak akan meringankan sumbatan jaringan lunak
hipofaring, sehingga gerak mengangkat dasar lidah seperti diterangkan diatas tetap
diperlukan.3
Penyebab lain sumbatan jalan napas adalah benda asing, seperti muntahan atau daah
dijalan napas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan keluar oleh pasien yang tidak
sadar. Laringospame biasanya disebabkan oleh rangsangan jalan nafas atas pada pasien stupor
atau koma dangkal. Sumbatan jalan nafas bawah dapat disebabkan oleh bronkospasme,
sekresi bronkus, sembeb mukosa, inhalasi isi lambung atau benda asing.4
a

Sumbatan jalan nafas dapat total atau partial.


Tanda-tanda obstruksi partial:

1.

Stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur


atau melengking.

2.

Retraksi otot dada kedalam didaerah supraclavicular, suprasternal, sela iga


dan epigastrium selama inspirasi

3.

Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar


bukannya mengembang/ membesar).

4.

Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.

5.

Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas meningkat).

6.

Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang lebih
berat.

Tanda-tanda obstruksi total:


Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor justru
menghilang
1.

Retarksi lebih jelas

2.

gerak paradoksal lebih jelas

3.

Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas.

4.

Balon cadangan tidak kembang kempis lagi.

5.

Sianosis lebih cepat timbul.


Sumbatan total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia (hipoksemia ditambah
hiperkarbia), henti nafas dan henti jantung (jika tidak dikoreksi) dalam waktu 5 10 menit.
Sumbatan partial berisik dan harus pula dikoreksi segera, karena dapat menyebabkan
kerusakan otak hipoksik, sembab otak atau paru dan penyulit lain serta dapat menyebabkan
kepayahan, henti nafasdan henti jantung sekunder.
D TINDAKAN PENELOLAAN JALAN NAPAS DARURAT.
Bertujuan untuk membebaskan jalan napas untuk menjamin pertukaran udara secara
normal. Pemeriksaan airway dilakukan bersama-sama dengan breathing menggunakan teknik
L (look), L (listen) dan F (feel) yang dilakukan dalam satu gerakan dalam tempo waktu yang
singkat (lihat materi pengkajian ABC).

Pemeriksaan airway
Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan papan kalau
pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglotis
akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab utama tersumbatnya jalan nafas pada
pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini dilakukan beberapa tindakan, yaitu: 5

Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuever)


Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu
dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglotis terbuka,
sniffing position, posisi hitup.

Chin Lift
Chin Lift

Manuver ini akan mencegah menggantung/ menurunnya dagu dan

mempertahankan mulut sedikit terbuka.Tidak boleh mengakibatkan hiperekstensi leher.


Aman untuk C-spine pada pasien trauma.

Jaw Thrust
Pegang pada angulus mandibulae, dorong mandibula ke depan (ventral). Manuver ini

aman dilakukan pada pasien trauma. Tidak boleh memberi bantal pada pasien tidak sadar
karena akan membuat posisi kepala fleksi dan tidak boleh menyangga leher untuk
mengekstensikan kepala karena bahaya cedera pada cervical spine.

Ketika memeriksa jalan napas dokter harus memastika bahwa peralatan penyokong
leher dan tulang belakang ada pada tempatnya jika terdapat kemungkinan adanya trauma dan
menentukan apakah jalan napas paten, terlindungi dan berada pada posisi yang adekuat. 2
Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi terlentang,
lakukan manuever triple airway (kepala tengadah, rahang didorong kedepan, mulut dibuka)
dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing lainnya, bersihkan dahulu
sebelum memberikan nafas buatan.3
Pasien tidak sadar hendaknya diletakan horisontal, tetapi kalau diperlukan
pembersihan jalan nafas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi kepala dibawah (head
down tilt) untuk mengeluarkan benda asing cair oleh gravitasi. Jangan meletakkan pasien
pada posisi telungkup karena muka sukar dicapai, menyebabkan sumbatan mekanis dan
mengurang kekembungan dada.4
Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan utnuk pasien koma diawasi yang
memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau handuk yang dilipat
dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi jangan sekali-kali meletakkan bantal
dibawah kepala pasienyang tidak sadar (dapat menyebabkan leher fleksi sehingga
menyebabkan sumbatan hipofaring) kecuali pada intubasi trakea.4
Pada kasus trauma pertahankanlah kepala-leher-dada pada satu garis lurus.
Ekstensikan kepala sedang, jangan maksimum. Jangan memutar kepala korban kesamping,
jangan memfleksikan kepalanya. Jika korban harus dimiringkan untuk membersihkan jalan
nafasnya, pertahankanlah kepala-leher-dada tetap dalam satu garis lurus, sementara penolong
lain memiringkan korban Posisi mantap dianjurkan utnuk pasien koma bernafas spontan.4

