Anda di halaman 1dari 5

Nama

: Nurul Musfirotin Janah

Npm

: 1313015018

Kelas

: H sore

Matkul

: Anggaran Sektor Publik

Mengkritisi tentang Kebijakan Cash Transfer


Kenaikan harga minyak dunia di kisaran US$60-70/barel semakin membebani APBN,
terutama pos subsidi BBM yang membengkak dari Rp76 triliun menjadi Rp130 triliun.
Kondisi tersebut dan ditambah melemahnya nilai tukar rupiah memaksa pemerintah
untuk tidak menunda-nunda menaikkan harga BBM.
Untuk mengurangi dampak kenaikan BBM terhadap kelompok miskin maka pemerintah
mengeluarkan kebijakan subsidi langsung yang berupa cash transfer, yang akan
diujicobakan pada Oktober.
Berdasarkan hasil sidang kabinet, pemerintah memutuskan akan memberikan
kompensasi sebesar Rp100.000/bulan/kepala keluarga (KK) kepada sekitar 15,5 juta
KK atau sekitar 62 juta rakyat miskin (Media Indonesia, 10/9).
Program ini akan digelar mulai Oktober sampai akhir tahun dengan total dana sebesar
Rp4,6 triliun.
Secara teoretis kebijakan cash transfer lebih baik jika dibandingkan dengan subsidi
BBM seperti yang terjadi selama ini, di mana sebagian besar BBM dinikmati kelompok
nonmiskin. Berdasarkan teori compensating variation (Varian, 1996) menunjukkan
bahwa cash transfer akan mengembalikan daya beli kelompok miskin pada kondisi

yang

semula,

yaitu

kondisi

daya

beli

sebelum

adanya kenaikan harga BBM.


Selain itu, secara politis kebijakan ini merupakan wujud tanggung jawab negara kepada
kelompok miskin seperti diamanatkan oleh UUD 1945. Walaupun kebijakan cash
transfer memiliki justifikasi yang kuat baik secara teori ekonomi dan politis,
implementasi di lapangan tidaklah semudah yang dibayangkan. Karena, setiap
kebijakan akan membawa implikasi, baik secara positif maupun negatif.
***
Kebijakan kenaikan harga BBM dan cash transfer secara masif kepada 15,5 juta KK
akan menimbulkan tekanan pada inflasi dari sisi penawaran dan sisi permintaan.
Kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan biaya produksi sehingga harga barang
akan naik, sedangkan transfer secara masif akan mendorong kenaikan permintaan di
pasar barang. Berdasarkan hukum ekonomi, jika permintaan naik, sedangkan
penawaran barang tetap maka akan mendorong harga barang akan naik.
Kombinasi dua faktor tersebut akan mendorong naiknya inflasi lebih dari dua persen
dan inflasi tahunan berada di atas dua digit. Kenaikan inflasi akan mendorong otoritas
moneter untuk menaikkan suku bunga SBI.
Dampak yang sangat besar dari kebijakan ini adalah dampak sosial. Walaupun dampak
ini tidak mudah untuk dikuantifikasi, kebijakan masif transfer menyimpan potensi yang
besar untuk menyulut kecemburuan sosial, merusak tatanan, dan ikatan sosial di level
bawah.
Berdasarkan pengamatan saya pada kasus penyaluran beras miskin (raskin) di sebuah
desa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa ketika raskin hanya
diberikan kepada kelompok miskin, ternyata menimbulkan kecemburuan bagi kelompok
yang nyaris miskin dan tidak miskin.