E PENGELOLAAN JALAN NAPAS (AIRWAY MANAGEMENT) DENGAN ALAT.


Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring.
Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan
jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway)
dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara

lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau dalam
anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas
artifisial bila refleks laring masih intact. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi
dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan
spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium
(90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5). 4
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung ke
lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan adanya
resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan
atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur
basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik,
pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi.Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada
pasien dengan anestesi ringan.5
Jalan napas buatan orofaringeal dan nasofaringeal dapat menjaga agar aliran udara
terjamin. Jalan napas buatan orofaringeal harus diolesi dengan jelli atau air sebelum
dimasukkan, tapi jangan dengan parafin cair. Pasanglah dengan bagian konkaf menghadap
keatas kemudian putarlah masuk kedalam faring. Pada pasien yag kedua rahangnya
mengatup, jalan napas buatan nasofaringeal kadang-kadang membantu, pasanglah dengan
hati-hati untuk mencegah perdarahan hidung. Jika jalan napas hidung tidak adekuat ,

pasanglah pipa endotrakea melalui hidung sampai ujungnya melewati epiglottis. Jangan
memaksa untuk membuka mulut, karena berbahaya. Pasien yang mulutnya tertutup rapat
dibaringkan dalam posisi koma jika intubasi tidak mungkin digunakan, atau lebih disukai
intubasi endotrakeal dengan menggunakan relaksan. 11
Krikotiroidotomi digunakan untuk memberi akses jalan napas darurat jika tindakan
yang lebih aman dan kurang invasif (intubasi oral atau nasotrakeal) tidak dapat dilakukan
atau jika merupakan kontraindikasi. Untuk anak dibawah usia 12 tahun, krikotidiodotomi
dengan jarum adalah pilihan bedah jalan napas.kontraindikasi absolut adalah jalan napas oral
atau nasal dapat dilakukan, cedera atau fraktur pada kartilago krikoid atau laring yang
signifikan, transeksi jalan napas parsial atau komplet, pasien berusia kurang dari 12 tahun
(merupakan pilihan utama krikotiriodotomi). Dan yang relatif adalah massa, pembengkakan
atau selulitis dileher, hematoma leher, koagulopati. 13
Face Mask Design dan Teknik
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi dari
sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat (gambar 5-5).
Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium face mask dapat
disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Face mask yang transparan dapat
mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Facemask yang dibuat dari karet berwarna
hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining
hook dipakai untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang.
Beberapa macam mask untuk pediatrik di disain untuk mengurangi dead space. 2
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang

rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan
reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran

sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan
dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas. 2

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk melakukan
ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face mask dipasang dimuka
pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan
jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus
pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi
obstruksi jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan
untuk jaw thrust manuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.2
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust yang
adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk memompa
bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena tekanan kuat dari face
mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit memasang face maks rapat
kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan
gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi
tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya udara ke
lambung.2
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral atau
nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan cedera
akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila face mask dan ikatan mask
digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera.
Hindari tekanan pada mata, dan mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi
kornea.4
Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)

Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan TT


selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada pasien
dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga
pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan
penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa
digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal
LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan
ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien
dengan jalan nafas yang sulit.5

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal
dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal
terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan
dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke hipofaring, sekali telah
dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring.Pemasangannya
memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway.Posisi

ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter
oesopagus bagian atas di inferior.Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau
regurgitasi masih mungkin terjadi.Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada
beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba
memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang
ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan oleh epiglotis atau ujung balon
merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan
secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan
pada kasus yang sulit.Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat
sangat membantu.Pipa di plester seperti halnya TT.LMA melindungi laring dari sekresi faring
(tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya
sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali.Ini biasanya ditandai dengan batuk atau
membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf,
dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran (tabel 5-3).6

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT. Kontraindikasi
untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring,
lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah
(misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih
besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme
aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena
tidak ditempatkan dalam trakhea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian
bronchospasme lebih kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai
penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien

dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah
untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah
digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel
FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm).7
Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT yang lebih
besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat dilakukan dibawah
anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan nafas harus bebas seraya
pasiennya sadar.4
Esophageal Tracheal Combitube (ETC)
Teknik & Bentuk Pipa
Pipa kombinasi esophagus tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa, masingmasing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya.Pipa biru yang lebih panjang ujung
distalnya ditutup.Pipa yang tranparant berukuran yang lebih pendek punya ujung distal
terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini biasanya dipasangkan secara buta melalui
mulut dan dimasukkan sampai 2 lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas dan
bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk digembungkan, 100 ml untuk balon prosikmal dan 15
ml untuk balon distal, keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah pemasangan.Pipa
yang bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Pilihan lain, jika
ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang bening akan langsung gas ke
trachea. Meskipun pipa kombinasi masih rerdaftar sebagai pilihan untuk penanganan jalan
nafas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan
oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien
dengan jalan nafas yang sulit.2

Pipa Tracheal (TT)


TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trachea dan
mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi.Pabrik menentukan standar TT (American
National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79).TT kebanyakan terbuat dari
polyvinylchloride.Pada masa lalu, TT diberi tanda IT atau Z-79 untuk indikasi ini telah

dicoba untuk memastikan tidak beracun.Bentuk dan kekakuan dari TT dapat dirubah dengan
pemasangan mandren.Ujung pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan
pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk
mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau
trachea.6
Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga dipengaruhi
oleh panjang pipa dan lengkungannya.Ukuran TT biasanya dipola dalam milimeter untuk
diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis (diameter external dalam
milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil kompromi antara memaksimalkan
flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa
yang kecil.6
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri dari katup,
balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon (cuff).Katup mencegah
udara keluar setelah balon dikembungkan.Balon petunjuk memberikan petunjuk kasar dari
balon yang digembungkan.Inflating tube dihubungkan dengan klep.Dengan membuat trakhea
yang rapat, balon TT mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi
kemungkinan aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk
meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.7

Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan tekanan
rendah volume tinggi.Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya iskhemia mukosa
trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama. Balon tekanan rendah dapat
meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi
spontan, dan pemasangan yang sulit ( karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian,
karena insidensi rendah dari kerusakan mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.5
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan, diameter
balon yang berhubungan dengan trachea, trachea dan komplians balon, dan tekanan intratorak

(tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan balon dapat menaik selama anetesi
umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari mukosa tracheal ke balon TT.7
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus.Pipa yang lentur, spiral,
wire reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi kepala dan leher,
atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja menjadi kinking akibat tekanan
yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa
TT harus diganti. Pipa khusus lainnya termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang
pipa ganda (double lumen tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat
radiogopak yang mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trachea.8
Rigid Laryngoscope
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi
trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada ujung blade, atau untuk
energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik
tertuju langsung dan tidak tersebar.6

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI.
Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus.Pemilihan dari blade
tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena tidak ada blade
yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang
beragam.7

Laringoskop Khusus
Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat, untuk
membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan nafas yang sulitLaringokop Bullard dan laringoskop Wu

Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung dengan
ujung yang panjang, dan didisain untuk membantu melihat muara glotis pada pasien dengan
lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior.Banyak dokter anestesi percaya
bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang memiliki jalan nafas sulit. Bagaimanapun
juga, seperti halnya alat-alat lain yang digunakan jalan nafas pasien, pengalaman
penggunaannya harus dilakukan pada pasien normal sebelum digunakan pada saat penting
dan memergensi pada pasien dengan jalan nafas sulit.7
Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB)
Dalam beberapa situasi, -misalnya pasien dengan tulang cervical yang tidak stabil,
pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular join, atau dengan kelainan kongenital
atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan penggunakan rigid
laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang
feksibelmemungkin visualisasi tidak langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk
beberapa situasi dimana direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB dibuat dari
fiberglass ini mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan

cahaya akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan.
Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 15.000 fiber.2

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang kaku.
Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi oksigen atau penyemprotan
anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber infeksi
sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan sterilisasi telah digunakan.9
PEMBAHASAN JURNAL
A. DEFINISI KESULITAN JALAN NAFAS
Definisi standar untuk kesulitan jalan nafas tidak dapat ditemukan pada literatur yang
tersedia. Untuk Pedoman praktek ini, kesulitan jalan napas didefinisikan sebagai situasi klinis
di mana seorang anastesiologi yang dilatih secara konvensional mngalami kesulitan dengan
ventilasi face mask pada jalan nafas bagian atas, kesulitan dengan intubasi trakeal, atau
keduanya.14
Deskripsi yang dapat dikategorikan atau dinyatakan sebagai nilai numerik adalah yang
sangat diinginkan, karena jenis informasi ini memudahkan untuk analisis agregat dan
Perbandingan lintas-studi. Deskripsi yang disarankan meliputi, namun tidak terbatas pada: 14
1. Kesulitan menggunakan face mask atau Supraglottic Airway (SGA) (misalnya,
Laryngeal Mask Airway (LMA), Intubating LMA (ILMA), Laringeal tube): Hal ini
tidak memungkinkan pada seorang anestesi dalam memberikan ventilasi yang adekuat
karena satu atau lebih masalah berikut: masker atau segel SGA yang tidak adekuat,

kebocoran gas yang berlebihan, atau resistensi yang berlebihan terhadap masuknya
atau keluarnya gas. Tanda ventilasi yang tidak adekuat antara lain termasuk (namun
tidak terbatas pada) Pergerakan dada yang tidak ada atau tidak adekuat, suara napas
yang tidak ada atau tidak adekuat, tanda-tanda auskultasi dari obstruksi berat,
sianosis, masuknya udara kedalam lambung atau dilatasi, saturasi oksigen (SpO2)
yang tidak adekuat, Tidak adanya atau tidak adekuatnya penghembusan karbon
dioksida, tidak adanya atau tidak adekuatnya pengukuran spirometri dari aliran gas
yang dihembuskan, dan perubahan hemodinamik yang berhubungan dengan
hipoksemia atau hiperkarbia (misalnya, hipertensi, takikardia, aritmia).
2. Kesulitan penempatan: Penempatan SGA membutuhkan beberapa usaha, dengan ada
atau tidak adanya kelainan pada trakea.
3. Kesulitan Laringoskopi: Tidak mungkin untuk memvisualisasikan setiap bagian dari
pita suara setelah beberapa usaha pada laringoskopi konvensional.
4. Kesulitan intubasi trakea: Intubasi trakea membutuhkan beberapa usaha, dengan
adanya atau tidak adanya kelainan trakea.
5. Kegagalan intubasi: Penempatan endotrakeal tube gagal setelah beberapa usaha.
B. PEDOMAN.
1. Pemeriksaan Fisik
Riwayat saluran napas atau pemeriksaan fisik dapat memberikan indikasi untuk diagnostik
tambahan yang dilakukan pada beberapa pasien. Penelitian observasional dan kasus laporan
menunjukkan bahwa tes diagnostik tertentu (misalnya, radiografi, computed tomography
scan, fluoroskopi) dapat mengidentifikasi berbagai jenis yang diperoleh atau bawaan pada
pasien dengan kesulitan jalan napas. 14

2. Dasar Persiapan Manajemen Airway


Persiapan dasar untuk manajemen jalan nafas yang sulit meliputi: (1) tersedianya peralatan
untuk

pengelolaan

airway

yang

sulit

(yaitu,

unit

penyimpanan

portable),

(2)

menginformasikan pasien dengan mengetahui atau menduga adanya kesulitan airway, (3)
menetapkan suatu individu untuk memberikan bantuan ketika jalan nafas yang sulit ditemui,
(4) preanesthetic preoxygenation menggunakan sungkup, dan (5) pemberian oksigen
tambahan pada proses manajemen jalan nafas yang sulit. 14

C. STRATEGI INTUBASI DARI KESULITAN BERNAFAS


Strategi yang direncanakan sebelum induksi mencakup pertimbangan berbagai
tindakan yang ditujukan untuk memfasilitasi intubasi jika terjadi kesulitan saluran nafas.
Tindakan non invasive yang ditujukan untuk tatalaksana saluran nafas yang sulit mencakup:
(1) intubasi terjaga, (2) laringoskopi yang dibantu video, (3) penggunaan stilet intubasi atau
tube-changer, (4) SGA untuk ventilasi (misalnya, LMA, laryngeal tube), (5) SGA untuk
intubasi (misalnya, ILMA), (6) Bilah laryngoskopi rigid dengan berbagai bentuk dan ukuran,
(7) intubasi dengan bantuan fiber optik, dan (8) stylets dengan bantuan cahaya. 14
1. Konfirmasi Intubasi Trakea
Para konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa anesthesiologist harus memiliki
strategi yang telah direncanakan sebelumnya untuk intubasi saluran nafas yang sulit. Para
konsultan dan ASA anggota sangat setuju bahwa strategi untuk intubasi airway yang sulit
harus mencakup identifikasi pendekatan primer atau pilihan terhadap: (1) intubasi terjaga,
(2) pasien yang dapat diventilasi secara adekuat tetapi kesulitan diintubasi, dan (3) situasi
yang mengancam jiwa di mana pasien tidak dapat diventilasi atau diintubasi. Para konsultan
dan anggota ASA sangat setuju bahwa strategi intubasi saluran napas yang sulit harus
mencakup identifikasi pendekatan alternatif yang dapat digunakan jika Pendekatan primer
gagal atau tidak dapat dilakukan. Para konsultan dan Anggota ASA sangat setuju bahwa
strategi intubasi pada airway yang sulit seharusnya mencakup konfirmasi intubasi trakea
(misalnya, kapnografi).
2. Rekomendasi Untuk Strategi Intubasi
Strategi yang direkomendasikan untuk intubasi kesulian airway, meliputi:
o Penilaian terhadap kemungkinan dan antisipasi klinis dampak dari enam masalah
pokok yang mungkin terjadi sendiri atau dalam kombinasi: (1) kesulitan pada
kerjasama atau persetujuan dari pasien, (2) kesulitan ventilasi mask, (3) kesulitan
penempatan SGA, (4) kesulitan laringoskopi, (5) kesulitan intubasi, dan (6) kesulitan
operasi akses airway .
o Sebuah pertimbangan manfaat klinis yang relatif dan kelayakan dari empat pilihan
manajemen dasar: (1) intubasi terjaga dibanding intubasi setelah induksi pada anastesi
umum, (2) teknik noninvasif dibanding teknik invasif (misalnya, bedah atau airwa
percutaneus) untuk awal pendekatan untuk intubasi, (3) laringoskopi yang dibantu
video sebagai pendekatan awal untuk intubasi, dan (4) pengawetan dibanding ablasi
pada ventilasi spontan.

o Identifikasi pendekatan utama atau pilihan untuk: (1) intubasi terjaga, (2) pasien yang
dapat diventilasi secara adekuat tetapi sulit untuk diintubasi, dan (3) situasi yang
mengancam jiwa di mana pasien tidak dapat diventilasi atau diintubasi.
o Identifikasi pendekatan alternatif yang dapat digunakan jika pendekatan utama gagal
atau tidak layak.
Pasien tidak kooperatif atau pasien pediatrik dapat membatasi pilihan untuk
pengelolaan airway yang sulit, khususnya pilihan yang melibatkan intubasi
terjaga. Manajemen airway pada pasien tidak kooperatif atau Pasien pediatrik
mungkin memerlukan pendekatan (misalnya, upaya intubasi setelah induksi
anestesi umum) yang mungkin tidak dianggap sebagai pendekatan primer pada
pasien kooperatif.
Pembedahan yang menggunakan infiltrasi anestesi lokal atau blokade saraf
regional sebagai alternatif untuk manajemen langsung pada airway yang sulit,
tetapi pendekatan ini tidak mewakili solusi yang pasti untuk adanya jalan nafas
yang sulit, juga tidak menyingkirkan kebutuhan untuk preformulated strategi
untuk intubasi jalan napas yang sulit.
Konfirmasi pada intubasi trakea dengan menggunakan kapnografi atau monitoring
end-tidal karbon dioksida. 14
D. STRATEGI UNTUK EKSTUBASI DARI KESULITAN BERNAFAS
Tujuan pedoman ini, strategi ekstubasi telah dianggap secara logis menjadi
perpanjangan dari strategi intubasi. 14
1. Algoritma Pada Kesulitan Jalan Nafas
1. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari dasar manajemen masalah:
Kesulitan pada kerjasama pasien atau persetujuan dari pasien.
Kesulitan ventilasi mask,
Kesulitan penempatan supraglottic airway
Kesulitan laringoskopi
Kesulitan intubasi, dan
kesulitan operasi pada airway akses
2. Secara aktif mencari peluang untuk memberikan oksigen tambahan selama manajemen
airway.
3. Pertimbangkan relatif dari manfaat dan kelayakan pilihan manajemen dasar:
Intubasi terjaga dibanding intubasi setelah induksi pada anastesi umum,
Teknik noninvasif dibanding teknik invasif (misalnya, bedah atau airwa percutaneus)
untuk awal pendekatan untuk intubasi,
Laringoskopi yang dibantu video sebagai pendekatan awal untuk intubasi, dan
Pengawetan dibanding ablasi pada ventilasi spontan.
2. Rekomendasi Ekstubasi

Strategi ini tergantung pada prosedur pembedahan, kondisi pasien, serta keahlian dan
pilihan ahli anestesi.
Dianjurkan bahwa strategi ekstubasi kesulitan airway harus mencakup pertimbangan:

Keuntungan relative ekstubasi terjaga vs ekstubasi sebelum kesadaran pulih.


faktor klinis umum yang dapat menyebabkan gangguan ventilasi setelah dilakukan

ekstubasi,
rencana tata laksana airway yang dapat dilaksanakan jika pasien tidak dapat

mempertahankan ventilasi yang memadai setelah dilakukan ekstubasi


pertimbangan penggunaan jangka pendek alat yang dapat digunakan untuk membantu
reintubasi. Alat dapat berupa stilet (bougie intubasi) atau konduit. Stilet atau bougie
intubasi biasanya dimasukkan ke dalam lumen tracheal tube dan ke dalam trakea sebelum
tracheal tube dilepas. Stilet atau bougie dapat dilengkapi dengan lubang di tengahnya
yang dapat dimanfaatkan untuk oksigenasi dan ventilasi sesaat. Konduit biasanya
dimasukkan melalui mulut sehingga dapat digunakan untuk intubasi dan ventilasi

supraglotis. Contoh konduit adalah ILMA dan LMA. 14


E. FOLLOW UP
Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa ahli anestesi harus: (1)
mendokumentasikan kesulitan airway beserta dengan sifat-sifatnya pada rekam medis, (2)
menginformasikan pasien atau orang yang bertanggung jawab mengenai kesulitan airway
yang ditemui, dan (3) mengevaluasi melakukan follow-up terhadap kemungkinan komplikasi
tata laksana kesulitan airway. Konsultan dan anggota ASA sangat setuju bahwa pasien harus
diberitahu mengenai tanda dan gejala klinis potensial sehubungan dengan komplikasi tata
laksana kesulitan airway yang mengancam nyawa. 14
1. Komponen dari Pemeriksaan Fisik Jalan Napas Pra-Operasi14
Komponen pemeriksaan Jalan napas

Abnormalitas

a. Ukuran incisura superior

a. Relatif Panjang

b. Hubungan antara incisura maxillaris b. Overbite menonjol (incisura maxillaries


dan

incisura

mandibularis

saat berada didepan incisura mandibularis)

penutupan rahang
c. Hubungan antara incisura maxillaries c. Pasien tidak mampu membuat incisura
dan incisura mandibularis saat protrusi mandibularis berada di depan incisura
volunteer mandibula
d. Jarak antar incisura

maxillaris
d. Kurang dari 3 cm

e. Uvula terlihat atau tidak

e. Tidak terlihat saat pasien dalam posisi


duduk (Mallampati class >2)

f. Bentuk palatum

f. Sangat melengkung atau sempit

g. Jarak thyromental

g. Kurang dari 3 jari

h. Panjang leher
i. Tebal leher

h. Pendek
i. Tebal

2. Kompinen-komponen Yang Sebaiknya ada Dalam Portable Storage Unit saat


Penanganan Jalan napas 14
Blade laringoskop rigid dengan berbagai ukuran selain ukuran yang biasanya
dipakai.Termasuk diantaranya rigid fiberoptic laringoskop
Video laryngoskopi
Tracheal tube dengan berbagai ukuran
Alat-alat untuk membantu pemasangan tracheal tube seperti stylet semirigid, ventilating
tube-changer,dan forcep yang digunakan untuk mengubah-ubah bagian posterior tracheal
tube
Supraglottic airway (LMA atau ILMA dengan ukuran yang biasanya digunakan)
Peralatan intubasi fiberoptic yang fleksibel
Peralatan untuk pembukaan jalan napas emergency
Detektor karbon dioksida
3. Teknik untuk penanganan jalan napas yang sulit14
Teknik untuk Intubasi yang sulit

Teknik untuk Ventilasi yang sulit

Intubasi sadar

Intratracheal jet stylet

Blind Intubation (oral dan nasal)

Pembukaan jalan napas invasive

Fiberoptic Intubation

Supraglottic airway

Intubasi dengan supraglottic airway

Airway oral dan nasofaring

Dengan blade laryngoskop berbagai ukuran


Dengan light wand

Bronkoskopi
Two person mask ventilation

Videolaringoskop

DAFTAR PUSTAKA
1
2

Morgan, dan Mikhail. Clinical Anesthesiology. Edisi V. Mc Graw Hill : Amerika.


ACS Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support. Edisi IX. American College

of Surgeons : Amerika.
Mc Grath BA., Bates, L., Atkinson D., Moore, A. Guidelines : Multidisciplinary
Guidelines for the Management of Tracheostomy and Laryngectomy Airway Emergencies.

Anaesthesia, UK. 2012, Vol.67, h.1025-1041.


Pelosi p, Croci M., Ravagnan I , Tredicci S , Pedoto A , Lissoni A , Gattinoni L. The
Effects of Body Mass on Lung Volumes, Respiratory Mechanics and Gas Exchanges

5
6

During General Anasthesia.Oxford Journal of Anaesthesia; 1998, 87:654-60


Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology inUpdate in Anesthesia 12th ed. 2000.
Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF, Stelting RK,
editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006, p.

791-811.
Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow andventilation in the

lung: gravity is not the only factor. British Journal ofAnaesthesia; 2007, 98: 420-8.
Wang, H.E. Emergency airway management: The need to refine And redefine The

state of the art. Elsevier Journal, Resucitation Vol.83, (2012), h.405-406.


Umar, N. Sistem Pernapasan dan Suctioning pada Jalan napas. Bagian Anetesiologi FK

USU (2004), h.1-8.


10 Allison, M., Scott, M., Hu, K., Bostick, D., Boutsikaris, D.

An Update on Airway

Management in Emergency Medicine. Resident Journal Review, Vol.42 (2012), h.400405.


11 Dobson, MB. World Health Organization Penuntun Praktis Anestesi. Katalog dalam
terbitan (KDT). Jakarta : EGJ. 2012. Hal. 12-14.
12 Thygerson A, EdD FAWM. First Aid Pertolongan Pertama Edisi Kelima. Penerbit
erlangga. 2009. Hal. 15-17.
13 Shah Kaushal. Prosedur Penting Dalam Kegawatdaruratan. ( Essensial Emergensy
Procedures). Katalog dalam negeri. Jakarta :EGC. 2013.

14 Practice Guidelinesfor Management of the Difficult Airway ( An Updated Report By The


American Sociaty of Anesthesiologist Task Force on Management of The Difficult
airway). Special Article. February: 2013.

Anda mungkin juga menyukai