Hal ini terbukti ketika ada kegiatan kerja bakti desa, kelompok yang tidak menerima
raskin tidak datang kerja bakti karena merasa dianaktirikan dan merasa kerja bakti
adalah tanggung jawab penerima raskin saja.
Berdasarkan pengalaman tersebut aparat pemerintah desa beserta tokoh masyarakat
dan BPD memutuskan raskin dibagi rata untuk kelompok miskin dan nyaris miskin.
Aparat desa juga menyadari pembagian merata adalah menyalahi prosedur dari pusat,
tetapi kebijakan ini diambil untuk meredam kecemburuan dan tetap menjaga ikatan
sosial di antara masyarakat.
Bagi kelompok miskin yang sebetulnya paling berhak atas raskin, akhirnya menyadari
lebih baik berdamai dengan lingkungan sekitar walaupun menerima beras yang tidak
sesuai dengan ketentuan pemerintah. Mengajari masyarakat untuk sadar bahwa yang
berhak menerima raskin adalah kelompok miskin saja dan yang lain tidak berhak
menerima, mungkin sama susahnya mengajari aparatur pemerintah untuk tidak korupsi.
Kondisi di atas memang tidak bisa digeneralisasi untuk kasus Indonesia, tetapi kondisi
tersebut bisa memberikan gambaran kepada para pengambil kebijakan ada masalah
sosial yang mungkin akan timbul dari kebijakan subsidi langsung.
Kebijakan ini juga dapat menjadi disinsentif bagi kelompok miskin penerima subsidi
untuk tidak mencari pekerjaan atau berusaha untuk mandiri untuk melepaskan diri dari
jerat kemiskinan. Selain itu, kebijakan subsidi langsung juga akan memengaruhi pasar
tenaga kerja, yaitu akan mendorong kenaikan tingkat upah.
Hal ini disebabkan daya tawar kelompok miskin dan penganggur penerima subsidi akan
semakin kuat. Mereka akan memilih menganggur dan menikmati dana transfer jika
upah yang diterima tidak lebih besar dibandingkan dengan dana transfer. Kenaikan
upah merupakan sebuah dilema tersendiri, di satu sisi akan memperbaiki kehidupan
kelompok pekerja, tetapi di sisi lain akan memengaruhi iklim usaha di Indonesia.
***

Kalaupun pemerintah benar-benar mengimplementasikan kebijakan cash transfer,


pemerintah harus menegaskan dari awal bahwa kebijakan ini hanya untuk tiga bulan
atau enam bulan saja. Sehingga, pemerintah tidak mengulangi kesalahan seperti
kebijakan BBM yang susah untuk mencabutnya.
Ketegasan pemerintah mengenai batas waktu kebijakan cash transfer selain
meringankan beban anggaran pemerintah, juga akan memberikan insentif bagi
kelompok penerima subsidi untuk berinisiatif mencari pekerjaan atau membuka usaha
untuk menyokong kelangsungan hidup setelah tidak adanya subsidi.
Selain itu, penyeragaman jumlah bantuan sebesar Rp100.000/bulan/KK merupakan
kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif, karena kebijakan ini lebih menguntungkan
KK yang jumlah anggotanya sedikit dan penduduk miskin pedesaan dibandingkan
dengan KK anggota keluarganya lebih banyak serta penduduk miskin perkotaan.
Sedangkan dampak kenaikan harga BBM lebih dirasakan oleh kelompok miskin
perkotaan dan KK yang jumlah anggotanya banyak. Penyesuaian terhadap jumlah
bantuan berdasarkan wilayah dan jumlah anggota keluarga merupakan langkah yang
bijaksana dan dapat mewujudkan keadilan.
Pemerintah sebaiknya juga memikirkan alternatif-alternatif kebijakan yang memiliki
dampak yang besar terhadap kelompok miskin dengan mengalihkan dana kompensasi
BBM ke arah yang bersifat produktif.
Misalnya, pemerintah tidak perlu melakukan cash transfer, tetapi memodifikasi
kebijakan raskin menjadi raskin plus, yaitu raskin + uang lauk-pauk (yang jumlahnya
disesuaikan dengan jumlah garis kemiskinan nonmakanan, sekitar Rp50.0000),
sedangkan sisa dananya dapat digunakan untuk kegiatan padat karya pembangunan
infrastruktur di pedesaan, subsidi pendidikan dasar, pengembangan Posyandu, dan
program-program kesehatan masyarakat lainnya.
Kegiatan-kegiatan tersebut akan memberikan dampak ganda. Pada jangka pendek
program padat karya akan mampu menciptakan lapangan kerja dan mempercepat
pembangunan infrastruktur dan pada jangka panjang akan meningkatkan kapasitas

modal manusia. Di sisi lain kebijakan yang bersifat produktif akan memberikan
pelajaran yang berharga bagi kelompok miskin, hanya kekuatan diri sendirilah yang
dapat mengubah nasib mereka.
Walaupun kebijakan cash transfer di berbagai negara barat cukup sukses, pemerintah
seharusnya berhati-hati dalam mengimplementasikan kebijakan ini, jangan asal
menjiplak tanpa melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai